Assalamualaikum.
Malam ini waktunya Up!
Part 6 "Tebu Manten"
Untuk yang belum baca part sebelumnya bisa ke akun atau ke KaryaKarsa, @simpledandism123
Ijin tag ya Bang,
@IDN_Horor @bacahorror_id @SpesialHoror @threadhororr #malamjumat #horor Image
Sedetik sebelum aku berbalik, seseorang memiting leher dan menahan kepalaku, menarik tubuhku kedalam bayangan semak. Aku mencengkram tangannya berusaha melepaskan diri namun cekikannya makin kuat. Sesak! Wajahku memanas dan leherku nyeri, tekanan di kepalaku semakin kuat.
Dia pasti seorang pembunuh,

“Diam! Gue bakal lepasin tapi jangan teriak!” Bisiknya penuh intimidasi, Aji?!
Aku hanya mengangguk, perlahan cengkramannya melonggar, udara kembali masuk kedalam dadaku. Aku berbalik melihat Aji yang waspada dan hampir terbatuk tapi pria ini segera membekap mulutku. Wajahnya tegas dan dingin. Telunjuknya mendekat ke bibir, DIAM!
Sayup-sayup suara Pak Wiro membentak wanita yang terisak. Mereka bertengkar lagi. Tapi kenapa Aji peduli dengan urusan mereka. Makian Pak Wiro semakin menjadi-jadi bersamaan tangisan istrinya yang semakin menyayat, tak jarang ucapan Bitch, Die, dan kill you terdengar berkali-kali
Padahal wanita itu sudah meminta ampun. Aji yang berdiri di sampingku menatap tajam di balik semak. Aku sudah membuka mulut lagi-lagi Aji memberikan isyarat. Wajahnya mengeras tatap matanya tajam, menegaskan jika dia mau, dengan mudah dia bisa membunuhku secepatnya.
Aku pikir sudah mengenal Aji cukup dekat, rupanya laki-laki ini sungguh penuh misteri. Pria cepak di depanku ini, siapa dia sebenarnya? Bahkan Aji juga melepaskan kaca matanya, jadi itu hanya penyamaran.
Aku dan Aji saling membisu. Dalam ruang tamu yang redup kami saling menatap penuh waspada sampai Aji menghela nafasnya panjang dan mengulurkan tangannya padaku.

“Kenalin, Salim Dharmaji. Itu nama asli gue. Sorry buat yang tadi.”
Aku hanya bergeming menatap ulurannya tangannya, Aji yang canggung menarik kembali. Seakan tahu jika aku meminta penjelasan, ia mulai bicara.
“Pak Wiro adalah orang yang buat gue jadi yatim piatu. Bertahun-tahun gue nyari dia, bahkan sampai keluar negeri. Terakhir gue ke Aussie tapi ternyata dia sudah balik ke Indo. Setelah gue nyari informasi ternyata dia di sini.”
Aku hanya mengernyit meragukan semua ucapannnya . Pikirku apalagi ini?

“Dulu dia anak buah Papa, bajingan itu berkhianat. Gue masih tujuh tahun tapi gak bakalan lupa, kalau malam itu dia membantai Papa dan Mama. Membakar rumah dan mengunci gue dalam kamar yang terbakar.”
Suara pria itu serak penuh emosi dan amarah, bias cahaya teras memantulkan netranya yang basah. 

“Gue selamat karena pertolongan beberapa orang yang datang. Puluhan tahun gue pendem cerita ini. Polisi cuma bilang itu kebakaran biasa.
Anjing! Mereka bahkan gak percaya ucapan anak kecil umur 7 tahun.” Suara Aji semakin parau. Tubuhnya bergetar hebat menahan dendam, Ia frustasi sambil mengusap kepalanya dengan kasar berulang kali. Aku bungkam.
Tak tahu harus berkomentar seperti apa.

“Loe lihat sendiri kan? Kalau bajingan itu tega nyiksa istrinya?” ucapnya lagi. Aku tak menjawab, bagaimanapun itu belum bisa dijadikan bukti.

Hampir setengah jam berlalu kami masih saling membisu.
Aku beberapa kali mengusap belakang kepalaku. Bingung. Sedangkan Aji? Dia juga masih diam sambil sesekali mengusap wajahnya yang basah. Jika itu benar maka cerita hidupnya sungguh menyesakkan. Lebih baik sepertiku saja.
Terkadang semakin sedikit yang kita tahu semakin baik. Walaupun tak munafik aku juga ingin tahu siapa dua manusia yang membuatku bisa ada di dunia ini.
“Gue pergi, tolong jaga buat loe sendiri. Kalau sampai orang lain tahu, gue pasti kejer dan bunuh loe sama Adis. Gue serius!”
Pria tegap dihadapanku bangkit, ancamannya padaku tak main-main. Karena ternyata sebuah belati terselip di pinggangnya.

Pintu terbuka dan Aji menghilang di balik daun pintu yang tertutup pelan.
Hingga beberapa menit aku masih terpaku diruang tamu, tak percaya jika Aji si cengengesan yang ku kenal adalah seorang pria yang kejam dan penuh misteri. Bahkan mengancam untuk membunuhku dan Adis.
Jutaan tebu yang hijau menghiasi petak areal yang seragam. Daun-daun tebu bersorak menyambut mentari yang cerah, hari ini pasti terik. Akhirnya aku kembali menikmati berangkat kerja di pagi hari.
Namun begitu masuk ke dalam gerbang, pemandangan tak biasa menyambutku dan Mas Bambang.

