Dengan terpaksa turun ke lantai satu lewat tangga darurat, akan panjang tangga yang harus dilalui karna aku baru saja selesai dari ruang isolasi di lantai tujuh.
Aneh, biasanya selalu ada Pak satpam duduk di depan lift, kali ini gak ada, mejanya kosong.
"Ah mungkin sedang ke toilet."Begitu pikirku dalam hati.
Dengan susah payah aku membuka pintu yang menuju tangga, karna tangan kanan dan kiriku sudah penuh memegang berkas-berkas pasien.
Lorong tangga kelihatan kosong, lorong tangga yang memanjang ke bawah, hingga ke lantai satu.
Aku berdiri sesaat di depan pintu, melihat keadaan sekitar sebentar.
Termasuk jarang aku melalui tangga ini, hanya sesekali saja, itu pun lebih sering pada siang hari.
Kali ini, nyaris tengah malam, jam sebelas lebih 45 menit..
Pintu yang baru saja kubuka terdengar nyaring bunyinya ketika tertutup kembali dengan sendrinya, suaranya menjadi terdengar jelas karena pantulan dinding lorong tangga.
“Brakkk…” Akhirnya pintu tertutup kembali.
Ada keraguan di dalam hati untuk menuruni tangga, membuatku masih saja berdiri di depan pintu.
Tapi gak ada jalan lain, harus lewat tangga ini.
Akhirnya aku mulai melangkahkan kaki, satu anak tangga terlewati, langkah-langkah selanjutnya mengikuti.
Gak ada suara lain, hanya suara sepatuku yang terdengar menginjak anak tangga satu persatu.
Tiba di lantai enam, sempat berpikir untuk keluar dari lorong tangga dan masuk saja ke lantai enam, pasti di situ akan ada rekan perawat atau orang lainnya.
Namun aku memutuskan untuk terus turun.
Menuruni tangga yang bentuknya berputar membentuk segi empat, di tengahnya ada ruang kosong yang memanjang dari lantai atas hingga ke lantai paling bawah.
Dari ruang kosong itu aku dapat melihat situasi tangga yang berada di atas dan juga yang ada di bawah.
“Tok..tok..tok..tok..” Suara langkah kakiku terus menjadi satu-satunya suara yang terdengar.
Suasananya sangat sepi..
Beberapa lampu di lorong tangga mati, jadi ada beberapa bagian yang gelap, hanya mengandalkan cahaya dari lampu yang masih menyala.
Lantai lima, niat untuk keluar dari lorong semakin kuat, perasaanku mulai gak enak, mulai muncul rasa was-was.
Tapi tetap saja, akhirnya aku memutuskan untuk terus menuruni tangga.
Ketika sedang menuju lantai empat, suhu di dalam lorong yang tadinya hangat dan sedikit pengap karena gak ada ventilasi tiba-tiba berangsur berubah menjadi dingin, seperti ada hembusan angin yang datang dari atas.
Perasaan semakin gak enak.
Hembusan angin kurasakan sekali lagi, hembusan angin yang aneh, karena di situ sama sekali gak ada jendela atau lubang lainnya yang memungkinkan angin untuk masuk.
Entah apa yang ada di dalam pikiran, tiba-tiba aku tertarik untuk melihat ke atas, melihat ke bagian tangga yang sudah terlewati.
Aku berhenti melangkah, lalu mengarahkan pandangan ke atas.
Aku gak melihat apa-apa, kosong dan sepi, gak ada orang sama sekali.
Tapi aku malah mendengar sesuatu..
“Tok..tok..tok..tok..”
Aku mendengar ada suara langkah kaki, langkah kaki yang bergerak pelan..
Bergerak pelan menuruni tangga..
Menuju ke tempatku berdiri..
Dan itu bukanlah suara langkah kakiku..
Aku buru-buru kembali berjalan menuruni tangga, lebih cepat dari sebelumnya.
Perasaan semakin gak enak.
