Bang Beben Profile picture
Jan 5 63 tweets 9 min read
Sanda : Kuntilanak Berwajah Lebar

Bab 7 : Teror Sandah

#ceritaserem #threadhoror #ceritahoror #bacahorror
Ketika malam datang, desa Tumbang Lais benar-benar sunyi. Sebelumnya, selepas magrib pun desa ini telah sepi. Apalagi setelah tersiar kabar ada warga yang mati jadi hantu, membuat kampung ini tak ubahnya desa mati.
Saat-saat seperti ini, biasanya ada beberapa warga yang membawa serapang untuk menombak ikan di sungai, menyusuri lanting demi lanting. Akan tetapi, tampaknya malam ini mereka lebih memilih berdiam diri di rumah sambil menonton sinetron di televisi.
Tiang listrik dipukul delapan kali oleh seorang petugas penjaga malam, menunjukkan waktu telah jam 8 malam. Tiga orang pria asing melangkah dari penginapan terapung yang ada di dermaga, berjalan menyusuri jalan desa yang sunyi.
Tujuan mereka bukanlah ke hulu atau ke hilir, tapi ke "darat".

Berbeda dengan di Jawa yang menggunakan arah mata angin sebagai patokan, di Kalimantan masyarakat menggunakan sungai sebagai penentu arah. "Darat", adalah untuk daerah yang posisinya jauh dari bantaran sungai.
Tiga orang itu terus melangkah di malam yang sunyi tanpa bertemu siapapun di sepanjang jalan. Hanya satu orang yang mempunyai senter, yaitu yang paling tua dan berpengalaman. Dua orang lainnya yang masih muda, hanya mengandalkan cahaya temaram dari lampu teras rumah warga.
Tiga orang itu bergerak terburu, sewaktu lampu rumah yang mereka tuju mulai terlihat samar-samar dari kejauhan.

*****
Pukul 9 malam, suasana duka masih menyelimuti kediaman mendiang Apri. Waktu itu, rumah kecil di ujung kampung itu baru selesai mengadakan tahlilan. Lampu-lampu telah dimatikan, kecuali lampu teras dan lampu kamar.
Di pembaringan, ayah dan ibunya Apri tidak sanggup menahan sedih. Walau si ayah berusaha mengikhlaskan, tapi si ibu sangat tidak terima. Wanita malang itu larut dalam duka, hatinya hancur sehancur-hancurnya perasaanya seorang ibu.
Meski anaknya kerap membuat onar, tapi ibu tetaplah ibu. Ia tidak terima anaknya meninggal dengan cara mengenaskan, muntah darah dan tubuh membiru.
Belum usai ayah dan ibunya Apri meratapi kesedihan, mereka dikagetkan dengan suara ketukan di pintu depan yang diiringi ucapan salam. Awalnya mereka tidak menghiraukan karena sangat awam orang kampung bertamu semalam ini.
Apalagi, kabar Misnah bangkit jadi hantu membuat penduduk takut keluar rumah.

Namun, suara ketukan dan ucapan salam semakin kencang, membuat pasangan suami itu saling lirik. Didiamkan beberapa menit, gedoran di pintu depan tak juga berhenti hingga kaca jendela bergetar.
Karena kesal si suami akhirnya bangkit.

"Waalaikum Salam," jawab ayahnya Apri.

Setelah pintu dibuka, ia kaget dengan tiga orang tamu asing yang berdiri di hadapannya. Ternyata, para tamunya adalah tiga orang polisi yang tadi sore ada di makam Misnah.
Ayahnya mendiang Apri mempersilakan para tamunya masuk, lampu dinyalakan dan kopi dihidangkan. Malam itu, rumah mendiang Apri menjadi ramai dengan suara-suara obrolan penuh kecurigaan.

*****
Julak Sarkani duduk termenung di depan pondoknya, menikmati kopi di bale-bale ditemani cahaya bulan. Ia sibuk mengutak atik radio tua, mencari gelombang AM yang menyiarkan lagu keroncong kesukaannya.
Memang, malam ini ia sengaja tidur di ladang, sedangkan anak dan istri berada di rumah.
Sudah beberapa hari ini ladang tadah hujannya tak terawat, terlalu sibuk mengurusi kematian Misnah yang janggal.
Bulir-bulir padinya yang mulai besar diserbu kawanan burung pipit, tikus, belalang dan hampangau.

