Terjebak di rumah ini sendirian. Om tidak bisa kemana-mana..
Iya, pada tengah malam ini om sedang sendirian di rumah,
Wahyu gak ada..
***
"Pak, saya ke kota dulu ya. Sebelum maghrib saya sudah di rumah lagi."
Siang itu Wahyu pamit untuk berbelanja keperluan rumah ke kota. Belanja rutin bulanan kali ini hanya dia yang melakukannya, om tidak ikut karena sedang gak enak badan.
Seharian hanya terbaring lemas di atas tempat tidur, hari itu om tidak bekerja, semua pekerjaan dilakukan oleh Wahyu.
"Iya Yu, hati-hati ya.."
Wahyu langsung berangkat, kemudian terdengar suara motor dihidupkan di halaman, selanjutnya motor terdengar menjauh meninggalkan rumah.
Om gak berpikir macam-macam, karena yakin kalau Wahyu akan pulang sebelum maghrib.
Om hanya ingin beristirahat saja seharian, fisik om gak akan kuat kalau harus memaksa diri untuk ikut Wahyu berbelanja ke kota.
***
Jam sudah hampir di pukul enam sore tetapi Wahyu belum juga kelihatan batang hidungnya. Om memaksa tubuh yang masih dalam keadaan demam tinggi untuk beranjak dari tempat tidur dan menuju halaman depan, duduk di kursi sambil menunggu kedatangan Wahyu.
Om berharap kalau Wahyu sebenarnya sudah sampai di rumah ketika om sedang tidur tadi, tapi tenyata tidak, Wahyu benar-benar belum pulang.
Suasana rumah dan sekitarnya sudah mulai gelap, om segera mulai untuk menyalakan lampu petromak di ruang tengah dan lampu templok di setiap kamar.
Setelah dalam rumah sudah cukup terang, om langsung menyalakan radio.
Oh iya, Radio adalah satu-satunya hiburan kami di rumah itu, yang selalu setia menangkap siaran stasiun radio dengan frekuensi AM.
Untungnya, radio yang tertangkap siarannya, sering memutarkan lagu-lagu yang sedang hits, musik era 80 dan awal 90an menjadi andalan. Barat maupun lokal.
Pada saat itu yang sedang berkibar adalah Guns n' Roses, Bon Jovi, White lion, dan kawan-kawannya.
Saat itu juga, om sedang sangat menggemari lagu you're all i need-nya White Lion, lagu romantis yang mengingatkan om kepada mantan pacar waktu masih tinggal di Semarang.
Skip, kita kembali ke radio..
Dengan tidak adanya masjid atau musholla di dekat perkebunan karet itu, untuk mengetahui waktu sholat pun kami harus bergantung pada radio, yang akan menginformasikan ketika tiba saatnya waktu sholat dengan mengumandangkan suara adzan.
Radio yang kami miliki ini sebenarnya bukan radio tua, radio yang cukup baru malah, tapi sering kali kami harus mengubah dan menggerakkan antenanya yang panjang untuk menangkap siaran, kalau gak begitu yang terdengar akan lebih banyak "kresek-kresek"-nya.
Radio dua band berwarna hitam yang kami beli di kota pada awal tinggal di rumah itu, kami letakkan di atas meja ruang tengah, dikelilingi oleh kursi tamu panjang dan pendek.
Kumandang adzan belum terdengar, memang belum waktunya, walaupun jam sudah lewat dari angka enam.
Om membuka pintu depan dan melihat ke arah luar, Wahyu belum juga terlihat datang bersama motornya.
"Ah mungkin dia lupa waktu karena bertemu dengan temannya di kota, dan akan sampai di rumah selepas maghrib atau isya.."
Om membesarkan hati dengan bicara sendirian..
Beberapa saat kemudian suara adzan maghrib akhirnya terdengar juga di radio, om langsung menutup pintu dan mematikan radio, kemudian berjalan ke belakang rumah untuk berwudhu dan melaksanakan sholat.
***
Kamis malam jumat, om melanjutkan mengaji setelah selesai sholat maghrib sambil menunggu waktu isya.
