#UtasBaru Kemarin sy menawarkan u/ membahas topik sesuai keinginan followers. Ada 1 ide bagus yg masuk, yakni topik ttg 'aurat'. Krn topik tsb relevan dg apa yg terjadi belakangan, maka sy tuliskan utas ini: 'Aurat dan Kuasa Amoralitas':
Disclaimer: Utas ini adl renungan sy ttg pemaknaan sosial-politik yg muncul dr pemahaman tertentu dari istilah 'aurat'. Sy tdk akan membahas perspektif fiqh Islam ttg aurat krn tema itu sudah byk yg membahas.
1. 'Aurat' di masy patriarkal spt Indonesia dipahami sbg kewajiban perempuan u/ melakukan brbagai upaya spy ia tdk mjdi sumber kontroversi di masy. Tentunya def ini brsumber dr ajaran konservatif dlm Islam yg menyamakan tubuh perempuan dg kontroversi & masalah (fitna).
2. Pdhal klo qt paham sejarah Islam, maka qt akan tahu bahwa pelembagaan 'aurat' bagi perempuan berfungsi sbg mekanisme prlindungan darurat bagi prempuan dr laki2 jahiliyah yg tak punya moral/aturan hukum.
3. Dg demikian, jika hingga saat ini prempuan masih diwajibkan u/ menerapkan aturan yg terkait dg 'aurat' itu berarti bahwa moralitas laki2 saat ini tak beranjak dr moralitas laki2 jahiliyah yg tak mengenal hukum & Ketuhanan.
4. Konsep 'aurat' di masa kini juga diperparah dg penyakit 'patriarki sosial' yg sy sebut dlm utas sy sebelumnya. 'Patriarki sosial' ini memandang tubuh perempuan sbg tubuh sosial-masyarakat.
5. Maka, dlm visi 'patriarki sosial', moralitas masy tergantung kpd seberapa banyak bagian tubuh perempuan yg tertutup, & sebaliknya. Perempuan mjdi tolak ukur & pemikul beban identitas bersama, sdgkan perilaku laki2 mjadi hal yg tdk perlu dipermasalahkan.
6. 'Patriarki sosial' jelas trlihat & bkerja efektif dlm kasus prostitusi online yg muncul bbrp hari terakhir. Media berlomba2 u/ memamerkan perempuan2 yg trlibat didalamnya, & menyembunyikan identitas laki2 yg merupakan akar dari amoralitas kasus tsb.
7. Konsep 'kemurnian' (purity) jg brmain disini. Dlm proses pmbangunan identitas nasional, tubuh perempuan brfungsi sbg justifikasi klaim superioritas bangsa melalui gambaran keluguan & keperawanannya.
8. Inilah mengapa tes keperawanan msh berlaku dlm profesi2 yg menyangkut identitas negara. Tubuh perawan, yg lugu dg hymen tertutup (a.k.a aurat terjaga) merupakan cerminan dr imajinasi nasional-patriarkal yg mensyaratkan garis batas teritorial tak tertembus musuh.
9. Jikalau ada tubuh perempuan 'non-perawan' yg diagung2kan, maka tubuh itu adl tubuh seorg 'ibu'. Status 'ibu' bermakna bahwa keperawanan itu (aurat itu) didedikasikan hanya u/ Sang Laki2, & digunakan u/ memproduksi 'anak2 bangsa/agama'
10. Ini brarti bahwa, pun ketika prempuan ingin membuka 'aurat'nya, maka ia hanya boleh melakukannya demi Laki2 & u/ 'Ibu Pertiwi' / 'Islam yg Sejati'. Dg kata lain, kepemilikan perempuan atas tubuhnya sendiri merupakan hal yg merusak tatanan negara maupun agama.
11. Prinsip ini dpt digunakan u/ memahami brbagai bentuk patriarki, mulai dari praktek poligami, tes keperawanan, sampai bentuk 'perempuan ideal' yg diproduksi oleh negara yg umumnya adl perempuan Jawa, bersanggul & berkain, yg bermonogami, dg bbrp anak yg sehat & bahagia.
12. Solusi dr pemahaman 'aurat' yg patriarkal ini hanya dpt dicapai ktk qt memahami 'aurat' bukan sbg tubuh perempuan yg perlu ditutup, melainkan sbg amoralitas yg perlu dihindari.
13. Dlm perspektif ini, 'aurat' dlm prostitusi bkn tubuh pekerja seks, mlainkan amoralitas pembeli yg tdk dpt menjaga birahinya. Dmkian jg dg poligami, 'aurat' dlm poligami bknlah tubuh istri2 yg hrs ditutup rapat, melainkan nafsu seks laki2 yg mencatut Qur'an sbg pembenarnya.
14. Yg hrs dikontrol bkn tbuh prempuan, mlainkn amoralitas kemanusiaan. Yg mnyebabkn kekerasan bkn rok mini, mlainkan nafsu klelakian yg binal. Yg mnjatuhkn noda pd khormatan masy bkn kpemilikn prempuan atas tubuhnya, mlainkn kmunafikan birahi yg brsmbunyi di balik ayat al-Quran.