Setelah beberapa saat, julak Sarkani tersenyum puas. Saluran radio yang menyiarkan lagu keroncong telah didapat, meskih tumpang tindih dengan suara kemeresek.
Kakek itu lantas meraih bambu runcing yang tergeletak di samping. Bambu yang ia genggam memang berbeda dibandingkan bambu lainnya. Bambu itu lurus sepanjang tombak, tanpa ruas seperti pipa.
Ia tak menyangka, kalau akhirnya akan menggunakan bambu warisan leluhurnya itu. Dahulu sekali, bambu yang diberi nama kakujuk langit itu pernah digunakan buyutnya untuk membunuh seorang penyihir yang susah mati. Dan kini, sepertinya akan ia gunakan untuk hal yang sama.
Julak Sarkani merapatkan sarung yang membekap tubuh, karena angin malam di sekitar pondok benar-benar dingin menembus kulit. Seketika ia merasa was-was tatkala embusan angin yang sangat pelan membuat bulu-bulu halus di lengan dan tengkuknya berdiri tegak.
Julak Sarkani celingak-celinguk, karena merasa ada yang memperhatikan. Suara lolongan anjing liar dari hutan sekitar membuatnya merasa tidak tenang. Konon, suara lolongan anjing menandakan ia sedang melihat mahluk halus berkeliaran.
Pak tua itu menajamkan telinga, karena ia mendengar suara-suara lirih seperti tangisan seorang wanita. Semakin lama, suara-suara lirih itu terdengar kian jelas, sayup-sayup di antara suara jangkrik dan karariang.
Julak Sarkani kemudian berdiri, menggenggam bambu tanpa ruas di tangan kiri dan senter di tangan kanan. Ia membaca bismillah, mengumpulkan keberanian. Setelah cukup yakin, ia menyorotkan senter ke sekeliling, mencari sumber suara.
Cahaya senter bergerak pelan, menyorot hamparan padi dan pepohonan di sekitar pondok. Saat itu, julak Sarkani benar-benar gemetar karena suara lirih itu semakin terdengar jelas.
Julak Sarkani mendadak pucat, karena suara rintihan itu terdengar persis berasal dari lumbung padi yang ada di belakangnya. Dengan jantung deg-degan, ia mulai berbalik sangat perlahan seraya menahan nafas.
Julak seketika tersentak, karena cahaya senternya menyorot sosok putih sedang berjongkok di depan pintu lumbung padinya. 

Ia tercekat beberapa saat, merapal doa-doa pengusir jin yang ia kuasai.
Darahnya berdesir dan peluh mulai membasahi tubuhnya. Lantunan ayat-ayat suci terus ia ucapkan dengan lantang. Namun, sosok putih itu hanya berdiam mematung, tak bergerak sedikit pun. Takut-takut, julak Sarkani mendekat dengan mengarahkan ujung bambu ke sosok di depannya.
Setelah jaraknya hanya beberapa meter, julak Sarkani menarik nafas lega. Ternyata sosok putih yang ia kira hantu, hanyalah tumpukan karung berisi pupuk kandang. Julak Sarkani kembali melangkah ke bale-bale, menikmati kopinya yang sudah dingin.
Ia terduduk lesu, sembari terus mengucap istighfar tanpa henti supaya detak jantungnya cepat normal.

Baru saja nafasnya teratur dan jantung berdegup normal, kupingnya yang tajam kembali mendengar suara-suara aneh. Seperti suara-suara langkah kaki dan kemeresek tangkai padi.
Julak Sarkani pun memutuskan untuk mengecek, mungkin babi hutan atau ular.

Dari tempat duduk, senter ia arahkan ke hamparan padi di depan. Tangkai-tangkai padi bergerak-gerak seperti ada yang bersembunyi di situ.
Julak lalu melempar sebuah batu seukuran kepalan tangan, tapi seketika ia terlonjak dengan jantung melompat-lompat.

"Astagfirullahul azim…" ucap julak Sarkani ketakutan.

Di hadapannya, muncul wajah mengerikan secara perlahan dari hamparan padi, sejengkal demi sejengkal.
Cahaya senternya menyorot wajah selebar nyiru yang sangat pucat. Biji mata sebesar bola kasti tampak menonjol keluar, dengan seringai lebar yang menyeramkan.

