Sosok-sosok hitam tinggi besar itu terus saja menatap tajam ke arah om, tatapan yang sangat mengerikan. Wajah hitam legam dengan bola mata yang hanya terlihat putihnya saja.
Om berdiri diam tanpa bisa menggerakkan badan, mulut tertutup tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun.
Di situ, di ruang tengah itu, om terjebak di dalam situasi yang membuat om sangat ketakutan.
Badan om semakin gemetaran hebat, ketika mereka mulai berdiri dari duduknya dan perlahan berjalan mendekat..
Keadaan ruang tengah yang temaram dan nyaris gelap, tetapi om masih dapat melihat cukup jelas bentuk dan paras dari sosok-sosok itu.
Tinggi sekitar dua meter, mengenakan pakaian seperti jubah panjang berwarna hitam, wajahnya hitam legam.
Mereka terus berjalan mendekat, sementara om terpojok, berdiri bersandar pada dinding di sudut ruangan.
Sudah tinggal setengah meter kami berjarak, sangat dekat..
Di puncak ketakutan, om menundukkan kepala dan menutup wajah dengan kedua telapak tangan..
Nafas om mulai sesak, berangsur semakin sulit untuk bernafas, tubuh seperti ada yang menghimpit, berat rasanya.
Dalam situasi seperti itu, om terus membaca doa tanpa putus di dalam hati, mengharap semoga kejadian ini cepat berakhir.
Dan..
Tiba-tiba om terbangun dari tidur, terbangun terduduk di atas kasur, dengan sekujur tubuh basah berkeringat dan nafas yang tersengal-sengal.
"Ada apa Pak?"
Tanya Wahyu yang ikut terbangun dari kasurnya yang tergelar di atas lantai.
"Gak ada apa-apa Yu, cuma mimpi.."
***
Entah sudah keberapa kali om mengalami mimpi buruk seperti itu, mimpi buruk yang sudah mulai masuk ke taraf yang mengganggu.
Mimpi yang terus berulang urutan kejadiannya, sama persis setiap om memimpikannya.
Pada akhir mimpi, terkadang om seperti ketindihan, tidak bisa bernafas, dada sangat sesak, badan tidak bisa bergerak.
Om belum menceritakan tentang detail mimpi itu kepada Wahyu, om pikir toh gak penting juga, hanya mimpi.
Namun tetap saja, mimpi yang cukup menakutkan.
***
Jam setengah tujuh pagi, om dan Wahyu sudah duduk di teras depan rumah, kopi dan singkong rebus menemani perbincangan.
Kami sedang menikmati suasana pagi.
Sinar matahari dari ufuk timur menembus sela-sela pepohonan karet, menyentuh permukaan tanah yang beberapa bagiannya tertutup rerumputan.
Embun pagi yang dari awal terlihat menyelimuti pekarangan perlahan mulai menguap dan menghilang.
Udara yang tadinya dingin menusuk tulang berangsur mulai terasa hangat.
Burung-burung hutan yang hinggap di dahan pohon mengeluarkan suara riangnya, sementara yang lain ada yang beterbangan ke sana ke mari.
Itulah gambaran suasana pagi yang kami nikmati setiap hari di perkebunan ini, indah dan menyenangkan. Sangat jauh dari kesan yang menyeramkan.
***
"Pak, mau tambah kopinya lagi?"
"Gak usah Yu, cukup. Sebentar lagi para pekerja kan sudah pada datang."
Iya, jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan, ketika Wahyu menawarkan kopi untuk gelas ke dua.
Sebenarnya kami masih ingin berbincang seru dan menikmati suasana pagi, tetapi sebentar lagi para pekerja penyadap karet akan berdatangan, dan kami harus mulai bekerja.
Dan benar saja, tidak lama kemudian dari kejauhan sudah terlihat para pekerja datang berbondong-bondong.
***
"Pak Heri, Usman hari ini ijin untuk tidak bekerja."
Pak Adi, salah satu pekerja yang sudah cukup berumur, berbicara kepada om ketika kami semua berkumpul di depan rumah dan sedang bersiap-siap.
"Loh, kenapa Pak? Ada apa dengan Usman?" Tanya om kemudian.
"Ayahnya meninggal semalam Pak, memang sudah sakit berkepanjangan."
