Perdebatan soal 'tax ratio' dan penurunan tarif pajak ini sebenarnya nggak rumit. Pemerintahan Jokowi menjanjikan penurunan tarif PPh Badan pasca-tax amnesty dan ini sdg dikaji via revisi UU PPh. Pertimbangannya: perluasan basis pajak dan keterbukaan informasi keuangan.
Logikanya simpel: tax amnesty adalah sarana rekonsiliasi data dan dosa. Mulai dari NOL. Sejak ada posisi asali ini, kita bisa bicara tentang masa depan dg lebih fair. Itu yg memungkinkan UU 9/2017 ttg akses informasi keuangan utk kepentingan perpajakan disetujui.
Buah amnesti pajak adalah perluasan basis data perpajakan. Ada deklarasi harta Rp 4.865 T, rinciannya Rp 1.031 T deklarasi LN dan Rp 3.834 T deklarasi DN. Tinggal pengawasan thd penghasilan yg timbul dari harta ini. Tentu saja pengawasan yg efektif butuh sistem IT yang handal.
Penurunan tarif hanya mungkin dilakukan jika basis pajak dan kepatuhan sdh meningkat. Data 2018 menunjukkan perbaikan itu. Penerimaan tumbuh 15% saat pertumbuhan ekonomi stagnan. Sebenarnya isu kompetisi tidak terlalu relevan. Apa alasannya?
Tarif PPh kita masih cukup kompetitif di kawasan. Terutama untuk PPh Orang Pribadi, tarif tertinggi kita 30%, Vietnam, Thailand, Filipina 37%, China 45%, Korsel 42%. Utk PPh Badan kita 25%, lebih tinggi dibanding Singapore, Kamboja, Thailand. Rerata OECD 23,9%. Negara sebaya?
Dibandingkan negara BRICS, tarif PPh Badan kita hanya lebih tinggi dibandingkan Rusia (20%), dan sama dengan China dan India (25%) . Sedangkan Afsel 28%. Tapi ini nominal tarif ya, bukan effective tax rate (beban pajak yg sebenarnya ditanggung). Bisa lebih rendah.
Sebagai perbandingan, kita lirik beberapa negara Eropa Utara (Skandinavia). Tarif PPh Orang Pribadi Swedia 61%, Denmark 58%, Finlandia 51%. Eropa lain: Prancis 45%, Jerman 47%, Turki 35%. Senyampang, kalau kita 30% dianggap tinggi dan terkena kutukan "Kurva Laffer", piye?
Adagium: tarif pajak tinggi bikin modal lari dan rakyat malas tidak terbukti di Eropa Utara. Tarif pajak tinggi, tax ratio tinggi, produktivitas tinggi. Ya karena revenue dan spendingnya berkualitas. Pemerintahannya komit pd hak warga negara. Demokratis, aman, bahagia.
Maka jangan gegabah mau menurunkan tarif tanpa paham konteks. Kalau mau 'race to the bottom', dlm sikon kayak gini kita akan kalah. Pajak jebol, APBN defisit, investasi dan pertumbuhan nggak bakal naik. Maka motifnya jangan itu. Perbaiki sistem perpajakan secara komprehensif.
Kembali ke apa yang telah dan sedang kita lakukan, tanpa embel2 Pilpres yg memabukkan. Pasca tax amnesty kita skrg punya UU No. 9/2017. Semua informasi keuangan dalam dan luar negeri akan diberikan ke @DitjenPajakRI . Supaya kita bisa fair pd yg sudah patuh, kejar yg blm patuh.
Ini sdh dimulai bertahap, dengan lebih dari 100 negara. Utk dalam negeri semua Lembaga Jasa Keuangan tak terkecuali. Maka ada perubahan perilaku: bukan kucing2an lagi, tapi budaya baru di era transparansi. Patuh? cuma Pemerintah harus fair: sasar yg nakal, apresiasi yg patuh.
Sebagai kelanjutan, kini dibangun sistem IT agar handal, namanya core tax system. Melalui Perpres 40/2018, @DitjenPajakRI boleh pengadaan sistem IT yg canggih dg prosedur khusus, agar efisien dan efektif. Ini akan handal kejar yg nakal, layani yang patuh. Suka?
Utk menjamin fairness, biar yang diperiksa hanya yang berisiko tinggi (nakal), maka Dirjen Pajak keluarkan SE-15/2018. Pemeriksaan perlu perencananan yg baik, harus objektif dan reasonable, tak boleh subyektif tebang pilih. Ada supervisi dan kontrol. Cukup bagus kan?
