Sore itu, Wahyu berlari tergopoh-gopoh ke arahku yang sedang duduk di bawah salah satu pohon karet, baru saja aku selesai membereskan peralatan yang baru saja digunakan para pekerja penyadap keret.
"Pak, ada orang meninggal di sungai belakang.." ucap Wahyu sambil tersengal-sengal.
"Meninggal? Siapa yang meninggal Yu?" Tanyaku penasaran..
"Katanya penduduk kampung hulu sungai Pak, tenggelam dan hanyut, sampai akhirnya jenazahnya ditemukan di bagian sungai belakang rumah kita."
Panjang lebar Wahyu menjelaskan.
Lalu kami pun bergegas berjalan menuju bagian sungai yang dimaksud oleh Wahyu.
Setelah melewati pepohonan bambu yang cukup luas, akhirnya kami sampai di tujuan.
Ternyata benar, tiga orang sudah terlihat berdiri di pinggir sungai, mengelingi satu jenazah yang pada saat itu belum tertutup oleh apa pun, tergeletak begitu saja di atas bebatuan.
Jenazah laki-laki muda, berumur sekitar 20 tahunan, rambut hitam agak gondrong tidak beraturan, mengenakan kaos tanpa lengan berwarna biru muda, bercelana pendek hitam.
"Bapak yang mandor di perkebunan karet di atas ya Pak?"
Salah seorang yang ada di situ bertanya kepadaku.
"Iya Pak, ini Wahyu rekan saya. Yang meninggal pemuda mana Pak?"
Aku menjawab dan diakhiri dengan pertanyaan mengenai jati diri jenazah yang terbaring di hadapan kami.
"Pemuda dari kampung di hulu sungai, dia tenggelam kemarin sore sewaktu mencoba menyebrangi sungai. Sepertinya dia tidak bisa berenang, kemudian tenggelam."
"Sejak kemarin sore juga kami mencarinya, berjalan mengikuti aliran sungai, akhirnya kami menemukannya di sini."
Bapak itu menjelaskan semuanya. Mereka bertiga hanya diam berdiri dan sesekali memandangi jenazah yang ada di depannya.
"Wahyu, coba kamu ambil kain atau selimut di rumah, untuk menutupi jenazahnya."
"Iya Pak.."
Wahyu langsung berlari kecil pulang ke rumah. Sementara aku bersama Bapak-bapak itu tetap berdiri mengelilingi jenazah yang sudah tampak pucat memutih itu.
“Terus nanti Jenazahnya akan langsung di bawa pulang kan Pak?” Tanyaku memastikan.
“Iya, kami akan langsung membawanya pulang. Keluarganya sudah menunggu di rumah.”
Salah satu Bapak yang ada di situ menjawab.
Kalau memang jenazah ini sudah dari kemarin sore hanyut terbawa arus, berarti sudah 24 jam terendam air. Pantas saja tubuhnya sudah sangat pucat.
Kalau boleh jujur, aku adalah orang yang paling tidak bisa melihat jenazah, apalagi jenazah yang wajahnya sangat jelas terlihat seperti peristiwa kali ini. Setelahnya, wajah sang jenazah akan menempel dalam pikiranku dalam waktu yang cukup lama.
Tidak berapa lama, Wahyu datang dengan membawa kain batik di tangan, dia menyerahkannya kepada salah satu Bapak yang ada di situ.
Kemudian dengan cekatan mereka langsung membungkus jenazahnya.
“Kami akan langsung membawanya pulang, terima kasih atas bentuannya.”
Salah seorang dari mereka berpamitan.
“Iya Pak, Hati-hati di jalan..”
Aku memperhatikan mereka yang langsung membopong jenazah, dan berjalan meninggalkan aku dan Wahyu yang masih tetap berdiri di pinggir sungai.
Mereka lebih memilih berjalan melalui jalan setapak yang berada pinggir sungai, dari pada harus berjalan melewati rumah kami dan melalui perkebunan karet.
Hari sudah mulai gelap ketika lama-kelamaan mereka mulai menghilang dari pandangan, tertutup oleh rindangnya hutan yang berada di sisi sungai.
“Yuk kita pulang Yu.”
