"Aku tidak tahu siapa namanya, tapi orang-orang memanggilnya tambi Uban. Nenek malang itu katanya warga desa Sei Bahandang. Entah apa yang merasukinya untuk berbuat sinting, pastilah ada dendam yang tak bisa ia tuntaskan jika ia masih hidup."
Haji Badri menarik nafas panjang dengan kedua tangan yang terus memegang kemudi kelotok. Sesekali kelotok bergerak ke kiri dan ke kanan menghindari batang-batang kayu yang hanyut dibawa arus.
Berdasarkan selentingan yang ia dengar, kata haji Badri, si nenek Uban tiga hari sebelumnya terlihat gelisah di dermaga desa Sei Bahandang. Dengan membawa sesaji di dalam nyiru, tambi Uban hanya duduk di sudut dermaga yang gelap dengan wajah tegang.
Tepat tengah malam, tambi Uban terlihat mendayung sebuah jukung ke tengah sungai Barito. Salah seorang supir kelotok yang waktu itu tidur di dermaga, hanya membiarkan saja tambi Uban pergi ke tengah sungai.
Tidak ada sedikit pun rasa curiga di benaknya, karena memang bukan hal aneh bila ada orang yang melakukan ritual tertentu di sungai, entah memberi makan buaya gaib peliharaan mereka atau hal lainnya.
Namun, ternyata malam itu adalah terakhir kali tambi Uban terlihat masih hidup. Setelah itu ia dinyatakan hilang dan jasadnya ditemukan tiga hari kemudian dengan kondisi mengenaskan.
"Terima kasih pak haji. Rupanya memang aku yang salah membaca pertanda. Dan sepertinya, ada hal yang lebih rumit dari sekedar parang maya yang harus kutuntaskan," ungkap pak Salundik penuh keyakinan.
*****
Dua hari berlalu, aku telah kembali ke rumah dinas. Sedangkan bu Rahma dan si suami polisi Rudi, masih menetap di ibukota kecamatan. Selama dua malam berturut-turut, aku tidak mendapat gangguan. Sepertinya pagar gaib yang dipasang pak Salundik cukup ampuh.
Meski begitu tetap saja rasa cemas masih menghantui. Terutama saat mau ke kamar mandi, aku bergidik melihat gantungan handuk yang kukira sosok hitam mengerikan.
Keadaan Sarunai dan Agau juga semakin melemah. Pak Salundik pun tidak bisa berbuat banyak, karena kalau dipaksakan justru akan beresiko membuat mereka berdua kehilangan nyawa.
Pagi hari pukul enam, aku telah siap-siap mengajar. Sewaktu membuka pintu, aku terlonjak mendapati pak Salundik sudah berdiri di teras rumah.
"Kasno, kita harus ke Sei Bahandang pagi ini. Semakin sedikit yang tahu, semakin baik," seloroh pak Salundik begitu saja.
Aku tercekat beberapa detik, belum sepenuhnya menangkap arah pembicaraan pak Salundik.
"Kasno! Kamu mendengar gak ucapanku!?"
"Eh..i-iya pak," sahutku terbata.
"Kecuali kau tak peduli dengan Sarunai, aku akan berangkat sendiri."
"Eh i-iya pak. Kita berangkat sekarang juga," balasku tanpa ragu.
Hari itu, aku lagi-lagi tidak mengajar. Kelasku untuk sementara digantikan guru lain. Tentu saja tidak ada yang berani membantah karena pak Salundik adalah kepala sekolah.
*****
Setibanya di desa Sei Bahandang, pak Salundik langsung mengajakku ke kantor desa. Di sana kami langsung diarahkan ke ruang pak sekdes, pejabat sementara yang menggantikan pambakal Dehen.
Begitu dipersilakan duduk, pak Salundik tanpa basa-basa langsung mencecar pak Sekdes tentang keberadaan tambi Uban.
"Pahari, siapa tambi Uban? Apa benar ia warga kampung ini?"
Pak Sekdes yang tadinya hendak menyulut rokok, seketika tercengang mendengar pertanyaan pak Salundik barusan. Ia tampak gelisah sekaligus tidak percaya mendengar pertanyaan pak Salundik yang tanpa tedeng aling-aling.
"Sa-sabar pahari, kita tunggu kopi sebentar. Kita bicarakan tambi Uban sembari menikmati kopi dan singkong goreng."