Dalam benak, om masih terusik memikirkan keberadaan Wahyu yang sampai hampir masuk waktu Isya belum datang juga.
Di tengah-tengah kekhusu'an mengaji, ada satu hal aneh yang terjadi.
Tiba-tiba terdengar suara radio, radio hidup dengan sendirinya, padahal om ingat kalau tadi sebelum maghrib sudah mematikannya.
Melirik ke ruang tengah, om melihat radio masih berada pada tempatnya, gak ada hal aneh lainnya, hanya suara yang mengalun keluar dari speakernya.
Radio itu menangkap siaran yang sebelumnya belum pernah om dengar, siaran radio yang aneh.
~Anehnya gimana om?~
Om mendengar lagu keroncong Jawa yang kualitas rekamannya seperti rekaman tahun 1960an, atau bahkan lebih lama lagi.
Intinya, om seperti mendengar siaran radio dari stasiun jaman dulu, sekitar tahun 1960 -1970an..
Om dan Wahyu tidak pernah menangkap siaran radio yang memutar lagu-lagu keroncong, apa lagi dengan keroncong dengan kualitas rekaman jaman dulu.
Om berdiri dan berjalan menuju ke tempat radio itu berada, langsung mengubah frekuensinya, kembali ke frekuensi stasiun radio favorit.
Berdiri diam di depan radio, om geleng-geleng kepala sendiri..
"Siaran radio apa yang baru saja terdengar? Aneh..."
Gak berapa lama kemudian terdengar kumandang adzan, om langsung bersiap melaksanakan sholat isya.
***
Om semakin khawatir dengaan keberadaan Wahyu, sampai hampir jam sembilan malam dia belum juga datang.
Dalam hati om berpikir semoga gak terjadi hal-hal buruk yang menimpa dirinya.
Di satu sisi om mengkhawatirkan kabar Wahyu, di satu sisi lagi om mulai merasa was-was.
Kenapa was-was? karena kalau sampai Wahyu gak datang juga, berarti om harus menghabiskan malam di rumah sendirian.
Iya, sendirian..
Motor gak ada..
Malam jumat..
Di tengah-tengah perkebunan karet yang letaknya jauh dari mana-mana..
Perkebunan karet yang angker..
***
Sudah jam 10 malam, wahyu belum datang juga.
Gelas Teh hangat yang ada di atas meja sudah kosong, om gak sanggup untuk berjalan ke dapur dan menyeduh teh lagi. Om merasa kalau demam yang om alami ini malah semakin tinggi, walaupun sudah minum obat penurun demam.
Om menggigil meringkuk berbalut sarung di atas kursi di ruang tengah, belum mau untuk masuk ke kamar karena takut kalau tiba-tiba Wahyu datang.
Radio masih dalam keadaan hidup, penyiar stasiun radio frekuensi AM tengah memutar lagu-lagu barat kesukaan om.
Hingga akhirnya lagu favorit om diputarkan oleh penyiar, You're all i need-nya White Lion.
"I know that she's waiting, for me to say forever..."
Suara merdu Mike Tramp yang diiringi petikan gitar berkarakter memecah kesunyian malam itu.
Pikiran om langsung melanglang buana ke masa pacaran di Semarang. Sedikit banyak membantu untuk melupakan kesendirian di dalam rumah.
Tapi ketika om sedang menikmati suasana itu, tiba-tiba lagu berhenti di tengah-tengah..
Kemudian lagu berganti dengan musik keroncong tempo dulu, dengan kualitas rekaman yang jadul juga.
Musik keroncong yang sama persis dengan musik yang mengalun dari radio waktu maghrib tadi.
Om coba mendengarkan dan memperhatikan dengan seksama, musik keroncong itu ternyata mengiringi lagu yang dinyanyikan oleh seorang wanita.
Saat lagu selesai, suara yang keluar dari radio berganti dengan suara penyiar yang sedang membawakan acara.
Penyiarnya seorang laki-laki dengan suara berat, tipikal penyiar radio tahun 1960 sampai 1970an.