Aku mengajak Wahyu untuk kembali ke rumah.
Tapi Wahyu seperti tidak mengindahkan, dia malah tetap berdiri diam, pandangannya mengarah tajam ke daerah yang berada di seberang sungai.
“Ada apa Yu? Ayo kita pulang.”
Sekali lagi aku mengajaknya untuk pulang.
“Pak…”
Wahyu hanya menyebut satu kata itu, dengan pandangan yang masih menuju ke seberang sungai.
Penasaran dengan apa yang Wahyu lihat, akhirnya aku ikut menoleh ke tempat yang dilihat olehnya, ke seberang sungai.
Hari sudah mulai gelap, keadaan sudah sangat sepi, tapi dari kejauhan akhirnya aku dapat melihat apa yang sudah menarik perhatian Wahyu sejak tadi.
Agak jauh di seberang, jaraknya sekitar 50 meter dari tempat kami berdiri, di bawah rindangnya pepohonan, ada beberapa sosok yang sedang berdiri diam, berdiri menghadap ke arah kami.
Terlihat ada sekitar lima sampai enam sosok yang sepertinya laki-laki, mengenakan pakaian serba hitam, nyaris berbentuk seperti bayangan hitam, mereka berdiri berbaris sejajar.
Siapa mereka?
Apa yang sedang mereka lakukan?
Tidak lama kemudian gerimis mulai turun.
“Ayok pulang Yu, jangan perhatikan mereka lagi.”
Kali ini Wahyu menurut, akhirnya kami berjalan pulang ke rumah, tanpa sekali pun menoleh ke arah belakang, melihat ke arah sosok-sosok itu yang tengah berdiri di seberang sungai.
***
Sudah beberapa kali kami melihat mereka, sosok yang selalu berpakaian serba hitam, berjumlah sekitar lima atau enam orang, terkadang malah lebih.
Kali pertama melihatnya ketika mereka berjalan membawa keranda mayat di tengah malam, waktu kami baru saja pindah ke tempat itu.
Mereka sepertinya mengetahui dan menyadari tentang keberadaan kami, selalu memperhatikan keseharian kami, entah itu siang atau pun malam.
Sekali lagi, sudah beberapa kali kami melihatnya, mereka yang sering kali hanya berdiri diam memperhatikan dari kejauhan. Cukup menakutkan penampakannya.
Siapakah mereka?
Pertanyaan yang belum kami temukan jawabannya pada saat itu.
Sebegitu ketakutannya akan sosok-sosok itu, membuat kami sangat jarang berbincang tentang mereka..
***
Malam pun tiba..
Seperti sudah aku bilang tadi, jarang sekali kami menyinggung tentang sosok-sosok misterius itu, malam ini pun sama, kami sama sekali tidak berani membicarakan tentang mereka, takut..
Kami hanya membahas penemuan mayat korban hanyut yang berasal dari kampung di hulu sungai.
“Pak Heri perhatikan gak sih tadi, kalau bapak-bapak yang membawa jenazah itu semuanya berwajah pucat?, tampaknya mereka sangat kelelahan, kasihan aku melihatnya.”
Omongan Wahyu membuat pikiranku terbang kembali ke waktu sore tadi, ketika kami kumpul dengan bapak-bapak yang Wahyu maksud.
Ternyata iya, setelah diingat-ingat lagi aku baru sadar kalau ternyata mereka semua terlihat pucat, mungkin benar kata Wahyu, mungkin akibat dari kelelahan setelah berjalan sehari semalam menyusuri sungai dalam rangka pencarian kerabatnya yang tenggelam.
Iya, mungkin mereka kelelahan..
***
Jam dinding berbentuk bulat dan cukup besar, yang menempel di tembok sebelah kanan ruang tengah, sudah menunjukkan pukul 10 malam lewat sedikit.
Dua gelas kopi di atas meja sudah tinggal menyisakan bubuk hitam di dasarnya.
Bahan perbincangan kami pun sudah semakin sedikit, hanya radio di atas meja yang masih setia mengisi keheningan malam di dalam rumah, di tengah hutan dan perkebunan karet itu.
Radio yang beberapa waktu sebelumnya sempat menyiarkan acara yang cukup aneh dan mengerikan.
