Malam pertama yang sangat aneh, begitu pikirku sambil duduk di ruang tengah, waktu itu sekitar jam enam pagi. Hari kedua..
Pak Rusli berjanji akan datang bersama banyak pekerja perkebunan. Para pekerja itu yang nantinya akan dipekerjakan sebagai buruh lepas harian penyadap karet.
Aku sudah menyusun kegiatan yang akan kami kerjakan selama satu minggu ke depan. Yang paling pertama, membersihkan permukaan tanah perkebunan yang nyaris seluruhnya sudah tertutup oleh rumput liar dan daun-daun kering.
Setelah nantinya sudah bersih, akan ada beberapa tahapan lagi yang harus dilakukan agar pohon karet siap disadap.
***
Sudah hampir jam tujuh,
Kabut tebal masih menutupi nyaris seluruh wilayah perkebunan, udara sejuk pagi yang menyegarkan menemaniku duduk di teras rumah. Segelas kopi dan sebungkus rokok membawa lamunanku menerawang jauh,
Sampai saat itu, aku masih merasa sangat bersyukur dengan pekerjaan ini, pekerjaan yang aku anggap sebagai jawaban dari doa-doaku. Walaupun masih honorer, tapi gaji yang nanti akan kuterima jauh lebih besar dari pada penghasilanku bekerja serabutan.
Lamunan terhenti ketika serombongan orang yang mengendarai sepeda motor berjalan mendekati. Benar tebakanku, mereka adalah Pak Rusli dan para pekerja perkebunan.
***
Dimulailah kegiatan hari pertama.
Setelah semua sudah berkumpul di depan rumah, aku dan pak Rusli memberikan sedikit pengarahan.
Sebagian besar yang akan kami lakukan dalam beberapa hari ke depan adalah membersihkan seluruh areal perkebunan yang akan menjadi tanggung jawabku.
Sekitar 50 orang pekerja membantuku pada hari itu, hampir seluruhnya adalah orang-orang yang berasal dari kampung-kampung terdekat. Sebagian besarnya lagi juga pernah bekerja di perkebunan ini sebelumnya, beberapa tahun yang lalu sebelum perusahaanku mengambil alih.
Oh iya, Pak Rusli berjanji akan terus mendampingiku sampai nanti ketika pimpinanku telah datang.
Sekitar jam delapan pagi itu kami mulai membersihkan permukaan tanah yang sudah dipenuhi rumput liar, ilalang, semak belukar, dan sampah-sampah dedaunan kering.
Dalam proses awal pekerjaan itu, aku juga sambil mencoba mengenal lingkungan perkebunan dan sekitarnya.
Perkebunan ini cukup luas, sejauh mata memandang yang terlihat hanya barisan pohon karet yang berjajar rapih.
Aku juga ingin nantinya ketika pimpinanku telah datang, aku sudah dapat menjelaskan secara detail mengenai seluk beluk perkebunan ini, supaya beliau nantinya dapat langsung bekerja tanpa perlu beradaptasi lebih lama lagi.
***
“Dari mana asal kamu dek?.”
Salah satu pekerja bertanya kepadaku ketika kami sedang beristirahat makan siang, umurnya sudah sekitar 40 tahunan, berperawakan tinggi kurus dengan rambut ikal.
“Saya dari Palembang Pak, keluarga tinggal di sana.” Jawabku.
“Kamu nanti tinggal dimana selama bekerja di sini?” Tanya Bapak itu lagi.
“Tinggal di rumah yang tadi kita pertama kali kumpul Pak. Saya akan tinggal di rumah itu dengan pimpinan saya nanti. Kebetulan dia belum datang.”
“Jadi, sambil menunggu pimpinan kami datang, kamu akan tinggal di rumah itu sendirian?, Sampai berapa lama?”
Bapak itu mulai menunjukkan mimik wajah yang aneh, terlihat khawatir, ketika melontarkan pertanyaan terakhir.
“Sekitar tiga bulan lagi pimpinan saya datang, saya akan tinggal sendirian di rumah itu sampai beliau datang. Memang kenapa Pak?”.
Aku menjawab diakhiri dengan pertanyaan.
