Assalamualaikum,
Waktunya saya Up!
"TEBU MANTEN"
Part ke 7
Untuk yang belum baca bisa ke akun KeryaKarsa atau ke profil saya
Ijin Tag ya Bang,
@IDN_Horor @karyakarsa_id @SpesialHoror @bacahorror_id #horror #horor #malamjumat Image
Suara rintihan korban yang tertimbun ratusan ton kapur semakin lemah. Di bawah sela tumbukan karung yang putih, mengalir cairan merah dan kental. Menit berikutnya forklift datang, satu persatu karung di tarik dari bagian atas dengan hati-hati.
Aji sigap mengabarkan paramedis dengan radionya. Suasana tegang dan mencekam. Kami berpacu dengan waktu, secepat mungkin menyelamatkan para korban.
Sepuluh menit kemudian, pendaran lampu merah biru dengan jeritan sirine meraung-raung mendekat masuk ke dalam gudang. Tim paramedis sampai, satu persatu dengan cepat para pekerja yang selamat bahu-membahu menyingkirkan karung ukuran 50 kg.
Teriakan pekerja satu sama lain, saling mengingatkan untuk tetap berhati-hati. Kami sudah tak peduli dengan panas yang menyengat kulit karena terkontaminasi kapur. Bahkan rambut kami sudah kelabu karena hamburan kapur yang tebal. Beberapa orang terbatuk-batuk,
tersedak udara yang panas. Satu persatu korban di tarik, aku sungguh tak percaya tiga orang meninggal di tempat, mataku panas dan berkabut karena air mata yang menggenang, melihat keadaan korban yang menggenaskan dengan luka pecah di kepala juga tulang rusuk yang patah.
Darah membanjir, menganak sungai di lantai beton. Jam menunjukkan pukul 02.00 dini hari.

Anyir darah bercampur bau chemical yang menyengat. Aroma kematian yang tak akan aku lupakan sampai kapanpun.
"Ndra, bantu gue angkat yang terakhir," Aji kembali memanggilku untuk memapah korban di tubuh bagian atas, sedangkan si kacamata mengangkat kakinya. Seragam putihku sudah berubah warna jadi merah, begitu pula dengan Aji.
Tangan kami lengket karena darah juga serbuk kapur yang menggumpal. Aku semakin bergidik ngeri melihat wajah korban yang hancur juga leher yang patah. Mungkin saat kejadian, dia masih berdiri dan langsung dihantam karung yang meluncur sekuatnya.
Tak terbayangkan bagaimana perasaan keluarganya. Sesaat yang lalu dia ijin untuk bekerja namun pulang tanpa nyawa. Isak tangis beberapa rekan mengiringi kepergian korban yang dilarikan ke rumah sakit untuk visum.
Aku terpukul hebat, masih sulit mencerna. Semuanya begitu cepat, hanya beberapa menit. Tapi tiga nyawa meregang dengan tragis, padahal beberapa menit yang lalu salah satu dari mereka masih mengajakku untuk ngopi bersama.
Terbesit dalam hatiku bagaimana jika aku yang ada di bawah sana? lalu Adis?

Aji mendekati TKP, pria cepak itu menunduk ke bawah memeriksa tumpukan palet kayu juga memeriksa karung-karung yang longsor, entah apa maksudnya.
Tak lama ia berjalan mendekat sambil sedikit melompat melewati genangan darah yang mulai membeku.

Matanya mengawasi sekitar dan terkunci ke arah pintu gudang. Pria gempal - Wiro - berdiri disana, menyaksikan dengan tenang dan dingin. Aku yakin sekali, dia sedang tersenyum.
Aura dendam menyelimuti Aji, matanya berkilat penuh kebencian. Aku segera menghalangi pandangannya, memberikan isyarat untuk menahan diri. Pria berkacamata itu mengangguk paham.
Meskipun keadaan sudah terkendali, tapi tumpukan karung yang bercampur darah belum bisa disusun ulang demi kepentingan penyidikan. Akhirnya malam ini pekerjaan mengecor lantai gudang gula tertunda. Tumpukan semen juga ikut tertimbun kapur.
"Ndra, balik dulu yok, ganti baju!" Jarak yang sedikit jauh membuat Aji bicara sedikit berteriak.

"Gak perlu Ji. Ada kaos di kantor pakai itu saja."

"Eh?" Aji sedikit terkejut.