"Aku tidak ada waktu, nyawa anak-anakku terancam. Semakin ditunda, semakin dekat mereka dengan kematian," balas pak Salundik dengan wajah sangar.
Pak Sekdes terdiam beberapa saat, lalu celingak-celinguk memastikan tidak ada yang menguping. Tingkahnya yang janggal justru membuatku semakin penasaran, entah apa yang ia sembunyikan.
"Ta-tahu darimana tentang tambi Uban?" tanya pak Sekdes dengan kulit dahi menekuk.
Setelah menarik nafas panjang, pak Salundik lantas menceritakan apa yang disampaikan haji Badri tempo hari. Pak Sekdes terlihat manggut-manggut sebelum akhirnya buka suara.
"Memang, apa yang menimpa tambi Uban sungguh malang. Kadang aku kasihan melihat nenek tua itu. Sepanjang hidup, kemalangan demi kemalangan seolah tak mau lepas darinya."
Pak Sekdes menerawang, mengingat-ingat segala peristiwa yang dialami tambi Uban.
"17 tahun lalu, anak, menantu dan suaminya tewas mengenaskan di hulu Barito. Kelotok yang mereka tumpangi terbalik di tengah riam. Perlu berhari-hari hingga jasad mereka ditemukan.
Hanyalah si bungsu Ingei yang berhasil selamat. Entah bagaimana caranya, gadis kecil itu bisa bertahan berhari-hari di pinggir sungai di tengah belantara.
Pastilah karena kuasa Ranying Hatalla Langit, Tuhan yang maha esa, Ingei bisa hidup di tengah hutan angker penuh hantu dan binatang buas."
Untuk sesaat, aku dan pak Salundik terkesima mendengar penuturan pak Sekdes yang menyayat hati.
"Sejak itu, si Ingei dirawat oleh sang nenek si tambi Uban. Berdua mereka hidup dalam kemiskinan dan keprihatinan, hanya mengandalkan ladang warisan sang Kakek. Waktu berlalu, Ingei tumbuh jadi gadis jelita.
Ia pun diterima bekerja di kantor desa sewaktu Dehen jadi pambakal. Hingga peristiwa tragis menimpa gadis muda itu, peristiwa tragis yang membuat tambi Uban menjadi sengsara."
Suasana hening langsung menyelimuti ruangan tatkala pak Sekdes menghentikan kalimatnya. Pak Salundik yang penasaran, tidak tahan untuk tidak bertanya.
"Peristiwa tragis apa?" buru pak Salundik tak sabar.
Bukannya menjawab, pak Sekdes justru menatap kami bergantian seolah sengaja membuat kami semakin penasaran. Setelah menghela nafas, pak Sekdes akhirnya buka membuka mulut.
"Ingei bunuh diri"
"Hah!?" ujarku dan pak Salundik hampir bersamaan.
Pak Sekdes mengangguk.
"Ia ditemukan gantung diri, di pohon nangka di samping pondok mereka. Tambi Uban waktu itu menangis berhari-hari, hatinya remuk redam. Siapa pun yang melihat keadaannya pastilah menitikkan air mata. Nenek malang itu, selalu dikelilingi kematian yang memilukan hati."
Ruangan pak Sekdes kembali hening. Aku dan pak Salundik juga bungkam, sulit percaya dengan apa yang kami dengar.
"Pak, kenapa ia bunuh diri?" Aku akhirnya bertanya karena penasaran.
Pak Sekdes tiba-tiba berdiri menuju pintu. Ia menjulurkan kepala, memastikan pegawai kantor desa sedang bekerja di tempatnya masing-masing. Aku dan pak Salundik hanya saling lirik melihat perilakunya yang ganjil.
Setelah yakin tidak ada yang mencuri dengar, pak Sekdes kembali dengan raut wajah gelisah. Ia menarik nafas dalam-dalam lantas mencondongkan badan.
"Ukar..." ungkap Sekdes setengah berbisik.
Aku dan pak Salundik tersentak di tempat duduk. Lebih-lebih pak Salundik, matanya yang sipit bagai orang china seketika membesar.
"Ukar...?" buru pak Salundik.
Pak Sekdes kembali mengangguk-angguk di tempat duduk.
Belum sempat ia bicara, seorang ibu-ibu masuk ke ruangan membawa nampan berisi tiga gelas kopi panas dan sepiring singkong goreng.