Sontak julak Sarkani gelagapan, tubuhnya gemetaran dan jantungnya terasa melompat-lompat tidak karuan.
"Astagfirullahul azim…Astagfirullahul azim…Astagfirullahul azim…!"

Julak mengucap istighfar berulang-ulang dengan sangat gugup. Apalagi, hantu di hadapannya telah berdiri sempurna di antara hamparan padi.
Berwajah lebar, rambut keriting menggantung dan berbaju putih, julak Sarkani sadar hantu itu bukanlah kuntilanak biasa.

"Sandah…" desis julak pasrah.

Di hadapannya, telah berdiri sosok Sandah, kuntilanak berwajah lebar.
Kedua lengan sandah itu bergerak-gerak aneh, memperlihatkan kuku-kukunya yang besar bak pisang dan tajam seperti belati.

Julak merasakan tubuhnya mendadak sangat dingin bagai disiram air es, sementara bibirnya bergetar mengucap doa-doa pengusir setan.
Hantu sandah itu kembali menyeringai lebar sambil melayang, lalu melesat menyerang julak Sarkani yang terpaku di tempat.

Beruntung julak cukup sigap. Bambu tanpa ruas dengan cepat ia sabet membuat sandah itu terpental ke belakang lalu lenyap seketika.
Sedetik kemudian terdengar suara tawa melengking yang membuat bulu kuduk siapapun yang mendengar akan bergidik ngeri.

"Hei, Misnah! Bukan aku sasaran amarahmu!" bentak julak lantang, menutupi rasa takut yang menyelimuti.

"Kih… kih…kih…"
Suara tawa tanpa wujud itu tetap menggema di gelap malam, berpindah-pindah di sekitar pondok. Selang beberapa waktu, suara tawa itu menghilang, berganti dengan suara kepakan sayap jangkrik serta hewan-hewan malam.
Meski suara tawa itu telah benar-benar hilang, julak Sarkani masih syok di tempatnya berdiri. Setelah yakin hantu sandah itu benar-benar pergi, julak Sarkani melangkah terburu-buru menuju desa.

*****
Ibunya Apri menangis tersedu di pelukan sang suami. Berurai air mata, ia menceritakan detil demi detil kejadian tragis yang menyebabkan anaknya mati dengan cara tak wajar.
Kecuali Letnan Johar, dua orang polisi muda yang duduk di hadapannya kadang bergidik, kadang mendelik dan kadang saling lirik.
Hanya Letnan Johar yang memperhatikan dengan seksama, menyerap kata demi kata seraya menyalakan tombol play dan record pada walkman yang ia taruh di atas meja. Sedanglan dua orang polisi disampingnya, mereka antara percaya dan tidak percaya dengan penuturan ibunya almarhum Apri.
"Pak polisi, sebaiknya pian hati-hati. Kampung ini dikuasai Nini Tuha. Kalau tidak, pian akan celaka seperti anak saya, hu…hu…hu…"

Ibunya Apri meraung-raung dalam pelukan suami. Tubuhnya sampai berguncang-guncang karena sesengggukkan.
Si tua Johar tercenung beberapa saat, akalnya sulit menerima ada orang mati karena perkara gaib. Ia memang pernah sekali melihat hantu, tapi itu dahulu sekali waktu ia masih muda.
Kata ibunya Apri barusan, anaknya tewas karena kutukan Nini Tuha. Malam kedua setelah penguburan Misnah, Apri sempat melihat nenek aneh itu di pemakaman. Waktu itu sekitar pukul 12 malam, Apri baru pulang nonton acara dangdutan di desa yang berada di hilir sungai.
Sewaktu melewati pemakaman, ia melihat seorang nenek bertingkah mencurigakan.

Sadar yang ia lihat adalah Nini Tuha, Apri langsung lari ke rumah dalam keadaan ketakutan. Malam berikutnya, Apri tewas mengenaskan bermandikan darahnya sendiri.
Keesokan paginya, tersiar kabar bahwa jasad Misnah telah dicuri.

Melihat si ibu masih berurai air mata, Letnan Johar lantas menoleh kepada ayahnya Apri yang tampak lebih tenang.
Sebagai polisi, ia harus mengkesampingkan hal mistis terkait kematian seseorang. Baginya, seseorang akan mati karena sakit, kecelakaan, bunuh diri, atau dibunuh.