Saat itu stasiun radio kegemaran kami sedang menyiarkan siaran berita daerah, siaran yang mengabarkan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada daerah tingkat propinsi yang kami tinggali.
Hingga pada akhirnya radio memberitakan hal yang menarik perhatian kami. Penyiar memberitakan kabar duka, menceritakan kalau telah terjadi peristiwa yang cukup mengenaskan.
Ada empat orang laki-laki yang meninggal tenggelam di salah satu sungai, dan jasadnya hanyut terbawa arus.
Ketika sang penyiar menyebutkan nama sungainya, ternyata sungai yang dimaksud adalah sungai yang mengalir di belakang rumah.
Aku dan Wahyu semakin mendekatkan telinga ke radio, merubah posisi duduk agar dapat mendengarkan dengan lebih seksama.
"Sepertinya ini berita tentang jenazah yang tadi sore Pak.." Wahyu menegaskan.
Penyiar juga bilang kalau ternyata keempat jenazahnya sudah di temukan pada pagi hari tadi, di temukan di anak sungai yang melintas di salah satu desa yang ada di hilir.
Yang cukup mengherankan, ternyata desa yang dimaksud oleh penyiar adalah desa yang letaknya lebih jauh ke hilir sungai, lebih jauh dari anak sungai yang mengalir di belakang rumah.
Jadi, jika berpatokan dengan berita di radio, ke-empat jenazah yang hanyut, ditemukan bukan di sungai belakang rumah, tetapi masih jauh ke hilir.
Lalu bapak-bapak yang kami temui tadi sore itu siapa?
Apakah peristiwanya berbeda dengan yang ada di radio? Atau sama? Atau....?
Entahlah, saat itu kami tidak tahu dan sedikit tidak mau tahu..
***
“Pak, saya ke kamar mandi dulu ya..”
Sudah jam sebelas malam, ketika wahyu pamit untuk ke belakang.
Aku masih tetap duduk di ruang tengah sambil terus mendengarkan siaran radio, volumenya sudah tidak terlalu keras tetapi masih dapat terdengar.
Sementara keadaan di luar rumah sangat sepi.
Gerimis rintik hujan terdengar mulai turun, tetesan airnya berdetik jatuh di atap rumah, membuat udara menjadi semakin dingin menusuk tulang.
Tapi tiba-tiba, samar-samar aku mendengar sesuatu, terdengar seperti ketukan pintu, pintu depan rumah.
Aku langsung mematikan radio, dan mencoba lebih meyakinkan pendengaran lagi kalau yang terdengar memang benar-benar suara ketukan pintu.
“Tok..tok..tok..”
Ternyata benar, ketukan itu terdengar lagi, kali ini membuatku yakin kalau itu memang suara ketukan pintu.
Aku berdiri, kemudian berjalan mendekat ke ke pintu..
“Siapa ya?”
Tidak ada jawaba dari luar..
“Tok..tokk…tok..”
Pintu diketuk dari luar sekali lagi.
Karena tidak ada jawaban, aku mendekat ke jendela yang berada di samping pintu, meraih tirainya dan menggesernya sedikit.
Melalui celah tirai jendela, aku mengintip ke luar, mencari tahu siapakah gerangan yang mengetuk pintu.
Setelah celah yang terbuka sudah cukup besar, aku akhirnya melihat sesuatu..
Walaupun keadaan di luar terbilang sangat gelap, aku masih dapat melihat kalau ada dua orang yang sedang berdiri di depan pintu.
Aku dapat mengenali orang yang berdiri di depan, ternyata itu adalah bapak yang aku temui tadi sore di sungai belakang, bapak yang paling banyak bicara, aku mengenali wajahnya.
Sementara aku tidak mengenali orang yang berdiri di belakangnya, karena posisinya tidak berada dalam sorotan cahaya yang bersumber dari dalam rumah, hanya terlihat siluet nya saja.
Mengetahui akan hal itu, aku langsung membuka pintu dan menyapa mereka.
“Oh Bapak, saya kira siapa datang malam-malam seperti ini.”
Aku menyapa dengan cukup ramah, namun mereka hanya diam tanpa bicara sedikit pun.