"Nikmati dulu kopinya, kita ngobrol-ngobrol sambil merokok," tawar pak Sekdes.
Seperti biasa, pak Salundik bertingkah ganjil apabila menerima kopi dari orang asing. Ia menangkupkan tangan di gelas kopi yang masih mengepul, mencelupkan jari, lalu mengoleskan pada telapak tangan kiri.
Tapak tangan yang berisi tetesan kopi panas lantas ia seruput. Meski belum mengerti maksudnya, kali ini aku mengikuti apa yang dilakukan pak Salundik.
"Tenang, pahari. Aku tidak mungkin mencelakaimu," sindir pak Sekdes sedikit tersinggung.
Pak Salundik tersenyum.
"Bukan kamu yang kurisaukan. Di kampung ini, angin pun bisa bicara. Di suatu tempat, aku merasakan ada orang yang mengawasi kita sedari tadi. Di suatu tempat di luar sana, ada orang yang mampu mendengar sejauh tujuh gunung dan tujuh bukit.
Sejauh itu pula ia mampu mengirim arwah orang mati untuk mencelakai siapa saja."
Gantian, kini pak Sekdes yang tersentak. Ekspresinya mendadak tegang dan gelisah. Butir-butir keringat mulai muncul di dahinya yang pucat.
"Tenang saja, ia takkan mengincarmu. Sebaiknya kau ceritakan apa yang terjadi antara Ukar dan mendiang Ingei," lanjut pak Salundik.
Pak Sekdes kali ini benar-benar bungkam. Rasa takut akan mengalami nasib tragis seperti Dehen membuat mulutnya terkunci rapat.
Aku dan pak Salundik yang membujuknya untuk buka suara hampir saja menyerah. Setelah diancam kalau pak Salundik akan mengirim tujuh kamiyak putih ke rumahnya malam ini, barulah ia mau bicara.
"Ukar dan Ingei terikat asmara, hingga mereka melanggar norma adat dan agama. Namun, rupanya Ukar enggan bertanggung jawab. Tak kuat menanggung malu, Ingei gantung diri dengan janin di perutnya. Hanya itu selentingan yang kudengar, yang lainnya aku tidak tahu," tutur Sekdes gugup
Pak Salundik terdiam beberapa saat. Dugaanku, ia telah menemukan benang merah atas semua yang telah terjadi.
"Sekarang semua semakin jelas. Aku hanya perlu meminta Ukar baik-baik untuk mencabut parang maya yang ia kirim pada keluargaku.
Panah berantai hanya bisa dicabut oleh yang mengirim. Hanya saja, masih ada satu pertanyaan, kenapa Kamiyak tambi Uban hendak mencelakai Kasno? Selain itu, apa maksudnya adat diisi janji dilabuh?"
Pak Sekdes hanya menggeleng-gelengkan kepala, tidak memahami maksud pak Salundik. Jujur, aku juga penasaran dengan yang disampaikan pak Salundik.
"Pak Sekdes, bisakah kau antarkan kami ke pondok tambi Uban? Mungkin ada sesuatu yang bisa kutemukan di sana," lanjut pak Salundik
Setelah menimbang-nimbang, pak Sekdes mengangguk sembari berucap, " baiklah, kuantar kalian ke sana. Semoga masalah ini cepat selesai."
*****
Mengendarai dua buah sepeda motor, kami bergerak ke arah hulu desa, menuju pondok tambi Uban yang ada di tengah hutan. Pak Salundik berboncengan dengan pak sekdes, sedangkan aku berboncengan dengan salah satu staff kantor desa.
Lelaki di depanku ini tampaknya seorang pendiam. Saat kuajak bicara, ia hanya menjawab seadanya. Kuperkirakan usianya sekitar 35 tahun.
Karena ia enggan bicara, sepanjang perjalanan kami hanya saling diam saja.
20 menit berlalu, motor kemudian berbelok ke arah kiri menyusuri jalan setapak yang membelah lebatnya huran belantara. Suara-suara burung, serangga dan monyet langsung terdengar riuh menyambut kehadiran kami.
Selang beberapa saat, di hadapan kami terhampar sebuah ladang yang tidak terurus. Ilalang dan belukar tumbuh liar di antara pohon singkong dan sayuran yang tidak terawat. Di ujung ladang, berdiri sebuah pondok reot yang hampir roboh.