“Sebaiknya kamu tinggal di kota saja. Lebih baik kamu pulang pergi saja setiap hari. Saya sudah pernah bekerja di sini beberapa tahun yang lalu. Kurang lebihnya, saya tahu mengenai keadaan perkebunan ini dan rumah yang kamu tinggali itu.”
Bapak itu menjelaskan cukup panjang lebar, cukup membuatku jadi bertanya-tanya.
“Memang ada apa dengan perkebunan ini Pak? Ada apa dengan rumah itu?”
“Pokoknya, saya sarankan supaya kamu jangan tinggal di rumah itu sendirian. Belum pernah ada orang yang mampu menempatinya berlama-lama” Jawab Bapak itu lagi.
Aku terdiam mendengarnya. Tapi sebelum aku melontarkan pertanyaan lagi, ternyata kami sudah harus melanjutkan pekerjaan, karena matahari sudah mulai condong ke arah barat.
***
Terus terang, pembicaraanku dengan salah satu pekerja tadi menimbulkan banyak pertanyaan di dalam benak.
Ada apa dengan rumah itu?
Kenapa belum ada yang orang yang pernah tinggal lama di rumah itu?
Ada apa?
Padahal kalau melihat kondisinya, rumah sudah dalam keadaan yang bersih dan cukup nyaman untuk ditinggali, hanya harus sedikit diperbaiki beberapa sudutnya yang masih rusak.
Aku juga berencana untuk menanam rumput dan tanaman di sekelilingya, supaya lebih enak dipandang mata.
Iya, tapi tidak bisa dipungkiri juga kalau pada hari pertama aku sudah mengalami kejadian-kejadian yang menurutku cukup aneh.
Tadi pagi pun, sebelum memulai aktifitas, sekali lagi aku mengalami kejadian yang aneh.
Begini ceritanya..
Aku yakin sekali kalau kemarin sore sudah membersihkan kamar mandi sampai ke setiap sudutnya.
Kamar mandi yang letaknya ada di bagian belakang rumah ini ukurannya cukup besar, berisi bak mandi dan sumur yang berada di sebelah kanan.
Bak mandi sudah ku kuras airnya dan kubersihkan seluruh permukaannya.
Bagian atas sumur yang berbentuk tembok melingkar itu pun sudah aku bersihkan, lumut dan jamur yang sempat terlihat sudah ku buang semua.
Intinya, kamar mandi sudah sangat bersih, aku yakin itu.
Tapi ada yang aneh, ketika aku hendak mandi, aku lihat kamar mandi menjadi kotor lagi, banyak tanah bertaburan pada lantainya, ember yang digunakan untuk mengambil air sumur tergeletak di lantai, bukan menggantung di tiang penyangganya.
Seperti baru saja ada yang menggunakannya.
Tanpa berpikir macam-macam, aku bersihkan dahulu sebelum mandi.
Kejadian yang cukup aneh, tapi pada pagi itu aku tidak terlalu memikirkannya, aku sudah sangat antusias dengan kegiatan hari pertama bekerja di perkebunan itu.
***
Sore menjelang, matahari sudah bersandar di sisi bagian bumi yang paling barat.
Hari yang cukup melelahkan, aku duduk bersandar di bawah salah satu pohon karet ketika para pekerja sedang membereskan peralatan mereka, dan bersiap untuk pulang ke rumahnya masing-masing.
Suasana sore yang tidak terlalu cerah, awan cukup tebal sudah terlihat menggelayut di atas langit, tampaknya nanti malam akan turun hujan.
“Pak, nanti kita bareng jalan ke kota ya, ada beberapa perlengkapan rumah yang harus saya beli.”
Aku berbicara kepada Pak Rusli.
“Bagus, kamu nanti malam menginap di rumah saya saja, besok pagi kita berbarengan lagi.” Begitu jawab Pak Rusli.
Aku hanya tersenyum mendengar ajakannya, bagaimana nanti sajalah, begitu pikirku.
Ada beberapa perlengkapan rumah yang memang harus ku beli, perlengkapan yang sangat diperlukan, seperti lampu templok, gayung mandi, keset, dan lain sebagainya.
