"Pak Heri dan Wahyu datang ya, jangan sampai gak datang. Gak akan sampai larut malam, jam sembilan sudah selesai acaranya."
Suatu pagi di hari jumat, Pak Lurah mengundang kami untuk datang ke rumahnya, malam harinya dia akan mengadakan selamatan menyambut kelahiran cucunya, om berniat akan menyempatkan diri untuk datang.
Wahyu baru saja pulang dari rumah sakit pada malam sebelumnya, tubuhnya belum terlalu fit untuk bepergian, om gak mengijinkannya untuk ikut ke rumah Pak Lurah walau pun dia bersikeras ingin ikut.
Rumah Pak Lurah gak terlalu jauh, menggunakan motor kira-kira hanya satu jam ke arah barat perkebunan.
Dengan begitu, om berpikir kalau nanti gak akan terlalu malam, paling lama jam sepuluh sudah sampai rumah lagi.
***
Pak Lurah termasuk orang yang cukup dekat dengan kami, beberapa kali dalam satu bulan beliau pasti mampir ke rumah, karna memang kalau ingin ke kota beliau selalu lewat dekat perkebunan.
Keluarga besarnya, sejak kakek buyut sudah tinggal di daerah sisi luar perkebunan, makanya Pak Lurah sudah banyak bercerita tentang keadaan perkebunan dan daerah sekitarnya sebelum kami tinggal di situ.
Beberapa ceritanya terbilang menyeramkan, sangat manakutkan malah. Yang membuat jadi mengerikan, Pak Lurah berani menjamin kalau cerita itu benar adanya, karna dia mendengarnya langsung dari ayah dan kakeknya.
Kakek dari Pak Lurah bisa dikatakan saksi langsung peristiwa-peristiwa mengerikan yang pernah terjadi di perkebunan karet, namun beliau sudah meninggal jauh sebelum kami datang.
Salah satu cerita yang sangat menancap di kepala adalah mengenai pemakaman yang katanya masih ada di perkebunan, pemakaman yang berisi korban pembunuhan.
Yang menakutkan, katanya juga pemakaman itu gak diketahui letak pastinya, karena pelaku pembunuhan melarikan diri entah ke mana dan gak pernah kembali.
Yang pasti, letaknya di wilayah perkebunan karet.
***
Setelah selesai pekerjaan di hari itu, om langsung bersiap untuk pergi ke rumah Pak Lurah, berharap sebelum maghrib sudah sampai di sana.
"Beneran nih Pak saya gak boleh ikut?"
Lagi-lagi Wahyu kembali melontarkan pertanyaan yang sama sejak siang tadi.
"Gak usah Yu, kamu istirahat aja, nanti kalau sakit lagi gimana coba." jawab om, dengan kalimat yang sama juga.
"Pak Heri kan baru beberapa kali ke rumah Pak Lurah, memangnya sudah hapal banget jalannya?, lagian hutan di sebelah barat kan lebih rindang dari bagian lainnya."
Kembali Wahyu melontarkan kalimat, yang kali ini sedikit membuat om goyah, akan mengajak Wahyu atau jangan.
Memang, wilayah hutan sebelah barat jauh lebih rindang dan sepi dari pada wilayah lainnya, karna itulah jarang ada orang yang melintas, banyak yang lebih memilih jalur lain walau harus memutar lebih jauh.
Tapi melihat kondisi Wahyu yang masih kelihatan lemas, om membulatkan tekad untuk tetap berangkat sendirian.
"Gak apa-apa Yu, saya sendiri aja, toh nanti jam sembilan sudah pulang lagi."
Percakapan selesai, om langsung ke luar rumah dan menyalakan mesin motor.
Jam lima sore, matahari sudah terlihat malas menebar cahayanya, dia memilih untuk mulai bersandar di ufuk barat, tetapi sinar kuningnya tetap masih menembus sela-sela pepohonan karet.
"Saya jalan dulu Yu, kamu jangan ke mana-mana ya."
"Baik pak, hati-hati di jalan."
Setelah berpamitan, om berangkat.