Dari kaca mobil beberapa karyawan membentuk gerombolan dan saling bicara satu sama lain, bahkan dari depan pintu gerbang pabrik hingga sampai di depan gudang sparepart.
Aku tak perlu bertanya untuk tahu hal apa yang terjadi. Suara mereka yang sedikit lantang dengan cepat membantuku menyimpulkan jika telah terjadi hal yang mengerikan. Pembunuhan sadis di tengah areal!
Aku tak perlu bertanya untuk tahu hal apa yang terjadi. Suara mereka yang sedikit lantang dengan cepat membantuku menyimpulkan jika telah terjadi hal yang mengerikan. Pembunuhan sadis di tengah areal!
Sesosok mayat pria tanpa kepala dengan anggota tubuh yang sudah tak lengkap. Memakai kemeja kotak-kotak bergradasi putih dan celana panjang hitam. Beberapa sumber mengatakan jika kepalanya tak di temukan. Kepolisian datang dan mengusut TKP.
Namun sayang, identitasnya tak bisa di pastikan. Waktu kematiannya diperkirakan dua hari yang lalu. Karena kondisi mayat yang sudah mulai membengkak dan darah yang sudah mengering. Satu hal lagi menurut beberapa sumber satu jari mayat menghilang.
Sedikit aneh, untuk apa pembunuh melakukannya? 
Ingatanku tentang kejadian semalam berputar kembali, Mungkin saja ini perbuatan Pak Wiro? Atau bisa juga Aji yang melakukannya. Tapi apa motifnya? Dendam? Ah tidak! Terlalu cepat menyimpulkan.
Belum juga masuk ke dalam kantor, beban pikiranku bertambah. Wanita centil itu - Mbak Ayu - masih ada, senyum-senyum dengan bibirnya yang menor. Apa dia sengaja mengikuti jam kerjaku?
Pekerjaan yang menumpuk, maintanance yang tak kunjung selesai. Suplier yang marah karena barangnya di reject. Kepalaku seakan mau meledak. Untung saja hubunganku dengan Adis sudah membaik. Boleh saja segudang masalah menghantamku di sini.
Asalkan ada Adis yang menungguku pulang, aku pasti bertahan. Bahkan tumpukan pekerjaanku ini tak mampu mengalihkan pikiranku darinya. Aku senyum-senyum sendiri seperti orang gila. Adis! Aku sungguh mencintaimu, tapi maaf ya?
Mamas gak sanggup bilang langsung. Padahal kita sudah menikah lebih dari setahun.

Tapi detik itu juga senyumku hilang saat pintu terbuka, Mbak Ayu masuk membawa secangkir kopi. Firasatku berbisik jika aku harus waspada.
"Pak Andra, ini kopinya." wanita itu tersenyum sambil meletakkan cangkir diatas meja. Aku menelan ludah, aroma kopi itu menggugah selera, tapi seketika aku teringat Adis.
“Saya sudah ngopi Mbak!" Tegasku langsung lalu bergegas meninggalkannya.

“Kemarin Pak Andra minum sampai habis tuh?” Rayunya lagi, bahkan wanita itu berani mengait lenganku. Seketika tubuhku merinding tak karuan.
"Mbak!?" Tegurku sambil menarik kasar lenganku darinya. Rambatan perasaan itu muncul kembali, aroma tubuh wanita ini membuatku mabuk. Aku menggigit bibirku hingga berdarah, setidaknya rasa sakit dan asin yang menyebar di dalam mulut membuatku tetap waras.
"Saya suka sama Pak Andra." Tanpa tendeng aling-aling wanita ini mengatakannya.

"Mbak! Jangan lakukan hal ini, saya gak mau di pecat seperti Pak Mamat." Suaraku meninggi, seharusnya wanita ini sadar atau sedikit malu. Bahkan aku tak sungkan menatap tajam padanya.
Tapi jangankan malu, dia justru tertawa genit, bibir merahnya mencibir. "Pak Andra, kok malu-malu begitu. Kemarin saja semangat sekali. Satu hal lagi, kamu gak bakalan di pecat kalau jadi owner-nya. Saya bisa loh, lakukan itu sekarang juga? Tapi ada syaratnya, gimana? Mau?"
"GAK!"

Aku bergegas keluar pintu, tapi wanita gila ini menarikku tubuhku. Desiran itu kembali dan semakin kuat, bahkan kakiku bergeming menolak perintah otakku untuk segera pergi. Seakan mengerti jika aku sudah tak berdaya, wanita itu mendekat dan memelukku yang membeku.
Dia tersenyum sinis, mengejekku yang sudah jatuh dalam perangkapnya.

Kaki sialan bergeraklah! Aku mati-matian mengutuk dalam hati. Sialnya tanganku mulai menjamahnya. Anj***! Rasanya Aku ingin memotong jari-jariku saat ini juga.
TUHAN! Apa dosaku sampai ketemu perempuan sinting begini. Mbak Ayu masih terus merabaku sampai pintu ruangan terbuka. Aji! Si cepak datang menyelamatkanku. Aku tak tahu apa yang akan terjadi jika Aji terlambat beberapa detik saja.

Mbak Ayu pasti sudah melumatku!
Pria cepak berkacamata itu duduk tepat dihadapanku, dia hanya diam sambil menyilangkan kedua tangannya. Menatapku yang frustasi sampai-sampai menjambak rambutku sekuat mungkin.
Selepas kepergian Mbak Ayu, gejolak dadaku langsung padam, seperti api yang disiram air. Aneh dan tak masuk akal. Gejolak syahwat ini tak normal.
Aji hanya terdiam mendengarkan ceritaku dari awal, kadang ia juga mendehem pelan sambil sesekali membetulkan kacamatanya yang melorot. “Jadi gimana Ji?”

“Gue bukannya gak percaya sama loe Ndra, apalagi loe cerita masalah gending juga hantu pengantin.”
“Yah … itu memang gak masuk akal." Aku sudah menduga jika jawaban Aji tak sesuai dengan harapanku.

“Buat gue, mahluk paling menakutkan itu manusia Ndra. Apalagi orang macam Pak Wiro, loe udah denger?”

“Mayat?”

Aji mengangguk mantap.
“Gak ada bukti, jangan sembarangan.” Aku segera mengingatkannya, kalau sampai orang lain mendengarnya bisa gawat.

“Itu yang mau gue cari di sini. Loe masih inget waktu gue bilang di sini banyak orang hilang dan kecelakaan kerja?”
Sambil mengangkat bahu aku mejawab pertanyaan Aji. Si kacamata seketika menarik kertas kosong dan menuliskan sesuatu.
“Di sini musim giling selalu di mulai dari bulan Maret sampai September dan kejadian kecelakaan kerja selalu dilaporkan di bulan Januari sampai Februari. Walaupun terkadang memang terjadi di bulan lain.”
“Tapi yang mengherankan jumlahnya meningkat mendekati buka giling. Selalu! Sementara orang-orang yang hilang, mereka semua juga bekerja di sini, itu bukan kebetulan.” Aji terus menuliskan semuanya di atas kertas dan menghubungkan semua kesimpulannya dengan satu garis.
Sekali lagi Aji berhasil membuatku tercengang. Pemuda ini semakin misterius, membuatku sedikit curiga mungkin saja pria cepak dihadapanku ini mempunyai tujuan tersembunyi. Jadi sebelum aku terseret semakin jauh setidaknya aku menegaskan satu hal.
“Aji, siapa kamu sebenarnya?”