“Bapak tunggu tunggu di sini saja ya, saya mau pulang dulu mengambil motor, nanti kita bertemu di sini.”
Aku langsung berdiri dan berjalan pulang.
Jarak antara rumah dengan tempat Pak Rusli dan para pekerja berkumpul, sekitar 15 menit berjalan kaki, cukup alasan buatku untuk beristirahat sejenak ketika sudah sampai di rumah.
Sesampainya di rumah, aku duduk di ruang tengah, menjulurkan kaki dan meletakannya di atas meja, hari yang cukup melelahkan.
Jam sudah nyaris pukul setengah enam ketika lamunanku tiba-tiba terhenti.
Aku mendengar sesuatu..
Aku mendengar suara yang bersumber dari bagian belakang rumah, suara yang bersumber dari kamar mandi.
“kreeeek…kreeeek..kreeek…”
Suaranya terdengar seperti ada yang menarik tali timba, seperti ada yang sedang mengambil air sumur menggunakan timba..
Aku terdiam,
“Siapa yang ada di Kamar mandi?” Aku bertanya di dalam hati.
Kemudian, “Byur....byuurr..”
Terdengar suara seperti ada orang yang sedang mandi.
Aku mulai merasakan keanehan..
Berdiri dari duduk, aku memandang ke arah kamar mandi. Pintunya tertutup..
“Byuur…Byur..” Suara guyuran air terdengar lagi.
“Siapa di belakang?” Aku memberanikan diri untuk mengeluarkan suara.
Tidak ada jawaban, tetapi suara itu tiba-tiba berhenti, membuat suasana kembali menjadi hening.
Beberapa saat kemudian, aku memberanikan diri untuk berjalan mendekat ke kamar mandi, berniat untuk memcari tahu ada siapa di dalamnya.
Aku terdiam beberapa saat di depan pintunya, menajamkan pendengaran memastikan kalau memang tidak ada suara lagi dari dalam.
Setelah yakin tidak ada suara apa-apa lagi, ku raih gagang pintu dan memutarnya.
Sambil menahan napas, perlahan aku membuka pintu kamar mandi..
Pintu terbuka penuh, akhirnya dapat terlihat isi kamar mandi seluruhnya.
***
Kosong..
Ternyata di dalam kamar mandi kosong, tidak ada siapa-siapa.
Sedikit bisa menghela napas panjang, walaupun masih cukup keheranan, karena aku yakin kalau tadi mendengar ada suara orang yang sedang menimba air sumur dan menggunakannya untuk mandi.
Aku bertambah heran ketika melihat keadaannya sama seperti ketika aku lihat pada pagi hari tadi.
Banyak tanah yang berserakan di lantai, ember yang digunakan untuk mengambil air dari dalam sumur tergeletak di lantai juga, seperti ada yang baru saja menggunakannya.
Melihat kamar mandi seperti itu, aku langsung bergegas membersihkannya.
Setelah selesai, aku bersiap untuk mandi, menimba air hingga memenuhi bak sampai penuh.
Nah, pada saat mandi, aku mendengar sesuatu lagi.
Aku mendengar suara yang bersumber dari luar, sepertinya dari dapur.
“Creek…creeekk..crek..” Kira-kira seperti itu bunyinya.
Suara yang sama dengan yang aku dengar dari luar rumah pada malam sebelumnya.
Beberapa kali suara itu terdengar..
Sumber suara seperti tidak bergerak, hanya diam di dapur.
Mendengar itu, aku langsung menghentikan kegiatan, aku terdiam sambil perlahan membasuh tubuhku dengan handuk.
“Itu suara apa sih..?” Begitu gumamku di dalam hati.
Perlahan ku buka pintu kamar mandi sambil menahan napas, takut ada sesuatu yang akan mengagetkanku di balik pintu.
Aku terdiam ketika pintu sudah terbuka penuh,
Syukurlah, tidak terlihat apa pun di dapur.
Aku langsung beranjak ke kamar dan berpakaian.
***
“Maaf Pak, lama ya menunggu saya?”