***
Menelusuri jalan setapak, menembus perkebunan karet, om memacu motor dengan kecepatan sedang, gak terlalu cepat tapi gak lambat juga.
Angin mulai terasa lebih sejuk, karena sore sudah semakin mendekati malam, beberapa kali om harus menutup wajah karna beberapa kali binatang kecil beterbangan menghalangi jalan.
Seingat om, baru dua atau tiga kali melalui jalan ini, itu pun berboncengan dengan Wahyu.
Sedikit lupa, membuat om harus berhenti berapa kali ketika jalan setapak bercabang dua, om harus berpikir sejenak untuk memilih salah satunya.
Awalnya, ketika menemui jalan bercabang, om masih yakin dengan jalur yang dipilih, tapi lama kelamaan mulai ragu, karna yang om ingat jalan yang ditempuh seharusnya lebih banyak menanjak, ini malah selalu turun.
Apa lagi ketika sudah melewati wilayah perkebunan karet dan mulai memasuki hutan rindang, semakin ragu.
Sekali lagi om melirik arloji, masih jam enam kurang sepuluh menit.
Suasana semakin remang, sepertinya sebentar lagi akan gelap dan masuk waktu maghrib.
Om menyalakan lampu motor untuk membantu penglihatan, sambil terus menyusuri jalan hutan yang semakin lebat pepohonannya.
Berbeda dengan ketika di awal perjalanan tadi, om mulai merasa asing dengan suasananya, sepertinya om belum pernah melalui jalur itu, sama sekali gak kenal wilayahnya.
Belum ada perasaan takut atau was-was, om tetap melanjutkan perjalanan..
Sampai ketika di satu tempat, om menghentikan laju motor.
Kenapa?
Karna om merasa pernah melewati jalur ini sebelumnya.
Ada dua pohon sangat besar menjulang tinggi berdiri di kanan kiri jalan, om yakin kalau beberapa belas menit yang lalu sudah melewatinya.
"Aduh, kok balik ke sini lagi?"
Om bertanya-tanya dalam hati.
Lantas tanpa pikir panjang om kembali melanjutkan perjalanan.
Sekali lagi om melirik ke arloji, sudah jam enam lewat lima belas menit.
Gak jauh dari tempat dua pohon besar itu om menemui jalan yang bercabang lagi.
Sebelumnya, ketika melewati jalan yang sama, om memilih jalan ke arah kanan, untuk yang kedua kali om memilih jalur yang ke kiri, dengan harapan gak akan kembali ke tempat yang sama.
Ternyata salah, kira-kira lima belas menit kemudian om kembali ke titik yang sama, jalan setapak yang di kanan kirinya ada pohon besar dan rindang tadi.
Perasaan mulai gak enak,
Sekali lagi om menghentikan laju motor tepat di bawah dua pohon besar itu.
Semakin bingung pada saat kesekian kalinya om melirik ke jam tangan.
Om kaget, karena jarum jam belum beranjak dari pukul enam lewat lima belas menit, waktu gak berubah dari terakhir kali om melihat arloji, padahal jarum jam terus berputar normal, gak mati.
Mulai terucap kalimat-kalimat doa di dalam hati, om sadar kalau ada yang gak beres.
Suasana sekeliling sudah semakin gelap total, hanya lampu motor yang menyinari sekitar.
Sekali lagi om melanjutkan perjalanan melewati jalur yang sama, kali ini memacu motor dengan lebih cepat.
Dan..
Untuk ketiga kalinya om kembali ke titik yang sama, yang lebih mengherankan lagi ternyata jarum jam belum juga beranjak dari pukul enam lebih lima belas menit.
Lemas, om kembali menghentikan motor tepat di bawah dua pohon besar itu.
Kembali om membaca doa, kalimat permohonan kepadaNya supaya diberikan keselamatan dan kemudahan dalam perjalanan.
***
Lanjut..
Pada kali ketiga melewati jalur yang sama, om melihat sesuatu yang membuat om harus menginjak pedal rem dalam-dalam..
Setelah berhenti, om mengarahkan lampu motor ke tempat sesuatu yang menarik perhatian itu.