Dan pertanyaanku menjadi serangan telak untuk Aji, wajahnya berubah bengis seperti semalam. Tapi dia segera menghela nafas panjang meredakan emosinya.
“Ndra, gue bukan orang jahat seperti yang loe pikir. Sorry gue gak bisa kasih tahu sekarang. Tapi sebaiknya loe berhati-hati. Gue punya firasat penerimaan kerja loe, gue juga Teh Asih ada hubungannya.”
Aji meremas kertas yang ditulisnya dan memasukkannya dalam saku. Dia sungguh cermat dan berhati-hati.

Seperti menghindar, Aji bangkit dari kursi meninggalkanku yang bingung, sesaat sebelum keluar dia berhenti dan bicara tanpa memalingkan wajahnya sedikitpun.
“Jangan percaya siapapun!” Tegasnya.

Belum juga perasaanku membaik suara Pak Wiro menjerit dari radio komunikasi memanggilku untuk pergi ke proses bagging. Lagi-lagi firasatku berbisik.
“Andra, Please come with me!” Pak Wiro melambaikan tangan gempalnya padaku di depan tangga, menuju jalur conveyor yang mengangkut karung-karung gula keseluruh bagian gudang. Pria gempal itu tersenyum-senyum padaku,
tapi mengingat ucapan Aji membuat pandanganku padanya berubah 100%.

Aku yakin pria dihadapanku ini pasti punya masalah mental. Bisa-bisanya dia bersikap ceria setelah menyiksa seseorang. Ucapan Aji berhasil mempengaruhiku dengan telak, jangan percaya siapa pun.
Kami melangkah di jalur pejalan kaki tepat bersebelahan dengan titian conveyor yang perlahan menanjak. Bermuara dari bagian bagging dan berakhir di ujung tiap-tiap gudang. Jarak titian ini puluhan meter dari atas lantai gudang yang terbuat dari beton.
Ceroboh sedikit saja bisa jatuh meskipun sepanjang jalur pejalan kaki dibatasi barisan besi seperti pagar berwarna kuning setinggi dada orang dewasa.

Dan entah sedari tadi firasatku semakin buruk membuatku gelisah. Mengingatkanku sesuatu sedang mendekat.
Pria gempal didepanku berjalan mantap tanpa keraguan sedikitpun, dari atas titian puluhan kubus raksasa yang disusun dari ribuan karung gula terlihat seperti dadu yang sempurna. Saat melihat kebawah, ketinggian membuat jantungku berdesir ngilu.
Karena dekat dengan atap yang terbuat dari asbes, suhu di sini panasnya luar biasa. Keringatku mengalir membasahi punggung belum lagi udara yang pengap. Kostruksi dan bahan bangunan yang dipakai membuat suhu di dalam gudang stabil untuk menjaga kualitas gula.
“Andra, look!” Pak Wiro berpaling padaku setelah kami sampai di ujung konveyor tepat di gudang ke tiga. Tangannya mengarah ke bawah tepat di ujung gudang, beberapa lantai beton mulai terkelupas.

“Saya dengar kamu lulusan teknik sipil?”

“Yes Sir!”
“Kalau begitu tentu kamu tahu perhitungan perbaikan lantai gudang ini?”

Aku hanya mengangguk sambil menatap Pak Wiro, jujur saja aku sudah tak mempercayainya lagi, bahkan mendengar canda tawanya membuatku mual. Sekalipun aku belum tahu kebenaran yang dikatakan Aji.
Tapi kenyataan bahwa dia tega memukul istrinya cukup untuk membuatku membencinya. Dia terus berceloteh memaksaku tertawa. Benar-benar memuakkan.

“Saya and Mr. Robert sudah buat kontrak dengan pengembang, you awasi kerja mereka okay?”

“Okey Sir!”
“Kalau begitu you bisa mulai besok malam!”

Eh? Malam? Bukannya lebih mudah saat siang hari. Ketika aku menanyakannya, raut wajah Pak Wiro berubah, dia sungguh tak meyukainya dan hanya berkata pendek. "Andra, jangan banyak tanya," dengan suranya yang serak dan dalam.
Meskipun dia tak mengatakannya aku tahu pria ini mengancamku, dia seperti psikopat gila yang siap mendorongku dari atas sini kapan saja. Mataku waspada melihat tiap inci gerakan pria gempal dihadapanku saat sesuatu yang lebih aneh terjadi.
Tanpa komando seluruh bulu tengkukku meremang, ketakutan merayap di punggungku seperti ular. Terjadi perubahan ekstrem, ruangan yang semula panas seketika menjadi dingin dan anyep, seolah dua dimensi bertabrakan, kabut tipis melayang seperti asap.
Samar-samar gending pengantin mengalun lirih di kejauhan. Cahaya jadi redup, matahari menghilang.

Keadaan sekitarku berubah kemerahaan, sama seperti mimpiku kemarin dan Pak Wiro? Dia sudah tak ada. Aku menggigit bibirku sekuat mungkin menahan getaran ketakutan yang luar biasa.
Jika kemarin mimpi lalu sekarang apa? Kepalaku belum selesai mencari jawaban logis, suara wanita yang sangat aku kenal berbisik lirih,

"... Telu ... Raden ..."
Dan tepat di ujung bangunan sosok hitam melayang hampir menyentuh atap gudang, panjang tubuhnya sungguh tak normal, dia jangkung seperti tulang yang dibalut kulit. Tangannya panjang hingga hampir sejajar dengan lututnya, kukunya panjang,
rambutnya hitam menjuntai melebihi panjang tubuhnya. Matanya merah dan menyala seperti bara api dalam kegelapan, aku tak bisa melihat wajahnya.

Tadinya aku pikir dia adalah kuntilanak seperti yang dikatakan orang-orang tapi dua buah tanduk kambing mencuat dari kepalanya,
meyakinkanku jika mahluk ini lebih tinggi dan lebih gelap dari pada mahluk yang lain. Dia lebih jahat, lebih kuat, dan jauh … Lebih tua!

Siapapun pasti tak ada yang mau berhubungan dengan mahluk ini. Kecuali orang-orang sinting dan behati gelap.
Belum cukup puas memperlihatkan wujudnya yang mengerikan, tubuhnya mulai berayun ke kanan dan ke kiri tapi kepalanya tetap diam seolah menjadi tumpuan, dia berayun seperti lonceng, rambutnya yang panjang tergerai mengikuti gerakan tubuhnya.
Berayun mengikuti gamelan dan ketukan kenong yang sayup. Sosok itu melayang mendekat padaku.