"Inalillahi.."
Usman adalah satu pekerja yang masih tergolong muda, 18 tahun usianya, dia termasuk anak yang sangat rajin, selalu menurut dan patuh, tidak pernah mengeluh, selalu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik dan cepat.
Pembawaannya juga ramah dan menyenangkan, suka bercanda, om dan Wahyu cukup akrab dengannya.
Makanya, kami cukup kaget ketika mengetahui kalau Usman tidak masuk kerja. Tapi ketika sudah mendengar alasannya, kami bisa mengerti.
Oleh karna itulah, akhirnya om dan Wahyu berniat untuk datang melayat ke rumah orang tua Usman setelah selesai bekerja nanti sore.
Wahyu sangat setuju, ditemani oleh beberapa pekerja nantinya kami akan pergi ke rumah Usman yang letaknya di kampung hulu sungai, sekitar dua jam perjalalanan dengan berjalan kaki.
Kenapa gak menggunakan motor saja?
Menurut Pak Adi, beberapa wilayah sedang tidak dapat dilalui oleh motor, akibat hujan yang selalu turun.
Ya sudah, karna memang sudah niat, kami memutuskan tetap akan pergi.
***
Tidak seperti hari-hari sebelumnya, Om memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaan lebih awal, ya karna itu tadi, kami berniat untuk melayat ke rumah orang tua Usman.
Pada jam empat sore kami sudah mulai berkumpul lagi di depan rumah, beristirahat sambil membereskan peralatan.
"Nanti kita berjalan kaki melewati sungai belakang saja Pak, dapat memotong jalan jadi lebih pendek, nantinya gak sampai dua jam kita sudah sampai di tujuan."
Begitu kata Pak Adi menjelaskan. Om dan Wahyu sih oke-oke saja, karna pak Adi lebih tahu lokasi dari pada kami berdua.
"Baiklah Pak, kami ikut bapak aja. Jam setengah lima kita jalan ya.." ujar om kepada Pak Adi.
Beberapa rekan pekerja memang ada yang tinggal satu kampung dengan rumah orang tua Usman, jadi mereka sekalian pulang. Tapi tidak dengan pak Adi, beliau tinggal beda kampung, tetapi tidak terlalu jauh letaknya.
Jadi, ada kemungkinan kalau nantinya om dan Wahyu akan pulang dari rumah Usman hanya berdua saja, tidak ada yang menemani.
Makanya, Wahyu sempat bilang kalau nanti kami tidak usah sampai larut malam, paling lama selepas Isya kami sudah harus berada dalam perjalanan pulang.
***
Setelah semua sudah siap, kami pun berangkat. Ada enam orang dalam rombongan, termasuk om dan Wahyu.
Sore itu kami cukup beruntung, walaupun masih di dalam musim penghujan, langit terlihat cerah tanpa awan. Namun suasana sudah mulai gelap karna hari sudah menjelang malam.
Diawali dengan menyusuri pepohonan bambu yang ada di belakang rumah, kemudian kami mulai menyebrangi sungai, yang pada saat itu airnya tidak terlalu deras.
Air sungai yang dingin, membasahi kaki kami sampai sebatas lutut.
Lepas dari sungai, kami mulai masuk ke dalam hutan dengan berjalan menyusuri jalan setapak yang membelah pepohonan rindang.
Kanan kiri hanya terlihat pohon-pohon yang berdiri cukup rapat dan menjulang tinggi, di permukaan tanah banyak terlihat semak belukar menutupi sela-sela pepohonan.
Suara dedaunan kering terdengar bergesekan dengan langkah-langkah kaki kami yang terus berjalan di dalam suasana hutan yang semakin gelap.
Namun kami tetap saja berbincang cukup seru selama perjalanan.
Pak Adi dan rekan lainnya terlihat sudah terbiasa melewati jalan ini, berbeda dengan om dan Wahyu, kami masih belum terbiasa dengan suasananya, ini adalah jarak terjauh kami menyusuri wilayah hutan yang letaknya di sisi bagian belakang perkebunan karet.
Om meminta Wahyu untuk manghafalkan jalan yang kami lalui, agar nanti pada saat kembali pulang kami tidak akan tersesat, harapannya begitu..