Di sebelah kiri jalan setapak, om melihat ada sosok manusia sedang berdiri diam menghadap jalan, posisi om di sebelah kanan sosok itu. Jarak kami hanya beberapa meter, cukup dekat.
Sosok berwujud laki-laki, menggunakan pakaian serba hitam, menggunakan caping di kepalanya, tangan kanannya menggenggam tongkat setinggi pinggang.
Dia hanya dia berdiri, gak bergerak sama sekali, menatap ke depan ke arah gelapnya hutan.
Tapi entah kenapa, gak ada rasa takut sedikit pun yang muncul ketika om sudah melihat benar-benar sosok itu, om malah berniat untuk mendekat dan bertanya tentang arah jalan yang benar menuju rumah Pak Lurah.
Perlahan om maju mendekat, sampai akhirnya benar-benar sudah berada tepat di depan sosok itu.
"Maaf Pak, jalan ke rumah Pak Lurah ke arah mana ya? Masih jauh gak ya Pak?" Tanya om kepada orang itu.
Kebetulan, di depan kami ada jalan bercabang dua, jalan cabang yang sebelumnya sudah om lalui tiga kali.
Sosok itu hanya diam berdiri, om gak berhasil melihat wajahnya dengan jelas karna gelapnya situasi.
Sampai akhirnya beliau bersuara juga..
"Ke kiri, sesudah itu ke kanan.."
Dengan suara datar dia memberi petunjuk jalan.
"Terima kasih Pak, bapak mau ke mana? Ikut saya saja Pak."
Bapak itu hanya menggelengkan kepalanya.
"Baiklah Pak, saya jalan dulu, terima kasih Pak."
Lalu om melanjutkan perjalanan.
Om ikuti petunjuk yang diberikan sosok itu.
Sekali lagi melirik jam tangan, masih di pukul enam lewat lima belas menit, belum beranjak juga..
Kira-kira beberapa belas menit setelah melewati jalan cabang yang kedua, barulah om memasuki jalan setapak yang mulai melebar.
Lalu mulai melihat ada beberapa rumah di kanan kiri, saat itulah baru bisa mengenali tempat itu, om akhirnya mulai memasuki wilayah desa di mana Pak Lurah tinggal, lega rasanya..
Beberapa menit kemudian om sampai di rumah Pak Lurah, memasuki halamannya dan memarkirkan motor.
Om melirik ke jam tangan, jarumnya sudah mulai meninggalkan pukul enam lebih lima belas menit..
Aneh..
***
"Pak Heri, masuk Pak, masuk. Kok awal sekali? Kan acaranya setelah Isya."
Pak Lurah menyambut dengan ramah di depan rumah dengan senyum lebarnya.
"Iya Pak, sengaja supaya belum gelap lewat hutan tadi."
Setelah itu om meminta ijin untuk salat maghrib di rumahnya.
***
Suasana sudah agak ramai ketika om kembali ke ruang tamu, beberapa anggota keluarga dan tetangga sudah berkumpul, om ikut bergabung.
Beberapa tamu adalah pekerja perkebunan karet yang selalu bertemu dengan om setiap harinya.
Lalu kami berbincang sambil menunggu waktu Isya.
Dalam perbincangan itu, sesekali om masih memikirkan kejadian yang om alami dalam perjalanan tadi. Kejadian yang aneh..
Tetapi ya sudahlah, om masih bersukur karna bisa sampai tujuan tanpa kekurangan suatu apa.
***
"Pak Heri sudah berapa lama bekerja di perkebuman karet itu?"
Pertanyaan tiba-tiba muncul dari seorang bapak yang kelihatannya sudah berumur lima puluh tahunan, ketika om sedang duduk sendirian di teras rumah mencari udara segar.
Bapak itu duduk di sebelah om, sambil menyalakan batang rokok di tangannya.
"Kira-kira sudah satu tahun lebih Pak." Jawab om.
"Wah, sudah lama juga ya. Kuat juga tinggal di situ." Bapak itu melontarkan kalimat dengan senyuman.
"Kuat gimana Pak?" Tanya om penasaran.
"Saya mau cerita sedikit, tapi nanti jangan ketakutan setelah mendengarkan ya." Kembali bapak itu melontarkan kalimat sambil tersenyum.