Setengah mati aku ingin segera pergi atau menutup mata menghindari tatapannya, tapi aku sungguh tak berdaya.
Seperti tahu jika aku ketakutan dengan penampakannya, sosok itu menjerit menjebol gendang telingaku.

"...Raden ... kulo Nyi Ireng ..."
Lalu sedetik kemudian semuanya kembali seperti semula, aku kembali ke dimensiku lagi. Jantungku masih terus berdentang. Keringat dingin mengalir di pelipis dan punggungku. Pandanganku berputar, nyeri hebat menghantam kepalaku.
Aku yakin wajahku saat ini pasti pucat seperti mayat. Dan Pak Wiro, pria itu rupanya sedari tadi masih disini.

Terpaku dengan wajah bengisnya, juga tatapannya yang tajam seperti belati, menusuk dan menguliti seluruh jiwaku.
Seperti binatang buas yang siap menerkamku saat ini juga. Aku mengumpulkan tenaga dan keberanian yang tersisa. "Sorry Sir, saya akan mengerjakan sesuai perintah." Satu kata dan Pria gempal itu kembali seperti semula.
"Okay Andra, don't ask to much okay!." Ucapnya sambil tertawa seperti badut.

Aku mengangguk dan memaksakan diri tertawa, menyembunyikan ketakutanku. Meskipun aku sudah beberapa kali melihat sosok mereka tapi makhluk ini benar-benar berbeda. Dia sungguh gelap dan mengerikan.
Padahal hari masih terang. Tapi bisa-bisanya aku kembali masuk dimensi mereka. Apa ini perbuatan Nyi Ireng?

Pengalaman ini memaksaku untuk semakin berhati-hati. Juga sikap Pak Wiro yang berubah, mengingatkanku dengan seringai Mbak Ayu,
Apa semua orang di sini mempunyai dua kepribadian? Atau sosok lain yang ada di dalam diri mereka? Aji! Aku harus menegaskan kembali padanya jadi aku bisa memutuskan sesuatu. Sebelum semuanya terlambat. Satu hal lagi, Wanita hitam itu, kerap memanggilku RADEN! Apa dia mengenalku?
"Pak? Pak Andra?" Panggilan Mas Bambang membuyarkan lamunanku.

"E-eh apa tadi Mas? Bisa diulang?"

"Ealah, Pak Andra ngelamunin opo toh?"

"Ah, biasa masalah kerjaan Mas." 

"Kerjaan opo kangen Bu Adis?' Mas Bambang meledekku seperti biasa dari balik kemudinya.
Aku hanya tertawa saja. "Kan sudah baikan toh Pak?" Pria berkumis di sampingku ini kembali bicara dengan logatnya.

"Ya sih Mas, sudah baikan." Jawabku singkat.

“Lah kok masih ngelamun toh Pak? Ndak baik nanti rejekinya jauh,” Mas Bambang tertawa seperti biasa.
Aku hanya tersenyum saja mendengar selorohnya. Pria disampingku ini sungguh polos. Mungkinkah Mas Bambang sama seperti Pak Wiro dan Mba Ayu? Sayangnya orang yang ku percaya justru sudah di pecat. Aku bahkan tak sempat mengucapkan selamat tinggal pada Pak Mamat.
“Pak Amit ngeh, saya lupa kalau belum masak nasi buat anak saya. Mampir dulu ke warung bisa Pak?”

“Ya ngak apa-apa Mas, sekalian anterin saja kerumah.”

“Ngih Pak Andra. Matur suwun.”
Kadang aku sedikit iba dengan Mas Bambang, semenjak isrinya minggat tujuh tahun lalu, dia belum menikah lagi. Bahkan pernah bilang jika tak mau memikirkan itu dulu. Mungkin pria disampingku ini masih trauma.
Mobil masuk kedalam komplek perumahan yang lain, beberapa warga berkumpul di depan teras rumah, anak-anak yang berlarian dipinggir jalan. Juga seorang wanita yang sedang menyapu teras. Suasananya jauh lebih ramai, mungkin karena jumlah rumah di sini lebih banyak.
Mobil berhenti tepat di depan rumah kompleks yang sederhana. Demi kesopanan aku akhirnya turun, mengikuti Mas Bambang. Belum juga masuk, pintu rumah terbuka, seorang gadis cilik menyambut kami berdua dan mengulurkan tangannya mencium tangan sang ayah.
“Nah ini anak kulo Pak. Namanya Dewi.” Mas Bambang dengan bangga memperkenalkan putri semata wayangnya. Sedangkan sang putri takut-takut mengintip dibalik tubuh ayahnya. “Monggo Pak masuk dulu.”
Di ruang tamu yang bersih dan sederhana, Aku duduk menunggu Mas Bambang yang sibuk mengurus putrinya. Sebuah figura foto terpasang di dinding. Sepertinya aku paham jika Mas Bambang sulit melupakan istrinya,
karena memang foto wanita itu lumayan cantik, dia tersenyum dengan lesung pipit juga tahi lalat di bawah matanya.

Melihat betapa telatennya Mas Bambang mengurus anaknya membuatku ragu, mungkinkah dia terlibat dengan Pak Wiro?
Sambil menunggu tanganku sibuk memainkan kunci kantor yang bergabung dengan kunci gembok kamar loro istri di tanganku dan segera menyadari sesuatu.

MUSTAHIL! Ini pasti salah! Patung pengantin itu, sebaiknya aku memeriksanya lagi! Aku berusaha mengalahkan logikaku.
Sampai di rumah tanpa sempat membuka sepatu aku segera masuk dalam kamar sebelah, Benar saja, loro estri begeming, tetap sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Dan kembali memeriksa anak kunci yang menjadi satu dengan kunci kantor.
Tanganku bergetar hebat saat menghitung jumlah anak kuncinya. 

BRENGSEK! Lagi-lagi tak ada yang bisa kupercaya disini. 

Sedikit ragu aku mencoba memeriksa patung dihadapanku, loro estri ini terbuat dari tanah liat dan sedikit berat, ukurannya tidak besar dan masih berbau melati
Sesuai dugaanku ini hanya patung biasa, kecurigaanku di awal rupanya benar. Seseorang masuk dan merubah posisinya. Kesimpulanku semakin kuat karena setelah aku meletakkannya, tanganku berbau harum artinya dia juga mengoleskan minyak wangi di sini.
Lalu petunjuk tentang sosok pengantin wanita juga laki-laki yang kerap menggangguku dan Adis, apa yang mereka inginkan? Dan Nyai Ireng? Petunjuk lain untukku saat ini hanya Pak Wiro dan Aji.
"Mamas sudah pulang? Kok gak kasih salam?" Adis melongo dari pintu dengan rambutnya yang basah.