Basa-basi aku menyapa Pak Rusli yang sudah duduk menungguku di atas motornya.
“Tidak apa-apa, ayok kita jalan Yu, takut keburu gelap.” Begitu kata Pak Rusli.
Kami pun langsung bergegas berangkat ke kota.
***
Barang-barang belanjaan sudah siap semuanya di atas motor, aku sudah mengikatnya dengan kuat di jok belakang.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam ketika aku sudah siap berangkat untuk kembali pulang.
Tapi tiba-tiba, Aku teringat akan Amri, teman sekampung yang tinggal dan bekerja di kota ini.
Pada pertemuan kami yang terakhir, dia memberikan alamat tempat tinggalnya, menyuruhku untuk menyempatkan mampir kalau aku sedang berada di sini.
Okelah, aku akan mencoba mencari alamat tempat tinggalnya.
Ini kota kecil, seharusnya tidak susah untuk menemukan alamatnya.
Dan benar saja, tidak terlalu lama proses pencarian, aku menemukannya.
***
"Hey kamu ternyata.., apo kabar? Ngapo dindak kasi kabar? Ngapo tiba-tiba ado di sini?, begawe dimano sekarang?"
Amri langsung memberondongku dengan banyak pertanyaan ketika melihatku berdiri di balik pintu.
Kami berpelukan, sudah cukup lama tidak bertemu, aku hampir menangis terharu. Kami berbincang menggunakan bahasa daerah asal kami, Palembang.
Amri tinggal sendiri di rumah petakan yang terdiri dari satu kamar dan ruang tamu. Ada beberapa rumah yang berbaris berjajar, rumah Amri berada di paling pojok kanan.
Setelah itu, kami berbincang panjang lebar.
Beberapa gelas kopi dan berbatang-batang rokok menemani dua sahabat kecil yang tengah menceritakan kisah hidup masing-masing setelah berpisah lama.
***
"Jadi sekarang kamu begawe di perkebunan itu?, tinggal jugo di rumah yang ado di tengah-tengah situ?".
Raut wajah Amri berubah menjadi sedikit tegang ketika aku menceritakan di mana tempatku bekerja dan di mana tempat aku tinggal.
"Aku sudah hampir tiga tahun bekerja di kota ini, beberapa kali pernah mendengar cerita tentang perkebunan itu melalui orang-orang yang aku kenal."
"Banyak cerita yang beredar, yang aku juga belum tahu tentang kebenarannya."
"Tapi syukurlah kalau akhirnya perkebunan itu diambil alih oleh pemerintah, karena tempat itu sudah lama terbengkalai, kasihan para pekerjanya."
"Kamu beruntung dapat bekerja di perkebunan yang dimiliki oleh pemerintah, hanya saja kamu harus sangat berhati-hati tinggal di situ. Saranku, tinggal di tempatku ini saja dulu sebelum pimpinanmu datang. Tidak tega aku melihatmu tinggal sendirian di tengah hutan seperti itu."
"Ini sudah hampir jam 12 malam, aku tidak akan mengijinkanmu pulang sekarang. Bermalam di sini saja, kebetulan besok dan lusa aku libur, akan ku antar ke perkebunan esok pagi."
Panjang lebar Amri memberiku wejangan, semakin banyak pertanyaan yang muncul di dalam kepala.
Ada apa dengan perkebunan itu?
Aku ikuti saran Amri, aku bermalam di rumahnya.
Kami berbincang panjang hingga nyaris menjelang subuh.
***
Ketika pagi menjelang, Amri memenuhi janjinya, mengantarkanku ke perkebunan.
Rencananya, pada malam harinya dia akan menginap di tempatku. Syukurlah, malam nanti aku tidak sendirian, rasa cemas sedikit banyak akan berkurang.
***
Ketika kami sampai, ternyata di depan rumah sudah ramai oleh keberadaan Pak Rusli dan para pekerja.
Setelah sedikit berbasa-basi dan membereskan barang-barang bawaan, aku langsung memulai kegiatan.
Pada hari itu kami akan melanjutkan pekerjaan kemarin, membersihkan lahan sekitar perkebunan.
