Namaku Wahyu, umurku 24 tahun, lulusan sekolah menengah kejuruan, belum pernah mengecap bangku kuliah.
Anak pertama dari empat bersaudara, ayah sudah meninggal sejak aku masih duduk di bangku SLTP.
Ibuku seorang ibu rumah tangga biasa yang sehari-harinya menjaga dan membesarkan aku dan adik-adik yang semuanya masih bersekolah.
Oh iya, kami memiliki warung kecil di depan rumah, hasil pendapatannya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, aku dan adik-adik menjaganya bergantian, tentu saja setelah mereka pulang sekolah.
Kalau untuk sehari-hari, pendapatan dari warung itu memang bisa mencukupi, tapi untuk kebutuhan sekolah adik-adikku, jelas masih sangat kurang.
Maka dari itu, untuk.membantu meringankan beban yang ada di pundak Ibu, aku memutuskan untuk langsung bekerja selepas lulus sekolah, kesampingkan dulu niatku untuk kuliah.
Alhamdulillah, banyak yang sudah aku lakukan setelah lulus, membantu paman yang memiliki bengkel, ikut kawanku yang memiliki angkot untuk menjadi kenek, mengolah sawah orang lain, menjadi kuli bangunan, dan banyak lagi, semuannya aku lakukan untuk membantu meringankan beban Ibu.
Dalam masa-masa bekerja serabutan itu, dalam hati aku masih selalu berharap agar dapat diterima bekerja pada satu instansi pemerintah, supaya dapat berpenghasilan tetap.
Ibuku pasti bangga kalau aku bisa jadi pegawai negeri..
Pucuk dicinta ulam tiba..
Setelah hampir empat tahun bekerja serabutan dengan penghasilan yang tidak menentu, pada suatu hari ada seorang teman yang menginformasikan kalau ada perusahaan perkebunan yang membutuhkan beberapa karyawan baru.
Perusahaan ini dimiliki oleh pemerintah, jadi para karyawannya berstatus pegawai negeri nantinya.
Aku dengar juga, kalau diterima, karyawan baru akan ditempatkan di salah satu perkebunan yang letaknya di Sumatera bagian selatan, sekitar delapan jam perjalanan darat dari rumah.
Tidak akan menjadi masalah buatku..
Salah satu hobi yang paling aku gemari adalah berkebun, aku pasti cocok bekerja di perkebunan, begitu pikiranku saat itu.
Dengan semangat empat lima, aku membuat surat lamaran kerja, kutulis dengan tangan serapih mungkin.
"Ibu, aku akan mencoba melamar pada perusahaan perkebunan milik pemerintah, aku minta restunya, semoga ini rejeki aku, rejeki Ibu, rejeki adik-adik. Doakan supaya aku diterima ya Bu.."
Aku cium kaki Ibu sambil meminta restu dan doa nya, aku sangat menginginkan pekerjaan ini.
Setelah itu aku langsung ke kantor pos untuk mengirimkan surat lamaran.
***
"Wahyu, ada surat untukmu.."
Suara ibu memanggilku dari luar kamar, membangunkanku dari tidur siang.
"Iya bu..."
Beranjak keluar, aku langsung mengambil surat yang beliau maksudkan.
Ternyata itu adalah surat panggilan untuk wawancara dari perusahaan perkebunan yang aku kirimkan surat lamaran tempo hari.
Berkaca-kaca mataku membacanya, langsung ku beri tahu ibu mengenai hal itu, dan sekali lagi aku mohon doanya untuk kelancaran wawancara nanti.
***
Singkat cerita, setelah menjalani beberapa kali wawancara, akhirnya aku mendapatkan pekerjaan itu.
Walaupun pada awalnya masih berstatus honorer, tetap saja aku sangat bahagia, Ibu sampai berlinang air mata waktu mendengar kabar ini pertama kali.
Dan benar, aku ditempatkan pada satu perkebunan yang letaknya cukup jauh dari tempatku tinggal, yang nantinya sangat tidak mungkin buatku untuk sering-sering pulang,
"Tidak apa-apa nak, Ibu dan adik-adikmu akan baik-baik saja. Bekerjalah dengan baik, apapun keadaannya kamu harus terima dan jalani semua."
Ibuku bilang begitu, aku harus jalani pekerjaanku nanti dengan baik, apapun keadaannya.
Iya, apapun keadaannya..
Mulai saat itu, aku berstatus sebagai pegawai perkebunan milik negara, di perkebunan karet..
Perkebunan karet yang beberapa tahun ke depan akan memberikan pengalaman hidup yang tak akan pernah aku lupakan.