"Sudah, Adis kan masih mandi, jadi gak kedengeran." Aku bergegas keluar dan menutup pintu, sambil menuntun Adis ke kamar.
"Ealah, Mamas iki, kok ndak buka sepatu dulu?" Seketika Adis ngomel menyadari sepatuku yang masih melekat. Aku hanya menyengir karena tertangkap basah dan segera melepaskan sepatu lalu meletakkannya di bawah ranjang.
Punggungku seketika lega saat menyentuh kasur kapuk yang hangat.

"Mamas kenapa toh? Kok kayanya buru-buru ngunu?" Adis duduk pingir ranjang sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
Aku hanya mendehem dan meliriknya sekilas, wajah Adis yang natural sangat lembut dan cantik mengalihkan semua pikiranku.

"Adis, Mamas kangen," ucapku sambil menariknya dalam pelukan. Semenjak pertengkaran kami kemarin, aku belum sekalipun menyentuhnya.
"Mamas, Adis baru mandi lho," Wanita itu tersipu, wajahnya yang merona semakin cantik saja.

"Justru karena Adis habis mandi," ucapku cepat dengan nafas yang berat. Adis hanya tersenyum dan pasrah. Sepertinya dia juga merindukanku.
Meski hari masih sore aku tak peduli, setidaknya aku ingin menghilangkan bayang-bayang Mbak Ayu dari benakku. Tapi bukannya hilang, saat ini jauh di sudut hatiku berharap jika wanita yang sedang ku gauli ini adalah Mbak Ayu bukannya Adis. Dan di tengah permainan, nafsu ku berubah
Aku ... Tak bergairah lagi pada Adis!.

"Mamas kenapa? Capek ya?" Adis menatapku yang menarik diri dan berbaring di ranjang. Aku tak sanggup menjawabnya, ini benar-benar memalukan. Bagaimana kalau sampai dia tahu isi hatiku. Adis pasti kecewa.
Aku masih membisu sambil menangkup wajahku dengan kedua tangan yang basah. Sedangkan Adis kembali berkemas. Rasanya aku ingin menghantamkan kepalaku sekuat mungkin jadi bayangan wanita brengsek itu bisa hilang dari dalam otakku.
"Wes gek endang mandi, makan terus istirahat. Mamas pasti kecapekan." Adis menarikku lembut, senyumannya semakin membuatku merasa berdosa.

Tuhan! Sebenarnya aku kenapa. Padahal perasaanku pada Adis begitu dalam tapi kian hari hatiku semakin terkikis gelombang yang bernama Ayu.
Adis membantuku berkemas dan memberikan handuk. Aku hanya bisa memeluknya, meminta maaf.

"Adis, gimana kalau kita pulang?" Aku bicara sambil terus memeluk Adis. Bersandar di bahunya melepaskan kelelahan juga penyesalanku
Adis menarikku dan menatap sendu sambil menggeleng pelan, "Mamas kenapa toh? Kok ndak kaya biasanya?" Tangan lembut itu mengusap wajahku bersama netranya yang jernih.

"Kita pulang ya?" Ucapku lagi.
Lagi-lagi Adis menggeleng, "Mamas murung karena masih mikirin yang kemarin? Adis sudah ndak apa-apa, Adis ini istri jadi kudu nurut sama suaminya."

Kata-kata Adis menyadarkanku jika bukan hanya aku yang berubah. Adis juga, dia jadi lebih dewasa.
Sedangkan aku? Brengsek seperti sampah!

"Jadi Adis sudah gak takut lagi?"

Wajah mungil itu mengangguk dan tersenyum lembut, sambil memelukku mengatakan jika tak perlu khawatir. Bahkan saat aku mengatakan jika besok aku masuk malam,
Adis bicara dengan mantap tak masalah jika di rumah saja. Jika takut, Adis bisa meminta Teh Ayu untuk menemaninya.

Padahal alasanku mengajak Adis pulang bukan karena ketakutan Adis, tapi ingin jauh dari wanita bernama Ayu. Urusan dengan ibu mertuaku bisa dipikir belakangan.
Aku takut bagaimana jika aku tak bisa menguasai diri lagi. Dan malam ini aku bahkan bermimpi menggaulinya. Otakku sepertinya sudah begeser turun ke dengkul!

"Eh? Tumben loe kesini?" Aji tertegun melihatku di depan pintu rumahnya.

"Ganggu gak Ji?"
"Masuk deh." Pria cepak itu membuka lebar daun pintu untukku.

Aji rupanya tinggal sendiri, tapi untuk ukuran bujangan, dia cukup rajin. Belasan menit berlalu dengan canggung dan sia-sia. Tak satupun antara kami berdua yang berniat memulai lebih dulu.
Udara yang menggantung juga semakin berat dengan prasangka hingga akhirnya aku mengalah, "Ji boleh tanya satu hal?"

Mata pria didepanku sungguh dingin seperti es. Siapa pun tak akan menduga jika pria cepak yang suka cengengesan bisa tegas seperti ini.

"Tentang jati diri gue?"
Tebakannnya tepat.

Begitupun kepalaku yang mengangguk mantap, "Kenapa?" Tanya Aji.

"Aku punya petunjuk" ucapku cepat, "Tentang Wiro?"

Aku hanya menggeleng, "Ingat ceritaku tentang patung yang kerap berpindah sendiri?"
Aji mengangguk cepat, "Dia tidak bergerak karena hantu, tapi seseorang memindahkannya."

"Tapi loe bilang–"

"Aku yakin Ji!"

Pemuda itu terdiam saat aku mengeluarkan dua buah set kunci gembok, masing-masing dengan dua anak kunci yang terpasang.
Aji masih belum mengerti, alisnya naik dan sesekali seperti berfikir dan akhirnya dia menyadari, jika satu set gembok selalu memiliki tiga anak kunci cadangan. Di atas meja masing-masing gembok hanya ada dua.
"Ya Pak Bambang, salah satu petunjuk yang kita punya. kamu bilang jangan percaya siapapun! Setidaknya aku ingin tahu apakah kamu juga salah satu orang yang bisa kupercaya saat ini atau kamu bagian dari mereka?"
Aji mengusap hidungnya beberapa kali sambil mendengus, Aku tahu dia kesal tapi Aji tak punya pilihan.

"Ikut," Aji memberikan kode menunjuk dengan dagunya ke arah kamar, seolah tahu jika aku waspada dia kembali berkata.
"Gue gak bakalan bunuh loe di sini. Bisa kacau! Adis di depan teras sekarang menatap ke sini." Aku sontak memutar kepala, benar saja Adis duduk dengan Teh Asih.

