Sebuah cerpen kontroversial era 1968 yang membikin heboh jagad sastra!
- Sebuah Utas -
Sebelum mulai saya ingatkan, nanti akan saya lampirkan isi cerpennya, dan kalimat-kalimat di cerpen Langit Makin Mendung sangat NSFW, so bacalah dengan bijak.
Ratusan eksemplar majalah Sastra di berbagai toko disita oleh Pihak Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara.
Namun tetap membikin heboh sebab menampilkan Allah, Muhammad, dan Jibril dengan kalimat-kalimat yang tajam.
Beliau fokus pada para pemuka agama yang menyetujui Nasakom, dan beralih melawan PKI ketika partai tersebut diburu dan para anggotanya dibunuh.
Penasaran dengan isinya? Baiklah, akan saya lampirkan di thread ini, ya. Tapi maaf kalau jadi cukup panjang.
Karya: Kipandjikusmin
Lama-lama mereka bosan juga dengan status pensiunan nabi di surgaloka. Petisi dibikin, mohon (dan bukan menuntut) agar pensiunan-pensiunan diberi cuti bergilir turba ke bumi, yang konon makin ramai saja.
“Hamba ingin mengadakan riset,” jawabnya lirih.
“Tentang apa?”
“Akhir-akhir ini begitu sedikit umat hamba yang masuk surga.”
“Betul, kau memang maha tahu.” “Kemarau kelewat panjang di sana. Terik matahari terlalu lama membakar otak-otak mereka yang bodoh.” Kacamata model kuno dari emas diletakkan di atas meja dari emas pula.
“Jiwa-jiwa mereka keracunan Nasakom!”
“Nasakom? Racun apa itu, ya Tuhan! Iblis laknat mana meracuni jiwa mereka. (Muhammad SAW nampak gusar. Tinju mengepal). Usman, Umar, Ali! Asah pedang kalian tajam-tajam!”
“Singkatnya, hamba diizinkan turba ke bumi?” (Ia tak takut bom atom).
“Tidak bisa mereka disogok?”
“Daulat, ya Tuhan.” (Bersujud penuh sukacita).
“Wahai yang terpuji, jurusan mana yang paduka pilih?” Jibril bertanya takzim.
“Ganyang!!!” Berjuta suara menyahut serempak.
Secepat kilat buroq terbang ke arah bumi, dan Jibril yang sudah tua terengah-engah mengikuti di belakang.
“Benda apa di sana?” Nabi keheranan.
“Orang bumi bilang sputnik! Ada tiga orang di dalamnya, ya Rasul.”
“Orang? Menjemput kedatanganku kiranya?” (Gembira).
“Orang-orang malang; semoga Tuhan mengampuni mereka. (Berdoa). Aku ingin lihat orang-orang kapir itu dari dekat. Ayo, buroq!”
Namun sputnik Rusia memang tak ada remnya. Tubrukan tak terhindarkan lagi. Buroq beserta sputnik hancur jadi debu; tanpa suara, tanpa sisa.
“Diumumkan bahwa sputnik Rusia berhasil mencium planet yang tak dikenal. Ada sedikit gangguan komunikasi …,” terdengar siaran radio Moskow.
“Sayang, sayang. Neraka bertambah tiga penghuni lagi.” Berbisik sedih.
“Jibril, neraka lapis ke berapa di sana gerangan?”
“Hampir sama.”
“Ai, hijau-hijau di sana bukankah warna api neraka?”
“Bukan, paduka! Itulah barisan sukwan dan sukwati guna mengganyang negara tetangga, Malaysia.”
“Adakah umatku di Malaysia?”
“Kalau begitu, kapirlah bangsa di bawah ini!”
“Sama sekali tidak, 9o persen dari rakyatnya orang Islam juga.”
“90 persen,” wajah nabi berseri, “90 juta umatku! Muslimin dan muslimat yang tercinta. (Cont)
“Soal 90 juta hanya menurut statistik bumiawi yang ngawur. Dalam catatan Abubakar di surga, mereka tak ada sejuta yang betul-betul Islam!”