Targetku, dalam waktu satu bulan seluruh wilayah yang menjadi tanggung jawabku sudah bersih semuanya, sehingga dapat dimulai proses selanjutnya.
Amri memutuskan untuk tinggal di rumah selama aku bekerja, dia berniat untuk tidur dan istirahat seharian.
***
Hari itu cukup terik, membuat badanku terasa lemas dan sangat kelelahan, ditambah karena tidurku sedikit pada malam sebelumnya.
Sementara kulihat para pekerja tetap semangat dalam melaksanakan tugasnya, cukup senang aku melihatnya.
***
Syukurlah, hari berakhir dengan baik, wilayah yang sudah bersih menjadi bertambah luas, aku cukup puas dengan hasil kerja dua hari pertama ini.
Setelah berkumpul sebentar dengan para pekerja di depan rumah, sekitar jam lima sore aku persilahkan mereka pulang ke rumahnya masing-masing.
Kemudian aku masuk ke dalam rumah dan membersihkan diri.
***
Setelah selesai mandi dan berpakaian, ternyata di meja ruang tengah sudah tersedia kopi dan singkong rebus yang disiapkan oleh Amri. Singkong yang sebelumnya kami bawa dari kota, rencananya beberapa batang singkong akan ku tanam di halaman sebelah kiri rumah.
Sambil menunggu maghrib tiba, kami kembali berbincang, di ruang tengah.
Suasana rumah tampak sedikit lebih hidup dengan kehadiran Amri, orangnya memang suka berbincang dan bercanda, gelak tawa kami berdua sering kali meledak ketika ada pembahasan yang cukup lucu.
***
Malam pun tiba,
Mengenakan sarung dan kaos oblong, kami melanjutkan berbincang di teras depan rumah, menghadap langsung ke perkebunan yang terlihat tidak terlalu gelap, cahaya bulan dan cerahnya langit malam membantu sedikit pencahayaan.
Amri kembali menyeduh kopi, kali ini sudah gelas yang kedua. Beberapa batang rokok juga sudah menemani perbincangan kami yang seakan tidak ada habisnya.
Suara binatang malam kembali terdengar bersahut-sahutan, menambah syahdunya suasana malam itu. Untuk beberapa saat, kami sangat menikmati ketenangan dan keheningan sekitar rumah.
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, ketika ada hal aneh yang mulai terjadi.
“Kamu menyalakan kompor Yu?” Amri bertanya.
“Tidak, memangnya kenapa Am?” Jawabku.
“Kamu mencium sesuatu gak?”
Aku langsung menajamkan penciuman, dan ternyata memang iya, aku mencium sesuatu.
“Seperti bau kentang rebus ya Am, betul kan?” Tanyaku.
“Kamu tidak sedang merebus kentang di dapur kan?” Amri kembali bertanya untuk menegaskan.
“Tidak Am..” Jawabku sambil menggeleng.
Kami berdua mencium aroma kentang yang sedang direbus, aroma yang tadinya samar lama kelamaan menjadi semakin kuat.
Kami terdiam dan berpandangan.
“Bau kentang dari mana ya Yu?” Amri kembali bertanya.
Aku hanya mengangkat bahu.
Cukup lama bau itu tercium, kadang menghilang kadang muncul kembali.
Awalnya kami mengabaikan dan tetap melanjutkan perbincangan, walaupun suasana sudah mulai sedikit mencekam, karena suara-suara binatang malam secara perlahan mulai menghilang.
Angin sepoi-sepoi mulai bertiup dari arah perkebunan, bertiup menerpa tubuh kami yang mulai merasakan kalau udara menjadi semakin dingin.
“Creeek..creeek….creek..”
Kami saling berpandangan, ketika tiba-tiba suara itu terdengar dari kejauhan. Suara yang sudah pernah kudengar pada malam sebelumnya.
“Creeek..crekk…creek..”
Suara itu kembali terdengar, kali ini sumber suara seperti semakin mendekat, dari sisi sebelah kiri rumah, kami langsung mengarahkan pandangan ke arah tersebut.
“Ayo masuk Yu..”
