Mari kita berbagi untuk kisah ini, tetap ambil hikmahnya saja dari cerita ini. cerita ini dari kisah nyata!

"JANUR KUNING" [Based On True Story]
@bacahorror #bacahorror #ceritaht
@bacahorror 1.Permulaan

Keluargaku Mamakku (sebutan untuk ibu) dari Medan, kami dari suku batak marga simalungun, lebih tepatnya saragih. Horas bang!!! Lebih tepanya dari Kabupaten Bagan Batu kec *** desa ***,
Marga mamakku yaitu suku batak yang terkenal akan lidah berbulu, pada masa itu terkenal kekeramatannya. Sedang ayahku berasal dari salah satu kota di Jawa tepatnya…, berasal dari kota kelahiran presiden kita saat ini.
Awalnya kami betempat tinggal di medan, kami mempunyai rumah sederhana ukuran 12 x 10 M. Rumah kami terbuat dari setengah kayu dan bawahnya tembok. Lantai plesteran semen biasa, beratapkan seng.
Rumah yang sangat kami cintai saat itu, sekarang tinggal sebagai kenangan terakhir kami sekeluarga. Rumah kami dulu bercat merah kombinasi biru yang menjadi kenangan masa kecilku yang penuh kebahagiaan.
Kisah ini berawal saat keluarga kami ditawari tanah dari Jambi oleh kenalan ayahku, masih kuingat jelas namanya dia adalah Pak Herman. Orangnya ini berumur 40 tahunan. Saat dia menawari keluarga kami dimedan tentang informasi tanah beserta rumah yang murah di jambi,
di informasikan tanah itu seluas 50 Ha, beserta rumahnya. Waktu itu kami ditawari dengan harga 200 juta. Berbekal informasi dari pak herman waktu itu kami sekeluarga berminat untuk pindah ke Jambi karena rumah dan tanahnya tergolong murah saat itu,
pada akhirnya ayahku tertarik membeli tanah itu.

Siang itu saat ditawari, ayah terlihat aneh karena langsung mengiyakan permintaan pak herman tanpa menawar terlebih dahulu harga tanah di Jambi sama sekali. Padahal waktu itu masih dirembukkan sama keluarga besar,
mamakku dari awal sudah curiga kok tiba-tiba langsung menerima tawawran tersebut. Padahal ayah sendiri belum mengecek dan melihat lokasi terlebih dahulu.

Selang dua minggu kemudian pak herman datang lagi kerumah, untuk meyakinkan keluarga besar kami.
Pada waktu pak herman dating dan memberi rayuan manis ayah semakin yakin dan mantap, disini ayah juga malah ikut meyakikan keluarga yang lain.
Setelah penawaran yang meyakinkan itu ayah langsung pergi menawarkan kebun karet dan sawit beserta rumah kami untuk dijual kepada warga yang berduit dan kaya dilingkungan sekitar. Tidak perlu waktu lama, dalam waktu satu bulan semua asset keluarga kami terjual
Padahal waktu itu lagi enak-enaknya, karena harga karet dan sawit masih lumayan bagus. Apalagi ketambahan toko kelontong dirumah yang dikelola mamak. Tapi mamakku waktu awalnya menolak keras, “biasalah ciri khas orang batak”
pada akhirnya Mamak tetap patuh dan menurut sama ayah yang akhirnya menyetujui keputusan ayah.
Sementara kami anak-anaknya dua bersaudara laki laki semua, aku sebagai anak pertama sebut saja namaku Deno,
aku saat itu masih duduk dibangku SMA kelas dua. Sedang adikku waktu itu masih duduk dibangku SMP kelas dua juga, adikku ini bernama Niko.
Saat keputusan ayah sudah bulat untuk pindah, sekolahku dan adikku terpaksa harus berhenti dimedan, karena harus ikut ayah dan mamak ke Jambi.
2. Rumah di Lembah