Sekilas, pondok itu lebih layak dijadikan kandang babi ketimbang tempat manusia tinggal dan menetap.
Setelah memarkir motor di bawah pohon karet, kami melangkah menuju pondok tambi Uban dengan hati-hati.
Bukan hanya belukar berduri, di tempat seperti ini banyak ular dan serangga yang berbahaya. Entah apa yang sebenarnya dicari pak Salundik, aku hanya ikut-ikutan saja kemari. Namun, begitu dekat dengan pondok, sesuatu yang janggal langsung bisa kami rasakan detik itu juga.
Pondok ini mengeluarkan aroma busuk yang sangat menyengat. Lebih busuk dari aroma bangkai tingkus atau ikan busuk.
Staff desa yang tadi kubonceng tergesa berlari ke salah satu batang pohon, membungkukkan badan dan memuntahkan isi perutnya.
Melihatnya muntah, aku jadi ikut-ikutan merasa mual. Tanpa pikir panjang, aku segera mengeluarkan isi perut di atas rerumputan di samping pondok tambi Uban. Aku muntah berkali-kali hingga tenagaku terkuras. Mataku bahkan sampai berair dan hidungnya mengeluarkan ingus.
Setelah agak mendingan, aku bergegas bangkit menyusul pak Salundik dan sekdes ke belakang pondok. Sembari menutup hidung menggunakan kerah baju, aku melangkah terhuyung-huyung menyusul mereka berdua.
Mendadak aku terkesiap demi melihat pak Salundik dan pak sekdes yang hanya berdiri mematung di depan pohon nangka. Mereka hanya berdiam diri sambil memencet hidung. Rasa mualku semakin menjadi-jadi, menyadari apa yang mereka saksikan.
Di hadapan kami, ada sosok mayat yang tergantung kaku menggunakan sarung lusuh menjerat leher. Tubuhnya membiru dirubung lalat dengan mata melotot dan lidah terjulur.
Di pohon nangka yang telah tua dimakan usia, seorang pemuda memutuskan mengakhiri hidup dengan cara tragis.
Tepat tengah hari sekitar pukul 12 siang lewat beberapa menit, desa Sei Bahandang geger. Kabar kematian Ukar yang gantung diri segera menyebar dari mulut ke mulut, menyeruak ke segala penjuru kampung.
Ibu-ibu, para bapak bahkan anak-anak turut bergunjing. Ceritanya tentu saja ditambah-tambahkan dari keadaan sebenarnya. Ladang terbengkalai yang berada di dalam hutan, kini dipenuhi oleh warga yang penasaran akan berita kematian dari adik ipar Gerson tersebut.
Polisi dan tentara yang dibantu warga, tampak sibuk menurunkan jasad Ukar yang telah mengeluarkan bau tidak sedap. Ibunya Ukar berusaha tegar melihat jasad sang anak yang mati tidak wajar. Ia menggengam erat jemari anak perempuannya, istrinya Gerson.
Dengan mata berkaca-kaca, nenek renta itu menyandarkan kepala di bahu anak perempuannya. Rambutnya yang sebagian memutih tergerai acak-acakkan, bergoyang pelan tertiup angin. Matanya yang mulai rabun telah sembab dengan air mata.
Rupanya kemalangan demi kemalangan terus menimpa mertuanya si Gerson. Di rumah, cucu kesayangannya dipasung bak orang gila. Dua bulan lalu, sang suami meninggal dunia karena penyakit misterius.
Kini, anak lelakinya tewas dengan cara gantung diri. Sungguh suatu kesialan hidup yang tidak ingin dilalui oleh siapa saja.
Begitu jasad Ukar diletakkan di atas tanah, sang ibu berhamburan memeluk jasad anaknya.
Siang itu, suasana haru langsung menyelimuti sekitar pondok tambi Uban. Tidak dihiraukan bau busuk yang menyengat, tangis sang ibu seketika meledak. Ibunya Ukar menangis meraung-raung bagai orang gila.
Tangisannya sungguh menyayat hati, membuat siapapun yang mendengar turut larut dalam duka.
Ia rebah di atas dada Ukar yang terbujur kaku dan membiru kehitaman. Tubuh kurus wanita tua itu mulai kejang-kejang sementara air mata berurai tanpa henti.
Anaknya perempuannya, kakaknya Ukar, memeluk erat si ibu agar ia tenang. Namun percuma, keduanya justru semakin terisak karena duka yang mendalam. Ibu dan anak berpelukan dengan cucuan air mata. Tubuh mereka berguncang-guncang karena sesenggukan.