"Sanak, tolong gambarkan bagaimana kondisi tubuh anak pian sewaktu hendak dimandikan," pinta Johar.
Ayahnya Apri menarik napas panjang, mengingat-ingat kondisi jenazah anaknya sebelum dikuburkan.

"Sewaktu hendak dimandikan, jasad anakku terasa hangat di bagian dada. Sungguh aneh, ia layaknya orang yang tidur pulas meski napas dan detak nadinya tidak ada.
Hanyalah karena pak mantri yang menyatakan ia telah meninggal secara medis, makanya anakku akhirnya kami makamkan."

Ayahnya Apri terdiam sejenak, menatap kosong ke arah walkman di atas meja. Letnan Johar menoleh ke samping.
"Sudah dicatat?" tanya Johar pada serda Budi.

"Sudah, letnan," jawab si anak buah sambil mengangguk.

"Ada lagi yang janggal?" tanya Letnan Johar lagi pada ayahnya mendiang Apri.

"Biru tubuhnya," timpal si ibu tiba-tiba, dengan mata masih berkaca-kaca
Letnan Johar menoleh pada sumber suara. Ia tahu, ia akan mendapatkan petunjuk penting di rumah ini.

"Saat dimandikan, biru-biru di tubuh anakku menghilang. Kecuali…"

"Kecuali apa?"
"Kecuali di bagian leher. Terutama di bagian tengkuk. Warnanya biru kehitaman, walaupun mulai memudar. Sepertinya warna biru itu berasal dari situ. Bentuknya garis-garis mengikuti urat leher hingga ke dada."
Letna Johar mengangguk-angguk mendengar keterangan dari ibunya almarhum Apri. Ia sudah mendapatkan kesimpulan yang ia butuhkan meski belum yakin 100 persen.

"Sanak, kenapa tidak kita autopsi saja jasadnya Apri supaya penyebab kematiannya bisa dipastikan," usul Letnan Johar.
Pasangan suami istri itu menggeleng. Mereka merasa kasihan dengan jasad si anak apabila makamnya harus dibongkar. Lagi pula, autopsi hanya bisa dilakukan di rumah sakit di ibukota kabupaten yang jaraknya 8 jam perjalanan.
Itu pun harus ditempuh melalui sungai dan darat. Belum lagi masalah biaya dan larangan agama, meski ada perbedaan pandangan di kalangan ulama.

"Baiklah, aku menghormati keputusan kalian," ungkap polisi Johar.
Polisi sarat pengalaman itu mengernyitkan dahi, sedang berpikir. Hilangnya jasad Misnah, kematian Apri yang tak wajar, serta munculnya sosok Nini Tuha di pemakaman, ia yakin saling berkaitan.
Karena malam semakin larut dan informasi tambahan sudah di dapat, Letnan Johar mengajak kedua anak buahnya pamit. Ayah dan ibunya Apri pun mengantarkan mereka ke depan. Akan tetapi sewaktu pintu terbuka, semua orang tersentak.
Di depan rumah, di halaman yang berupa tanah liat, terdapat pemandangan yang sangat ganjil. Seekor burung hantu berukuran lebih besar dari ayam aduan, tegak menghadang di tengah jalan. Ayah dan ibunya Apri seketika gemetar, seolah kutukan akan segera menghampiri mereka.
Sebagai polisi yang berpengalaman, Letnan Johar dapat menangkap ekspresi ketakutan di wajah pasangan suami istri itu. Tetapi sikap berbeda justru ditunjukan oleh dua orang polisi muda lainnya. Pratu Berto yang paling muda bergegas mengambil sapu, hendak memukul burung hantu itu.
"Berhenti, biarkan!" tegur ayahnya Apri.

Pratu Berto melirik ke arah Johar dan dibalas dengan anggukan. Polisi muda itu dengan terpaksa mengurungkan niat dan meletakkan sapu di tempatnya.
Letnan Johar hanya diam mematung, menatap lekat-lekat mata bulat besar si burung hantu yang ada di hadapannya. Ia seketika tersentak, mundur dua langkah lalu meraih pistol revolvernya dan menggenggamnya sangat erat.
Pistol koboi itu bahkan mengeluarkan bunyi getaran besi karena saking eratnya genggaman Johar.

