“Anak nakal.”
“Generasi gagal.”
Setiap pulang sekolah dia menghitung jumlah trotoar, lalu berpikir tentang hidup setelah mati.
Samar-samar terdengar isak tangis dari balik pintu.
Mereka lalu bertukar pandang:
Lelaki: Kenapa kita ada di sini?
Wanita: Aku gak tau.
Remaja: Aku juga gak tau.
Ketiganya menatap dalam diam ketika sang penyembuh memberikannya pelukan, lalu melepaskan dia pergi.
“Itu ibu saya.” Demikian sang penyembuh berkata, seakan dapat membaca apa yang tak terucapkan.
“Dulu saya pernah mati dua kali, sewaktu bapak pergi dengan perempuan lain, yang kedua sewaktu yang disayangi pergi dengan lelaki lain.”
Remaja: Trus kenapa ibu tadi menangis?
“Ini keberhasilan saya sewaktu bapak pergi meninggalkan sakit hati.”
Dia menunjukkan bekas luka di pergelangan tangan kanan.
Dia menunjukkan bekas luka di pergelangan tangan kiri.
Wanita: Tapi saya masih tidak paham, kenapa ibumu menangis?
Lelaki: Berlebihan jika sampai menangis.
Sang Penyembuh tertawa kecil.
“Kebanggaan bagi ibu, karena seharusnya saya sudah mati sewaktu berumur 12 dan 23 tahun.”
Ketiganya mengangguk ragu-ragu.
“Itu jawaban yang salah, karena kalian sekarang ada di sini.”
Sang Penyembuh mengedipkan mata.
Tamat.