***
Selama kurang lebih satu bulan lamanya aku diberi pelatihan dengan diterjunkan langsung pada satu perkebunan karet yang sudah berjalan puluhan tahun.
Cukup menyenangkan, aku sangat menyukai sistem kerja dan tugas yang nantinya akan aku jalani di tempat bekerja nanti.
Pada intinya, aku akan membantu pimpinan perkebunan yang nantinya akan bertanggung jawab penuh pada perkebunan itu.
Yang ku dengar, yang akan menjadi pimpinanku nanti adalah orang baru juga sepertiku, perkebunan karet yang akan menjadi tempat kerjaku nantinya pun adalah daerah penggarapan baru.
Daerah garapan baru, perkebunan karet yang baru saja diambil alih oleh pemerintah, tadinya dimiliki dan dikelola oleh pihak swasta.
Aku juga sangat senang ketika mengetahui kalau nantinya perusahaan akan memberikan rumah sebagai tempat tinggal, jadi aku tidak perlu untuk memikirkan biaya tempat tinggal.
Selain tempat tinggal, aku juga diberikan tunjangan makan dan kebutuhan sehari-hari lainnya.
Intinya, aku hanya membawa badan saja ke tempat bekerjaku nanti..
***
Setelah masa pelatihan, akhirnya perusahaan menganggap kalau aku sudah siap untuk diterjunkan langsung ke lapangan.
“Baik-baik kamu di sana, jaga diri, jangan tinggalkan sholat. Kamu anak yang kuat dan pemberani, hadapi setiap masalah dengan bijak, bagaimanapun keadaannya.”
Itu adalah kalimat yang keluar dari mulut Ibu ketika aku pamit untuk berangkat ke tempat kerja yang baru. Cukup sedih untuk berpisah dengan beliau dan ketiga adikku, tapi ini semua harus kujalani untuk memenuhi kebutuhan mereka juga nantinya.
Dengan mengucap bismillah, aku berangkat..
***
Singkatnya, aku sampai juga di sebuah kota kecil di bagian selatan pulau Sumatera, di kota ini aku akan menemui seseorang yang menjadi pemanduku pada awal bekerja nantinya.
Pak Rusli namanya, lelaki berperawakan tinggi besar, dengan kumis tebal yang menghiasi wajahnya. Aku menemui beliau di rumahnya, Pak Rusli penduduk asli kota ini.
Oh iya, di kota ini aku juga memiliki teman kecil yang sudah cukup lama tinggal di sini, aku jadi merasa tidak sebatang kara di tempat ini.
“Kamu nanti akan saya antarkan ke tempat bekerja, perusahaan juga memberikan satu buah sepeda motor sebagai alat operasional kamu sehari-hari.”
Begitu Pak Rusli bilang pada awal pertemuan. Beliau juga bilang, sebaiknya kami ke perkebunan esok harinya saja, karena pada saat itu sudah beranjak malam.
Selama bermalam di rumah Pak Rusli, aku banyak mendengarkan cerita mengenai perkebunan karet yang akan menjadi tempatku bekerja nantinya.
Tempatnya cukup jauh, sekitar satu jam perjalanan menggunakan sepeda motor dari kota kecil ini.
“Kamu harus berhati-hati, perkebunan itu tidak terurus cukup lama sebelum akhirnya diambil alih oleh pemerintah. Sekelilingnya hutan rindang, jauh dari perkampungan. Tapi tenang, kamu tidak sendirian, paling lama tiga bulan lagi rencananya pimpinan kamu akan datang.”
“Tiga bulan lagi Pak? Bukannya minggu depan beliau datang?.”
Nah, menurut pak Rusli, ternyata calon pimpinanku itu baru akan datang sekitar tiga bulan lagi, ada beberapa kendala yang terjadi sehingga menyebabkan demikian.
Jadi, selama tiga bulan pertama aku akan tinggal di perkebunan itu sendirian.
***
Keesokan paginya, menggunakan dua sepeda motor, kami berangkat menuju ke perkebunan.
Dalam perjalanan, setelah mulai jauh dari keramaian kota, kami mulai memasuki jalan kecil yang membelah hutan yang sangat rindang.
Kanan kiri dari jalan setapak yang kami lalui hanya pepohonan besar yang menghalangi sinar matahari untuk masuk menyinari daerah itu.
Setelah cukup lama melalui hutan rindang, akhirnya kami memasuki wilayah pepohonan karet.
Sejauh mata memandang, yang kulihat hanya pohon karet yang berbaris rapi.
Tidak ada pohon lain, hanya terlihat pepohonan karet yang di sela-selanya terdapat rumput liar setinggi lutut orang dewasa.