Selama perjalanan kami tidak menemui satu pun perkampungan, hanya beberapa kali terlihat bangunan semi permanen yang terbuat dari kayu, berbentuk seperti rumah gubuk, itu pun tampaknya kosong.
Om mulai sediki khawatir dengan situasi yang akan kami lalui dalam perjalanan pulang nanti.
Dalam hati berharap semoga kami tidak mengalami kejadian yang menyeramkan, semoga.
***
Ketika keadaan sudah gelap total karena hari sudah malam, akhirnya kami mulai memasuki wilayah perkampungan.
Melirik ke arah arloji yang melingkar di pergelangan tangan, om melihat kalau waktu sudah menunjukkan hampir jam setengah tujuh malam.
Kanan kiri sudah terlihat rumah-rumah penduduk yang berbaris di pinggir jalan, jalan yang bukan lagi berbentuk jalan setapak, tetapi jalan tanah yang cukup lebar.
Rumah semi permanen yang tentu saja belum ada aliran listrik menerangi.
Lampu petromak dan lampu templok menjadi sumber penerangan,
Sementara itu beberapa penghuni rumah nampak duduk di beranda rumahnya.
Sesekali Pak Adi dan rekan lainnya bertegur sapa dengan penduduk yang kebetulan berpapasan atau yang sedang bersantai di depan rumah.
Suasana perkampungan yang bersahabat.
Tidak terlalu lama setelah memasuki perkampungan, akhirnya kami sampai di tujuan.
Alhamdulillah..
***
Kami masuk ke halaman pada salah satu rumah tanpa pagar yang ada bendera kuning kecil di depannya.
Rumah sederhana yang tidak terlalu besar, dindingnya sudah berbentuk tembok walaupun tidak terlalu kokoh.
Di beranda terlihat sudah banyak orang yang lantas langsung berdiri dari duduknya untuk menyambut kedatangan kami.
"Asalamualaikum.."
Suara lantang Pak Adi memecah keheningan malam itu.
"Waalaikumsalam.."
Jawaban dari orang-orang di beranda rumah tak kalah lantangnya.
“Wah, Pak Heri dan bang Wahyu repot-repot datang segala.”
Senyum merekah di wajah Usman ketika melihat kedatangan om dan Wahyu. Terlihat tetap tegar, Usman mempersilahkan kami masuk.
Di dalam rumah, sudah ada beberapa orang yang duduk bersila di atas tikar mengelilingi hidangan kue sederhana dan gelas-gelas minuman yang berisi air putih.
Setelahnya, kami langsung meminta ijin untuk melaksanakan sholat maghrib terlebih dahulu, Usman mempersilahkan dengan menunjukkan tempat berwudhu.
Selesai sholat, kami langsung ikut bergabung berkumpul di ruang tengah.
Isi rumah yang sangat sederhana, lemari kayu besar memisahkan ruang tengah dengan ruang makan di belakangnya.
Ada tiga kamar yang cukup besar di sebelah kanan ruang tengah, sementara kamar yang satu lagi berada di belakang bersebelahan dengan dapur dan kamar mandi.
Beberapa bingkai photo hitam putih menempel pada dinding ruangan, dari situ om dapat melihat kalau Usman memiliki keluarga yang cukup banyak anggotanya.
Menurut cerita Usman, dia adalah anak ke delapan dari sembilan bersaudara, adik perempuan satu-satunya masih bersekolah, sementara kakak-kakak Usman sebagian besar sudah tinggal memisahkan diri.
Almarhum Ayah Usman bekerja sebagai petani, mereka memiliki sebidang sawah garapan yang letaknya tidak jauh dari tempat mereka tinggal.
“Almarhum sudah kami kuburkan siang tadi Pak, kalau Pak Heri tadi jalan ke sini melalui jalan pintas lewat hutan, Pak Heri pasti melewati pemakaman umum tempat ayah saya dimakamkan. Sekitar tiga puluh menit berjalan kaki dari sini.”
Oh, jadi ternyata tadi sempat melewati pemakaman umum, namun kami tidak menyadarinya karna memang hari sudah gelap.
Seperti Usman, keluarga dan para tetangganya juga sangat ramah, walaupun masih dalam suasana berduka beberapa orang mengajak kami berbincang mengenai hal apa pun.