"Wah persiapan Pak Andra mantap juga!" Pria cepak itu mengacungkan jempolnya.
"Kemaren sempet kehujanan, Jadi dari pada sakit lagi dan diomeli Adis lagi aku bawa beberapa untuk cadangan," ujarku sambil bergegas menuju toilet. Pakaianku lengket juga anyir. Hampir seluruhnya bagian depannya tertutup darah.
Dua buah kaos berbungkus plastik hitam, aku keluarkan dari laci, bunyi berdentang terdengar menghantai lantai. Ah, kunci melati dan kenanga, yang sebelumnya aku temukan. Aku memasukkannya kembali dan memberikan kaos berwarna hitam untuk Aji.
Sebenarnya aku sungkan untuk ganti di sini, tapi si cepak cuek saja membuka bajunya. Ya sudah lah kami juga kan sama-sama pria. Lagi pula aku sudah tak tahan dengan bau anyir darah yang sudah mulai mengering. Mual!
"Buset! Tatto loe keren juga? Gue kira cuma di tangan ternyata ampe punggung. Udah kaya yakuza loe." Pria cepak ini memang gak ada filternya.

"Masa?" Cuek sajalah, kepalang tanggung. Aku sudah menduga kalau orang di depanku - yang mulutnya ember - ini pasti berkomentar.
Aji mulai membuka kaos dalamnya. Rupanya dia memang benar aparat. Perut kotak dan otot bisepnya lumayan besar. Tapi tubuhku juga gak kalah kok. Hanya saja aku sedikit lebih tinggi jadi terlihat lebih kurus.
Padahal Adis sudah masak banyak makanan, tapi entah berat badanku tak kunjung naik. Kalau kata Adis, ‘usus Mamas panjang makanya gak bisa gemuk’ padahal itu gak ada hubungannya sama sekali.

"Kapan buat?" Pria cepak ini penasaran sekali.
"Waktu belum nikah sama Adis." Jawabku sekenanya.

Aku mulai membuka kaos dalamku yang lengket. Aji cuma bilang ‘O’, tapi seketika ia berhenti memakai kaosnya, pandangannya berbeda, menelanjangi setiap jengkal punggungku yang merah dan cacat.
Dugaanku tepat! Pasti dia geli melihat parut luka ini.
"Ndra loe, kenapa?"

"Kebakaran, umur dua tahun." Lirihku sambil menoleh padanya.  Wajah Aji berubah, matanya juga membesar mendengar ucapanku barusan.

"Tunggu-tunggu! umur dua tahun!?"
"Iya, itu juga kata pengurus panti, aku gak ingat," jawabku sambil memakai kaos merah pemberian Adis.

"Yakin!?"

Aku hanya mengangguk meskipun ragu, dalam kepalaku ini memang tak ada sedikitpun kenangan tentang lukaku ini.

"Orang tua lo ninggal juga karena kebakaran?"
"Eh? Kok tahu?"

"Cu-cuma nebak, di panti asuhan mana?" Aji terlihat gugup, tapi dengan cepat pria ini menyembunyikannya.

"Panti Asuhan Kasih Bunda Jaksel cuma sebulan itu pun di rawat di RS,
terus pindah beberapa kali ke panti asuhan lain sampai SMP. Balik lagi ke Jakarta kelas satu SMA."

Aji yang cengengesan itu terdiam seribu bahasa. Menatapku tajam, pandangannya berbeda. "Yakin loe Ndra?"
Dia masih terus bertanya dengan wajah yang serius. Lagi-lagi raut wajahnya mengeras dan tegas seperti kemarin saat kami bertengkar.

"Yakin lah Ji. Aku di sana sampe tamat SMA, terus kuliah di Palembang. Keterima kerja, yah biasalah ...
Merantau terus nikah dan tinggal sama Adis sampai sekarang. Memangnya kenapa?"

"Gue penasaran aja. Luka itu pasti sakit." Aji menatapku iba, suaranya berubah parau, dia bersedih untukku? Padahal aku yang luka tapi kenapa dia yang menangis.
Dasar si pitak semakin lama dia semakin aneh saja.

"Aku malah gak ingat sakitnya. Cuma kadang malu, makanya ditutup tatto begini tapi tetep aja aneh kan?" Ucapanku ringan, tapi pria didepanku ini tak berkedip, membuatku risih.
"Katanya kamu anak pungut. Di pungut di mana?" Karena suasananya semakin canggung, aku gantian meledeknya.

"Oh! Waktu gue 6 tahun. Sempet nginep di panti tapi cuma sebulan. Habis itu om sama tante ngadopsi gua." 

"Oh, dirawat saudara?"
"Bukan, temen Papa sama Mama." Suara Aji masih parau, tatap matanya seperti malam itu penuh duka dan amarah. Tangannya mengepal dengan jutaan luka tergenggam disana.

"Sabar ya Ji," aku hanya bisa menenangkan Aji yang emosional.
"Tapi kamu lebih beruntung, setidaknya masih kenal orang tua juga kasih sayang mereka." Padahal aku mencoba untuk menghiburnya tapi kenapa justru aku yang terluka mendengar ucapanku Sendiri.

Lucu sekali.
"Ndra? Loe gak pernah nanya sama petugas panti tentang masa lalu loe?" Aji masih terus bicara padaku sambil mengusap hidungnya yang basah.

"Gak pernah, memang kenapa?"

