, 62 tweets, 6 min read Read on Twitter
Di pos ronda ada puntung rokok, botol bir yang dijadikan tempat obat nyamuk bakar dan ibu-ibu pakai bedak beras.
Tukang nasgor mendorong gerobak menuju kontrakan, hari ini nasi yang habis cuma setengah bakul, mungkin memang lebih baik kembali menjual togel.
Dari atas taksi turun seorang perempuan memakai rok mini, jalannya miring, pipinya cemong-cemong, baru terbebas dari himpitan kokoh2 buncit pemilik toko beras.

“Wiken depan mau bawa si tole main ke taimzon.”
Piring pecah jatuh berderai di kontrakan mungil tak jauh dari pos ronda. Seorang suami lalu tergopoh-gopoh mencari taksi, matanya bersinar, malam ini aku jadi bapak.
“Buk, ibuuk, si Nunung kayaknya mau lahiran sekarang. Aku bawa ke Bidan Sulastri yo buk. Ketemu di sana.”
7 tahun menikah tidak pernah berhasil, 3 bulan adik lelakinya numpang hidup serumah, istrinya langsung hamil. Keajaiban.
Di atas motor 2 remaja tanggung sedang menonton pornhub. “Wuaduh sam, susune, ndak kuat aku. Pen ngeloco.”
Anjing menggongong di depan rumah pak RT, sudah 3 hari beliau mangkat. Sebentar lagi tengah malam.
Di atas dipan tiga bungkus nasi diaduk-aduk oleh lima orang gadis remaja. Makan malam tidak pernah mewah setelah pergi dari rumah.
Ayahku kawin lagi, jijik aku. - Nunik

Lah, masih mending, Buapakku kalau rumah kosong suka meluk cium2, jijik mana hayooo? - Tatik

Semuanya tertawa.
Mas Iwan abis mrawani aku kabur ke Sumatra, ketahuan bapak, aku diusir. - Ratih.

Motor butut berknalpot racing meraung dikejauhan.

Aku malah ndak tau bapak ibukku siapa. - Munaroh.

Tatik: Mungkin kamu lahir dari pelepah pisang.

Semuanya tertawa. Lagi.
Kalau kamu gimana ceritanya, Rus?

Semuanya menatap Rusmi.

Ak aku, ah udah ah, gak penting.

Rusmi menyalakan sebatang 234 hasil minta sama Kang Obet tukang parkir Alfamart.
2 tahun lalu.

Kamu gak apa2 dik? - Warga mulai berdatangan, Rusmi berdiri diam dengan kaos berlumur darah. Jemarinya menunjuk ke depan,

Ibuk, ibuuuuk.

Mobil itu muncul begitu saja, hanya beberapa detik lalu membawa pergi seluruh hidupnya.
Dah ah capek mikir aku. Kuontol. 😂
Omnibus Warga Marginal: Not a Sad Story.
“Mas, nasgor pedes satu ya.” Lelaki muda bersepatu kulit tiruan, mengelap keringat dengan lengan kemeja putih yang mulai kekuningan.
Tiap hari ke Mall tapi cuma di toilet. Ngepel, ngelap kaca, kadang ada yang buang hajat tapi gak disiram. Busuk, sebusuk kosan 400 rban tempatnya bernaung di belakang pasar.
“Buk, aku pengen pulang aja. Di sini susah, orang’e jahat2, capek aku.”
Kalimat itu sudah sejak lama ingin ia ucapkan, tapi terbentur ingatan akan usapan jari-jari ibuk di pipi, saat dulu mengantarnya pergi merantau di terminal bus. “Cah lanang kudu kuat.”
“Mbak, sini dululah ngobrol sama kita.” Sumirah terus melangkah, 2 orang remaja tanggung dengan mulut berbau miras bukanlah orang yang ingin ia ladeni di kala malam sendiri begini.
“Abis main ama siapa mbak? Mekape kok awur-awuran?” Mereka tertawa. Sumirah mempercepat langkahnya. Tinggal sebentar lagi sampai ke rumah. “Toleku sayang, tunggu ibuk yo.”
Tidak ada lampu di jalan berikutnya. Sunyi. Gelap. Cuma ada tumpukan sampah dan bau pesing menyengat hidung. Sumirah sudah setengah berlari.
Suara motor menderu dari arah belakang, Sumirah menoleh. Semua terjadi begitu cepat.