Rencananya, selepas Isya nanti akan diadakan pengajian, Usman bersikeras mengajak om dan Wahyu untuk mengikutinya, dengan sedikit terpaksa kami menyanggupi.
Sedikit terpaksa, karena rencananya paling malam om dan Wahyu akan pulang selepas isya, sebisa mungkin jangan terlalu malam, mengingat jalur pulang yang sungguh cukup menyeramkan.
***
Singkat cerita, acara pengajian selesai, kami lanjutkan dengan kembali berbincang, kali ini di beranda rumah.
Langit terlihat cerah, bulan bersinar dengan terangnya, membuat suasana malam menjadi tidak terlalu gelap.
Satu persatu rekan pekerja perkebunan yang ikut bersama kami, berpamitan pulang.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan lewat sedikit ketika hanya tinggal om, Wahyu, Usman, Pak Adi, dan beberapa anggota keluarga yang lain yang berada di depan rumah.
“Sudah jam setengah sembilan, kami pamit pulang ya Man.” Ucap Om.
“Gak menginap di sini saja Pak? Besok pagi kita bareng jalan ke perkebunan.”
Usman mengajak kami bermalam di rumahnya, tawaran yang sempat membuat om dan Wahyu mempertimbangkan tentang hal itu.
Tapi melihat suasana malam yang tidak terlalu gelap dengan langit cerah dan sinar bulan, akhirnya kami memutuskan untuk tetap pulang.
“Kami pulang saja Man, malam ini gak terlalu gelap kok. Lagi pula kamu belum perlu bekerja besok, jangan memaksa untuk ke perkebunan, ambillah libur barang satu atau dua hari lagi.” Ucap Om kepada Usman.
“Tapi Pak Heri dan Wahyu masih ingat jalan pulang kan?, kalau ada apa-apa jangan ragu untuk kembali ke sini ya Pak.” Jawab Usman kemudian.
Om dan Wahyu mengangguk mengiyakan.
Akhirnya, dengan berat hati Usman mempersilahkan kami pulang.
Om, Wahyu, dan Pak Adi kemudian melangkahkan kaki meninggalkan rumahnya.
Sebelumnya, Usman meminjamkan sebuah obor minyak tanah, untuk membantu penerangan dalam perjalanan pulang.
Wahyu yang membawa obor, sementara om memegang lampu senter yang sudah kami bawa sejak berangkat tadi.
Pak Adi ikut bersama kami, tapi dia bilang nantinya kami akan pisah jalan di ujung kampung, selebihnya om dan Wahyu akan melanjutkan perjalanan pulang sendirian menembus hutan.
Semoga akan menjadi sebuah keputusan yang tidak akan kami sesali.
***
Sekitar lima belas menit perjalanan, kami sampai juga di ujung kampung.
“Saya ke kiri mengikuti jalan ini ya Pak. Pak Heri dan Wahyu ambil jalan lurus ini saja terus sampai menemui jalan masuk ke hutan tadi. Gak takut kan Pak?, tenang saja, malam ini gak terlalu gelap.”
Panjang lebar Pak Adi berpamitan sambil tersenyum.
“Iya Pak. Sampai bertemu besok ya Pak.” Ucap Wahyu.
Akhirnya kami berpisah jalan, sementara Pak Adi berbelok ke arah kiri menuju rumahnya, kami terus berjalan lurus menuju rumah kami di perkebunan karet.
***
Jalan mulai mengecil ketika om dan Wahyu mulai meninggalkan perkampungan, jalan setapak yang saat berangkat tadi kami lalui.
Dibantu dengan obor di tangan Wahyu dan lampu senter di tangan om, Kami pun mulai memasuki wilayah hutan.
“Kamu masih ingat jalannya kan Yu?”
“Ingat Pak, beberapa bagian jalan sudah saya tandai dengan tumpukan batu, gak akan kesasar Pak.” Wahyu menjawab dengan yakin.
Berbeda dengan sebelumnya ketika saat berangkat tadi, suasana hutan agak sedikit mencekam, mungkin karna kali ini hanya ada Om dan Wahyu dalam perjalanan pulang.
Suasana hutan sudah sangat sepi walaupun belum terlalu malam, hanya terdengar suara langkah kaki kami dan sesekali binatang hutan yang mengeluarkan bunyinya.