“Siapa yang ada di tangga atas?” Pertanyaan itu yang ada di kepala.
Ketika sudah sampai di lantai empat, “Braaakk..”, tiba-tiba berkas yang ada di tangan jatuh berhamburan.
Dengan perasaan yang semakin ketakutan, sambil jongkok aku kumpulkan dan membereskan berkas-berkas itu kembali.
Ketika sedang berjongkok itulah ada sesuatu yang terjadi.
Belakangan aku sadar kalau ada sesuatu yang sedang memperhatikanku..
Gak melihat secara langsung, tapi dari sudut mata aku melihat ada sosok yang berdiri memperhatikan, sosok itu berdiri di atas tangga yang menuju ke lantai lima, tangga yang sudah aku lewati sebelumnya.
Aku mencoba untuk gak mengindahkan, gak mau untuk melihat langsung, aku berusaha keras untuk mengabaikan sosok itu, sosok yang terus saja berdiri diam.
Ketika berkas sudah berada di tangan semua, aku langsung berlari ke arah pintu, berniat untuk keluar dari lorong tangga dan masuk ke lantai empat.
Sial, ternyata pintu terkunci, gak bisa dibuka.
Sambil menahan tangis, aku memaksa diri untuk membalik badan dan melangkah kembali menuruni tangga menuju lantai tiga.
Ketika membalik badan itulah, akhirnya aku melihat semuanya..
Mataku terpaku, terpaku memandang sosok yang sedari tadi sudah berdiri memperhatikan.
Sosok perempuan, dengan rambut panjang berwarna kemerahan, mengenakan gaun hitam, di kepalanya ada seperti topi kecil yang biasa digunakan oleh suster-suster rumah sakit pada jaman dulu.
Sosok perempuan yang terlihat seperti perempuan bule berkulit sangat putih, sedikit pucat.
Dia tersenyum, sementara aku tetap diam terpaku, terkesima melihatnya.
Hingga tiba-tiba dia bergerak turun, berjalan menuruni anak tangga satu persatu, mendekat ke tempatku berdiri.
Dalam kekalutan, pelan-pelan akhirnya aku dapat menggerakkan kaki, melangkah pelan menuruni tangga menuju lantai tiga.
Sambil menangis kecil aku terus melangkah,
Ketika tangga berbelok, dari sudut mata aku dapat melihat kalau sosok perempuan bule itu sedang mengikutiku dari belakang, jarak kami cukup dekat.
Aku ketakutan, semakin mempercepat langkah...
Ketika sudah di lantai tiga, aku langsung berusaha untuk membuka pintunya.
Sukurlah, pintu gak terkunci. Aku lari keluar lorong tangga dan masuk ke lantai tiga.
Di situ aku bertemu dengan beberapa rekan perawat.
“Rida, kamu kenapa?” Tanya salah satu rekan.
“Ngapain kamu lewat tangga malam-malam gini?” Tanya yang lainnya.
Aku ceritakan semuanya kepada mereka, setelah sudah tenang dan nafas mulai teratur.
Hmmmm.., rekanku bilang kalau lift gak rusak, sejak tadi lift baik-baik saja, malah salah satu rekanku baru saja menggunakannya, gak ada masalah.
Ternyata..
***
~Suatu malam, masih di awal 2015.~
Lamunanku terhenti ketika bel berbunyi..
Bel ruangan nomor empat belas, isinya seorang Ibu yang berumur sekitar 50 tahun.
Aku bergegas menuju ruangan itu.
"Sus, kok suster yang baru saja datang gak mengganti botol infus ya?, padahal sudah hampir habis,"
Begitu ucap si ibu ketika aku sudah berada di dalam ruangan.
Aku langsung berpikir, suster yang baru datang? Suster yang mana?
Pada malam itu, hanya aku sendirian yang bertugas di lantai itu, sementara dua rekan lainnya sedang istirahat di ruangan perawat.