Setidaknya ucapan Aji sedikit membuatku tenang, dia tak akan berani menyakitiku sekarang.
Karena ini kompleks, tentu saja bagian dalam rumah ini tak ada bedanya, di tengah lorong Aji membuka salah satu pintu kamar, menyuruhku masuk dan menutupnya rapat. Tak lama pria cepak di hadapanku meraba bagian bawah sela lemari jatinya,
mengeluarkan sebuah amplop coklat yang rapat, tak lama dia melemparkannya padaku yang tangkas menangkap di saat yang tepat.
Sebuah pasport, KTP bertuliskan namannya dan pekerjaannya adalah polisi. Jadi Aji adalah seorang aparat. Belum juga aku selesai membacanya, bunyi klek khas terdengar!

Saat aku menaikkan pandangan, Aji menodongkan senjata api.
Lubang gelap itu hanya berjarak sekian senti saja tepat tepat di antara kedua mataku.

Bara emosi membuat darahku mendidih, rasanya tumpang tindih, kesal dan takut juga benci. Aji? Dia menjebakku.
Detik berikutnya pelatuk bergerak kedalam, dalam keteganganku yang memuncak hanya terbayang Adis. Aku bahkan belum sempat mengatakan jika aku mencintainya.

Adis maafkan Mamas ya?
Tatap mata Aji setajam elang, namun sedetik kemudian si cepak menghela nafasnya panjang.

 "Puas?" Ujarnya sambil menurunkan moncong senjatanya. Seluruh sendiku lemas seketika, rasanya malaikat kematian sudah menyetuh ubun-ubunku.
Aku benar-benar ingin menonjok wajah Aji yang tersenyum mengejekku yang ketakutan setengah mati.

"Gak lucu," sungutku. Protesku justru merubah senyuman Aji menjadi gelak tawa. Astaga! Awas saja kalau dia sampai melakukan ini lagi. Aku pastikan Aji menyesal.
"Loe udah tahu kan? Sekarang loe mau apa?" Aji menyilangkan tangnnya sembari menatapku ramah. Tapi aku masih kesal setengah mati, pria ini benar-benar!

Meski kesal tapi jujur saja aku lega, nyawaku masih selamat rupanya.
"Aku gak yakin kamu percaya atau tidak!" Aku mulai mengatakannya

"Masalah sosok pengantin?" Aji dengan cepat menebak.

"Salah satunya, yang kedua sepertinya aku bisa menemukan jati diriku di sini,"
Aji dengan cepat menaikkan alisnya, namun begitu aku mengatakan tentang Nyi Ireng wajahnya berbeda,

"Okelah! Setidaknya ada yang bantu gue ngumpulin informasi."

Aku hanya mengangguk mantap dan mengembalikan semua berkas saat selembar foto jatuh.
Gambar refleksi memori yang memperlihatkan sebuah keluarga tersenyum bahagia. Tanpa dijelaskan pun aku sudah tahu jika ini adalah kenangan milik Aji yang paling berharga.
Dari foto ini jelas aku mengerti jika mata biru pria cepak ini diwariskan sang ayah yang berwajah mirip dengannya. Pria pirang dengan wajah mongoloid berpakaian safari itu memangku seorang anak laki-laki.
Sedangkan sang ibu sepertinya seorang wanita jawa bersanggul dengan kebaya dan jarik, menggendong bayi berusia sekitar satu tahun.
"Foto itu di ambil tepat setahun sebelum keluarga gue dibunuh." Ucapnya singkat dengan bulir mata yang menggenang. Aku menyerahkan kembali semua kenangan itu padanya. Kami berdua kembali mentertawakan nasib. Tuhan takdirmu sungguh lucu.
Segelas kopi pahit yang mengepul, berhasil membuat hubunganku dengan Aji kembali seperti semula, atau malah bisa dibilang lebih baik.

"Rencana selanjutnya gimana Ji?"

"Pertama loe harus cari tentang sosok Nyi Ireng. Urusan Mas Bambang kita pura-pura gak tahu dulu."
Aji mulai terbuka, kedatangannya kemari karena seseorang yang tak dikenal melaporkan jika di sini terjadi pembunuhan berencana yang terjadi setiap tahun, meskipun terdengar gila. Pertanyaannya adalah siapa dalang dan bagaimana mereka melakukannya?
Wiro? Aji yakin pria gempal itu tak bisa melakukannya sendiri.

“Tapi kenapa mereka melakukan itu? Maksudku membunuh setiap tahun?”

“TUMBAL!” Satu kata yang sangat menakutkan. Aku tahu jika manusia jahat itu ada di mana-mana, tapi sampai bersekutu dengan setan?
“Hal seperti itu kan sulit cari buktinya Ji?”

“Ya gue tahu, karena itu gua cari bukti lain. Loe tahu sebenarnya perusahaan ini gak baik-baik saja. Salah satunya masalah hak guna usaha mereka. Setidaknya kita bisa serang mereka dengan dua cara.
Kalau salah satunya mentah kita masih punya cadangan. Orang-orang ini ...” Aji menggelengkan kepalanya. “Mereka gak cuma jahat tapi juga gila. Mereka punya uang dan kekuasaan Ndra!”

“Maksudmu Pak Robert terlibat?”
“Menurut loe? Gak mungkin dia gak tahu. Pertanyaannya sekarang apa motifnya? Untuk kekayaan? Sepertinya bukan!" Kata-kata Aji semuanya benar. Ini Artinya tak cuma Pak Wiro, tapi Pak Robert juga.
Jika begitu kemungkinan seluruh orang di sini tahu tapi kenepa mereka memilih bungkam?
"Ndra, kita belom tahu siapa korban yang mereka incar, gue, loe atau Teh Asih!" Aji mengingatkanku berulang kali. "Jangan cerita apapun bahkan termasuk Adis. Paham. Hati-hati juga dengan Ayu!"
"Tapi apa gak sebaiknya aku memulangkan Adis dulu?"

Aji menggeleng tegas, "Kalau gitu mereka pasti curiga, Lagian bukannya loe bilang kemungkinan jati diri loe juga bisa terbuka?"

“Tapi Adis bisa terluka!” Aku seketika menolak rencananya.
Seolah mengerti isi pikiranku Aji berujar tak perlu khawatir. Dia juga tak sendiri, beberapa personil lain juga membantunya di sini. Meskipun Aji tak mau menyebutkannya setidaknya aku lebih tenang. Sebenarnya selain mencari kebenaran Nyi Ireng,
aku juga harus melepaskan diri dari bayang-bayang Ayu. Aku masih asik dengan narasi dalam pikiranku namun si kacamata menyela, 

"Ndra, loe masuk malem kan?"