Benar kata Pak Rusli, perkebunan karet ini memang terlihat sudah tidak terawat dalam waktu yang cukup lama.
Daun-daun kering berserakan, rumput-rumput liar nyaris menutupi hampir seluruh permukaan tanah.
Benar juga apa yang manajemen perusahaan bilang kepadaku tempo hari, yang harus aku lakukan pertama kali adalah membersihkannya, membersihkan lahan perkebunan yang luasnya mungkin mencapai ratusan hektar.
***
Pak Rusli berhenti pada satu dataran yang agak tinggi, aku ikut menghentikan motor dan parkir di sampingnya.
Pada dataran tinggi itu kami dapat melihat ke bawah, ke dataran yang lebih rendah.
Sekitar lima puluh meter dari tempat kami berhenti aku melihat rumah yang berdiri sendirian, tidak ada bangunan apapun di sekelilingnya.
Rumah cukup besar, ada sedikit tanah kosong di sekelilingnya. Beberapa meter pada kanan kirinya berbaris pohon karet yang masih termasuk dalam wilayah perkebunan.
Di belakang, aku dapat melihat pepohonan bambu, sepertinya pohon-pohon bambu itu sudah berada di luar perkebunan.
“Rumah itu yang akan menjadi tempat tinggalmu. Kamu bisa beristirahat dulu hari ini, sambil membereskan rumah. Besok akan ada sekitar lima puluh orang pekerja yang akan datang ke sini, kamu bisa perintahkan untuk membersihkan perkebunan ini terlebih dahulu.”
Panjang lebar Pak Rusli menjelaskan keadaan rumah, sementara aku hanya diam sambil mengangguk sesekali.
Setelah itu, kami lanjut berjalan menuju rumah yang sudah sangat dekat jaraknya itu.
***
Setelah memarkirkan motor di halaman depan, pak Rusli dengan cekatan membuka pintu rumah, dan kami pun memasukinya.
“Rumah sudah bersih, kamu tinggal menempatinya saja. Kemarin saya dan beberapa pekerja membereskan rumah ini.”
Begitu kata Pak Rusli.
Memang benar, rumah dan perabotannya dalam keadaan bersih dan rapih.
Rumah ini memiliki tiga kamar, dua kamar berdampingan dengan ruang tengah, satu kamar lainnya berada di belakang bersama dengan dapur dan kamar mandi.
Ketika aku buka pintu belakang, langsung berhadapan dengan pepohonan bambu yang rindang, suaranya terdengar cukup kuat karena angin yang bertiup pada saat itu.
Rumah dan lingkunannya ini persis seperti yang ada dalam bayanganku sebelumnya, rumah di tengah-tengah perkebunan karet yang jauh dari keramaian, aku sudah menduganya.
Yang di luar dugaan, ternyata aku diharuskan tinggal di rumah ini sendirian selama tiga bulan ke depan, sampai pimpinanku datang.
***
“Saya pulang dulu, besok saya akan datang lagi bersama para pekerja yang akan membantu pekerjaan kamu di sini.”
Sekitar jam sebelas siang pak Rusli pamit pulang.
“Iya pak, terima kasih. Besok saya tunggu.”
Begitulah, setelah pak Rusli pergi, aku menjadi satu-satunya orang yang berada di rumah itu, satu-satunya orang yang berada di perkebunan karet itu.
***
Aku hanya membawa beberapa potong pakaian, selain itu tidak membawa apa-apa lagi. Makanya, aku dapat membereskan barang-barangku hanya dalam hitungan menit.
Setelah selesai beberes, aku menghabiskan waktu untuk melihat-lihat sekitar rumah.
Rumah menghadap ke perkebunan karet, posisi perkebunan sedikit lebih tinggi dari letak rumah.
Samping kanan dan kiri juga berjajar rapih pepohonan karet.
Bagian belakang ternyata sudah tidak masuk wilayah perkebunan, karena sudah ditumbuhi pepohonan bambu yang cukup rindang.
Agak jauh di belakang pohon-pohon bambu, mengalir sungai yang cukup besar, sungai yang airnya masih tergolong jernih dan bersih.
Begitulah sedikit gambaran mengenai sekitar rumah setelah aku telusuri.
Sekitar jam tiga sore aku tertidur, kelelahan..
***
Tubuhku sudah sangat lelah karena kegiatan yang aku lakukan sejak kemarin, membuat tidurku lelap..
Begitu lelapnya, sampai-sampai aku bermimpi, mimpi yang seperti nyata.
Di dalam mimpi, aku merasa sedang terbaring di atas rumput, di sekelilingku berdiri pohon-pohon karet yang tinggi menjulang.