"Loe gak mau tahu siapa ortu loe?"
"Kalau itu sudah pernah tanya, waktu mau nikah. Tapi kata pengurus panti, dataku gak lengkap. Yah sudah pasrah saja. Mau gimana lagi?"

Tatapan Aji semakin iba padaku, padahal nasip kami sama. Tiba-tiba saja si cepak memeluku erat sambil menangis.
"Ternyata masih ada yang lebih menderita dari gue." Isaknya.

Terang saja aku serba salah, Aji belum pakai baju soalnya.

"Aji! Lepasin! Malu tau kalo ada yang lihat. Bisa-bisa kita di kira homo."

"IH AMIT-AMIT!"
Aji segera melepasku sambil bergidik. Aku tertawa saja dengan tingkahnya. Padahal baru saja dia menangis sekarang sudah bertingkah konyol.

Orang tua ya? Kira-kira wajah mereka seperti apa ya? Aku semakin membulatkan tekad, mencari tahu tentang Nyi Ireng.
Meskipun terjadi kecelakaan, oprasional tetap dijalankan seperti biasa, hanya saja di bagian stock chemical diberi garis batas peringatan untuk keperluan pemeriksaan polisi. Tentu saja pekerjaan perbaikan lantai gudang gula tertunda,
karena tumpukan semen ikut tertimpa karung kapur. Pandanganku menatap nanar ke arah tumpukan karung yang disusun darurat di atas palet kayu, beberapa karung kotor dengan noda darah yang mengering, tak jauh tumpukan pasir menutupi genangan darah yang merubah warnanya
menjadi kemerahan. Lalat dan binatang kecil mulai berkumpul, membuatku bergidik dan mual mengingat keadaan korban yang tragis juga teriakan mereka.

Tak terelakkan, aku buru-buru keluar menuju semak dan mengeluarkan seluruh isi perutku, hingga terasa pahit.
Sesuatu seperti mengaduknya berulang kali membuatku sampai tersedak dan mengeluarkan air mata, Jijik, takut, juga sedih semua bergumul bersama luapan isi perutku.

Cukup lama aku mual di luar dekat pipa boiler dekat pos bangunan terbengkalai.
Udara yang dingin juga gerimis kecil sedikit membuatku cemas. Semoga demamku tak kembali.

Sambil menenangkan diri, kepalaku penuh narasi tentang siji, telu, dan telulas iringan. Entah kenapa firasatku mengatkan jika ini saling berhubungan,
mungkinkah jika angka telulas itu artinya jumlah korban? Atau hanya pertanda saja? Baiklah jika telu adalah jumlah korban barusan, lalu bagaimana dengan angka siji sebelumnya.

Tapi satu hal yang bisa aku simpulkan, jika bisikan itu kembali aku tak boleh mengabaikannya.
Lalu apa hubungan Nyi Ireng dengan sosok wanita pengantin? Juga sosok pria yang kerap lalu lalang diluar rumah dan menghilang di arah rumah Pak Wiro. Satu lagi jika loro estri ada di rumah lalu dimana si jaler. Itu juga tak kunjung aku temukan. Kusut!
Jika masih ada Pak Mamat, mungkin aku bisa bertanya padanya. Karena hanya pria itu yang memberikan peringatan padaku, sayang dia sudah tak ada. Aku bahkan tak sempat bertemu dan meminta kebenaran padanya.
Sambil menggaruk kepala yang penuh, mataku menangkap sosok pria yang sangat aku kenal, Pak Mamat melambai di kejauhan dekat pagar lapuk yang penuh semak tepat didepan bangunan terbengkalai, memakai kemeja kotak-kotak biru bergradasi putih dengan celana hitam.
"Pak Mamat?" aku menghampirinya, sambil menyibak ilalang yang basah, kebetulan sekali.

Pria itu tersenyum sinis seperti biasanya. "Pak kapan ke sini?"

"Barusan Pak Andra, cak mano kabar kau?" Pak Mamat bicara seperti biasanya, dengan wajah yang sedikit pucat,
mungkin karena kedinginan, hujan memang turun semalaman.

"Semenjak Bapak gak ada, saya sibuk.” Pria dihadapanku hanya terkekeh dengan keluhanku. Sakalipun pemarah, sebenarnya Pak Mamat orang yang baik.
“Pak maaf kalau tiba-tiba tapi saya boleh tanya?" Pria didepanku hanya mendehem sekenanya saja.

"Apa benar? Bapak dengan Mba Ayu ..." Aku tahu sebenarnya pertanyaan ini lancang tapi aku butuh kejelasan, ucapanku bahkan belum selesai tapi Pak Mamat menggeleng. Sudah kuduga!
"Maaf Pak saya tak bisa membela Bapak," sesalku.

"Ndak apo Pak Andra, saya juga minta maaf kalau banyak buat Pak Andra kesal." Ucapnya Pak Mamat malam ini sedikit janggal.

