Profile picture
, 20 tweets, 5 min read Read on Twitter
Selamat petang. Kali ini, KontraS akan mencuit sejumlah respons kami atas Debat Pilpres Keempat 30 Maret lalu, khusus untuk isu internasional.
Selamat menyimak utas ini~
Terkait pernyataan @Prabowo terkait membela rakyat yg utama & disandingkan dg kewajiban negara di forum internasional salah satunya di PBB seharusnya merupakan kepentingan yg setara, krn Indonesia sbg negara anggota memiliki kewajiban, salah satunya utk menjaga perdamaian dunia.
@Jokowi menyatakan ingin terus menerapkan PLN Bebas Aktif yg dilahirkan oleh Moh. Hatta. Namun pada kenyataannya, Indonesia masih parsial dalam memilih dan menjadi garda depan dalam menjadi garda depan untuk perdamaian di beberapa negara konflik.
Sebut saja konflik di Suriah dan Korea Utara, dalam beberapa resolusi PBB terkait konflik di negara-negara tersebut Indonesia selalu bersikap abstain dalam mengambil sikap.
Selain itu, dalam konteks isu di ASEAN yakni Rohingya, Indonesia sama sekali tidak mengambil sikap atau menjadi garda depan seperti layaknya Indonesia aktif dalam menyuarakan perdamaian untuk konflik Israel-Palestina.
Sebaliknya, Indonesia bersikap diam utk menginisiasi resolusi perdamaian Rohingya yg dibentuk o/ DK PBB dan dipelopori oleh OKI dan UE ketika mereka menyuarakan konflik Rohingya harus dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional. Dikarenakan Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma.
@Jokowi menyatakan kekuatan RI adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, dan saat kini, kita dipercaya untuk menyelesaikan beberapa konflik atau perang di negara-negara lain.
Hmmm... Pak @Jokowi seolah-olah punya kebanggaan tersendiri sehabis diminta oleh Sekjen PBB untuk membantu menyelesaikan konflik Rohingya. Tapi, check again, apa spesialnya diberi tugas tapi belum diselesaikan dengan baik? :)
@Prabowo menyatakan bahwa diplomasi adalah untuk memajukan national interest. Tetapi diplomasi tidak bisa hanya menjadi mediator, ujungnya harus menjadi bagian dari upaya untuk mempertahankan core national interest. Diplomasi harus di-backup oleh kekuatan.
Begini @Prabowo, tren global sudah mengalami pergeseran. Jika kita memang bukan yang terkuat di dalam bidang high politics, maka tidak ada salahnya jikalau kita mulai fokus ke bidang low politics. Caranya? Mulai dengan komitmen untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM.
HAM berkaitan dan erat menyentuh pelbagai persoalan ekonomi, sosial, kebudayaan, pendidikan, dan banyak hal lainnya yang semuanya termasuk low politics. Lalu, itu bisa menjadi modalitas kita untuk berunding di arena internasional.
Coba lihat Kanada, Selandia Baru, Finlandia, Denmark, Norwegia, Swedia. Mereka adalah contoh negara2 di dunia yg (bahkan) tidak memiliki kekuatan militer sebaik Indonesia, tapi memiliki indeks HAM yg jauh lebih tinggi dan sangat memperhatikan aspek low politics dlm berdiplomasi.
@Jokowi menyatakan bahwa berdasarkan informasi dari intelijen strategis, dalam kurun waktu 20 tahun, tidak akan ada invasi dari negara lain. Yang perlu dicermati adalah keamanan dalam negeri yang berkaitan dengan konflik yg bisa membesar berkat teknologi dan elektronik dari luar.
@Prabowo berkata: "Si vis pacem para bellum.". Tahun 1974, saya masih letda, jenderal2 waktu itu bilang dalam 20 tahun tidak akan ada perang terbuka. Eh, tahun 1975 Timtim meletus.
Ehem. Begini, 2014, Jokowi membedakan kampanye dirinya dengan kampanye Prabowo lewat sebuah gagasan “Revolusi Mental”. Sementara Prabowo dituding bermental kolonial, karena hanya bicara soal ekonomi dan infrastruktur tanpa bicara soal pembangunan sumber daya manusia.
Ternyata selama hampir 5 tahun menjabat, justru Jokowi yang jadi presiden dengan gaya developmentalism. Kalau terpilih untuk 5 tahun ke depan, menurut kabar burung bakal ada proyek besar dengan Tiongkok dalam kerangka kerja sama Belt and Road Initiative (BRI). Hayo, gimana ini?
Well, untuk Pak Prabowo... Doi bicara soal perang melulu, pertahanan melulu, militer melulu. Betul memang ada peribahasa "si vis pacem, para bellum," tapi ingat ada peribahasa lain juga: "si vis pacem, para iustitiam (jika kamu menginginkan perdamaian, tegakkan keadilan)."
@Prabowo menyatakan bahwa kita prihatin dengan apa yang terjadi dengan Rohingya. PBB juga sudah menegur berkali-kali. Menjadi masalah karena kita terikat dalam ASEAN, yang selalu mengutamakan kedaulatan masing-masing negara.
Pak Prabowo yth, prinsip nonintervensi ASEAN itu tidak bisa diinterpretasikan sekaku itu. PBB saja punya mekanisme humanitarian intervention, Responsibility to Protect (RtoP), sebuah mekanisme yang bisa menembus batas kedaulatan negara jika negara tersebut gagal atau lalai.
Menurut hemat KontraS, ini hanya soal willingness saja. Dan, jangan lupa, negara kita bahkan masih gagal menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Pelakunya tak kunjung mengakui kesalahan, plus, pemerintahnya lemah dan malah berkawan dengan pelaku. What a deadly mix, kan?
Missing some Tweet in this thread?
You can try to force a refresh.

Like this thread? Get email updates or save it to PDF!

Subscribe to KONTRAS
Profile picture

Get real-time email alerts when new unrolls are available from this author!

This content may be removed anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!