"Ah, aku kan sudah terbiasa dengan ketakutan-ketakutan di rumah itu." Gumam om dalam hati.
***
"Jadi, sebelum perusahaan Pak Heri mengambil alih perkebunan itu, sudah dua kali ada perusahaan swasta yang mencoba mengolahnya. Tapi keduanya hanya bertahan sebentar, sepanjang yang saya ingat, hanya bertahan kurang dari satu tahun."
Bapak itu mulai bercerita cukup panjang.
"Bapak tahu alasannga kenapa bisa seperti itu Pak?"
Om mulai penasaran.
"Alasan pastinya saya kurang tahu, tapi menurut penduduk di sini yang pernah bekerja di tempat itu, katanya gak ada karyawannya yang tahan di perkebunan itu, gak ada yang kuat tinggal berlama-lama di rumah yang Pak Heri tinggali sekarang."
"Banyak gangguan yang mengerikan, terornya menakutkan. Bahkan ada satu orang karyawan yang katanya menghilang, sampai sekarang gak pernah ditemukan lagi."
Glek.., om menelan ludah mendengar cerita itu. Siyalan bapak ini, kenapa mesti cerita seperti itu sih.
Lalu dia melanjutkan..
"Tapi sepertinya Pak Heri orang yang kuat dan pemberani, buktinya sampai saat ini masih bisa bertahan, hahaha."
"Iya Pak, kami gak merasakan hal-hal aneh kok." Om berbohong juga akhirmya.
Gak lama kemudian Pak Lurah muncul dari dalam rumah, sukurlah..
"Ayo salat Isya dulu, lalu acara akan dimulai."
***
Om agak lega ketika baru jam delapan lewat sedikit tetapi acara pengajian sudah selesai, bersukur karena berarti gak harus pulang larut.
Tapi baru saja berniat untuk pamit, Pak Lurah mengajak unttuk makan malam, gak enak untuk menolak, akhirnya om ikut ajakannya. Lalu kami berkumpul untuk makan di ruang tengah.
Rumah ini tergolong cukup besar, ada beberapa kamar di dalamnya. Menurut Pak Lurah, kedua anaknya yang sudah menikah dan sudah memiliki anak juga, masih tinggal bersamanya, sedangkan anak yang pertama sudah memisahkan diri dengan merantau ke luar pulau.
Rumah besar dengan desain minimalis, tapi masih cukup nyaman untuk ditinggali. Langit-langit yang tinggi membantu suhu di dalamnya menjadi cukup dingin karna angin mengalir baik.
Tipikal rumah di pedesaan, foto-foto berpigura bermacam ukuran tergantung pada dinding ruang tamu. Lemari kayu besar berdiri kokoh memisahkan ruang tamu dengan ruang tengah.
Istri dan anak perempuan Pak Lurah masih hilir mudik melayani tamu menghidangkan kue-kue dan minuman teh atau kopi.
Sementara om sudah mulai melirik ke jam dinding, sudah hampir jam setengah sembilan.
"Pak Heri, menginap saja di sini, besok pagi saja pulangnya."
Sepertinya Pak Lurah menangkap gelagat om yang sudah gelisah ingin pulang.
"Saya harus pulang Pak, Wahyu sendirian di rumah, masih sakit kan."
"Jadi, mumpung belum terlalu malam, saya pamit pulang ya Pak, terima kasih atas jamuannya."
Akhirnya om memberanikan diri untuk pamit, namun Pak Lurah masih bersikeras menyuruh menginap di rumahnya.
Gak, om harus pulang, gak tega meninggalkan Wahyu sendirian di rumah dalam keadaan yang belum benar-benar sehat.
"Ya sudah, kalau Pak Heri memaksa untuk pulang. Hati-hati ya Pak, kalau ragu Pak Heri bisa kembali lagi ke sini. Pintu rumah ini selalu terbuka."
Di halaman rumah, Pak Lurah akhirnya melepas om untuk pergi.
Sejujurnya, ada sedikit keraguan kalau mengingat peristiwa om yang "Kesasar" dalam perjalanan berangkat tadi.