Sejak kapan dia memanggiku 'Pak' dan 'Andra' sekaligus?
Samar-samar tercium bau aneh seperti kapur barus dan formalin ... Pandanganku menyapu seluruh tempat. Ah! Tumpukan drum bekas chemical di dinding gudang, bau ini pasti dari sana. Aku kembali melihat Pak Mamat.
"Pak saya boleh tanya lagi?" Pria dihadapanku menjawab dengan anggukan. "Bapak pernah denger tentang ... Nyi Ireng?" ucapku selirih mungkin. 

Pak Mamat mengangguk cepat, namun belum juga dia menjawab bunyi dentingan air berirama jatuh di atas asbes dan juga dedaunan.
Hujan datang lagi.

“Pak Andra, hujan. Sebaiknya kito ngobrol di dalam bae.” Pak Mamat mengingatkanku.

Sedikit berlari aku kembali ke depan gudang disusul Pak Mamat dibelakangku, tepat setelahnya air benar-benar jatuh dengan deras seperti tertumpah dari langit.
“Pak Andra, kenapa kau tanyo masalah itu?” Pria berpakaian kotak-katak di hadapanku kembali menanyakannya.

“Pak Mamat percaya demit dan hantu?” 

“Namanya jin dan hantu itu ado Pak Andra, tapi sebagai makhluk ciptaan Allah yang sempurna, kau dak perlu takut dengan mereka.”
Ucapan Pak Mamat benar-benar aneh, dia seperti orang lain yang belum aku kenal.
“Jadi Pak Mamat benar-benar percaya?”

Dia mengangguk. “Pak Andra, yang kau lihat beberapa hari ini memang bagian dari alam lain yang hidup saling berdampingan dengan manusia.
Sejatinya manusia dak biso melihat atau merasakan kehadiran mereka. Tapi kalau kasus Pak Andra bisa melihat mereka ado dua kemungkinan.” Terangnya. Aku sedikit terkejut dari mana pria ini bisa tahu jika aku bisa melihat mereka? Padahal aku belum mengatakannya.
Aku sudah hampir bertanya namun pria ini kembali bicara.

“Kemungkinan pertama Pak Andra memang mempunyai kelebihan yang dak kau sadari dan yang kedua kau sedang dalam pengaruh sihir atau gendam.”

“Eh? Sihir?” Sepertinya aku pernah mendengar hal ini tapi benarkah?
“Salah satunya pelet.” Kata-kata terakhir Pak Mamat membuat wajahku berubah. Seketika aku menemukan jawaban atas perasaanku yang berbeda dengan Mba Ayu, wanita brengsek!
“Pak Andra, kau dak biso pergi begitu saja dari sini. Nyi Ireng dak akan melepaskan kau sampai kapanpun. Hati-hati!”

“Jadi aku harus bagaimana Pak?”

“Jawabannyo ada di dalam diri kau, Pak Andra.” Pak Mamat kembali membuatku bingung.

"Maksudnya Pak?"
Belum juga aku menjawab namun Pak Mamat beranjak meninggalkanku menembus hujan. Sambil berbalik pria itu bicara "Pak Andra, selesaikan apa yang mereka mulai. Balaskan dendamku," Aku semakin tak mengerti dengan ucapannya,
seolah tak cukup membuatku bingung Pak Mamat juga memberikan kejutan yang lain ... KEPALANYA Menggelinding.

BANGSAT! Secepat kilat aku berlari sambil menengok kebelakang, tubuh tanpa kepala itu melangkah terhuyung-huyung,
air hujan membuat darah mengalir membanjir dari lehernya yang buntung hingga ke kaki. Tangannya menggapai-gapai udara kosong dan lepas, membuatku semakin bergidik ngeri, sedangkan kepalanya jatuh entah kemana, tapi aku jelas mendengar.

"BALASKAN DENDAMKU! "
Jeritannya parau, seperti campuran suara laki-laki dan perempuan yang bicara bersamaan namun tak hanya dua orang tapi puluhan bahkan mungkin ratusan orang. Bahkan sampai di dalam gudang aku masih mendengar teriakannya.
AYO CEPAT! LARI! Ini bahkan bukan mimpi. Cari keramaian! Hanya itu tujuanku.

Anj***! Bangs**! Sambil berlari aku mengumpat tak habis-habis dan terus berlari sampai di depan pintu gudang utama, beberapa orang berkumpul.
Aku berhenti dan merunduk kelelahan, ketakutan, terengah-engah mengatur nafas secepat mungkin. Aku sempat berfikir jika sudah terbiasa melihat penampakan mereka rupanya aku salah besar.