Jadi dapat dipastikan kalau gak ada perawat lain yang berkeliling ruangan, apa lagi sejak tadi aku duduk di meja piket, setiap ada yang keluar masuk kamar aku pasti melihatnya.
Saat itu nyaris jam dua malam, aku sama sekali gak melihat siapa-siapa, sama sekali sepi.
"Memang ada yang datang sebelum saya Bu?" Tanyaku penasaran.
"Ada neng, lima belas menit yang lalu kira-kira. Cantik, kayak bule, rambutnya panjang. Dia bilang mau ganti infusan. Tapi akhirnya dia hanya mengecek suhu tubuh, setelah itu keluar. Gak balik lagi.."
Ibu itu menjelaskan dengan panjang lebar, aku hanya mendengarkan sambil terus tersenyum, sebisa mungkin gak menunjukkan wajah heran.
"Oh iya, itu rekan perawat saya bu. Dia ternyata lupa membawa botol infus, jadi saya yang menggantikan."
Begitu aku bilang.
Padahal gak tahu siapa perempuan itu..
Setelah selesai, aku pamit keluar.
"Sudah selesai ya Bu, ibu istirahat, tidur. Kalau ada apa-apa tekan bel saja."
Setelahnya, aku keluar.
Nah, ketika sudah berada di luar ruangan, tetapi masih di depan pintu, aku melihat sesuatu..
Dari sudut mata, aku melihat ada sosok perempuan yang sedang berdiri menghadapku di ujung lorong, membelakangi dinding.
Aku terdiam beberapa saat..
Belum berani untuk melihat langsung ke tempat sosok itu berdiri, yang berdiri di sisi sebelah kiri.
Walau pun pencahayaan agak temaram, tapi aku masih dapat menangkap dengan jelas penampakannya.
Sosok itu menggunakan baju panjang berwarna hitam, tubuhnya cukup tinggi untuk ukuran perempuan.
Aku merinding ketakutan, jantung seperti berhenti berdetak..
Akhirnya, aku langsung hadap kanan dan melangkah menjauh, gak berani untuk melihatnya langsung, aku takut.
Suara langkah kakiku adalah satu-satunya suara yang terdengar saat itu.
Aku gemetar menahan tangis, takut kalau tiba-tiba sosok itu mengikuti dari belakang.
Kupercepat langkah menuju meja piket..
Sesampainya di meja, aku langsung duduk di kursinya. Beberapa saat lamanya aku menundukkan wajah, gak berani menatap ujung lorong, tempat sosok itu berdiri.
"Kamu ngantuk Rida, kenapa menunduk terus?"
Suara suster kepala mengangetkanku, aku benar-benar terkejut, tapi senang melihat kehadirannya yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangku.
"Gak bu, saya sedang.. Hmmmm.."
Aku kebingungan menjawab pertanyaannya, gak tahu harus bilang apa.
"Ya sudah, gak apa-apa, saya temani kamu deh."
Ibu Bertha sepertinya mengerti akan kebingunganku, sambil terus tersenyum dia kemudian duduk di sebelah.
Sekilas aku melirik ke ujung lorong, terlihat kosong, sosok itu sudah gak ada lagi..
***
Ibu Bertha adalah suster kepala, orangnya sangat baik dan selalu memberi perhatian lebih kepada anak buahnya.
Aku yang saat itu baru beberapa bulan bekerja, sangat terbantu olehnya, gak pernah sungkan dia menjelaskan dan mengajarkan hal baru yang belum sepenuhnya aku mengerti.
Kesabarannya seperti gak ada berbatas, sangat pengertian dan keibuan, pokoknya dia adalah sosok atasan yang nyaris sempurna.
Ibu Bertha sudah bekerja di rumah sakit ini hampir tiga puluh tahun lamanya, sudah mendekati masa pensiun.
Makanya, dengan masa kerja yang sudah sedemikian lama, beliau pasti sudah mengenal kondisi dan situasi di sini.
Termasuk "Sisi lain" yang ada di balik dinding rumah sakit ini.