Tapi ya sudahlah, om harus pulang, masih belum terlalu malam juga.
Setelah menyalakan mesin motor, om melaju meninggalkan rumah Pak Lurah dengan kecepatan sedang.
***
Desa tempat Pak Lurah tinggal termasuk desa yang cukup besar dan luas, namun tetap saja ketika melintas di tengah-tengahnya pada jam setengah sembilan malam, om gak melihat lagi ada penduduknya yang lalu lalang di luar rumah. Suasana desa sudah sepi.
Jalan tanah selebar tiga meter om susuri dengan pasti, mengarah ke wilayah hutan di depan.
Sekitar lima belas menit kemudian, dari kejauhan om sudah dapat melihat gapura besar, gapura itu menandakan batas desa, setelahnya om akan memasuki wilayah hutan..
***
Jalan setapak yang hanya tinggal satu jalur kecil menandakan kalau om sudah meninggalkan wilayah desa.
Angin dingin menyergap wajah dan tubuh ketika sudah benar-benar masuk wilayah hutan. Gelapnya langsung menyelimuti, redupnya tebaran cahaya lampu motor sedikit membantu penglihatan.
Memacu motor dengan kecepatan sedang, beberapa menit perjalanan om masih mengenali jalur yang dilewati. Cahaya langit cerah sedikit menembus pepohonan di beberapa bagian hutan, sebagian besar lainnya hanya gelap gulita.
Suara deru mesin motor hanya satu-satunya suara yang terdengar, walau sesekali suara patahan dahan kering yang melintang terlindas roda motor juga memecah kesunyian.
Yang ada di dalam pikiran hanya ingin cepat-cepat menembus hutan dan sampai di rumah.
Berharap demikian..
***
Kira-kira sudah setengah jam perjalanan, gelapnya malam membuat om sama sekali gak bisa melihat dengan jelas pukul berapa pastinya saat itu.
Beberapa kali melirik ke arloji yang melingkar di tangan, gak ada hasil.
Namun ketika motor masih melaju dengan normal, tiba-tiba om menginjak pedal rem dalam-dalam..
Ada sesuatu di depan..
Sesuatu yang cukup membuat om jadi terheran-heran, om melihat ada jembatan kayu.
~Jembatan kayu om?
Iya, jembatan kayu.
Aneh, karena baru kali ini melihat ada jembatan kayu di hutan ini, waktu ketika berangkat tadi pun om gak melihatnya, om sama sekali gak mengenalinya.
Jembatan kayu yang gak terlalu besar, bagian bawahnya tersusun dari papan yang berbaris membentuk pijakan, lebarnya kira-kira cukup untuk dua motor melintas bersamaan.
om belum mengetahui apa yang berada di bawahnya, apakah sungai kecil atau hanya cekungan tanah, om belum tahu.
Masih duduk di atas motor, berpikir keras untuk memilih, apakah harus berputar balik kembali ke awal atau om nekat melanjutkan perjalanan melewati jembatan.
Pandangan om lemparkan jauh ke wilayah seberang jembatan, tapi sama sekali gak bisa melihat apa-apa, hanya gelap gulita.
Entah apa yang ada dipikiran, akhirnya om memutuskan untuk melewati jembatan itu, mungkin juga karna ingin cepat-cepat sampai di rumah.
***
Motor melaju pelan mendekati jembatan, hingga akhirnya om sudah tepat berada di atasnya.
Jembatan kayu ini sudah kelihatan tua, kayu-kayu penunjangnya sudah tertutup lumut di beberapa bagian, membuat roda motor menjadi sedikit licin ketika melintasinya.
Bunyi gesekan papan kayu juga terdengar berdenyit bersahutan, om berharap jembatan ini masih kuat untuk dilintasi.
Hanya beberapa belas detik kemudian, akhirnya om sukses melewati jembatan itu. Sukurlah..
Sama seperti sisi sebelumnya, sisi wilayah hutan setelah jembatan pun keadaannya gelap gulita dan gak terdengar suara apa pun..
Gak ada suara binatang malam..
Gak ada suara hembusan angin..