 Aku takkan pernah bisa. Ini terlalu mengerikan
Tungkaiku lemas tak bertulang, tarikan nafasku menarik perhatian beberapa orang, mereka spontan bertanya namun aku berkilah, untung saja Aji datang membawaku menjauh, "Ndra, ada waktu?" Wajahnya serius.
Di dalam ruangan, Aji segera menutup pintu dan menguncinya membuatku mengernyit. "Ndra, Mayat yang ditemukan di areal beberapa hari yang lalu ... Dia ... Pak Mamat!"
Kata-kata Aji membuat tubuhku kembali bergetar hebat, seperti disiram puluhan liter air es dari ujung kepala sampi ke kaki. Itu benar-benar sosok Pak Mamat, kepalanya yang menggelinding, tubuhnya yang berjalan tehuyung-huyung juga tangannya yang melambai memanggilku.
DIA SUDAH MATI!

"NDRA!" Aji membentakku yang tertegun.

Aku kembali mual dan segera keluar menuju toilet. Aku sekarang mengerti arti kata 'Siji'.
Adis kembali mengompres kepalaku dengan handuk, demamku kembali. Bahkan lebih hebat, "Mamas ki wes diomongi jangan hujan-hujanan." Tangan lembutnya masih sibuk memeras handuk di dalam baskom.

"Mamas sakit kok malah diomelin sih dis?" lirihku lemah.
"Bukane ngomel, cuma ngasih tahu, kemaren kan Mamas belum sembuh betul." Ngeyelnya kembali.

Mendengar omelan Adis membuatku tersenyum lega, akhirnya aku bisa mendengarnya lagi.

"Yah biarin saja ‘kan ada Adis yang bisa ngompres." Lirikku, tapi wanita ini malah manyun.
"Tak kerokin ya?" Ancamnya.

"NGAK!" Aku langsung menolak, garis merah kemarin saja belum hilang sudah mau disiksa lagi. Anehnya meski nyeri tubuhku lebih hebat, tapi aku bisa menahannya. Mungkin karena kami sudah tak bertengkar? Adis masih terus menggodaku,
sampai ucapannya terdengar berbeda. "Mamas, Adis mau cerita boleh ndak?"

Aku menatap wajahnya lekat. Adis jarang sekali begini. "Cerita apa?"

"Bu Wiro awak’e biru-biru, waktu Adis tanya 'kenapa?' dia cuma bilang jatuh ngunu."
Oh! Ternyata Adis sudah jadi ibu-ibu kompleks yang suka ngerumpi rupanya. "Terus?" Tanyaku lagi.

"Ya Adis curiga saja, jangan-jangan dia dipukulin sama suaminya. Soale kalau jatuh ndak mungkin nyampe matanya biru dan bengkak, ya toh?"
kesimpulam Adis persis seperti detektif swasta.

"I-iya juga sih?" Rupanya begini ya rasanya diajak ngerumpi sama istri sendiri, senang sih dia terbuka padaku.

Tapi wajahnya berubah galak, "Mamas gak bakalan kaya gitu kan?" Tuduhnya.
Terang saja aku langsung menyalak. "Ya ngak lah Adis. Sembarangan! Jangankan untuk memukul Adis, membentakmu kemarin saja Mamas sudah hancur.” Aku sungguh menyesalinya. Aku pasti gila jika melakukan itu pada Adis.
"Beneran?" Wanita itu berkata lirih, iris mata jernih itu ... Menatap sendu. Seperti tak percaya. Rupanya kesedihan Adis masih tersisa menyadarkanku jika bekas luka yang aku berikan takkan bisa terhapus. Aku sungguh menyesal, tanganku menarik jari jemari
dan menggenggam telapak tangannya yang lembut. Ukuran tangan Adis yang mungil tenggelam dalam satu genggamanku. Kami hanya terdiam dan beradu pandang.

“Maaf ya Adis? Mamas sudah buat kamu terluka.” Wanita itu hanya menatapku, netra jernih itu kembali berkaca-kaca.
“Adis … Mamas tahu semenjak kita menikah, Mamas gak pernah janjikan apapun buat Adis karena memang gak punya apa-apa.” Aku menghela napas, entah kenapa hatiku jadi nyeri.
“Tapi satu hal yang bisa Mamas pastikan, tangan ini gak akan pernah berani untuk menyakiti Adis. Mamas lebih memilih untuk memotongnya kalau sampai itu terjadi. Jadi jangan ragu sama Mamas. Perasaan Mamas sama Adis gak akan pernah berubah selamanya!” Ucapku penuh kesungguhan,
hanya wanita ini yang ku miliki, aku tak bisa membayangkan jika aku harus kehilangan Adis. Membayangkannya saja sudah sakit luar biasa.

Tiba-tiba saja Adis tertawa lirih padahal netranya masih basah, membuatku bingung. Mungkin aku salah bicara?
“Adis tahu kok, tapi tumben Mamas romantis gini.” Adis mesam-mesem gak jelas.

Dasar wanita ini, giliran aku sedikit serius dia malah tertawa bikin kesal saja. Tapi memang senyumnya cantik sih, juga matanya jernih, belum lagi suara medoknya yang lembut. Baiklah aku maafkan.
“Kok malah ketawa sih Dis?” Aku pura-pura ngambek.