Dia berbicara layaknya penyiar radio yang sedang menemani pendengarnya pada malam hari, dengan lancar mengeluarkan kalimat dengan tutur kata yang rapih dan jelas terdengar.
Om semakin mendengarkan dengan fokus ketika dia terus berbicara panjang lebar, om menunggu informasi yang dapat menjawab banyak pertanyaan yang ada di dalam benak.
Ini radio apa? Apa nama acaranya?
Kenapa terdengar seperti siaran radio yang terjadi beberapa puluh yang yang lalu?
Kenapa frekwensi radio ini baru tertangkap malam ini?
“Para pendengar, berjumpa lagi dengan saya, di malam jumat ini saya akan menemani rekan-rekan semuanya. Pada hari ini 18 Maret seribu sembilan ratus enam puluh delapan, bertepatan dengan hari....”
Om langsung tidak fokus lagi mendengarkan kalimat selanjutnya, Om langsung terhenyak kaget ketika dia menyebutkan tahun 1968, om terkejut, karena pada saat itu adalah tahun awal 90an.
“Ini radio apa?”
Om kembali mendengarkan ocehan sang penyiar yang terus menginformasikan berita-berita yang sedang terjadi pada saat itu, tahun 1968.
Tiba-tiba om merinding, perasaan om mulai tidak enak, om mulai berpikir kalau siaran radio itu bukanlah siaran radio biasa.
Om langsung mematikan radio dan masuk ke dalam kamar.
***
Pintu kamar sudah dalam keadaan terkunci ketika om masih memikirkan tentang siaran radio tadi, di samping itu juga om masih memikirkan tentang keberadaan Wahyu, om takut terjadi apa-apa dengannya.
Sedangkan om dalam keadaan terjebak di rumah itu tanpa bisa pergi ke mana pun, Wahyu pergi dengan membawa motor, dan om tidak bisa berjalan kaki jauh-jauh dengan kondisi tubuh yang masih dalam keadaan demam tinggi.
Om hanya bisa terbaring lemas di atas tempat tidur, sambil terus berharap semoga Wahyu tiba-tiba datang.
Namun harapan tinggal harapan, sampai nyaris jam dua belas malam Wahyu belum datang juga.
***
Demam yang om alami sudah semakin reda, namun masih sedikit menyiksa, om masih menggigil.
Berselimut tebal dan menutup kelambu om mencoba untuk berkeringat agar suhu tubuh menurun.
Pada saat itu om berpikir, kalau saja kondisi tubuh sehat, tidak sedang sakit seperti itu, om akan beranjak pergi, om akan berjalan kaki mencari keramaian, meninggalkan rumah.
Tapi kondisinya tidak memungkinkan, untuk berdiri saja om masih agak pusing, tidak bisa dipaksakan..
Tapi untunglah, beberapa saat kemudian setelah meminum obat pereda demam, badan om mulai berkeringat, suhu tubuh berangsur turun.
Suasana di luar rumah terdengar agak mencekam, om berharap kalau itu hanya sekedar halusinasi karena kondisi tubuh om yang sedang sakit.
Suara binatang malam terdengar bersahut-sahutan, ditambah dengan suara pepohonan karet yang tertiup oleh angin yang pada malam itu kadang terdengar bertiup cukup kencang.
Yang membuat suasana mencekam, terkadang tiba-tiba suasana menjadi sangat hening dan sepi, semua suara menghilang, entah apa penyebabnya.
Pada saat itulah om mulai semakin ketakutan.
Dalam kegelisahan, om tetap berharap agar malam itu tidak terjadi apa-apa, om berharap malam itu tidak ada teror..
Tapi sekali lagi, harapan hanya tinggal harapan, kenyataan yang terjadi tidak seperti itu.
***
Jam 12.30 tengah malam, om masih belum bisa memejamkan mata, perasaan dan isi kepala terus berputar, kegelisahan yang terus bertambah seiring berjalannya waktu.
Om tidak lagi memikirkan Wahyu, yang ada di kepala adalah bagaimana caranya agar dapat melalui malam itu dengan tenang
Yang membuat sedikit tenang, sampai hampir jam satu tidak ada tanda-tanda bakal ada kejadian yang aneh dan menyeramkan.