“Mari masuk Pak, gerimis di luar. Kita ngobrol di dalam saja.”
Mereka tetap diam, namun bapak yang berdiri paling depan mulai sedikit tersenyum.
“Terima kasih Pak, kami hanya datang dengan maksud mengembalikan ini."
Akhirnya, Bapak itu berbicara juga, sambil tangannya menyodorkan sesuatu.
Tangannya ternyata memegang kain batik yang sudah terlipat rapi.
Beberapa detik kemudian aku teradar, ternyata kain batik itu adalah kain yang mereka gunakan untuk membungkus jenazah yang ditemukan di sungai tadi sore.
Kain yang dibawa dan diserahkan oleh Wahyu.
“Oh iya Pak, kan bisa besok kalau memang mau mengembalikannya, tidak perlu malam-malam seperti ini.” Ucapku kepada Bapak itu,
Sang Bapak hanya tersenyum kecil..
Beberapa saat kemudian, aku baru tertarik untuk memperhatikan orang yang satu lagi, yang berdiri agak di belakang.
Setelah pintu rumah terbuka lebar, barulah terlihat jelas penampilannya.
Seorang pemuda yang masih berumur sekitar 20 tahun, rambut hitam pekat agak gondrong, mengenakan kaos tanpa lengan berwarna biru muda dan bercelana pendek warna hitam.
Awalnya dia selalu dalam posisi agak menunduk, karena itulah aku masih belum bisa melihat wajahnya dengan jelas.
Tetapi mungkin karena tahu kalau aku memperhatikan, perlahan dia mulai mengangkat wajahnya..
Saat itulah aku tersadar, ketika wajah pucat nya sudah terlihat jelas.
Badanku lemas, jantung langsung berdetak tidak beraturan, bulu kuduk berdiri semua..
Ternyata dia adalah jenazah yang ku lihat tergeletak di pinggir sungai tadi sore, aku sangat hapal dengan wajahnya.
“Terima kasih Pak.” Ucap pemuda itu pelan, suaranya nyaris tak terdengar.
Aku tidak menjawab apa-apa, hanya berdiri diam memperhatikan keduanya dalam ketakutan.
Baru tersadar juga, kalau ternyata bapak yang berdiri di depan, wajahnya sangat pucat, seperti orang yang sudah meninggal.
Lalu secara perlahan mereka membalikkan badan, dan berjalan menuju pohon-pohon karet di depan rumah.
Dengan langkah gontai, akhirnya mereka perlahan menghilang di tengah gelapnya pepohonan karet.
***
“Ngobrol sama siapa Pak? Memang ada tamu?”
Suara Wahyu membuat om terkejut dan segera tersadar, kemudian langsung menutup pintu dan menguncinya.
“Tidak ada siapa-siapa Yu. Ayo kita tidur saja”
“Itu kain apa di tangan Bapak?”
Wahyu bertanya setelah melihat kain yang ada di tanganku.
“Besok saja ceritanya Yu..”
Aku letakkan kain batik itu di atas meja.
Setelahnya, kami langsung masuk ke dalam kamar..
***
"Ada apa sih Pak?"
Di dalam kamar, Wahyu tetap saja penasaran, terus memaksaku untuk menceritakan apa yang terjadi ketika dia sedang di kamar mandi.
"Besok saja Yu.."
Aku bersikukuh tidak mau untuk menceritakan apa pun.
Sementara itu suasana di luar mulai terasa sangat mencekam, gerimis hujan masih turun terdengar, tapi selain itu sama sekali tidak ada suara, hanya sesekali terdengar dahan pohon-pohon karet bersinggungan satu sama lain karna tertiup angin.
Jam sudah hampir di pukul satu tengah malam.
Sementara kami masih terhanyut dalam lamunan masing-masing, masih terjaga sambil terus berharap rasa kantuk akan segera datang.
"Tadi ketika kamu di kamar mandi, ada dua orang yang datang Yu.."
Akhirnya aku memutuskan untuk menceritakan kejadian yang baru saja aku alami.
"Siapa yang datang Pak? Ada perlu apa datangnya malam-malam?"
"Mereka datang untuk mengembalikan kain yang kamu ambil dari rumah tadi, kain batik untuk menyelimuti jenazah." Jawabku.