Payudaranya sebelah kiri.

Sakit.
Motor melaju kencang.

“ANJINGGGGG KALIAAAN!” Sumirah meraung.

Dua remaja tanggung itu tertawa berderai-derai dari atas motor. “WOOO, LONTE MUNAFIK.” Lalu menghilang di ujung pengkolan.
Pintu berderit karena sudah tidak ada lagi yang meminyaki, dari dalam rumah keluar Bu RT mengenakan daster hitam. Anjing itu seketika berhenti menggonggong.
Bulan perlahan meredup ketika awan bergeser terbawa angin, udara malam bertiup dingin ketika Bu RT membakar segulung obat nyamuk, lalu duduk di kursi goyang peninggalan suaminya.
Anjing itu meloncat ke pangkuannya, lalu menyalak dua kali. Bu RT diam menatap jalanan. Anjing itu kembali menyalak, tapi sekarang tiga kali.

“Iyo le, ibuk juga kangen bapak.”

Lalu tangisannya pecah.
“Rus.”

Rusmi tak menyahut, dirinya hanyut terbawa lamunan.
“Rusmi!” Tatik mencubit pergelangan tangannya. Rusmi gelagapan, lalu nyengir sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

“Maaf maaf, kita ngomongin apa tadi?”
“Kamu kenapa kabur dari rumah?”
“Laaah, udah aku bilang ndak penting ee. Sing penting malam ini kita tidur di mana? Ndak mungkin di pos ronda lagi.”

Rusmi berusaha menbentuk lingkaran dari asap 234 yang sebentar lagi habis terbakar.
“Iya iya, aku juga ndak mau, banyak nyamuk.” Nunik bersuara dengan mulut penuh nasi.
Tidak mungkin mereka bermalam di pos ronda lagi, selain nyamuk, lewat tengah malam juga banyak berkeliaran para pemabuk, pemadat, dan manusia-manusia lain yang bernasib serupa dengan mereka. Manusia tanpa rumah. Manusia-manusia kardus.
Segitu dulu ya. Ditulis tadi siang di Terminal 3 Soetta sambil dengerin Sara Bareilles - Gravity (accoustic)
Kontrakan itu memiliki dapur yang mungkin luasnya hanya satu depa. Dindingnya menghitam karena bertahun-tahun terkena asap kompor, di langit-langitnya ada bekas rembesan air hujan menguning membentuk lingkaran, dan di lantainya kini Purwanto berdiri dengan kaki gemetar.
Suara detik jarum jam masuk ke telinganya pelan-pelan.

tik tik tik.

Purwanto menutup mata, dadanya bergerak maju mundur, kakinya masih gemetar.
Setahun yang lalu.

“Aku ndak bisa, mbak.” Purwanto menatap Nunung yang duduk di seberangnya. Meja makan kecil berbangku dua, dipaksakan menyelip di antara dapur dan kamar mandi. Sempit.
“Aku mohon, dik.” Genangan air yang sedari tadi menggantung di pelupuk mata, kini jatuh berderai membasahi wajah wanita yang baru saja memberikan adik iparnya sebuah penawaran. Penawaran untuk berbagi dosa.
“Sadar mbak, nyebut, mas Panji itu masku, pengganti bapakku, ndak mungkin aku sakiti hatinya.” Kalimat itu keluar dari mulut Purwanto dengan sedikit terbata-bata.
Nunung menatapnya dengan mata basah. “Ta tapi, aku kepingin punya anak, dik.”

TIK TIK TIK!

Suara jarum jam menusuk masuk hingga ke gendang telinga. Purwanto membuka mata.

“Duh Gusti, ampunilah semua dosa-dosaku.”
Baru pulang kerja mas? - Sumarno, sebelumnya pernah menjadi tukang copet, tukang jual togel, sekarang mengadu nasib menjadi tukang nasi goreng. Mencoba mencari rejeki halal, semenjak melihat sahabatnya mati disabet parang.
“Iya nih pak.” Heru menyahut sambil menerima sepiring nasi goreng pedas pesanannya.