"Iya, kenapa?"
"Nebeng," Pria di hadapanku nyengir lalu menyeruput kopi hitamnya. Aku hanya menggeleng heran. Aji!Dia benar-benar aneh bahkan ekspresi wajahnya bisa berubah hanya sepersekian detik saja.
Bunyi mesin pengebor memekankkan telingaku, jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, tapi para pekerja kontraktor ini semangat sekali. Padahal aku sudah mulai mengantuk. Cuaca juga benar-benar tak bersahabat.
Padahal tadi siang panas bukan main dan malam ini tiba-tiba saja guntur menggelegar mengejar kilat, susul menyusul di antara rinai manik hujan. Pintu gudang yang terbuka lebar, membuat angin dingin berhembus membujukku untuk segera pulang dan kembali ke peraduan,
memeluk Adis yang cantik. Aku benci shift malam.

Entah kenapa semenjak kembali dari rumah Aji, firasatku kembali memburuk, memperingatkan jika malam ini pasti terjadi sesuatu meskipun aku tak bisa memastikannya.

Aku memeriksa lantai beton di antara sela-sela lot gula,
ingatanku tentang Nyi Ireng tiba-tiba melintas membuatku merinding mengingat sosoknya yang mengerikan, rasa takut memaksaku mendekat pada para pekerja. Firasatku semakin menjadi-jadi meski sekuat hati aku mencoba mengabaikannya.
"Pak Andra, nanti cor-nya mau pakai campuran berapa?" Pengawas kontraktor bicara sedikit berteriak menyeimbangkan dengan derai hujan juga bunyi bor yang bersahutan.

"Perjanjian Work Order point tiga kan ada!" Suaraku tak kalah keras darinya.

"Bisa gak dinego?" Teriaknya lagi.
"Mana bisa!Memangnya ada kendala apa?" Teriakku sambil mendekat.

"Karena hujan, mobil yang bawa semen nyungsep Pak di Km. 4."

"Walah, basah gak?"

Malam ini hujan deras sekali, wajar saja jika mobil dengan beban berat terjebak di jalan berlumpur.

"Aman pak, ditutup terpal."
"Saya punya stock cukup di gudang, tapi saya tanya dulu sama Pak Wiro oke?"

"Oh iya pak." Pria itu mengangkat jempolnya, senyum mengembang diwajahnya. Senang masalahnya terpecahkan. Tapi untukku artinya tambahan pekerjaan, Haish! Terpaksa kembali ke gudang sparepart.
Di antara sela susunan kubus putih raksasa, aku berjalan sendirian. Bunyi ketuk sepatu beradu dengan lantai beton samar-samar terdengar di antara gelegar petir, membuat suasana di dalam gudang gula yang sepi semakin singup.
Firasatku yang semakin sensitif menangkap ratusan pasang mata, menatapku diantara sela karung gula, juga disetiap sudut yang gelap. Tapi meski begitu anehnya aku tak takut dengan mereka, mungkin karena sudah sering mengalami hal mistis,
atau bisa juga karena aku sudah melihat sesuatu yang jauh lebih mengerikan. Nyi Ireng! Aura jahat makhluk itu tak main-main.

Sebelum berangkat juga aku sempat bertemu si loro estri yang berdiri di luar teras rumah saat aku berangkat kerja.
Aku sempat mendengar bisikan paraunya yang berkata "Telu."

Sama seperti yang diucapkan Nyi Ireng. Meskipun hingga saat ini aku masih belum paham kenapa mereka terus mengatakan angka-angka itu.
Satu lagi yang membingungkan jika patung di rumah tak ada hubungannya lalu kenapa demit pengantin wanita itu masih saja berputar-putar disekitar rumah. Apa mereka menyukaiku? Semenjak pindah ke sini kepalaku penuh dengan hantu dan demit.
Andra! Kau sudah seperti paranormal. Batinku tertawa.

Akhirnya aku sampai di lantai dua tepat di depan ruangan Pak Wiro.

Setelah mengatakan pendapatku, tentang pemakaian stock semen, pria gempal itu langsung setuju.
Lewat radio aku mengabarkan pada pengawas kontraktor jika bisa memakai stock milik perusahaan terlebih dahulu, meskipun sedikit ribet karena aku harus membuat berita acara dan umbo rampe penerimaannya, tapi itu lebih baik.
Aku ingin pekerjaan ini cepat selesai, berada di gudang itu membuatku tak nyaman, belum lagi firasatku semakin menjadi. Malam ini akan ada darah. Kata-kata itu beputar seperti bianglala dalam hati dan otakku. Bersamaan.
Aku kembali ke gudang sparepart dan terus melirik kanan kiri, takut jika wanita gila itu masih di sini. Bapak-bapak pekerja seperti mengetahui gelagatku hanya tertawa, sambil menenangkanku jika Mbak Ayu sudah pulang dari jam sembilan karena aku tak kunjung muncul.
"Di kejar-kejar kok malah serem toh Pak Andra?" Seleroh bapak pekerja yang lebih tua.

"Pak jangan meledek ah, dikejar sama dia itu seram." Ujarku serius. Tapi Bapak-bapak pekerja malah menanggapi dengan tertawa padahal aku sama sekali tak bercanda saat mengatakannya.
“Mbak Ayu kan cuantik toh Pak Andra.” Seseorang kembali meledek, aku hanya mendengus.

“Cantikan istri saya.” Aku mengatakannya dengan mantap

Sorot lampu mobil menyorot ke dalam gudang, para pekerja kontraktor datang bersamaan dengan berita acara yang selesai aku buat.
Serah terima juga pembuatan surat jalan sudah selesai, mereka tinggal tanda tangan saja. Mobil berputar menuju bagian paling belakang gudang untuk mengangkut semen saat aku menyadari Aji ada di sini.
Meminta tumpukan fire rock untuk perbaikan dinding pabrik yang sudah keropos. Dia mendekat dan cengengesan seperti biasa saat musibah itu terjadi.

Tumpukan karung kapur setinggi belasan meter longsor dan menimpa pekerja borongan yang tengah bekerja.
Semua orang segera mundur sejauh mungkin. Debu kapur berhambur seperti kabut, membuat pandangan berkurang. Aku segera menutup jalur pernapasan dengan siku tangan.  Terlambat sedetik saja menghapiriku, Aji sudah pasti ikut tertimbun ratusan ton kapur.
Kecelakaan kerja itu terjadi di depan mataku. Suara bergemuruh bersahutan dengan jeritan orang-orang yang kaget juga rintihan minta tolong yang menyayat hati. Serbuk kapur bertebaran menghalangi pandangan.