"Oh, Bapak yang mana yang datang Pak? Kenapa malam-malam begini datangnya?"
Wahyu terus mencecarku dengan pertanyaan.
Aku cukup lama terdiam, bingung untuk menjawabnya, karena aku yakin kalau salah satu dari dua orang itu adalah jenazah yang kami lihat tergeletak di pinggir sungai.
"Yang satu adalah Bapak yang paling sering bicara.." jawabku pendek.
"Lalu, yang satu lagi Pak?"
Wahyu terus mengejarku dengan pertanyaan.
Aku sempat menarik nafas panjang sebelum akhirnya memutuskan akan menceritakan semuanya kepada Wahyu saat itu juga.
Tapi belum sempat aku mulai berbicara, tiba-tiba terdengar ada suara dari ruang tengah.
"Kita dengarkan berita daerah, bersama saya...."
Radio di ruang tengah hidup dengan sendirinya, menyiarkan siaran berita daerah.
Kami hanya terdiam dan berpandangan ketika mendengar radio menyiarkan berita yang sudah kami dengar sebelumnya, yaitu berita tentang meninggalnya empat warga yang tenggelam di sungai.
Kami terus terdiam mendengarkan siaran radio.
"Biar saya matikan radio itu Pak, sekalian saya mau matikan lampu petromak juga."
Wahyu terlihat ingin memaksa dirinya untuk mematikan radio meski dalam ketakutan, mungkin dia sudah jengah karena selalu merasa takut.
"Ya sudah Yu, jangan lupa cek pintu depan, takut belum terkunci."
"Iya Pak.."
Lalu Wahyu berdiri dan berjalan menuju pintu.
Dia membuka pintu pelan-pelan, seperti ada perang bathin di pikirannya.
Setelah pintu baru terbuka setengah, tiba-tiba Wahyu terdiam dan menghentikan gerakan tangannya.
Dia terus diam sambil memandang ke luar kamar, memandang ke ruang tengah.
Padanganku terhalang pintu dan badan Wahyu, aku tidak bisa melihat apa yang sedang Wahyu lihat.
"Ada apa Yu?"
Wahyu tidak menjawab, hanya diam dan terus berdiri memandangi ruang tengah.
Kemudian dia menutup pintu secara perlahan.
Setelah itu kami duduk bersebelahan, menghadap ke pintu kamar, bersandar pada tembok yang berjendela.
"Ada apa Yu?"
Kembali aku keluarkan pertanyaan yang sama.
Wajah Wahyu pucat pasi, badannya gemetar, dia sangat ketakutan.
"Aaa..aaa.a..a...ada mayat terbaring di ruang tengah Pak."
Wahyu menjawab dengan suara yang nyaris berbisik, suaranya bergetar layaknya orang yang sangat ketakutan.
Aku terdiam mendengarnya, tanpa berani melanjutkan dengan pertanyaan yang lain.
Kami tetap dalam posisi bersandar di tembok, tidak melepaskan pandangan sedikit pun dari pintu kamar.
Jantung berdegup kencang, napas gemetar tak beraturan, ketika tiba-tiba pintu kamar mulai bergeser terbuka, ada yang mendorongnya dari luar.
Suara engsel pintu yang bergeser itu terdengar pelan namun jelas.
Sedikit demi sedikit situasi di ruang tengah mulai terlihat, situasi yang akan sangat terlihat jelas karena lampu petromak yang masih dalam keadaan menyala.
Sementara itu suara siaran radio tetap terdengar mengiringi peristiwa yang sangat mengerikan itu.
Akhirnya, kami dapat melihat semuanya, melihat ke ruang tengah, ketika pintu sudah benar-benar dalam keadaan terbuka.
Ada sosok yang berdiri menghadap ke dalam kamar, laki-laki bercelana pendek, hanya wajah pucatnya saja yang terlihat.
Hampir seluruh tubuhnya tertutup oleh kain batik, kain yang sama yang digunakan untuk menutup jenazah pada sore sebelumnya.
Benar, itu kain yang sama, karena yang berdiri pun adalah orang yang sama.