Warga yang merasa kasihan berusaha menenangkan meski tiada hasil.
Tidak jauh dari situ, Gerson duduk bersimpuh menahan isak. Tubuhnya gemetar dengan air mata mengalir deras di pipi. Ia memandang kosong ke jasad sang adik ipar yang tergeletak tak bernyawa.
Ada tatap penyesalan di garis wajahnya yang mulai keriput. Kulirik, ia begitu terpukul dengan kematian adik istrinya itu.
Suasana di sekitar pondok tambi Uban seketika berubah menjadi mencekam.
Ibunya Ukar mendadak bertingkah seperti orang kesurupan, merangkak kesana-kemari dengan jerit kesedihan. Seperti anjing liar, nenek kurus itu mengeluarkan liur dengan mata melotot.
Tangannya yang kurus mencakar-cakar tanah, menatap lurus ke arah menantu.
Beberapa orang bergidik ngeri, sebagian merasa miris. Warga yang bergerombol tiba-tiba berhamburan. Jeritan panik dan ketakutan segera menggema, sewaktu ibunya Ukar tiba-tiba menerkam Gerson penuh amarah.
"Semua salahmu! Semua salahmu! Seemuuaaa saaalaahhmuuuu… Hu…Hu…Hu…!!!"
Warga mulai riuh melihat pergulatan mertua dan menantu. Ibunya Ukar memukul-mukul dada Gerson sambil terus menangis kencang.
Suaranya melengking dan tatapannya nyalang. Wanita malang itu benar-benar telah gelap mata. Dicakar-cakarnya wajah Gerson penuh kebencian.
Sang menantu hanya pasrah, tersungkur di atas tanah.
Pukulan dan cakaran dari ibu mertua menghantam wajahnya bertubi-tubi, Gerson bergeming. Dibiarkannya ibu mertua menuntaskan amarah dan kesedihan meski bibirnya pecah dan hidungnya mengeluarkan darah. Baju kaus yang ia kenakan telah robek, terkena goresan kuku tajam ibu mertua.
Warga kembali gaduh, berusaha menyelamatkan Gerson dari kebrutalan ibu mertuanya. Setelah lima orang mencengkram lengan dan tubuhnya, ibu mertuanya Gerson langsung kejang-kejang sebelum akhirnya hilang kesadaran.
Istrinya Gerson berlari kencang dengan air mata berlinang lalu merangkul tubuh ibunya yang tergeletak pingsan. Ia menangis sejadi-jadinya hingga suaranya nyaris tak terdengar lagi.
Aku dan pak Salundik yang menyaksikan semua peristiwa itu hanya bisa melongo, begitu pula polisi dan warga lainnya. Ada satu pertanyaan di benakku, entah kenapa ibunya Ukar seperti menyalahkan menantunya sendiri atas kematian si buah hati.
*****
Petugas telah selesai memasang garis polisi di sekitar tempat Ukar ditemukan gantung diri. Bisik-bisik miring di kalangan warga siang itu mulai beredar. Seolah tak punya empati kepada keluarga korban, berbagai selentingan tidak enak tentang kematian Ukar mulai terdengar.
"Pasti si Ukar kena saluh tambi Uban. Kena kutuk!"
"Bukan, pasti ada hubungannya dengan Gerson. Kau lihat kan, tadi mertuanya justru menyerang Gerson. Pasti ulahnya."
Bisik-bisik tak jelas dari mulut warga kian tak terkendali, seperti ikan saluang berebut ludah. Suara-suara miring baru berhenti sewaktu pak Sekdes membentak. Dengan mata melotot dan tangan terkepal, pak Sekdes memarahi warga yang bergosip tidak jelas.
"Dasar tak punya hati! Orang sedang berduka, kalian malah bergosip. Bubar! Bubar! Kalau tidak membantu, cepat bubar! "
Bentakkan pak Sekdes hanya mendapat gumaman sinis warga. Meski sudah tidak lagi bergosip, mereka tetap enggan membubarkan diri.
Polisi juga telah selesai mencatat keterangan dari kami bertiga yang jadi saksi mata, yaitu aku, pak sekdes dan pak Salundik. Menurut keterangan pihak puskesmas, Ukar meninggal sekitar tiga hari lalu.