“Ndak gitu, selama kita nikah, baru kali ini Mamas bilang begini. Adis ya seneng toh tapi juga geli … Jadi beneran ndak bakalan begitu kan?” Adis masih senyum-senyum meledekku.

Asem tenan … Belum percaya rupanya!
"Iya lah! Mana tega Mamas lakuin hal gila kaya gitu, Mamas tu tugasnya begini nih ..."

Adis hanya menjerit tertahan saat aku menggelitik pinggangnya dan berujung pada pertempuran ranjang.

Setiap sentuhan kami menjadi luapan perasaan yang tertahan selama perselisihan kemarin,
kerinduan dan juga rasa bersyukur karena akhirnya semua kembali lagi seperti semula. Bahkan aku bisa pastikan jika perasaanku padanya semakin besar. Adis saat ini sangat cantik. 

“Dis, aku ingin punya anak,” bisikku.
Wanita dibawahku ini semakin merona, tersenyum malu menerima semua badai gravitasiku.

“Ya, Adis juga ingin jadi Ibu,” lirihnya

Dan bayangan Ayu? Ia tak lagi menghantuiku, mungkin karena aku sudah menyadari jika Ayu mengirimkan guna-guna padaku?
Atau karena aku tak bertemu dengannya seharian ini? Entahlah …

Di tengah hamparan tebu yang setinggi ilalang, aku berdiri sendiri menikmati langit yang mengharu biru dengan gumpalan awan putih yang berarak. Pandanganku menerawang jauh di batas pertemuan langit dan bumi.
Angin sibuk menyibak helaian daun tebu yang menari seperti ombak di kejauhan saling menyusul. Harum rumput yang segar juga matahari hangat membuatku nyaman, saat sang angin berbalik menerpa wajahku belaiannya sangat halus seperti usapan tangan seorang ibu.
Sebuah perasaan hangat merabat ke dalam hati, membuaiku hingga memejamkan mata. ini sungguh nyaman, seolah tak ada beban hidup, tak ada pikiran yang membebaniku. Semuanya tenang seperti ...  Rumah!
“Andra?” Seseorang memanggil di belakang punggungku, sedetik setelah aku berbalik,
kelopak mataku membesar, menatap lekat sosok pria yang ternyata adalah diriku sendiri.

Andra yang lain dengan beskap cokelat bergaris kuning juga belangkon dan jarit warna senada, kami … Kembar!

Meski ada sedikit perbedaan karena Andra disampingku ini bermata hitam
dan berkulit sedikit lebih gelap. Pandanganku terpaku seiring langkahnya hingga ia berdiri tepat disisiku. Gestur tubuhnya sungguh tenang dan berwibawa. Seperti seorang bangsawan Jawa, pria ini menatap jauh ke arah horizon sembari menyilangkan kedua tangannya di belakang punggung
dan sesekali melirik padaku. Sebuah keris terselip di pinggangnya.

Meskipun ini mustahil, tapi aku menyadari jika Andra yang ada disisiku bukanlah manusia dan perasaanku mengatakan jika kami telah lama saling mengenal satu sama lain.
Tak ada satupun dari kami yang berniat membuka suara hanya memandang titik yang sama di ujung horizon yang berkilau, hingga akhirnya - Andra yang lain - mulai bicara dengan suaranya yang tenang dan berat.
“Menungso kui kudu okeh dungo karo gusti pangeran, ojo keakean sambat ojo keminter lan ojo ngeroso luweh hebat teko menungso liyane.”

Bahkan intonasi suaranya juga sama, hanya saja dia fersiku yang berbahasa jawa dengan kata-kata yang membingungkan.
Membuat garis dahiku bertambah saat aku menatapnya lekat sampai pria disampingku tersenyum simpul lalu mengartikan ucapannya,

“Manusia itu harus banyak berdoa kepada gusti pangeran, jangan banyak mengeluh, merasa pintar dan merasa lebih hebat dari manusia yang lain.”
Ah! Jadi itu maksudnya. Aku kembali mengalihkan pandanganku menatap awan yang bergelombang.

“Awakmu pingin weroh sopo Nyi Ireng?” Ucapan laki-laki - yang mirip denganku - ini sontak membuatku terperanjat, belum juga aku menjawab pria ini kembali bicara.
“Nyi Ireng kui kesalahan buyutmu. Seandainya saja dulu dia ndak temakan rayuan iblis itu semua ndak bakalan begini.”

“Maksudnya?”

“Tapi sak durunge kue kudu nerimo kelebihan lan kekuranganmu.” (Tapi sebelum itu kamu harus menerima kelebihan dan kekuranganmu)
Andra di sisiku kembali bicara dan berhasil membuatku kebingungan untuk kesekian kalinya. “Kelebihan? Aku gak punya yang seperti itu.” Terangku cepat tanpa menoleh padanya, 

Namun Andra di sampingku kembali tersenyum dan menatap horison yang jauh.
Angin yang sama menerpa wajah kami, bersama aroma rumput yang khas. “Awakmu lupa atau memang ndak mau mengingat? Kamu selalu mengingkari dan menganggap semua baik-baik saja. Padahal jauh di dalam hati kamu ingin tahu siapa dirimu sebenarnya kan?
Jangan ingkari lagi sudah takdirmu untuk menyelesaikannya. Kamu ndak sendiri, masih ada kakangmu.”