“Tidak, hanya berubah ingatan. Kini mereka akan menghancurkan negara tetangga yang se-agama!”
“Aneh!”
“Memang aneh.”
“Ayo Jibril, segera kita tinggalkan tempat terkutuk ini. Aku terlalu rindu pada Medinah!”
“Tidak, tidak di tempat ini!” jawabnya tegas, “rencana risetku di Kairo.”
“Sesungguhnya padukalah nabi terakhir, ya Muhammad?”
“Seperti telah tersurat di kitab Allah,” sahut Nabi dengan rendah hati.
“Apa peduliku dengan nabi palsu!”
“Umat paduka hampir takluk pada ajaran nabi palsu!”
“Nasakom, jadi tempat inilah sumbernya. Kau bilang umatku takluk, nonsense!” Kegusaran mulai mewarnai wajah Muhammad.
Nabi tengadah ke atas.
“Sabda Allah tak akan kalah. Betapapun Islam, ia ada dan tetap ada, walau bumi hancur sekalipun!”
Gaungnya terdengar sampai ke surga, disambut takzim ucapan serentak:
“Amien, amien, amien.”
“Naiklah, mari kita berangkat ya Rasulullah!”
Muhammad tak hendak beranjak dari awan tempatnya berdiri. Hatinya bimbang. Wajahnya gelap, segelap langit mendung di kiri-kanannya.
Naspro dan APC sekonyong-konyong melonjak harga. Jangan dikata lagi pil vitamin C dan ampul penstrip.
Koran Warta Bahari menulis: Di Bangkok 1000 orang mati kena flu, tapi terhadap flu Jakarta Menteri kesehatan bungkem.
“Zeg, Jenderal. Flu ini bikin mati orang apa tidak?”
“Tidak, Pak.”
“Jadi tidak berbahaya?”
“Tidak Pak. Komunis yang berbahaya, Pak!”
“Akh, kamu. Komunisto-phobi, ya!”
Sekejap mata dokter-dokter dikerahkan, kawat telegram sibuk minta hubungan rahasia ke Peking.
Kawan Mao di singgasananya tcrsenyum-senyum, dengan wajah penuh welas-asih ia menghibur kawan seporos yang sedang sakratulmaut.
Terhampir obat kuat akar jinsom umur seribu tahun. Tanggung manjur. Kawan nan setia: tertanda Mao. (Tidak lupa, pada tabib-tabib dititipkan pula (cont)
Rupanya berkat khasiat obat kuat, si sakit berangsur-angsur sembuh. Sebagai orang beragama tak lupa mengucap sjukur pada Tuhan yang telah mengaruniai seorang sababat sebaik kawan Mao.
“Saudara-saudara. Pers nekolim gembar-gembor, (cont)
“Padahal (menunjuk dada) lihat badan saya, saudara-saudara, Soekarno tetap segar-bugar. Soekarno belum mau mati. (Tepuk tangan gegup gempita, tabib-tabib Cina tak mau ketinggalan). Insya Allah, saya belum mau (cont)
Acara bebas dimulai. Dengan tulang-tulangnya yang tua Presiden menari lenso bersama gadis-gadis daerah Menteng Spesial diundang.
Dokter pribadinya berbisik.
“Tak apa. Baik buat ginjalnya, biar kencing batu PYM tidak kumat-kumat.”
“Baik, baik. Tapi kalian mengiringi, ya!” Bergaya burung unta.
“Mari kita bergembira…” Nada-nada sumbang bau champagne.
“Gembira sekali nampaknya dia.”
“Itu tandanya hampir mati.”
“Mati?”
“Ya, mati. Paling tidak lumpuh. Kawan Mao berpesan sudah tiba saatnya.”
“Tapi kami belum siap.”
“Tunggu saja tanggal mainnya!”
“Nah, sampai ketemu lagi!” (Tabib Cina tersenyum puas.)
Mereka berpisah.
“Kawan lama Presiden!” bisik orang-orang.
Sendawa mulut mereka berbau alkohol. Sebentar-sebentar kiai mengucap ‘alhamdulillah’ secara otomatis.