Lugasnya, kita kini memasuki era baru perpajakan, yang dicirikan: transparan, fair, simpel. Memang perbaikan belum sempurna, masih ada kekurangan, namun cukup menjanjikan. Ada di jalur yang benar....Apalagi kl SIN (Single Identity Number) sdh jadi, akan amat dahsyat.
Regulasi jg diperbaiki. Saya pribadi gemes dg lambatnya bbrp perubahan, tapi saya kira sdh cukup bagus prosesnya. Revisi UU KUP, UU PPh, dan UU PPN. Semoga UU PDRD dll menyusul segera. Aturan teknis diinventarisasi utk harmonisasi & sinkronisasi. Ini bukan pekerjaan mudah sih.
Saya harus katakan, di awal pemerintahannya, Jokowi cukup ambisius. Maklum: terlalu semangat, ingin segera lari, kadang perlu realistis. Tahun 2015 terseok, 2016 mulai sadar, dan selanjutnya memahami problem dasarnya. Reformasi Perpajakan dimulai Des 2016. Terima kasih buat SMI.
Bu SMI ini sahabat saya, juga sahabatnya @rockygerung sih ;) Saya percaya RG pun dalam hati masih mempercayai integritas SMI dan kinerja positifnya. Cuma barangkali itu tidak masuk dalam SOP-nya sehingga kerap luput memuji. Pisss Bro...😀
Ah kepanjangan, besok disambung lagi. Ringkasnya, soal tax ratio itu nggak sederhana. Benar bahwa ada level standar agar sebuah negara bisa membangun dg baik. Tapi kadang itu dikorbankan dlm situasi butuh insentif dan stimulus. Jadi sebaiknya perluas cakrawala pikir dan pandang.
Kami sdh mengolah data ratusan perusahaan masuk bursa untuk diukur effective tax rate-nya. Ada yg ketinggian, ada yg bayar pajak terlalu rendah. Masuk ke data mikro seperti ini jg penting, supaya kita rendah hati, realistis, dan tidak sok tau alias sombong.
Nggak perlu Arthur Laffer atau bahkan Ibnu Khaldun sih untuk memahami Indonesia. Statistik lumayan lengkap, saksi hidup banyak, literatur tersedia. Tinggal kemauan mempelajari dan menganalisis dg tekun. Tapi ya namanya politik, butuh gimmick biar tampak pinter ;)
Sekian dulu, bsk lanjut. Banyak perubahan baik bisa saya kabarkan kok, tanpa perlu jual kecap atau jual integritas. Banyak kritik juga, dan itu konsisten saya lakukan. Aristides, Bapak 'tax justice' mengingatkan: memungut pajak yg baik harus bikin semua gembira. Good night...
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Selamat pagi. Mumpung masih segar, saya ingin mengajak teman2 untuk memahami perbedaan/persamaan antara penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Semoga menjadi informasi yg bermanfaat, baik bagi wajib pajak/wajib bayar maupun yg ingin mengadvokasi. #utas
1. Saya bisa memahami masih banyak yg belum tahu perbedaan antara pajak dan bukan-pajak, termasuk retribusi. Maklum, ini sangat teknis. Persamaannya, semua adalah pungutan/beban yg dibayarkan warga negara kepada negara atas kondisi tertentu. Di sinilah perbedaan subtilnya.
2. Kenapa sih ada pungutan buat negara? bukankah zolim karena paksaan. Memang karakteristik pajak itu paksaan. Kenapa memaksa? karena kalau sukarela tak semua yg wajib itu mau bayar. Padahal pungutan ini prasyarat bagi berjalannya pemerintahan. Dg kata lain, bisa ambyar negara
Selamat malam teman2. Mumpung agak longgar, terima kasih telah meramaikan G20 dgn topik "Osaka dan Roma". Memang banyak jalan menuju Roma. Melalui Osaka, banyak ide dan komitmen penting disemai dan berlanjut. Lantas apa relevansi G20 dan COP26 dg Presidensi Indonesia? Saya bahas.
1. Melanjutkan kabar gembira dari Forum KTT G20 di Roma dan COP26 di Glasgow, mari kita simak sekelumit info menarik dari dua konferensi strategis itu. Kenapa penting? karena pada KTT kali ini peran Indonesia cukup kuat dan membawa misi reformatif bagi presidensi tahun depan.