Aku semakin tak mengerti, “Siapa kamu sebenarnya?”
Bukannya menjawab, Andra disampingku ini justru tertawa lirih sambil menutup mulut dengan kepalan tangannya seolah pertanyaanku adalah sebuah lelucon yang sangat lucu untuknya, bahkan ekspresi tertawa kami juga sama.
“Aku yo awakmu, awake dewe iki siji. Tapi kamu ndak pernah mau menyapaku. Firasat yang selalu berbisik kui sopo nak uduk aku?” (Aku adalah kamu, kita ini satu. Tapi kamu gak pernah mau menyapa aku. Firasat yang selalu berbisik itu siapa kalau bukan aku?)
“Jadi … Suara itu, peringatan yang selalu datang itu...?”

Lagi-lagi pria ini kembali tertawa.
“Mulai saiki semua indramu bakalan lebih peka. Kamu ndak cuma bisa mendengarku tapi juga melihat mereka. Inget yo le? Manusia itu lebih tinggi dan mulia, kecuali dia menghinakan dirinya sendiri. Siji meneh namamu ki Salim Chandra. Wes saiki bali!” (Sudah sekarang pulang!)
Masih banyak yang ingin aku tanyakan pada sosok disampingku ini, tapi sesuatu menarikku, menjauh dari andra yang berdiri mematung sambil tersenyum. Tubuhku melayang lalu berputar dalam sebuah lorong dimensi yang membuatku mual dan dihempaskan sekuat mungkin,
kembali pada ragaku yang terpejam di atas ranjang tua yang berdecit. Pertamakali yang ku lihat adalah langit-langit kamar yang redup lalu Adis yang terlelap sambil memelukku.
Pelan tapi pasti kesadaranku kembali, aku mulai mengingat dan mengurut semua kejadian aneh yang terus menerus aku alami. Menghubungkannya dan menyadari jika selama ini aku tak bermimpi. Semua pertemuanku dengan mereka.
Mimpi-mimpi buruk itu semuanya nyata, jiwaku berkali-kali masuk ke dimensi astral. Hanya saja aku tak menyadari hingga sosok ini menemuiku.

Diriku yang lain. Andra yang memakai beskap juga blangkon. Mungkinkah dia masa laluku? Atau sosok yang menemaniku?
Kesalahan buyutku? Apa yang sudah dia mulai dan kenapa harus aku yang menyelesaikannya?

Keyakinanku semakin kuat jika Nyi Ireng benar-benar berhubungan denganku. Ini bukan tentang masalah tumbal saja, melainkan kebenaran yang harus aku temukan.
Kenyataan ini membuat hatiku remuk redam, apalagi saat dia mengatakan tentang jati diri. Salim Chandra adalah namaku!
Untuk pertama kalinya bulir hangat mengalir di sudut mataku.  Aku sungguh menginginkannya. Masa laluku! Aku bahkan punya saudara, tapi dimana dia sekarang? Apakah dia juga tahu jika aku masih hidup.
Di atas pembaringan, aku menangis sambil menutupi mataku yang pedih, seorang pria terisak-isak di tengah malam, seperti bukan diriku saja. Namun firasatku berkata jika aku harus melepaskannya dan terbuka pada diriku sendiri.
Menerima kelebihan, kekurangan juga lukaku. Jujur dengan diriku sendiri ternyata selama ini aku hanya berpura-pura kuat!

Tapi aku harus melakukannya, membohongi perasaanku. Tinggal sendirian, sebatang kara. Berdiri sendiri tanpa keluarga.
Hanya berpura-pura yang membuatku bisa bertahan sampai di sini.

Tapi detik ini aku menyadari jika aku sungguh naif, menahan tangis dan menegaskan jika semua ini sudah takdir, padahal memang hidupku sungguh menyedihkan.
Aku yang tak pernah berusaha menanyakan siapa diriku yang sebenarnya. Karena takut, bahwa menerima kesedihan ini akan membuat hatiku semakin remuk redam. Ayah? Ibu? Mereka sudah pergi meningalkanku.
Andra kau sungguh bodoh dan munafik. Kali ini menangislah, terimalah lukamu! Karena sedari awal kau sudah tak baik-baik saja!
Seiring isakanku yang lirih juga gempuran perasaan yang meluap, satu persatu ingatan terbuka seperti kotak pandora, samar-samar aku mengingat kenangan yang datang melintas dalam memoriku.
Wajah seorang pria yang buram dan suara wanita dengan logat jawa yang sangat kental dan halus, juga suara anak laki-laki yang mengajariku berjalan. Tawa bahagia ketiganya, sayangnya aku tak bisa mengingat wajah mereka. Apakah aku harus mencoba lebih keras?
Tarikan nafasku selanjutnya, kenangan itu berubah mengerikan. Sepertinya itu malam hari, aku berada dalam gendongan anak laki-laki yang meringkuk ketakutan dipojok ranjang. Saat dua orang pria memakai pakaian gelap masuk ke dalam kamar,
mengayunkan senjata tajam pada laki-laki lain yang mempertahankan diri dan wanita yang yang melindungi kedua putranya yang tak berdaya.