Anjing-anjing istana mendengkur kekenyangan-mabuk anggur. Pengemis-pengemis di luar pagar istana memandang kuyu, (cont)
Desas-desus Soekarno hampir mati lumpuh cepat menjalar dari mulut ke mulut. Meluas seketika, seperti loncatan api kebakaran gubuk-gubuk gelandangan di atas tanah milik Cina.
“Allahuakbar, nabi palsu hampir mati.” Jibril sambil mengepakkan sayap.
“Apa benar yang paduka risaukan?”
“Paduka harap ingat; di Jakarta setiap hidung harus punya kartu penduduk. Salah kena garuk razia gelandangan!”
“Guna urusan bumi wajib kita jadi sebagian dari bumi.”
“Buat apa?”
“Agar kebenaran tidak telanjang di depan kita.”
“Tapi tetap di luar manusia?”
“Ya, untuk mengikuti gerak hati & pikiran manusia justru sulit bila satu dengan mereka.”
“Dan dalam wujud yang sekarang mata kita tajam. Gerak kita cepat!”
“Akh, ya. Kau betul, Tuhan memberkatimu, Jibril. Mari kita keliling lagi. Betapapun durhaka, kota ini mulai kucintai.”
Di atas Pasar Senen tercium bau timbunan sampah menggunung, busuk & mesum.
Kemesuman makin keras terbau di atas Stasiun Senen. Penuh ragu Nabi hinggap (cont)
Pelacur-pelacur dan sundal-sundal asyik berdandan. Bedak-bedak penutup bopeng, gincu merah murahan dan pakaian pengantin bermunculan.
Di kamar lain, bandot tua asyik di atas perut perempuan muda 15 tahun.
“Di negeri dengan rakyat Islam terbesar, mereka begitu bebas berbuat cabul!” Menggeleng-gelengkan kepala.
“Mungkin pengaruh adanya Nasakom! Sundal-sundal juga soko guru revolusi,” kata si Nabi palsu.
“Cari di sungai-sungai dan di gunung-gunung!”
“Batu-batu seluruh dunia tak cukup banyak guna melempari pezina-pezinanya. Untuk dirikan masjid pun masih kekurangan, Paduka lihat?”
“Sundal-sundal diperlukan di negeri ini ya, Rasul.”
“Astaga! Sudahkah Iblis menguasai dirimu, Jibril?”
“Tidak, Paduka, hamba tetap sadar. Dengarlah penuturan hamba. Kelak akan lahir sebuah sajak, begini bunyinya:
naikkan tarifmu dua kali
dan mereka akan kelabakan
mogoklah satu bulan
dan mereka akan puyeng
lalu mereka akan berzina
dengan istri saudaranya
“Kenyataan yang bicara. Kecabulan terbuka dan murah justru membendung kecabulan laten di dada-dada mereka.” Muhammad membisu dengan wajah bermuram durja.
Orang-orang merasa kehilangan mainan kesayangannya, melongo.
“Dia jagoan Senen; anak buah Syafii, raja copet!”
“Betul. Orang sini menyebutnya copet atau jambret.”
“Kenapa mereka hanya sekali pukul si tangan panjang? Mestinya dipotong tangan celaka itu. Begitu perintah Tuhan kepadaku dulu.”
“Toh, bisa diimpor!”
“Mereka perlu menghemat devisa. Impor pedang dibatasi untuk perhiasan kadet-kadet Angkatan Laut.”
“Lalu dengan apa bangsa ini berperang?”
“Dengan omong kosong dan bedil-bedil utangan dari Rusia.”
“Negara kapir itu?”
“Sama jahat keduanya pasti!”
“Sama baik dalam mengaco dunia dengan kebencian.”
“Dunia sudah berubah gila!” Mengeluh.
“Ya, dunia sudah tua!”
“Padahal Kiamat masih lama.”
“Masih banyak waktu ya, Nabi!”
“Untuk mengisi kesepian kita di sorga.”