Tiba-tiba Amri langsung berdiri dari duduknya dan mengajakku untuk masuk ke dalam rumah, wajahnya terlihat agak panik.
Aku ikuti ajakannya.
Setelah sudah berada di dalam, aku langsung mengunci pintu.
“Biarkan lampu petromak tetap menyala Yu, jangan dimatikan.”
Aku menjadi cemas, karena nada suara Amri terdengar seperti orang yang ketakutan.
Kami duduk di ruang tengah, duduk bersebelahan pada tempat duduk yang panjang, menghadap ke pintu kamar.
“Bau kentang dan bunyi creek creek tadi itu adalah pertanda Yu”
Nyaris berbisik, Amri bilang seperti itu.
“Pertanda apa Am?” tanyaku penasaran.
“Pertanda akan kehadiran pocong..” Jawab Amri dengan suara yang mulai bergetar.
***
Aku hanya terdiam mendengar penjelasan Amri, karena aku dengar juga suara itu pada malam sebelumnya, terdengar dari luar rumah, namun tidak terlihat ada penampakan pocong.
Aku berharap semoga Amri salah, semoga yang dia bicarakan tidak benar.
Tidak terasa, jam sudah hampir di pukul dua belas malam.
Percakapan yang kami lakukan hanya seperlunya saja, tidak ada lagi gelak tawa dan canda ria, karena entah kenapa suasana semakin malam semakin mencekam.
Sesekali aroma bau kentang rebus tercium di dalam ruangan, kadang samar kadang sangat tajam baunya.
“Creeek..Creeek…crek..”
Kami terkejut, saling berpandangan, ketika tiba-tiba suara itu terdengar cukup keras dari dalam rumah, terdengar dari bagian belakang rumah.
Yang pada awalnya terdengar dari luar, kali ini sumber suara jelas terdengar dari dalam.
Beberapa kali kami saling berpandangan, kemudian secara perlahan mulai menoleh ke arah bagian belakang rumah, tempat dimana kamar mandi dan dapur berada.
Lorong belakang rumah tidak terlalu terang, hanya mengandalkan penerangan dari lampu petromak yang ada di ruang tengah, tempat di mana kami berada.
Sebelah kiri lorong adalah kamar belakang, sedangkan di sebelah kanan tempat kamar mandi berada.
Kami hanya dapat melihat pintu kamar belakang, pintu kamar mandi tidak terlihat dari arah tempat kami duduk.
Tapi kami dapat mendengar, ketika ada suara yang sepertinya bersumber dari pintu kamar mandi, pintu itu mengeluarkan suara, seperti ada yang membukanya.
“Kriiyeeeeeett…”
Engsel pintu yang mungkin sudah cukup tua dan berkarat, mengeluarkan bunyi yang terdengar sampai ke ruang tengah.
Kami masih hanya bisa terdiam dan sesekali berpandangan satu sama lain.
“Creeeekk…Creeekk…creek”
Suara aneh itu kembali terdengar, kali ini lebih keras dari sebelumnya.
Kami ketakutan, sangat yakin kalau suara itu berasal dari kamar mandi yang pintunya baru saja seperti ada yang membuka.
Tiba-Tiba, perlahan ada sesuatu yang keluar dari dalam kamar mandi..
Terlihat ada sosok berwarna putih kusam yang muncul dalam kegelapan, bergerak mendekat ke pintu belakang.
Kami terdiam, hanya duduk mematung menyaksikan pemandangan yang sedang terjadi di hadapan.
Sosok putih itu kemudian diam berdiri menghadap ke tembok kamar belakang, berdiri menyamping kalau dilihat dari arah kami duduk.
Aku dan Amri berkeringat dingin, jantung kami berdegup kencang ketika tersadar kalau yang berdiri di depan kamar mandi adalah Pocong, sosok pocong yang tinggi besar dengan kain kafan kusam menyelimuti tubuhnya.
Aku sama sekali tidak dapat menggerakkan tubuh ketika secara perlahan pocong itu mulai menggerakkan tubuhnya ke arah kiri.
Dan pada akhirnya, pocong itu benar-benar berdiri menghadap ke arah kami.