Tapi..
Setelah sekitar setengah jam perjalanan, tiba-tiba langit berangsur menjadi gelap, awan menutupi bulan dan menghalangi sinarnya, langit yang tadinya cerah berbintang menjadi hitam kelam.
“Tampaknya akan turun hujan Yu.”
“Iya Pak, mulai mendung.” Suara Wahyu mulai terdengar sedikit ada kekhawatiran.
Kami kompak mempercepat langkah kaki, melangkah di atas jalan setapak yang kadang sedikit menanjak, membelah hutan rindang yang hanya di bantu oleh cahaya dari obor minyak tanah dan senter yang tidak terlalu besar ukurannya.
Beberapa belas menit kemudian, hal yang kami takutkan terjadi, hujan mulai turun dari langit.
Karna masih gerimis, belum terlalu besar hujannya, kami memutuskan untuk terus melanjutkan perjalanan.
Jalan tanah sedikit demi sedikit mulai dibasahi oleh air, membuat menjadi sedikit licin, kami lebih hati-hati untuk melangkah, akibatnya perjalanan menjadi sedikit terhambat.
Sudah sekitar setengah perjalanan, ketika hujan turun semakin deras, tubuh kami mulai basah terkena air, Wahyu terlihat berusaha keras melindungi obor agar tidak padam terkena air hujan, dengan melindungi atasnya dengan selembar daun berukuran besar.
“Hujan semakin besar Pak, kita harus cari tempat berteduh.” Wahyu mulai panik dan menyerah.
Untung saja, tidak jauh dari tempat kami berdiri, kami lihat ada bangunan kecil di sebelah kanan jalan setapak yang sedang kami lalui. Kami langsung berlari ke tempat itu untuk berteduh.
Sukurlah, obor masih tetap menyala apinya, membantu penerangan kami yang berteduh di teras bangunan berbentuk gubuk yang berukuran cukup besar.
Gubuk kosong yang pada banyak bagiannya sudah terlihat berlubang, namun masih bisa memberi kami atap untuk berlindung dari hujan yang semakin lama semakin deras turun dari langit.
Kami mulai berbincang di tengah derasnya hujan, mencoba mengalihkan pikiran yang sudah mulai semakin khawatir dengan keadaan dan situasi yang tengah terjadi.
Malam semakin larut, sementara hujan belum memperlihatkan tanda-tanda untuk berhenti.
Kami sempat berdiskusi, apakah akan melanjutkan perjalanan pulang atau kembali ke rumah Usman, hasilnya tetap bimbang, karna kami sudah berada di tengah-tengah perjalanan, arah mana pun yang akan diambil sepertinya akan memakan waktu yang sama.
Kami duduk di atas kursi kayu panjang, kursi kayu yang sudah agak berlumut karna mungkin sudah lama tergeletak tanpa ada yang menggunakan.
Om kembali melirik ke jam tangan, sudah pukul sebelas malam, tidak terasa, kira-kira sudah dua jam kami berteduh di gubuk itu.
Tubuh sudah mulai menggigil kedinginan, air menetes dari atap gubuk yang bocor di beberapa bagian mulai membasahi tubuh dan pakaian.
"Hujan sudah tidak terlalu deras Pak, kita lanjut jalan saja yuk."
Wahyu benar, hujan memang sudah berkurang intensitasnya, sudah mulai menjadi gerimis sedang.
Namun tetap saja kami akan basah kuyup apa bila tetap nekat untuk melanjutkan perjalanan.
"Nanti saja Yu, tunggu sebentar lagi.."
Om tahu, Wahyu mulai tidak enak perasaannya, terlihat dari raut wajahnya yang semakin menunjukkan kekhawatiran.
Om juga merasakan hal yang sama. Suasana di sekeliling kami mulai terasa berbeda, entah kenapa.
Semakin mencekam.
***
Om menoleh ke arah Wahyu ketika dia tiba-tiba mencengkram tangan om cukup kuat.
Wahyu memberikan isyarat agar om melihat ke arah yang dia ingin tunjukkan.
Wahyu mau menunjukkan sesuatu..
Perlahan jari telunjuknya menunjuk ke arah depan, sisi jalan setapak yang berseberangan.