“Betul, betul, sesungguhnya tontonan ini mengasyikkan, meskipun kotor. Akan kuusulkan dipasang TV di sorga.”
“Jibril! Coba lihat! Ada orang berlari-lari anjing ke sana! Hatiku tiba-tiba merasa tak enak.”
“Hamba berperasaan sama. Mari kita ikuti dia, ya Muhammad.”
“Siapa dia? Mengapa begitu gembira?”
“Jenderal-jenderal menamakannya Durno, Menteri Luar Negeri merangkap pentolan mata-mata.”
“Ssst! Surat apa di tangannya itu?”
“Dokumen.”
“Dokumen?”
“Dokumen Gilchrist, hamba dengar tercecer di rumah Bill Palmer.”
“Gilchrist? Bill Palmer? Kedengarannya seperti nama kuda!”
“Bukan, mereka orang Inggris & Amerika.”
Angannya mengawang, tiba-tiba senyum sendiri.
Terbayang gegap gempita pekik sorak rakyat pengemis di lapangan Senayan.
“Hidup Togog, putra mahkota! Hidup Togog, calon baginda kita!”
Pintu markas BPI ditendang keras-keras tiga kali. Itu kode!
“Apa kabar Yang Mulia Togog?”
“Tapi ini otentik apa tidak, Pak Togog? Pemeriksaan laboratoris?”
“Baik, baik Yang Mulia.” Pura-pura ketakutan.
“Betul, Pak, eh, Yang Mulia.”
“Jadi kapan selesai?”
“Seminggu lagi, pasti beres.”
“Kenapa begitu lama?”
“Soalnya begini, saya mesti lempar kopi-kopi itu di depan hidung para panglima waktu meeting dengan PBR. Gimana?”
“Besok juga bisa, asal uang lembur,” sembari membuat gerak menghitung uang dengan jarinya.
“Diam! Diam! Dokumen ini bakal bikin kalang kabut Nekolim dan antek-anteknya dalam negeri.”
“Siapa lagi? Natuurlijk de— ‘our local army friends’. Jelas toh?”
Sepeninggal Togog jimat ajaib ganti berganti dibaca jin-jin liar atau setan-setan bodoh penyembah Dewa Mao nan agung. Mereka jadi penghuni markas BPI secara gelap sejak bertahun-tahun.
“Soekarno hampir mati lumpuh, jenderal kapir mau coup, bukti-bukti lengkap di tangan partai!”
“Jangan-jangan dokumen itu palsu, hai Togog.” PBR marah-marah.
“Akh, tak mungkin, Pak. Kata pembantu saya, jimat tulen.”
“Sudah, pak. Pembantu-pembantu saya bilang, siang malam mereka putar otak dan bakar kemenyan.”
“Juga sudah ditanyakan pada dukun-dukun klenik?”
“Lebih dari itu, jailangkung bahkan memberi gambaran begitu pasti!”
“Apa katanya?”
“Akh, lagi-lagi dia. Nasution sudah saya kebiri, Dia tidak berbahaya lagi."
“Ya, tapi jailangkung bilang CIA yang mendalangi ‘our local army friends’.”
“Gilchrist toh orang Inggris, kenapa CIA dicampuradukkan!”
“Dunia tahu, Hanoi bisa bernapas sekarang. Paman Ho agak bebas dari tekanan Amerika.”
“Kenapa begitu?”
“Mana lebih besar yang mengancam kita atau RRC?” Ada suara cemas.
Soekarno tunduk. Keterangan Togog membuatnya sadar telah ditipu mentah-mentah sahabat Cinanya. Kendornya tekanan Amerika berarti biaya pertahanan negeri Cina (cont)
Kiriman bom atom –upah mengganyang Malaysia– tak ditepati oleh Chen-Yi yang doyan omong kosong. Tiba-tiba PBR naik pitam.
“Persetan dengan tengah malam. Bawa serdadu-serdadu pengawal itu semua kalau kamu takut.”
Seperti maling kesiram air kencing Togog berangkat di malam dingin kota Bogor. Angan-angan untuk seranjang dengan gundiknya di Cibinong buyar.