Hmmm.., salah, seharusnya om tidak berpikir seperti itu, karena beberapa saat kemudian teror malam itu dimulai.
“Sreek…sreeeek…sreekk..”
Tiba-tiba suara nenek dengan sapu lidi lagi-lagi terdengar sedang menyapu pekarangan di sebelah kanan rumah.
Ketika suaranya terdengar dekat jendela, terdengar juga suara pelan tertawa cekikikan nenek itu, suara tawa yang seperti mentertawai om yang sedang sendirian di rumah.
Om hanya diam di atas tempat tidur, sama sekali tak berniat untuk mengintip dan melihat keadaan di luar.
Seperti biasa, om tidak mengacuhkan nenek sapu lidi itu, tapi walaupun begitu om tetap merasa ketakutan dan terus berharap semoga dia tetap beraktifitas di luar rumah.
Cukup lama nenek itu menyapu dengan sapu lidinya, hingga akhirnya sekitar jam satu lewat beberapa menit dia menghentikan aktifitasnya, om tidak mendengar lagi suaranya sedikitpun.
Sedikit lega, selanjutnya om berharap semoga rasa kantuk akan datang dan om bisa terlelap.
Kondisi tubuh yang sudah mulai membaik, demam yang sudah tidak terlalu tinggi, membuat pada akhirnya om mulai merasakan kantuk.
Sepertinya om akan tertidur sebentar lagi.
Tapi, ternyata tidak semudah itu..
***
Suara binatang malam yang awalnya terdengar bersahut-sahutan tiba-tiba menghilang, suasana menjadi sangat hening dan sepi. Tidak terdengar suara angin bertiup di luar rumah.
Sangat sepi, mulai mencekam..
Om terhenyak, bulu kuduk tiba-tiba berdiri ketika tiba-tiba mendengar suara lantunan musik keroncong, suara yang bersumber dari ruang tengah.
Om yakin kalau suara musik keroncong itu berasal dari radio di ruang tengah, yang om yakin juga kalau sudah mematikannya sebelum masuk ke dalam kamar.
Radio itu menyala dengan sendirinya..
Musik keroncong terdengar dengan jelas, mengalun syahdu dengan volume suara yang tidak terlalu keras.
Saat itu, yang terdengar adalah lagu keroncong yang sangat terkenal, dinyanyikan dalam bahasa Indonesia oleh seorang penyanyi perempuan, tentu saja aransemen lagunya adalah aransemen keroncong tempo dulu, jadinya terdengar sangat menyeramkan.
Om hanya bisa terdiam di atas tempat tidur sambil terus mendengarkan dengan seksama lagu tersebut.
Ketika lagu selesai, suara penyiar laki-laki ganti terdengar dari radio, suara penyiar laki-laki yang sama persis dengan penyiar yang terdengar sebelumnya.
“Selamat malam, pada malam jumat yang syahdu ini saya akan menemani pendengar semua dengan lagu-lagu keroncong yang sangat digemari..”
Kira-kira seperti itu sebagian ocehan penyiar radio jadul itu.
Di sela-sela “siaran radio”, anjing hutan terdengar melolong dari kejauhan, suara lolongan yang biasanya menandakan akan kehadiran sesuatu.
***
Sudah sekitar tiga lagu keroncong diselingi dengan suara penyiarnya yang terdengar dari ruang tengah, om masih saja terjaga tanpa merasakan kantuk sedikitpun.
Nah ketika lagu terakhir ada sesuatu yang aneh terjadi..
Om mengernyitkan dahi, menajamkan pendengaran, ketika mendengar kalau lagu keroncong yang terakhir ini tidak seperti bersumber dari suara radio, tapi om merasa kalau lagu itu dinyanyikan langsung oleh panyanyinya secara langsung, di ruang tengah..
Hanya suara perempuan menyanyikan lagu keroncong, tanpa ada musik yang mengiringinya..
Om semakin ketakutan..
Suara lolongan anjing yang terdengar dari kejauhan manambah kengerian..