Berdasarkan kesimpulan pihak kepolisian, Ukar dipastikan tewas bunuh diri. Tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan atau bekas perkelahian.
Jasad Ukar lantas diserahkan kepada pihak keluarga untuk disemayamkan.
Warga lalu bergotong-royong membuat tandu sederhana kemudian menggotong jasad Ukar ke rumah duka. Begitu pula ibunya Ukar yang belum sadarkan diri, ia juga dibawa pulang menggunakan tandu.
*****
Sepanjang perjalanan pulang, pak Salundik tidak bicara sekalipun. Tatapannya nanar seperti orang hilang akal. Aku bisa mengerti kerisauannya, kematian Ukar membuatnya sangat khawatir. Parang maya jenis panah berantai, hanya bisa dicabut oleh orang yang mengirimnya.
Namun, rupanya Ukar membawa kutukannya hingga ke alam baka.
Dugaanku, entah bagaimana caranya, Ukar sengaja mengirim parang maya untuk mencelakai pak Salundik dan anak-anaknya. Alasannya mungkin karena pak Salundik telah menggagalkan rencananya.
Atau, pak Salundik sejak awal telah mengetahui rencana busuk si Ukar. Dengan memanfaatkan Bawi, si Ukar meminta pak Salundik untuk mencelakai si Dehen, pambakal terpilih.
Semuanya seakan menjadi jelas, sewaktu pak Salundik bersikap hati-hati ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah pak Gerson. Tingkah ganjilnya tempo hari rupanya punya alasan. Namun, masih ada benang kusut yang sulit kuurai.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan Bawi? Kenapa Kamiyak edan itu mengincarku?
Arrrrgggghhh…! Semakin dipikir, semakin kepalaku pening.
*****
Waktu terus bergulir, tidak terasa tiga hari telah berlalu sejak kematian Ukar. Selama tiga hari itu, pak Salundik tidak sekalipun menjalankan tugasnya di sekolah. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, berusaha menyembuhkan Sarunai dan Agau yang keadaannya semakin memburuk
Entah sudah berapa ekor babi dan ayam yang dipotong untuk melakukan ritual, tapi keadaan kedua anaknya tak kunjung membaik. Si Sarunai makin kurus, tubuhnya tersisa kulit membungkus tulang. Ia yang dulu memancarkan pesona gadis jelita, kini sulit dikenali.
Tergeletak tak berdaya di atas tikar purun, Sarunai tak ubahnya mayat hidup.
Hatiku menangis demi melihat keadaannya yang semakin lemah dan rapuh. Bagai diiris-iris pisau tajam, hatiku benar-benar terasa perih.
Amarah di dadaku menggelegak hendak menuntut balas kepada siapapun pelakunya. Namun sayang, tidak ada apapun yang bisa kulakukan kecuali berdoa demi kesembuhannya. Jika pak Salundik saja tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi aku yang tidak punya kemampuan sama sekali.
Terbaring di samping sang kakak, keadaan Agau juga tidak jauh berbeda. Hanyalah kembang kempis di dada yang menandakan bahwa bocah ini masih bernyawa. Wajahnya semakin pucat dan bibirnya semakin kering, pertanda parang maya di tubuhnya masih mengganas.
Sore itu, pak Salundik sedang marabun. Yaitu mengasapi tubuh Sarunai dan Agau menggunakan kayu gaharu yang dibakar di sebuah tungku kecil. Sembari melantunkan doa-doa, pak Salundik memukul-mukul tubuh kedua anaknya bergantian menggunakan daun sawang.
Daun yang menurut kepercayaan orang Dayak mampu mengusir roh jahat, ia pukul di bagian dahi, pundak, telapak tangan dan kaki. Selain itu, kunyit yang telah dihaluskan ia oleskan di telapak tangan dan kaki kedua anaknya, berharap penyakit mereka segera pergi.
Ritual marabun seketika terhenti, tatkala di depan pintu berdiri seorang nenek tua dengan wajah lelah. Kami yang ada ruang tengah terperanjat, menoleh ke ibunya mendiang Ukar dengan segudang pertanyaan.
Nenek itu menatap tajam ke arah pak Salundik tanpa sedetik pun berkedip. Kain putih terikat di kepalanya, menandakan ia sedang berkabung. Orang Dayak menyebutnya pali liau. Pastilah ada urusan teramat penting hingga membuatnya berani melanggar pantangan.