Sisi lain yang pernah terjadi, sisi lain yang menyimpan banyak misteri..
Aku yakin Ibu Bertha tahu semuanya..
***
Itulah perkenalan awalku dengan sosok misterius itu, sosok yang belakangan aku tahu kalau banyak yang menyebutnya sebagai suster Belanda.
Sudah banyak orang yang pernah melihat pemampakan suster ini, entah itu para pasien atau pun orang-orang yang bekerja di rumah sakit ini.
Nanti kapan-kapan akan aku ceritakan kejadian yang lebih menakutkan lagi, kejadian seram yang ada di rumah sakit ini.
Di balik dinding rumah sakit..
***
Balik ke gw lagi ya, Brii..😊
Selesai cerita malam ini, sampai jumpa lagi di cerita-cerita gw lainnya setelah Idul Fitri nanti.
Selamat berpuasa buat yang menjalankan, mohon maaf lahir bathin.
Met bobo, selamat istirahat..
Salam,
~Brii~
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Kadang keadaan memaksa kita untuk menempati tempat tinggal baru. Sering kali, susahnya proses adaptasi harus ditambah dengan terpaan seram dari sisi gelap.
Ada teman yang mau berbagi cerita pengalaman ketika harus menempati rumah baru.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
Lagi-lagi, aku menemukan beberapa helai rambut panjang, entah ini sudah yang keberapa kali, kali ini aku menemukannya di depan lemari ruang tengah. Beberapa helai rambut ini kalau diukur dengan tubuh perempuan dewasa, kira-kira dari kepala sampai ke pinggul, panjang memang.
Apa yang aneh? Ya anehlah, karena di rumah gak ada seorang pun yang memiliki rambut sepanjang itu. Rambutku hanya sebatas pundak, itu pun jenisnya gak sama dengan rambut yang sudah beberapa kali kami temukan.
Gak memandang apa pekerjaan kita, “Mereka” akan datang dengan keseraman tanpa diduga, dengan berbagai bentuk yang gak tertebak.
Malam ini, simak pengalaman seorang supir travel di salah satu bagian Sumatera.
Hanya di sini, di Briistory…
***
~Lampung, Circa 1998~
“Hati-hati, Bang. udah malam ini, kenapa gak besok lagi ajalah nariknya.”
“Hehe, tanggung, Man. Setoran masih belum setengahnya ini, nanti bos marah.”
Nyaris jam sebelas malam, ketika aku masih berada di pelabuhan Bakauheuni, Lampung. Percakapan dengan Iman, rekan sejawat, sejenak membuyarkan lamunan.
Sejarah panjang dan kelam sering kali terungkap dalam senyap, tergambar oleh tarikan garis seram.
Satu sudut di Lembang, tersaji horor tempat pelatihan, seorang teman coba bercerita pengalaman seramnya di sana.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
Waktu seperti berhenti, udara sama sekali gak bergerak, suara detik jam yang tadinya samar terdengar tetiba gak ada lagi. Dalam gelap, aku terus memperhatikan ujung tangga, menunggu kira-kira siapa gerangan yang akan turun dari lantai atas.
Sementara itu, suara yang sepertinya bunyi langkah kaki, terus saja kedengaran, makin jelas, makin dekat.
Cadas Pangeran, satu tempat bersejarah. Ratusan tahun berusia, sahihkan kisah hitam dan putihnya, terus bergulir hingga kini.
Mamal ini, seorang teman akan menceritakan pengalamannya ketika melintasi daerah ikonik ini. Seram? Tentu saja.
Simak di sini, hanya di Briistory.
***
Lepas dari pusat kota Jatinangor, aku akhirnya masuk ke daerah yang terlihat seperti gak berpenduduk.
Tahun 1998, Cadas Pangeran masih sangat sepi, jalan berkelok dikelilingi oleh pepohonan yang membentuk hutan, sama sekali gak ada penerangan, gelap gulita.