Sedetik lagi seseorang yang lain hendak mengayunkan parangnya kearah tubuhku seorang rekannya menahan tubuhnya dan memberikan kode.
Keduanya bergegas keluar sambil mengunci kamar. Sayang sungguh sayang tak sedikitpun aku bisa melihat wajah mereka semua termasuk anak laki-laki yang menggendongku.
Malam itu darah mengalir merah dari kedua tubuh pria dan wanita yang meregang nyawa. Sang ibu menatap ke arah kami berdua. Lagi-lagi aku tak bisa mengingat wajahnya dengan jelas.
Yang bisa aku ingat hanyalah suara dendam, makian, amarah juga erangan nyawa menyayat, menjadi simfoni dengan tangisan dan jeritan malam itu. Sedetik kemudian lidah api yang menjilat seluruh bangunan, asap pekat, oksigen berkurang.
Apa ini saat keluargaku meninggal? Belum aku sempat menjawab rasa mual menyerangku, sontak aku bangun dan bergegas ke toilet. Derik ranjang bersahutan dengan suara pintu terbanting membangunkan Adis yang terlelap.
Wanita itu bahkan tak sempat mengusap wajahnya dan segera menyusulku. “Mamas kenapa?” Kecemasan menguasai Adis. “Mamas?” suaranya semakin keras.
Nah segini dulu ya, yang mau baca duluan bisa ke karyakarsa,
disana sudah selesai.

karyakarsa.com/simpledandism1…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with simpledandism123

simpledandism123 Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @simpledandism

Feb 23
Janji adalah hutang, saatnya untuk melunasi hutang saya,
Part 3 "TEBU MANTEN"
Kita mulai ya, Bismillah.

Ijin tag ya bang,
@IDN_Horor @karyakarsa_id @threadhororr #malamjumat #Horror #ceritahorror
Untuk yang mau baca part sebelumnya bisa ke akun karya karsa saja, tenang ini saya buka kok.
karyakarsa.com/simpledandism1…
Bukannya kami sudah pernah berbincang seperti ini kemarin. Aku segera menatap lawan bicara di depanku. Takut menghilang lagi tapi detik itu juga aku berharap sebaliknya.
Read 119 tweets
Feb 16
Maaf ya mundur satu jam dari janji awal. baiklah kita mulai.
@IDN_Horor #IDNH #malamjumat #horror #Horrorindonesia @threadhororr @karyakarsa_id Image
Karena Adis tak suka tidur dalam suasana yang gelap sedangkan aku tak bisa tidur jika lampu menyala. Jalan tengahnya pintu kamar kami biarkan terbuka jadi masih ada cahaya untuk Adis dan tak terlalu silau. Aku sudah hampir terlelap, namun bisikan lirih mencegahku.
Read 123 tweets
Feb 11
Nah sudah jam delapan, mari kita muai, saya akan up beberapa bab sekaligus di sini. Siap ya ...

#horror @threadhororr #threadhorror @karyakarsa_id @IDN_Horor @HorrorBaca @ceritaht Image
Untuk yang belum baca bab sebelumnya bisa ke kk saya dengan user yang sama, gratis kok atau bisa lihat twitt saya sebelumnya.
Kita mulai ya ... Bismillah
"Le' ojo mbok terusno mengko koe bakal nyesel." (Nak jangan di teruskan nanti kamu pasti menyesal).

Suaranya berbisik seperti angin namun aku bisa mendengarnya dengan jelas. Entah kenapa kali ini aku mengerti arti kalimat itu.
Read 88 tweets
Feb 7
Setan alas atau Iblis berbentuk manusia. Mana yang lebih mengerikan?
karyakarsa.com/simpledandism1… Image
Cerita ini di mulai dari atas selat sunda, dalam semilir angin laut yang asin dan dingin. Sebenarnya malam-malam begini paling enak minum kopi pahit buatan Adis. Tapi jangankan ngopi, mau duduk tenang saja susah.
Gelombang besar membuat kapal penyebrangan jurusan Merak-Bakau yang aku tumpangi bergoyang tak karuan. Wanita yang bersender di bahuku terus menerus mengeluarkan isi perutnya dalam kantong plastik hitam. Maklum ini pengalaman pertamanya naik kapal laut.
Read 26 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(