, 16 tweets, 3 min read
My Authors
Read all threads
Jadi inget, saya dulu pernah jadi kritikus film professional untuk harian cetak The Jakarta Post dan dikasih kolom khusus. Saya jadi kritikus film tahun 2000-2005. Seru jadi kritikus. Dulu para kritikus diundang nonton film-film baru hari Rabu pagi.

(A thread)
It was a really good job buat saya. Saya suka nonton film di bioskop, jadi bisa nonton film gratis (sering dapat official merchandise juga) dan tulisan saya selalu dibayar secara profesional. Jadi lumayan bisa nutup biaya kos, naik bus, dan keperluan lain.
Kritikan saya awalnya disukai orang karena kata mereka fun. Mungkin karena saya nggak mengerti teknis film (karena saya nggak pernah belajar teknis film) jadi saya coba menjelaskan apa yang saya maksud dengan bahasa yang sederhana.
Saya berpikir, nggak apa-apa nulis kritik walaupun nggak tau teknis. Yang penting saya menulis kritik dalam spirit cinta film, merayakan film.
Saya nggak tau kapan semua mulai berubah. Tapi tiba-tiba saya dikenal sebagai kritikus pedas dan 'kejam'. Banyak pembaca saya yang menulis surat ke The Jakarta Post, bilang mereka suka review saya yang keras dan terasa lucu. Rasanya enak. Bikin kecanduan.
Semakin pedas review saya, semakin bersorak pembaca. Hingga akhirnya saya ketika menulis review, cenderung mencari-cari kesalahan. Suatu Rabu pagi ketika akan nonton preview, ada staf pemilik film yg datang ke saya bilang "selamat ya, kami sekarang udah punya jokoanwarhatersclub.
Dan itu bikin saya bangga. Waw. Penting banget ya ada haters club khusus. Saya semakin ganas waktu. Saya merasa lebih pintar dari pembuat film. Film tadinya saya cintai, akhirnya cuman jadi punching bag saya, atau bahan untuk terdengar pintar atau witty.
Tahun 2004, saya kehilangan kenikmatan menonton. Like, so weird. Saya kehilangan saat-saat saya dulu nonton untuk melakukan sebuah perjalanan spiritual. Masuk ke alam film, tanpa jadi mean-spirited. Saya lalu sadar, saya tidak lebih penting dari film-film yang saya caci.
Tahun 2004 itu juga, saya berhenti jadi kritikus film, saya merasa attitude saya terhadap film, sesuatu yang saya cintai sejak kecil, sudah menjadi toxic.
Tahun itu juga, saya memutuskan untuk menyutradarai film. To see what's it all about.
Film itu berjudul Janji Joni. Sebelum suting, saya merasa tak mungkin gagal. Saya merasa saya tahu film. Sering saya kritik kok. Gampang lah bisa.

Hari pertama suting, saya tak tau di mana saya harus meletakkan kamera.

Tiba-tiba saya tak tau harus berbuat apa.
Tentunya ini gak terjadi ke semua kritikus yg jadi filmmaker. Ya memang saya yang bodoh aja.
Hari pertama itu, saya meraba-raba cara jadi sutradara.
Besoknya, editor saya datang ke lokasi suting tergesa-gesa. Dia bilang semua shot yg saya ambil salah semua. Nggak bisa diedit.
Dia ngomongnya keras pula di depan semua orang. Semua pemain, kru, menoleh ke saya dgn pandangan "lo ngerti cara bikin film nggak sih?". Sumpah keringet dingin saya gede banget. Mau nangis tapi takut makin malu. Jadi saya permisi bilang mau pup. Di toilet saya mukulin kepala.
Pulang suting hari itu, saya nggak tidur, saya baca buku, nelponin sineas lain nanya-nanya gimana yang bener.

Besoknya, saya bikin shot untuk Janji Joni yang basic banget. Dan shot hari pertama yang salah itu masih bisa terlihat jelas di filmnya. Di adegan ruangan proyektor.
Di jaman film apa aja gampang diakses, baik secara legal maupun ilegal, sangat gampang untuk menganggap nilai sebuah film itu kecil. Bahkan tak bermakna. Film sekarang sudah seperti udara. Tak terasa nilainya. Sangat gampang untuk menjadi sinis dalam mengkonsumsi sebuah film.
Saat bekerja utk The Jakarta Post sbg pengulas film, saya pernah merasa sebagai otoritas dari sebuah film karena saya merasa punya massa. Saya merasa self-important.

Alhamdulillah, di Indonesia kasus seperti ini tidak pernah ada lagi. Hanya saya saja. Karena saya besar kepala.
Abis.
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with Joko Anwar

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!