Om langsung mengarahkan pandangan ke tempat itu. Gerimis air hujan dan gelapnya malam menghalangi penglihatan, om tidak melihat apa pun, belum.
"Ada apa sih Yu?" Setengah berbisik om bertanya.
"Ada orang berdiri di seberang Pak" Wahyu menjawab dengan agak terbata-bata.
Kembali om layangkan pandangan ke tempat yang dimaksud, kali ini om menyalakan lampu senter yang ada di tangan, dan mengarahkan cahayanya ke depan untuk membantu penglihatan.
Cahaya lampu senter mampu menembus gerimis hujan yang masih saja turun, memperjelas pandangan untuk melihat pemandangan di depan.
Wahyu masih diam tanpa suara.
Om melihat kumpulan pohon pisang yang berdiri di pinggir jalan setapak, beberapa daunnya bergoyang tertimpa air hujan.
Om menyisir pohon-pohon pisang itu dengan cahaya lampu senter, belum terlihat apapun juga.
"Terus ke sebelah kiri Pak."
Ucap Wahyu dengan suara yang bergetar.
Om ikuti arahannya, menyusir pepohonan pisang dengan lampu senter.
Cahaya lampu berhenti pada satu tempat, tempat yang sangat gelap, cahaya lampu senter menangkap sesuatu..
Ada sosok yang tengah berdiri di antara pohon pisang, sosok yang masih samar namun bentuknya sudah terlihat cukup jelas.
Sosok itu sepertinya sosok laki-laki yang berdiri tegak, dengan posisi kaki agak lebar, kedua tangannya seperti tengah berpegangan di belakang tubuhnya.
Kami hanya berjarak sekitar 30 meter.
Om manahan napas, mulai ketakutan, ketika akhirnya menyadari kalau ada yang aneh dengan sosok itu, keanehan yang menyebabkan Wahyu sudah sangat ketakutan dari awal tadi.
Sosok itu ternyata berdiri tanpa kepala..
Kami terdiam membisu, tidak berani bergerak atau berkata apa pun.
Kami ketakutan, menebak-nebak apa yang akan terjadi kemudian.
Om langsung mematikan lampu senter yang ada di genggaman, kemudian penerangan hanya bersumber dari cahaya obor yang Wahyu pegang.
Dalam kegelapan, siluet sosok tanpa kepala itu masih saja terlihat, walaupun samar. Wahyu masih menundukkan kepala, tidak berani melayangkan pandangan ke depan. Om juga begitu, melayangkan pandangan ke tempat lain.
Cukup lama sosok itu berdiri dalam kegelapan menghadap kami, sampai pada akhirnya hujan berangsur reda, hanya gerimis kecil yang turun dari langit.
"Ayo Yu, kita lanjut jalan.."
Wahyu langsung memetik daun yang cukup besar untuk melindungi obor dari hujan.
Kemudian kami melangkahkan kaki kembali ke jalur jalan setapak menuju rumah.
Sekilas, om melihat sosok tanpa kepala itu tetap berdiri di tempatnya, kami mencoba tidak menghiraukan dan tetap lanjut melangkah.
***
Sepanjang jalan, kami lebih banyak diam, tanpa perbincangan. Langkah kaki tidak dapat melaju lebih cepat lagi karna kondisi jalan yang becek akibat sisa hujan sebelumnya.
Isi kepala tidak karuan, peristiwa yang baru saja terjadi masih membayang di kepala.
Jam sudah menunjukkan hampir pukul dua belas malam, sementara kami masih berada di tengah-tengah hutan belantara.
Sukurlah, hujan sudah benar-benar reda, namun langit tetap gelap, sinar bulan masih tertutup awan tebal.
Suara binatang malam mulai terdengar.
Pada akhirnya muncul juga suara yang kami takutkan, suara lolongan anjing hutan, lolongan panjang yang terdengar dari kejauhan, lolongan yang hampir selalu menandakan akan kehadiran sesuatu yang menakutkan.
Tanpa sadar, kami kompak mempercepat laju langkah.
"Lebih cepat lagi Pak."
Wahyu meminta om untuk lebih cepat lagi melangkahkan kaki.
"Ada apa Yu?"
"Jalan lebih cepat aja Pak, jangan nengok ke belakang."