Karena menurut kepercayaan orang Dayak, keluarga yang berkabung dilarang melakukan perjalanan jauh, berburu atau membuka ladang selama 40 hari. Bagi yang melanggar, dipercaya akan mendapat kesialan.
"Salundik, aku melanggar pantangan pali liau demi datang kemari. Aku datang membawa rahasia yang dipendam Ukar hingga ajal menjemput. Kedua anakmu dan cucuku bisa kau selamatkan, asalkan kau balaskan kematian Ukar," ungkap ibunya Ukar dengan suara penuh kesedihan.
"Ra-rahasia? Membalas kematian Ukar?" tanya pak Salundik heran.
Masih berdiri di depan pintu, si nenek mengangguk pelan.
Pak Salundik terdiam, menelaah maksud perkataan mertuanya Gerson. Ia memandang lekat-lekat kepada si nenek sembari menarik nafas dalam-dalam. Setelah cukup lama tanpa suara, ekspresi wajahnya mendadak berubah seolah menyadari sesuatu.
Ada rasa bersalah sekaligus amarah yang terpancar di sana. Sorot matanya seketika menyala-nyala bagai api yang membakar jerami.
"Baiklah, bila itu maumu. Apapun akan kulakukan demi anak-anakku. Adat diisi, janji dilabuh," sahut pak Salundik dengan suara bergetar.
… berpotato…
Sampai Jumpa Malam Rebo yak 😁
Bagi yang gak sabar pengen baca cerita ini mpe tamat, 3 Bab terakhir sudah tersedia di @karyakarsa_id
Aku tercekat beberapa saat menyaksikan pemandangan mengerikan di depan mata. Tangan pak Salundik melambai-lambai di permukaan, gelagapan meminta tolong. Helai demi helai terus membungkus badannya tanpa ampun.
Tubuhnya timbul tenggelam diseret arus sementera jeritnya semakin melemah.
Aku ingin meminta maaf karena tidak bisa berbuat apa-apa. Hati kecilku merasa bersalah tapi memang tidak ada yang bisa kulakukan kecuali terdiam mematung.
Tepat pukul lima sore, aku dan pak Salundik ditemani pambakal Bahat dan mantir Tuweh sudah berada di tepi sungai Barito. Kami juga berhasil mendapatkan sebuah perahu jukung milik warga yang bersedia disewa untuk kepentingan ritual di tengah sungai.
"Ada pelampung, mang?" tanyaku.
"Kalau mau, ada ban dalam yang bisa dijadikan pelampung. Biasa digunakan anakku. Kayaknya muat dengan badan pian," sahut pemilik jukung.
"Gerson, apa yang kau sembunyikan," ujar pak Salundik lirih, hampir tidak terdengar.
"Sepertinya aku harus bertemu Gerson. Firasatku mengatakan ada yang ia sembunyikan. Mungkin, ada jawaban siapa pengirim parang maya misterius itu," lanjutnya.
Setelah pamit, rombongan kami lantas meninggalkan rumah duka, menyusuri jalan desa menuju rumah pak Gerson. Kali ini, pak Sekdes juga ikut, entah apa tujuannya.
Setelah beberapa menit berjalan, akhirnya kami tiba di rumah pak Gerson.
Pria itu lantas memperkenalkan dirinya dengan nama Rinto, yang ternyata masih sepupunya mendiang pambakal Dehen. Keterangan itu sontak membuatku dan pak Salundik kaget sekaligus waspada. Rupanya, Rinto adalah calon pambakal bohongan yang diceritakan pak Gerson tempo hari.
Kendati demikian, aku dan pak Salundik berusaha menahan diri dan bersikap biasa. Apalagi Rinto lantas meminta maaf atas kesalah pahaman beberapa malam kemaren.
Aku menggigil dan tanganku gemetar, saat dinginnya bilah mandau yang tajam menyayat-nyayat tenggorokan hingga jakunku terasa sangat sakit. Belum cukup, pak Salundik kini menyayat punggungku seperti memotong roti. Namun, anehnya tidak ada darah yang keluar.
Hanya perih yang terasa di punggung meski tidak ada luka segores pun."Sinikan tanganmu!" sentak pak Salundik.
Masih terheran-heran, kubiarkan pak Salundik menyayat lenganku. Aku merasa ngeri saat mandau itu berusaha merobek kulit dengan kuat.