Wanita itu terus bernyanyi di ruang tengah, kali ini lagu keroncong dalam bahasa jawa.
Om tetap dalam posisi berbaring, tanpa berani bergerak sedikitpun, om tidak mau menimbulkan suara yang dapat menarik perhatian sang “Penyanyi” di ruang tengah.
Namun tiba-tiba om melihat gagang pintu kamar bergerak-gerak, seperti ada yang hendak membukanya dari luar.
Om masih terdiam menatap ke arah pintu dalam ketakutan yang amat sangat..
Pintu yang om yakin seharusnya dalam keadaan terkunci, tiba-tiba perlahan mulai terbuka, seperti ada yang coba membukanya dari luar.
Pada saat itu masih terdengar lantunan suara perempuan menyanyikan lagu keroncong.
Yang tadinya tertutup rapat dan terkunci, perlahan pintu itu mulai terbuka, mulai ada celah yang semakin lama semakin lebar.
Pada akhirnya pintu pun terbuka dengan sepenuhnya..
Ketika itu, barulah om dapat melihat dengan jelas penyebab sehingga pintu terdorong terbuka..
Dalam bantuan sinar lampu templok dari dalam kamar, om melihat sosok perempuan yang tengah berdiri di depan pintu, perempuan agak gemuk yang mengenakan kebaya berwarna merah dan bawahan kain berwarna coklat, lengkap dengan sanggulnya.
Perempuan berumur sekitar 40 tahun itu tampak cantik, sambil terus bernyanyi lagu keroncong dengan mata yang terus menatap ke arah om yang masih berbaring di atas tempat tidur.
Om sangat ketakutan, om tidak mengenalnya sama sekali, baru malam itu dia gentayangan di dalam rumah.
Namun pada akhirnya dia mulai menghadapkan tubuhnya ke arah kiri, dan berjalan pelan menuju sisi belakang ruang tamu, suara nyayiannya tetap terdengar walaupun sosoknya mulai menghilang dari pandangan.
Sambil menahan takut dan nyaris menangis, om memaksa tubuh untuk bangun dari tempat tidur, om berniat untuk keluar dari rumah, entah akan ke mana, yang penting om harus pergi saat itu juga.
Om tidak tahan lagi..
***
Nyayian perempuan itu masih terdengar dari ruang tengah, tapi tidak perduli, om harus meninggalkan rumah, om memaksa tubuh untuk berjalan keluar kamar, selanjutnya pergi keluar rumah.
Ketika sudah tepat berada di pintu kamar, om dapat melihat keadaan ruang tamu..
Selain ada radio dalam keadaan mati yang terletak di atas meja om juga melihat sesuatu yang menyeramkan.
Ada sosok yang tengah berada di ruang tengah, dan ternyata bukan hanya satu sosok, tapi ada dua..
Perempuan berkebaya dan bersanggul itu berdiri diam tanpa suara, pada akhirnya berhenti bernyanyi.
Dia berdiri di sebelah kanan kursi, kursi yang tengah diduduki oleh sosok yang satu lagi.
Dia ditemani oleh sosok laki-laki yang duduk diam, mengenakan pakaian serba hitam dengan tutup kepala yang berwarna hitam juga.
Laki-laki itu berkumis tebal dan melengkung pada bagian ujungnya.
Yang menyeramkan, dia tersenyum lebar ke arah om dengan mata melotot, mengerikan..
Mereka berdua menatap dengan tajam, om hanya terperangah ketakutan.
Tidak mau membuang waktu, om buru-buru berlari ke arah pintu dan mencoba membukanya, sama sekali om tidak berani menoleh ke belakang ke tempat dua sosok itu berada.
Pintu berhasil dibuka, om langsung berlari keluar rumah dan menjauh secepatnya.
Di tengah malam buta dan tanpa bantuan penerangan sedikitpun dan dengan kondisi tubuh yang sedang sakit, om mencoba berjalan membelah perkebunan karet.
Om sangat ketakutan..
Sampai pada akhirnya dari kejauhan samar-samar om melihat ada kilatan cahaya, ketika semakin mendekat barulah terlihat kalau itu adalah cahaya lampu motor.