Sinar matahari masuk melalui celah-celah dahan pohon, beberapa garis sinarnya cukup membuat mataku kesilauan.
Aku tidak dapat menggerakkan seluruh bagian tubuh, hanya kedipan mata yang dapat kulakukan.
Aku tetap diam terbaring, ketika ada beberapa sosok yang tiba-tiba datang menghampiri. Sosok berbaju hitam panjang, berdiri mengelilingiku.
Aku menghitungnya ada lima sosok, tidak bisa ku lihat jelas wajah mereka karena sinar matahari yang menyorot dari arah belakang mereka berdiri.
Yang mereka lakukan hanya berdiri diam memperhatikan aku..
Aku sangat ketakutan..
Siapa mereka..?
***
Aku terkesiap, terbangun dengan keringat yang membasahi tubuh.
Beberapa menit aku duduk di pinggir ranjang memikirkan mimpi yang baru saja ku alami, mimpi yang cukup membuatku ketakutan.
Ternyata sudah jam enam sore, aku langsung mandi dan menunggu waktu sholat maghrib.
***
Suara jangkrik bersahut-sahutan, sesekali juga terdengar katak yang bersuara seperti sedang meminta hujan.
Jam delapan malam aku duduk sendirian di depan rumah, segelas kopi dan sebungkus rokok menemaniku malam itu. Langit cerah dengan sinar bulan yang cukup terang membuat malam menjadi tidak terlalu kelam.
Untuk saat itu, aku sangat menikmati suasana perkebunan, menikmati keheningan yang sangat jarang aku rasakan sebelumnya.
Aku sangat menyukainya, tapi hanya untuk beberapa saat...
Pada sekitar jam sembilan malam, sesuatu mulai terjadi.
Mataku menangkap pemandangan yang cukup aneh di kejauhan..
Kadang keadaan memaksa kita untuk menempati tempat tinggal baru. Sering kali, susahnya proses adaptasi harus ditambah dengan terpaan seram dari sisi gelap.
Ada teman yang mau berbagi cerita pengalaman ketika harus menempati rumah baru.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
Lagi-lagi, aku menemukan beberapa helai rambut panjang, entah ini sudah yang keberapa kali, kali ini aku menemukannya di depan lemari ruang tengah. Beberapa helai rambut ini kalau diukur dengan tubuh perempuan dewasa, kira-kira dari kepala sampai ke pinggul, panjang memang.
Apa yang aneh? Ya anehlah, karena di rumah gak ada seorang pun yang memiliki rambut sepanjang itu. Rambutku hanya sebatas pundak, itu pun jenisnya gak sama dengan rambut yang sudah beberapa kali kami temukan.
Gak memandang apa pekerjaan kita, “Mereka” akan datang dengan keseraman tanpa diduga, dengan berbagai bentuk yang gak tertebak.
Malam ini, simak pengalaman seorang supir travel di salah satu bagian Sumatera.
Hanya di sini, di Briistory…
***
~Lampung, Circa 1998~
“Hati-hati, Bang. udah malam ini, kenapa gak besok lagi ajalah nariknya.”
“Hehe, tanggung, Man. Setoran masih belum setengahnya ini, nanti bos marah.”
Nyaris jam sebelas malam, ketika aku masih berada di pelabuhan Bakauheuni, Lampung. Percakapan dengan Iman, rekan sejawat, sejenak membuyarkan lamunan.
Sejarah panjang dan kelam sering kali terungkap dalam senyap, tergambar oleh tarikan garis seram.
Satu sudut di Lembang, tersaji horor tempat pelatihan, seorang teman coba bercerita pengalaman seramnya di sana.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
Waktu seperti berhenti, udara sama sekali gak bergerak, suara detik jam yang tadinya samar terdengar tetiba gak ada lagi. Dalam gelap, aku terus memperhatikan ujung tangga, menunggu kira-kira siapa gerangan yang akan turun dari lantai atas.
Sementara itu, suara yang sepertinya bunyi langkah kaki, terus saja kedengaran, makin jelas, makin dekat.
Cadas Pangeran, satu tempat bersejarah. Ratusan tahun berusia, sahihkan kisah hitam dan putihnya, terus bergulir hingga kini.
Mamal ini, seorang teman akan menceritakan pengalamannya ketika melintasi daerah ikonik ini. Seram? Tentu saja.
Simak di sini, hanya di Briistory.
***
Lepas dari pusat kota Jatinangor, aku akhirnya masuk ke daerah yang terlihat seperti gak berpenduduk.
Tahun 1998, Cadas Pangeran masih sangat sepi, jalan berkelok dikelilingi oleh pepohonan yang membentuk hutan, sama sekali gak ada penerangan, gelap gulita.