Gak ada suara dahan ranting pohon yang saling beradu..
Sangat hening..
Dead silence..
Namun om tetap terus melaju memacu motor, kali ini dengan kecepatan agak tinggi.
Tapi, beberapa puluh meter setelah jembatan, sesuatu terjadi..
Mesin motor tiba-tiba mati.
***
"Ya Allah.. "
Om menyebut namaNya di dalam hati, mengeluhkan keadaan yang baru saja terjadi, mesin motor mati tepat di tengah-tengah gelapnya hutan, sendirian..
Turun dari motor, om berjongkok untuk mencoba mencari tahu penyebab matinya mesin. Gelapnya suasana membuat om kesusahan untuk melakikannya.
Memeriksa tangki bensin, penuh..
Membersihkan busi, sudah..
Motor tetap gak mau menyala..
Om gak tahu lagi harus berbuat apa.
Ada yang aneh, om baru tersadar ketika mata sudah terbiasa melihat di dalam gelap.
Ketika mengarahkan pandangan ke kanan, ke tempat di mana jembatan kayu tadi berada, ternyata om gak melihat apa-apa, jembatan itu udah gak ada di tempatnya.
Padahal yakin, jarak jembatan dengan tempat om saat itu gak terlalu jauh, hanya sekitar belasan meter.
Yang terlihat cuma pepohonan tinggi besar di dalam keadaan gelap gulita, hanya pantulan cahaya langit yang sedikit membantu menyingkirkan gelap.
Om terduduk lemas, pasrah, gak tahu apa yang harus dilakukan.
Sama sekali gak mengenali tempat ini, sama sekali gak tahu harus berjalan kemana dengan keadaan motor yang mogok.
Mencekamnya situasi menjadi semakin sempurna, karna tiba-tiba langit yang tadinya cerah menjadi gelap tertutup awan, suasana semakin gelap..
Hingga pada akhirnya, ketakutan om menjadi kenyataan, rintik hujan mulai turun..
***
Dalam kepasrahan menerima keadaan, om melirik ke arah kiri, jalan setapak yang menanjak.
Di kejauhan om melihat sesuatu..
Dalam gelapnya malam dan rintik hujan, tiba-tiba om melihat ada bangunan yang berdiri di sela-sela pepohonan, jaraknya gak terlalu jauh, mungkin hanya beberapa puluh meter dari tempat om saat itu.
Gak ada pilihan lain, om harus menuju ke sana untuk berteduh, karna hujan sudah berubah dari rintik-rintik menjadi semakin deras.
Om mendorong motor, menuntunnya ke bangunan itu.
***
Bangunan tua berbentuk rumah, berdinding dan beratapkan kayu, gak terlalu besar namun om pikir akan cukup untuk sekedar berteduh.
Ada pohon tua yang kelihatan hanya tinggal dahannya saja, berdiri tepat di depannya.
Jalan menanjak harus dilalui ketika harus menuju rumah itu. Sambil mendorong motor, om harus mengerahkan tenaga cukup besar untuk mencapainya.
Hingga beberapa menit kemudian om sampai di terasnya.
Kemudian memarkirkan motor tepat di depan pintu. Sepertinya bangunan ini kosong, sama sekali gak ada cahaya lampu yang terlihat, gelap dan sunyi.
Teras rumah yang sangat sempit, membuat tubuh om tetap basah terkena cipratan air hujan yang turun semakin deras.
Keadaan sekitar bangunan cukup lapang, hanya ada pohon tua tadi yang berdiri paling dekat. Om melemparkan pandangan ke sekeliling, gak ada bangunan lain..
Hujan yang tadinya hanya sendirian menyempurnakan suasana, akhirnya angin mulai datang menemani, angin yang lama kelamaan semakin kencang bertiup.
Karna angin itulah om menjadi semakin bertambah basah, kuyup, mulai menggigil kedinginan..
Gak tahan lagi, akhirnya memutuskan untuk mencari pintu dan berniat untuk masuk ke dalam bangunan.
Sebuah keputusan yang akan om sesali belakangan..
***
Benar, bangunan ini kosong ketika om sudah berada di dalamnya.