Suara pelan Wahyu terdengar bergetar.
Om mempercepat langkah..
Tetapi rasa penasaran mengalahkan segalanya, kemudian om perlahan menolehkan kepala dan mengarahkan pandangan ke arah belakang.
Dengan bantuan cahaya lampu senter, om dapat melihat apa yang menyebabkan Wahyu menjadi sangat ketakutan.
Terlihat ada sosok tanpa kepala yang kami lihat di gubuk tadi.
Sosok itu berjalan dengan langkah gontai mengikuti kami dari belakang..
Hanya beberapa meter di belakang kami.
"Ayo cepat Yu.."
Kemudian kami berjalan seperti sedang dalam perlombaan, memaksa langkah untuk bergerak menjauhi sosok tanpa kepala yang mengikuti dari belakang.
Kami ketakutan, sangat ketakutan..
***
DOR...!!! hehe..
Balik ke gw lagi ya, Brii.
Ambil nafas panjang dulu semuanya, supaya tenang..
Kejadian Om Heri dan Om Wahyu menembus hutan di tengah malam itu masih berlanjut, belum selesai.
Tapi akan gw lanjut minggu depan aja ya, suasana di sini udah mulai gak enak juga.
Terima kasih buat yang sudah membaca.
Met bobo, semoga mimpi indah.
Salam
~Brii~
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Kadang keadaan memaksa kita untuk menempati tempat tinggal baru. Sering kali, susahnya proses adaptasi harus ditambah dengan terpaan seram dari sisi gelap.
Ada teman yang mau berbagi cerita pengalaman ketika harus menempati rumah baru.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
Lagi-lagi, aku menemukan beberapa helai rambut panjang, entah ini sudah yang keberapa kali, kali ini aku menemukannya di depan lemari ruang tengah. Beberapa helai rambut ini kalau diukur dengan tubuh perempuan dewasa, kira-kira dari kepala sampai ke pinggul, panjang memang.
Apa yang aneh? Ya anehlah, karena di rumah gak ada seorang pun yang memiliki rambut sepanjang itu. Rambutku hanya sebatas pundak, itu pun jenisnya gak sama dengan rambut yang sudah beberapa kali kami temukan.
Gak memandang apa pekerjaan kita, “Mereka” akan datang dengan keseraman tanpa diduga, dengan berbagai bentuk yang gak tertebak.
Malam ini, simak pengalaman seorang supir travel di salah satu bagian Sumatera.
Hanya di sini, di Briistory…
***
~Lampung, Circa 1998~
“Hati-hati, Bang. udah malam ini, kenapa gak besok lagi ajalah nariknya.”
“Hehe, tanggung, Man. Setoran masih belum setengahnya ini, nanti bos marah.”
Nyaris jam sebelas malam, ketika aku masih berada di pelabuhan Bakauheuni, Lampung. Percakapan dengan Iman, rekan sejawat, sejenak membuyarkan lamunan.
Sejarah panjang dan kelam sering kali terungkap dalam senyap, tergambar oleh tarikan garis seram.
Satu sudut di Lembang, tersaji horor tempat pelatihan, seorang teman coba bercerita pengalaman seramnya di sana.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
Waktu seperti berhenti, udara sama sekali gak bergerak, suara detik jam yang tadinya samar terdengar tetiba gak ada lagi. Dalam gelap, aku terus memperhatikan ujung tangga, menunggu kira-kira siapa gerangan yang akan turun dari lantai atas.
Sementara itu, suara yang sepertinya bunyi langkah kaki, terus saja kedengaran, makin jelas, makin dekat.
Cadas Pangeran, satu tempat bersejarah. Ratusan tahun berusia, sahihkan kisah hitam dan putihnya, terus bergulir hingga kini.
Mamal ini, seorang teman akan menceritakan pengalamannya ketika melintasi daerah ikonik ini. Seram? Tentu saja.
Simak di sini, hanya di Briistory.
***
Lepas dari pusat kota Jatinangor, aku akhirnya masuk ke daerah yang terlihat seperti gak berpenduduk.
Tahun 1998, Cadas Pangeran masih sangat sepi, jalan berkelok dikelilingi oleh pepohonan yang membentuk hutan, sama sekali gak ada penerangan, gelap gulita.