Kami dapat melihat sedikit bagian wajahnya, bagian wajah yang kehitaman, dengan bola mata yang berwarna putih seluruhnya.
Terdiam mematung, kami tidak bisa berbuat apa-apa, hanya memandangi pocong itu dengan ketakutan.
“Sadar Yu, ayok!, kita tinggalkan rumah ini..”
Suara Amri mengagetkanku, dia langsung mengambil kunci motor, dan aku langsung bangkit dari duduk membuka pintu.
Kami bermaksud untuk meninggalkan rumah saat itu juga.
Selama prosesnya, kami sama sekali tidak berani untuk melihat ke arah belakang rumah, tempat dimana pocong itu berada.
Setelah motor sudah berada di luar, aku langsung menutup pintu rumah dan menguncinya.
Dalam kegelapan malam itu, kami berada di atas motor membelah perkebunan karet untuk meninggalkan tempat itu secepat-cepatnya..
Hai...
Balik ke gw lagi ya, Brii..☺️
Gimana? Sudah mulai seram cerita om Wahyu? Semoga senang bacanya ya..
Udahan dulu cerita malam ini, nanti kapan-kapan dilanjut lagi..
Met bobo, semoga mimpi indah..
Salam
~Brii~
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Kadang keadaan memaksa kita untuk menempati tempat tinggal baru. Sering kali, susahnya proses adaptasi harus ditambah dengan terpaan seram dari sisi gelap.
Ada teman yang mau berbagi cerita pengalaman ketika harus menempati rumah baru.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
Lagi-lagi, aku menemukan beberapa helai rambut panjang, entah ini sudah yang keberapa kali, kali ini aku menemukannya di depan lemari ruang tengah. Beberapa helai rambut ini kalau diukur dengan tubuh perempuan dewasa, kira-kira dari kepala sampai ke pinggul, panjang memang.
Apa yang aneh? Ya anehlah, karena di rumah gak ada seorang pun yang memiliki rambut sepanjang itu. Rambutku hanya sebatas pundak, itu pun jenisnya gak sama dengan rambut yang sudah beberapa kali kami temukan.
Gak memandang apa pekerjaan kita, “Mereka” akan datang dengan keseraman tanpa diduga, dengan berbagai bentuk yang gak tertebak.
Malam ini, simak pengalaman seorang supir travel di salah satu bagian Sumatera.
Hanya di sini, di Briistory…
***
~Lampung, Circa 1998~
“Hati-hati, Bang. udah malam ini, kenapa gak besok lagi ajalah nariknya.”
“Hehe, tanggung, Man. Setoran masih belum setengahnya ini, nanti bos marah.”
Nyaris jam sebelas malam, ketika aku masih berada di pelabuhan Bakauheuni, Lampung. Percakapan dengan Iman, rekan sejawat, sejenak membuyarkan lamunan.
Sejarah panjang dan kelam sering kali terungkap dalam senyap, tergambar oleh tarikan garis seram.
Satu sudut di Lembang, tersaji horor tempat pelatihan, seorang teman coba bercerita pengalaman seramnya di sana.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
Waktu seperti berhenti, udara sama sekali gak bergerak, suara detik jam yang tadinya samar terdengar tetiba gak ada lagi. Dalam gelap, aku terus memperhatikan ujung tangga, menunggu kira-kira siapa gerangan yang akan turun dari lantai atas.
Sementara itu, suara yang sepertinya bunyi langkah kaki, terus saja kedengaran, makin jelas, makin dekat.
Cadas Pangeran, satu tempat bersejarah. Ratusan tahun berusia, sahihkan kisah hitam dan putihnya, terus bergulir hingga kini.
Mamal ini, seorang teman akan menceritakan pengalamannya ketika melintasi daerah ikonik ini. Seram? Tentu saja.
Simak di sini, hanya di Briistory.
***
Lepas dari pusat kota Jatinangor, aku akhirnya masuk ke daerah yang terlihat seperti gak berpenduduk.
Tahun 1998, Cadas Pangeran masih sangat sepi, jalan berkelok dikelilingi oleh pepohonan yang membentuk hutan, sama sekali gak ada penerangan, gelap gulita.