"Nini Tuha?" dengusnya.

Karena saat beradu mata dengan burung hantu itu, ia merasa sedang beradu mata dengan seorang manusia.

…berkentang…

Sampai jumpa malam senin.
Tabe 🙏

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Bang Beben

Bang Beben Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @benbela

Jan 3
-FULL THREAD-
SANDAH : Kuntilanak Berwajah Lebar

Teror bermula sewaktu jasad Misnah yang selalu gagal dihadapkan ke arag kiblat ketika hendak dikuburkan. Selepas magrib, desa yang berada di salah satu sungai di kalsel itu dicekam ketakutan. Image
Read 7 tweets
Jan 1
Sandah : Kuntilanak Berwajah Lebar

Bab 6 : Jejak Misterius

Jika berkenan, sudi kiranya like, reply, Rt dan Qrt.

Selamat membaca.

@IDN_Horor
@bacahorror_id
#ceritaseram #ceritahoror #bacahorror #sandah #kuntilanak #kalimantan #banjar
Tanpa diduga, hajah Diana merangsek ke depan penuh amarah dan kebencian. Wanita itu melompat, hendak menerkam sang menantu. Jari-jarinya yang kurus membentuk cakar, menyasar leher si Atul yang tengah terpojok sambil mendekap bayi di pojokan.
Atul menangis ketakutan, menjerit sekencangnya dengan tubuh gemetaran.

Braak…!

Julak Sarkani bertindak cepat. Ia berhasil menerjang hajah Diana tepat beberapa senti sebelum wanita itu bisa mencelekai si ibu dan bayinya.
Read 54 tweets
Dec 29, 2022
Sandah : Kuntilanak Berwajah Lebar

Bab 5 : Jejak Darah

Jangan lupa like, reply, Rt dan Qrt yak.
@IDN_Horor @bacahorror_id @HorrorBaca
#ceritaserem #ceritahoror #ceritamalamjumat #threadhorror #sandah #kuntilanak #banjar #kalimantan Image
Pambakal Sarip duduk termenung di halaman belakang rumahnya. Duduk di atas kursi rotan dan berteman segelas kopi, ia menatap sekumpulan ayam peliharaan yang tengah mematuk benih padi.

Meski tubuhnya ada di situ, pikirannya berada di tempat lain.
Jauh di lubuk hati, kepala desa itu merasa senang dengan kematian Apri. Setidaknya, pemuda tak jelas masa depan itu tidak lagi mengganggu anaknya yang telah bersuami. Sebenarnya, bukan kedudukan atau harta yang membuatnya tidak merestui hubungan Atul dan Apri.
Read 41 tweets
Dec 25, 2022
Sandah : Kuntilanak Berwajah Lebar
Bab 4 : Tangis Dari Dalam Kubur

Jangan lupa like, komen, share, reply, rt dan qrt yak 😀.

#ceritaserem #ceritahoror #threadhorror #kalimantan #sandah Image
Matahari belum terlalu tinggi, pagi-pagi sekali julak Sarkani sudah terlihat gelisah di depan rumah hajah Diana. Sejurus kemudian, orang yang ditunggunya telah berdiri di depan pintu.
Jaya terlihat kesal karena dibangunkan sepagi ini. Kejadian yang dialami si ibu dan istri kedua sungguh membuatnya pusing. Akan tetapi, rasa kesalnya pada julak Sarkani langsung sirna detik itu juga. Mendengar penuturan pak tua itu, amarah Jaya seketika menggelegak.
Read 60 tweets
Dec 18, 2022
SANDAH : Kuntilanak Berwajah Lebar

Bab : Awal Teror

Jangan lupa like, reply, Rt dan Qrt yak 🙏😇

cc @IDN_Horor @bacahorror_id @ceritaht
#ceritaseren #banjarmasin #banjar #hororstory #horor #Dayak #kalimantan Image
Bak wabah penyakit, kabar proses pemakaman Misnah yang ganjil langsung tersebar ke segala penjuru kampung. Baru tadi pagi ia dimakamkan, sore hari seluruh penduduk sudah tahu kabar tentang Jaya yang harus melangkahi mayat istri pertamanya.
Read 66 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(