Yang berdiri depan pintu adalah orang meninggal yang terbaring di pinggir sungai, mayat itu sekarang berdiri di depan pintu dengan badan berbalut kain.
Sementara di belakangnya duduk tiga sosok yang juga berwajah pucat seperti mayat, mereka duduk di kursi panjang yang posisinya juga menghadap ke dalam kamar.
Badan kami gemetar, tak bisa berteriak apa lagi melangkahkan kaki untuk melarikan diri..
Perlahan, sosok yang berdiri berbalut kain, dengan langkah gontainya berjalan maju masuk ke dalam kamar.
Dengan wajah pucat dan lingkar mata yang hitam, dia tersenyum..
Senyum yang sangat menyeramkan..
Jarak kami hanya tinggal beberapa meter, ketika bau hanyir mulai tercium..
Bau hanyir yang membuat badanku seperti terbius..
Kepalaku pusing, seperti berputar-putar,
Setelah itu, aku tidak ingat apa-apa lagi..
***
Hai..
Gimana? Seru gak? 😁
Balik lagi ke gw ya, Brii..
Selesai sudah cerita penutup tahun 2018, sampai jumpa di tahun 2019..
Jaga kesehatan, supaya bisa terus-terusan merinding bareng.
Met bobo, met istirahat..
Salam
~Brii~
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Kadang keadaan memaksa kita untuk menempati tempat tinggal baru. Sering kali, susahnya proses adaptasi harus ditambah dengan terpaan seram dari sisi gelap.
Ada teman yang mau berbagi cerita pengalaman ketika harus menempati rumah baru.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
Lagi-lagi, aku menemukan beberapa helai rambut panjang, entah ini sudah yang keberapa kali, kali ini aku menemukannya di depan lemari ruang tengah. Beberapa helai rambut ini kalau diukur dengan tubuh perempuan dewasa, kira-kira dari kepala sampai ke pinggul, panjang memang.
Apa yang aneh? Ya anehlah, karena di rumah gak ada seorang pun yang memiliki rambut sepanjang itu. Rambutku hanya sebatas pundak, itu pun jenisnya gak sama dengan rambut yang sudah beberapa kali kami temukan.
Gak memandang apa pekerjaan kita, “Mereka” akan datang dengan keseraman tanpa diduga, dengan berbagai bentuk yang gak tertebak.
Malam ini, simak pengalaman seorang supir travel di salah satu bagian Sumatera.
Hanya di sini, di Briistory…
***
~Lampung, Circa 1998~
“Hati-hati, Bang. udah malam ini, kenapa gak besok lagi ajalah nariknya.”
“Hehe, tanggung, Man. Setoran masih belum setengahnya ini, nanti bos marah.”
Nyaris jam sebelas malam, ketika aku masih berada di pelabuhan Bakauheuni, Lampung. Percakapan dengan Iman, rekan sejawat, sejenak membuyarkan lamunan.
Sejarah panjang dan kelam sering kali terungkap dalam senyap, tergambar oleh tarikan garis seram.
Satu sudut di Lembang, tersaji horor tempat pelatihan, seorang teman coba bercerita pengalaman seramnya di sana.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
Waktu seperti berhenti, udara sama sekali gak bergerak, suara detik jam yang tadinya samar terdengar tetiba gak ada lagi. Dalam gelap, aku terus memperhatikan ujung tangga, menunggu kira-kira siapa gerangan yang akan turun dari lantai atas.
Sementara itu, suara yang sepertinya bunyi langkah kaki, terus saja kedengaran, makin jelas, makin dekat.
Cadas Pangeran, satu tempat bersejarah. Ratusan tahun berusia, sahihkan kisah hitam dan putihnya, terus bergulir hingga kini.
Mamal ini, seorang teman akan menceritakan pengalamannya ketika melintasi daerah ikonik ini. Seram? Tentu saja.
Simak di sini, hanya di Briistory.
***
Lepas dari pusat kota Jatinangor, aku akhirnya masuk ke daerah yang terlihat seperti gak berpenduduk.
Tahun 1998, Cadas Pangeran masih sangat sepi, jalan berkelok dikelilingi oleh pepohonan yang membentuk hutan, sama sekali gak ada penerangan, gelap gulita.