Di depan pintu yang tadi tidak terkunci, om berdiri beberapa saat untuk memperhatikan sekitar.
Ruang kosong berbatas dinding kayu pada setiap sisinya, hanya ada kursi tua yang teronggok di dekat pintu ditemani meja kayu di hadapannya.
Perlahan om melangkah masuk dalam keadaaan gelap.
Masih berdiri di dekat kursi, om melihat ada pintu yang terbuka lebar pada dinding yang ada di seberang, jarak pintu belakang itu sekitar tujuh meter dari tempat om berada.
Di balik pintu itu hanya ada ruangan yang sangat gelap, pandangan om gak sanggup menangkap apa-apa.
Lalu om memutuskan untuk duduk di kursi,
Positifnya, tubuh menjadi gak kehujanan, gak ada air hujan sedikit pun yang masuk ke dalam bangunan.
Pintu depan rumah om biarkan tetap terbuka..
***
Cukup lama om duduk diam di dalam gelap, sementara hujan di luar terus turun dengan derasnya, disertai angin kencang bertiup memperkeruh suasana.
Hingga akhirnya teror dimulai..
"Brakkk..!!!"
Pintu kayu yang tadinya terbuka tiba-tiba tertutup dengan keras, seperti dibanting..
Om terhenyak, kaget..
Pandangan menjadi semakin tertutup, gelap gulita..
Mata tertutup atau mata terbuka, yang om lihat sama saja, hanya hitam pekat..
Om semakin ketakutan..
Bait-bait doa terus terucap di dalam hati..
Suasananya sangat mencekam, sangat..
Gelap gulita itu cukup lama berlangsung, sementara om tetap terduduk diam, karna tiba-tiba badan gak bisa bergerak.
Perasaan semakin berkecamuk, om yakin akan ada sesuatu yang terjadi sebentar lagi.
Benar saja, tiba-tiba di sudut ruangan muncul cahaya kecil, cahaya yang perlahan mulai menerangi seisi ruangan.
Setelah om perhatikan benar-benar, ternyata cahaya itu bersumber dari lampu templok yang menempel di dinding.
Lampu templok kecil itu menyala dengan sendirinya..
Letak lampu itu dekat dengan pintu belakang yang dari awal sudah dalam keadaan terbuka..
Saat itulah om baru dapat melihat seluruh ruangan dengan jelas, ruangan bangunan yang banyak bagiannya sudah tertutup lumut tebal.
Om semakin ketakutan..
***
Om nyaris pingsan, ketika sadar kalau ternyata sejak tadi di ruangan itu, om gak sendirian.
Ada sosok yang menemani..
Sosok yang membuat jantung serasa berhenti berdegup,
Sosok yang tengah terbaring di sudut ruangan, tepat di bawah lampu templok, di sebelah pintu belakang.
Sosok itu adalah pocong..
Pocong dengan balutan kain putih kusam, terbaring diam gak bergerak. Sangat mengerikan..
Dalam situasi yang mencekam itu om tetap gak mampu untuk bergerak, akhirnya hanya bisa menutup mata, gak berani melihat ke depan.
Dalam keadaan mata terpejam, tiba-tiba om mendengar sesuatu.
Terdengar suara langkah kaki..
Langkah kaki yang terseret-seret..
Langkah kaki yang berasal dari ruangan belakang, langkah kaki yang semakin lama semakin mendekat.
Sepertinya ada sosok lain lagi yang juga sedang berada di dalam ruangan..
Penasaran, perlahan om membuka mata..
***
Benar, ternyata ada sosok satu lagi yang sedang berjalan mendekat, berjalan gontai dengan langkah kaki yang terseret-seret.
Darah melumuri tubuhnya, mengucur dari leher yang putus tanpa kepala..
Iya, sosok yang sedang berjalan gontai mendekat ke tempat om duduk itu tanpa kepala..
Tanpa kepala..
Om panik, gak bisa bernafas, sesak dada ini..
Ketika jarak kami hanya tinggal beberapa senti meter, om gak ingat apa-apa lagi..
Om gak sadarkan diri.
***
"Pak, Pak Heri, bangun Pak."