“Ada apa malam-malam panggil saya? Ada rejeki nih!” Duta Cina itu sudah pintar ngomong Indonesia & PBR senang pada kepintarannya.
“Buat apa bom atom, sih?” Duta Cina mengingat kembali instruksi dari Peking, “tentaramu belum bisa merawatnya.
“Gimana ini, Togog?”
“Saya khawatir bambu runcing lebih cocok untuk bocorkan isi perut Cina WNA disini,” Togog mendongkol.
“Amerika mengancam kita gara-gara usul pemerintah kamu supaya Malaysia diganyang. Ngerti, tidak?” (Cina itu mengangguk). Dan sampai sekarang pemerintahmu cuma nyokong dengan omong kosong!”
“Tidak mungkin!” PBR meradang, betul or tidak, Gog?”
“Akur, pak! Konfrontasi mesti jalan terus. Saya jadi punya alasan berbuat nekad.”
“Begitu Amerika mendarat akan saya perintahkan potong leher semua Cina-cina WNA.” Menggertak.
“Ah, jangan begitu kawan Haji Togog. Anda kan orang beragama!”
“Masa bodoh. Kecuali kalau itu bom segera dikirim.”
PBR mau tak mau kagum akan kelihaian Togog. Mereka berangkul-rangkulan.
“Kau memang Menteri Luar Negeri terbaik di dunia.”
“Tapi Yani jenderal terbaik, kata Bapak kemarin.”
“Maaf PYM hal ini kurang jelas. Faktanya keadaan berlarut-larut hanya menguntungkan RRC.”
“Yani ragu-ragu?”
“Begitulah. Sebab PKI ikut jadi sponsor pengganyangan. Mayoritas AD anggap aksi ini tak punya dasar.”
“Konfrontasi harus mereka hentikan. Caranya mana kita bisa tebak? Mungkin coba-coba membujuk dulu lewat utusan diplomat penting. Kalau gagal cara khas CIA akan mereka pakai.”
“Bagaimana itu?”
Sang PBR mengangguk-angguk karena ngantuk dan setuju pada analisia buatan Togog.
Hari berikutnya berkicaulah Togog di depan rakyat jembel yang haus, penjual obat (cont)
“Saudara-saudara, saat ini ada bukti-bukti lengkap di tangan PYM Presiden PBR tentang usaha Nekolim untuk menghancurkan kita. CIA dengan barisan algojonya yang bercokol dalam negeri (cont)
Di Harmoni segerombolan tukang becak asyik kasak-kusuk, bicara politik.
“Katanya Dewan Jenderal mau coup. Sekarang Yani mau dibunuh, mana yang benar?”
“Dewan Jenderal siapa pemimpinnya?”
“Pak Yani, tentu.”
“Aaah! Sudahlah. Kamu tahu apa.” Suara sember.
“Untung Menteri Luar Negeri kita jago. Rencana nekolim bisa dibocorin.”
“Dia gak takut mati?”
“Tentu saja, dia sudah puas hidup. Berapa perawan dia ganyang!” Suara sember menyela lagi.
“Kawan seporos, harap bom atom segera dipaketkan, jangan ditunda. Tentara kami sudah mogok berperang, jenderal-jenderal asyik ngobyek cari rejeki & prajurit-prajurit sibuk ngompreng serta nodong.
Soekarno kejatuhan ilham akan pentingnya berdiri di atas kaki sendiri. Rakyat yang lapar dimarahi karena tak mau makan selain beras.
“Itu Pak Leimena di sana (menunjuk seorang kurus kering). Dia lebih suka makan sagu daripada nasi. Lihat Pak Seda bertubuh tegap (menunjuk seorang bertubuh kukuh mirip tukang becak),
Paginya ramai-ramai koran memuat daftar menteri-menteri yang makan jagung. Lengkap dengan sekalian potretnya.
Sayang, rakyat sudah tidak percaya lagi, mereka lebih percaya pada pelayan-pelayan istana.
(Selesai)
Terima kasih buat yang sudah menyimak utas yang cukup panjang ini, salam takzim.