Alhamdulillah, ternyata itu adalah Wahyu..
Om langsung terduduk lemas, bersandar pada pohon karet yang berada di sisi jalan setapak.
“Pak, maaf pak, tadi motor dipinjam oleh teman, dan dia baru pulang jam sebelas tadi. Pak Heri kenapa kok ada di sini malam-malam?”.
Wahyu meminta maaf sambil memberikan penjelasan ketika sudah berada di hadapan, om hanya diam tanpa menjawab pertanyaan dari Wahyu.
“Kita kembali ke kota saja Yu, menginap di rumah temanmu saja.”
Tanpa banyak tanya, Wahyu langsung memutar motor dan tancap gas ke arah kota, ketika om sudah duduk di atas jok motor.
Malam itu akhirnya kami kembali menginap di rumah teman Wahyu..
Balik ke gw lagi ya, Brii...😊
Cukup sekian cerita kisahnya om Heri dan Wahyu malam ini, kapan-kapan dilanjut lagi..
Terima kasih sudah menyempatkan untuk membaca.
Met bobo, met istirahat..
Salam
~Brii~
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Kadang keadaan memaksa kita untuk menempati tempat tinggal baru. Sering kali, susahnya proses adaptasi harus ditambah dengan terpaan seram dari sisi gelap.
Ada teman yang mau berbagi cerita pengalaman ketika harus menempati rumah baru.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
Lagi-lagi, aku menemukan beberapa helai rambut panjang, entah ini sudah yang keberapa kali, kali ini aku menemukannya di depan lemari ruang tengah. Beberapa helai rambut ini kalau diukur dengan tubuh perempuan dewasa, kira-kira dari kepala sampai ke pinggul, panjang memang.
Apa yang aneh? Ya anehlah, karena di rumah gak ada seorang pun yang memiliki rambut sepanjang itu. Rambutku hanya sebatas pundak, itu pun jenisnya gak sama dengan rambut yang sudah beberapa kali kami temukan.
Gak memandang apa pekerjaan kita, “Mereka” akan datang dengan keseraman tanpa diduga, dengan berbagai bentuk yang gak tertebak.
Malam ini, simak pengalaman seorang supir travel di salah satu bagian Sumatera.
Hanya di sini, di Briistory…
***
~Lampung, Circa 1998~
“Hati-hati, Bang. udah malam ini, kenapa gak besok lagi ajalah nariknya.”
“Hehe, tanggung, Man. Setoran masih belum setengahnya ini, nanti bos marah.”
Nyaris jam sebelas malam, ketika aku masih berada di pelabuhan Bakauheuni, Lampung. Percakapan dengan Iman, rekan sejawat, sejenak membuyarkan lamunan.
Sejarah panjang dan kelam sering kali terungkap dalam senyap, tergambar oleh tarikan garis seram.
Satu sudut di Lembang, tersaji horor tempat pelatihan, seorang teman coba bercerita pengalaman seramnya di sana.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
Waktu seperti berhenti, udara sama sekali gak bergerak, suara detik jam yang tadinya samar terdengar tetiba gak ada lagi. Dalam gelap, aku terus memperhatikan ujung tangga, menunggu kira-kira siapa gerangan yang akan turun dari lantai atas.
Sementara itu, suara yang sepertinya bunyi langkah kaki, terus saja kedengaran, makin jelas, makin dekat.
Cadas Pangeran, satu tempat bersejarah. Ratusan tahun berusia, sahihkan kisah hitam dan putihnya, terus bergulir hingga kini.
Mamal ini, seorang teman akan menceritakan pengalamannya ketika melintasi daerah ikonik ini. Seram? Tentu saja.
Simak di sini, hanya di Briistory.
***
Lepas dari pusat kota Jatinangor, aku akhirnya masuk ke daerah yang terlihat seperti gak berpenduduk.
Tahun 1998, Cadas Pangeran masih sangat sepi, jalan berkelok dikelilingi oleh pepohonan yang membentuk hutan, sama sekali gak ada penerangan, gelap gulita.