Om mendengar Suara Wahyu, membangunkan om dari tidur panjang.
Ketika sudah membuka mata, om melihat ada Wahyu bersama dengam Pak Lurah dan beberapa pekerja perkebunan.
Ketika sudah benar-benar sadar, ternyata om berada di dalam gubuk kecil yang letaknya masih di wilayah hutan, belum masuk perkebunan karet.
Wahyu memutuskan untuk mulai mencari om ke rumah Pak Lurah, karna sampai pagi menjelang, om belum pulang juga.
Bersama Pak Lurah dan pekerja perkebunan, Wahyu menyisir seluruh bagian hutan, hingga pada akhirnya mereka melihat motor om terparkir di depan gubuk tua di tengah hutan, lalu menemukan om di dalam gubuk dalam keadaan gak sadarkan diri.
Sungguh malam yang mencekam..
***
Balik lagi ke gw ya, Brii.. ☺️
Cukup sekian cerita malam ini, insyaAllah minggu depan lanjut lagi dengan cerita seram lainnya.
Terima kasih buat yang masih setia menunggu dan membaca cerita gw.
Terima kasih..
Met bobo, semoga mimpi indah.
Salam
~Brii~
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Kadang keadaan memaksa kita untuk menempati tempat tinggal baru. Sering kali, susahnya proses adaptasi harus ditambah dengan terpaan seram dari sisi gelap.
Ada teman yang mau berbagi cerita pengalaman ketika harus menempati rumah baru.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
Lagi-lagi, aku menemukan beberapa helai rambut panjang, entah ini sudah yang keberapa kali, kali ini aku menemukannya di depan lemari ruang tengah. Beberapa helai rambut ini kalau diukur dengan tubuh perempuan dewasa, kira-kira dari kepala sampai ke pinggul, panjang memang.
Apa yang aneh? Ya anehlah, karena di rumah gak ada seorang pun yang memiliki rambut sepanjang itu. Rambutku hanya sebatas pundak, itu pun jenisnya gak sama dengan rambut yang sudah beberapa kali kami temukan.
Gak memandang apa pekerjaan kita, “Mereka” akan datang dengan keseraman tanpa diduga, dengan berbagai bentuk yang gak tertebak.
Malam ini, simak pengalaman seorang supir travel di salah satu bagian Sumatera.
Hanya di sini, di Briistory…
***
~Lampung, Circa 1998~
“Hati-hati, Bang. udah malam ini, kenapa gak besok lagi ajalah nariknya.”
“Hehe, tanggung, Man. Setoran masih belum setengahnya ini, nanti bos marah.”
Nyaris jam sebelas malam, ketika aku masih berada di pelabuhan Bakauheuni, Lampung. Percakapan dengan Iman, rekan sejawat, sejenak membuyarkan lamunan.
Sejarah panjang dan kelam sering kali terungkap dalam senyap, tergambar oleh tarikan garis seram.
Satu sudut di Lembang, tersaji horor tempat pelatihan, seorang teman coba bercerita pengalaman seramnya di sana.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
Waktu seperti berhenti, udara sama sekali gak bergerak, suara detik jam yang tadinya samar terdengar tetiba gak ada lagi. Dalam gelap, aku terus memperhatikan ujung tangga, menunggu kira-kira siapa gerangan yang akan turun dari lantai atas.
Sementara itu, suara yang sepertinya bunyi langkah kaki, terus saja kedengaran, makin jelas, makin dekat.
Cadas Pangeran, satu tempat bersejarah. Ratusan tahun berusia, sahihkan kisah hitam dan putihnya, terus bergulir hingga kini.
Mamal ini, seorang teman akan menceritakan pengalamannya ketika melintasi daerah ikonik ini. Seram? Tentu saja.
Simak di sini, hanya di Briistory.
***
Lepas dari pusat kota Jatinangor, aku akhirnya masuk ke daerah yang terlihat seperti gak berpenduduk.
Tahun 1998, Cadas Pangeran masih sangat sepi, jalan berkelok dikelilingi oleh pepohonan yang membentuk hutan, sama sekali gak ada penerangan, gelap gulita.