2. Pada Presidensi G20 Indonesia dg tema “revocer together, recover stronger”, kita mengajak negara lain bekerja sama demi terciptanya pemulihan dan kebangkitan bersama yang semakin kuat. Indonesia akan andil besar dalam kesepakatan strategis atas berbagai permasalahan global.
Ramai dibincangkan 'hidden debt' atau utang tersembunyi dari China versi AidData. Agar tdk simpang siur dan terang, kami jelaskan duduk soalnya. Informasi yg disampaikan kurang tepat dan rawan digoreng hingga gosong. Itu bukan utang Pemerintah tapi dikait-kaitkan. #thread
1) Supaya jelas, saya klarifikasi sejak awal. Hidden debt versi AidData tak dimaksudkan sbg utang yg tak dilaporkan atau disembunyikan, melainkan utang nonpemerintah tapi jika wanprestasi berisiko nyrempet pemerintah. Jadi di titik ini kita sepakat, ini bukan isu transparansi.
2) Utang tsb dihasilkan dari skema Business to Business (B-to-B) yg dilakukan dengan BUMN, bank milik negara, Special Purpose Vehicle, perusahaan patungan dan swasta. Utang BUMN tidak tercatat sebagai utang Pemerintah dan bukan bagian dari utang yang dikelola Pemerintah.
Berdasarkan penjelasan @KemenkesRI, Pemerintah menjamin seluruh biaya perawatan pasien Covid-19 dg membayar seluruh klaim RS, baik pada Rumah Sakit Umum, Khusus, Perluasan Layanan di gedung lain/ RS Darurat. Hal tersebut tertuang dalam Keputusan Menkes 4718/2021. #utas
1> Pembiayaan rawat inap pasien Covid-19 menggunakan tarif cost per days, dg kisaran tarif terendah Rp7jt/hari dg tempat isolasi tanpa tekanan negatif s.d. tarif tertinggi Rp16,5jt/hari dg kondisi pasien dirawat dlm ICU dg ventilator. Asumsi lama perawatan 10-14 hari/pasien.
2> Tarif cost per days meliputi: administrasi pelayanan, akomodasi rawat inap, jasa dokter, pelayanan rawat inap, ruang isolasi biasa, ruang isolasi ICU dengan ventilator, ruang isolasi tekanan negatif non ventilator, lab dan radiologi, obat, alkes, bahan medis habis pakai & APD.
Wacana kenaikan tarif PPN mendapat respon cukup hangat. Ini hal positif karena kesadaran akan pentingnya pajak semakin tinggi. Pajak adalah pilar penyangga eksistensi negara. Saya perlu berbagi konteks yg lebih luas agar kita dapat mendudukkan semua wacana secara jernih. #utas
1. Saya bisa memaklumi reaksi spontan publik yg marah, kaget, kecewa, atau bingung. Eh, kenaikan tarif PPN berarti naiknya harga2 dong. Apalagi ini pemulihan ekonomi. Pemerintah sendiri struggle dg APBN yg bekerja keras, mosok mau bunuh diri? Begitu kira2 yg saya tangkap.
2. Pemerintah, diwakili Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan, di berbagai kesempatan menegaskan bahwa rancangan ini perlu disiapkan dan didiskusikan di saat pandemi, justru karena kita bersiap. Bukan berarti akan serta merta diterapkan di saat pandemi. Ini poin penting: timing
1. Kasus harian Covid-19 secara global meningkat kembali tetapi kasus harian kita mengalami penurunan. Sebanyak 6,05 juta orang sudah mendapat 2 dosis vaksin, 4,9 juta orang sudah mendapat vaksin dosis pertama. Kita harus terus waspada. #APBNkiTa#ekonomibangkit#GameChanger
2. Kinerja berbagai indikator perekonomian global terpantau positif, optimisme pemulihan ekonomi global menguat tetapi masih ada risiko ketidakpastian. Harus terus mengendalikan pandemi, mempercepat recovery, dan memperkuat reform #ekonomiglobal#APBNKiTa
3. Perekonomian Indonesia di bulan Maret 2021 masih terus melanjutkan perbaikan, perluasan vaksinasi dan kebijakan PPKM Mikro yang terkendali berjalan seiring dengan peningkatan aktivitas ekonomi dan konsumsi masyarakat #uangkitauntukvaksinkita#gamechanger