“Sampeyan kerja di mana?” Sumarno bertanya sambil menuangkan segelas air untuk Heru.
“Di situ, pak” Heru menunjuk Mall tempatnya bekerja, terlihat megah meski dari kejauhan.

Sumarno lalu mengambil kursi plastik kemudian duduk di sebelah Heru. “Kapan ya kita bisa jadi orang kaya?
Heru tertawa pelan. “Ya kapan-kapan mungkin pak.”

“Anakku yang paling kecil sering nanya, itu tempat apa.” Sumarno menyalakan sebatang rokok.
Keduanya kini menatap Mall berlantai delapan itu, lampu-lampunya terlihat begitu indah berpijar di tengah gelap malam.
Heru menatap Sumarno, nasi gorengnya tidak jadi disuap. “Trus bapak bilang apa?”

“Aku bilang saja, itu tempatnya setan, yang tidak setan pun kalau masuk bisa jadi setan, karena tergoda barang-barang setan.”

Mereka berdua tertawa.
“Kuburan bapakmu masih merah, kamu udah kelayapan sampai jam segini!” Bu RT membukakan pagar. Tino, anaknya satu-satunya, sudah 3 kali pindah sekolah. Remaja memang paling susah diatur.
“Kamu semakin liar semenjak temenan sama si Darma. Ibuk ndak suka.” Bu RT membanting pintu pagar. Darma sudah berlalu dengan motor bebeknya.
“Aaah opo to buk, sudah malam ini!” Tino meracau sambil dengan sedikit terhuyung melangkah memasuki rumah.

“Tino, kamu mabuk yo?” Bu RT berteriak, tapi percuma, Tino sudah menghilang di balik pintu.
Anjing itu menyalak satu kali, pelan, sangat pelan. Bu RT menatap anjingnya, lalu tersenyum meski terpaksa.
Tatik membalik badan, kini dia berbaring menghadap dinding. Keempat temannya sudah tertidur pulas. Malam ini mereka terpaksa tidur di pos ronda lagi. Banyak nyamuk, tapi orang miskin seperti mereka bisa apa?
Tangannya merogoh kantung celana, dompet Hello Kitty yang sudah usang, dulu dia menangkan pada sebuah permainan pasar malam.
Dari dalam dompet dia mengeluarkan sebuah foto. Foto lama. Sudah mulai menguning.
Anak perempuan mungil dalam gendongan seorang lelaki muda, keduanya tersenyum sangat lebar, di belakangnya tampak berdiri monumen kebanggaan kota ini.
Tatik menarik nafas panjang.

Entah kapan tepatnya semua dimulai, namun perlahan dia bisa merasakan kalau ada yang berbeda dari cara bapak menatapnya.
Tatapan itu, tatapan itu bukan lagi tatapan seorang ayah kepada anaknya, tapi tatapan seorang lelaki dewasa kepada wanita yang mulai beranjak dewasa. Tatapan lapar. Seperti hendak memangsa.
Bagai puntung rokok yang tidak sepenuhnya mati ketika dibuang, tatapan bapak adalah bibit api yang tengah menunggu angin berganti arah.
“Jangan pak” Tatik berontak, tapi dia kalah tenaga. Ibuk dan kedua adiknya hari itu tengah menginap di rumah bude Warsini.
Tatik menatap foto itu sekali lagi, lalu menyelipkannya kembali ke dalam dompet. Suara anjing terdengar menyalak di kejauhan.
“Ndak bisa aku maafkan pa’e, ndak bisa, maafkan aku pa’e, aku ndak bisaaaa.”

Tatik memejamkan mata, namun terlambat, setetes air sudah terlanjur bergulir membasahi pipinya.
Malam sudah semakin larut.
Berhenti sampai di situ dulu ya, ditulis tadi siang saat tengah menanti hujan reda. Sambil mendengarkan Masih Ada Waktu - Ebiet G Ade.
Thank you for all the kind words. Bagi pengarang cuma-cuma, komentar positif netizen adalah bahan bakar. 🙈
Missing some Tweet in this thread?
You can try to force a refresh.

Like this thread? Get email updates or save it to PDF!

Subscribe to Saul Raja Sinaga
Profile picture

Get real-time email alerts when new unrolls are available from this author!

This content may be removed anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!