FIRASATKU TEPAT! HAL BURUK TERJADI!
"TUNGGU! JANGAN MENDEKAT!" Aku segera berteriak saat bayang-bayang beberapa pekerja yang lain mendekat untuk menolong para korban. Sesuatu dalam hatiku bergolak mengatakan jika bencana ini belum selesai.

"KENAPA PAK?!"

"NANTI LONGSOR SUSULAN!"
Belum juga suaraku hilang, benar saja tumpukan lot karung berikutnya ikut luruh bergemuruh menimpah korban yang masih tertimbun. Rintihan mereka mengiris-iris hatiku. Kabut kapur semakin tebal menutupi pandangan kami. Aku mulai terbatuk-batuk.
"PANGGIL FORKLIFT! CEPAT!" Teriakanku langsung disambut beberapa pekerja yang berlari di antara samar bayangan kabut, menjerit-jerit meminta bantuan.

"TAHAN JANGAN ADA YANG MENDEKAT!" Aji kembali berteriak saat aku lengah, seorang rekannya sudah mendekat.
"TAPI DIA BISA MATI PAK."

"KAMU MAU MATI JUGA! TUNGGU FORKLIFT SAJA" Aji menghardik, keras dan tegas. Suasana berubah panas dan tegang.
Darah mengalir disela-sela karung dan kapur yang putih. Kontras! Berkilau seperti minyak, semakin banyak. Merah menyala dan indah … Seni kematian yang membuat semua orang tercengang.

Firasatku, entah sejak kapan menjadi tepat seperti ini.
Cukup ya?
Sudah jam setengah sepuluh lumayan juga.
Yang penasaran kelanjutannya bisa ke KaryaKarsa Bab 20.

@karyakarsa_id

karyakarsa.com/simpledandism1…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with simpledandism123

simpledandism123 Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @simpledandism

Mar 23
Assalamualaikum,
Waktunya saya Up!
"TEBU MANTEN"
Part ke 7
Untuk yang belum baca bisa ke akun KeryaKarsa atau ke profil saya
Ijin Tag ya Bang,
@IDN_Horor @karyakarsa_id @SpesialHoror @bacahorror_id #horror #horor #malamjumat Image
Suara rintihan korban yang tertimbun ratusan ton kapur semakin lemah. Di bawah sela tumbukan karung yang putih, mengalir cairan merah dan kental. Menit berikutnya forklift datang, satu persatu karung di tarik dari bagian atas dengan hati-hati.
Aji sigap mengabarkan paramedis dengan radionya. Suasana tegang dan mencekam. Kami berpacu dengan waktu, secepat mungkin menyelamatkan para korban.
Read 126 tweets
Mar 9
Assalamualikum.
Malam jumat waktunya saya up!.
Part 5 "TEBU MANTEN"
Untuk yang belum baca part sebelumnya bisa cek akun profil saya atau ke watpad aatau ke Karyakarsa.

Ijin Tag ya Bang,
@IDN_Horor @karyakarsa_id @SpesialHoror @bacahorror_id #malamjumat #horror #horor Image
Segelas air di atas meja tandas berhasil membuatku kembali sadar sepenuhnya. Rupanya aku masih di dalam ruangan, tertidur di atas meja kerja. Jam di dinding menunjukan pukul 02.00 WIB. Kapan aku kemari? Bukannya tadi aku sedang menghitung di sudut gudang?
Sekali lagi bisikan itu kembali,

"... Telulas irigan, estri lan jaler, RADEN ... "

Jam 02.00 WIB.

Lagi-lagi jam yang sama dan sudah kesekian kalinya aku mimpi buruk. Jantungku belum juga tenang saat ...
Read 163 tweets
Mar 2
Sudah jam delapan, ayo kita mulai
Part 4 "TEBU MANTEN"
Bismillah, Ijin tag ya bang,
@IDN_Horor @karyakarsa_id @threadhororr #malamjumat #horror #horor Image
Untuk yang belum baca part sebelumnya bisa ke KK dengan user yang sama atau ke profil twitter saya.
Suara gamelan terdengar mengayun lirih ...
Lambat laun aku mengenali irama kenongnya. Seperti pernah mendengarnya di suatu tempat, tapi di mana? Lagian siapa malam-malam begini memutar kaset gending beginian ...
Read 182 tweets
Feb 23
Janji adalah hutang, saatnya untuk melunasi hutang saya,
Part 3 "TEBU MANTEN"
Kita mulai ya, Bismillah.

Ijin tag ya bang,
@IDN_Horor @karyakarsa_id @threadhororr #malamjumat #Horror #ceritahorror
Untuk yang mau baca part sebelumnya bisa ke akun karya karsa saja, tenang ini saya buka kok.
karyakarsa.com/simpledandism1…
Bukannya kami sudah pernah berbincang seperti ini kemarin. Aku segera menatap lawan bicara di depanku. Takut menghilang lagi tapi detik itu juga aku berharap sebaliknya.
Read 119 tweets
Feb 16
Maaf ya mundur satu jam dari janji awal. baiklah kita mulai.
@IDN_Horor #IDNH #malamjumat #horror #Horrorindonesia @threadhororr @karyakarsa_id Image
Karena Adis tak suka tidur dalam suasana yang gelap sedangkan aku tak bisa tidur jika lampu menyala. Jalan tengahnya pintu kamar kami biarkan terbuka jadi masih ada cahaya untuk Adis dan tak terlalu silau. Aku sudah hampir terlelap, namun bisikan lirih mencegahku.
Read 123 tweets
Feb 11
Nah sudah jam delapan, mari kita muai, saya akan up beberapa bab sekaligus di sini. Siap ya ...

#horror @threadhororr #threadhorror @karyakarsa_id @IDN_Horor @HorrorBaca @ceritaht Image
Untuk yang belum baca bab sebelumnya bisa ke kk saya dengan user yang sama, gratis kok atau bisa lihat twitt saya sebelumnya.
Kita mulai ya ... Bismillah
"Le' ojo mbok terusno mengko koe bakal nyesel." (Nak jangan di teruskan nanti kamu pasti menyesal).

Suaranya berbisik seperti angin namun aku bisa mendengarnya dengan jelas. Entah kenapa kali ini aku mengerti arti kalimat itu.
Read 88 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(