Sore itu kami berangkat dari medan sekeluarga, kami dari medan bersama Pak Herman selaku penunjuk arah dan penjual kebun serta rumahnya. Kami ke Jambi membawa truk besar, seingatku truk 135 Ps.
Truk itu membawa penuh muatan perabotan kami dari Medan, aku bersama adikku dan pak Herman duduk di bak kayu belakang. Sedangkan mamak dan ayah didepan bersama sopir. Saat aku dan adikku dibelakang truk, kami memandang Pak herman ini dengan seksama.
Menurutku dan adik tampangnya pak herman seram, karena berambut hitam gondrong sebahu yang tak rapi sama sekali, berkulit hitam legam dan berotot. Dia selalu memakai jeans dan baju berkerah, dengan berbagai aksesoris ditubuhnya.
Istilahnya kayak preman waktu itu, tapi aku diam dan bersikap dingin biar tak terlihat takut. Karena sebagai keturunan batak kami selalu diajarkan berani dan tegas.

Saat kepindahan kami waktunya musim penghujan, jalan yang kami lalui jelaslah berat.
Saat malam harinya kami berada di jalan yang lembek, truk yang kami tumpangi tiba-tiba berhenti…hanya suara deru knalpot truk yang keluar “Brunggg…brunggg” sementara rodanya tetap memutar diatas tanah merah yang lengket.
“Ayo turun semua bantu dorong.“ Teriak pak sopir yang sudah berdiri disamping truk

“Iya Pak” Jawab kami yang dibelakang

Semua penumpang turun kecuali mamak,
sedangkan pak sopir kembali kekabin truk untuk menahkodai kendaraannya sembari melihat kondisi ban truknya keluar dari jebakan tanah liat merah. Kami semua membantu mendorong truk dan memberi kayu dan batu pada ban sebagai pijakan,
agar ban truk terbebas dari tanah liat yang lengket. Tapi usaha kami sia-sia, malam itu kita hanya bisa duduk-duduk menunggu kendaraan lain lewat.
Sekian lama kendaraan ini terjebak dalam tanah merah yang mencengkeram akhirnya solusi terakhir truk yang kami naiki harus ditarik oleh truk lain. Sekian lama kami menunggu akhirnya ada pengendara lain yang lewat dan perduli untuk membantu kami,
pada akhirnya kami bisa meneruskan perjalanan kembali. Memang jalanan tanah merah malam itu sangat lengket dan sangat menggangu.

Perjalanan kami tempuh selama dua hari, perjalanan yang panjang dan sangat melelahkan.
Kejadian seperti tadi sekitar enam kali, sampai yang terakhir ban truk yang kami naiki termakan semua oleh ganasnya medan jalanan. Setiap kali truk terjebak oleh ganasnya jalan waktu itu aku berangan – angan, apakah ini sebagai tanda awal yang buruk bagi keluarga kami.
Tapi setelah truk bisa jalan lagi angan-anganku itu hilang dengan sendirinya. Akhirnya setelah dua hari kami tiba di Jambi, waktu itu sudah malam kira-kira jam 10. Aku membayangkan dari medan rumah baru yang akan kami tinggali adalah dikota, ternyata dugaanku salah.
Kenyataan yang kudapati adalah sebuah pelosok desa yang yang berada dilembah lereng pegunungan. Jelas desa ini sangat jauh dari pusat kota. Kami di Jambi tepatnya di Kab. ****. Kec *** desa ***.
Malam hari kami memasuki rumah dengan halaman yang sangat luas sekitar 20 meter jarak antara rumah dan jalan depan rumah, dan ditengahnya ada rumah berukuran 9 x 12 meter. Rumah itu tampak dari jauh hanya ada satu lampu kecil putih kira-kira 5 watt diterasnya,
terlihat rumahku ini samar-samar bercat hijau dari kejauhan karena penerangan yang minim. Karena hanya lampu itulah satu-satunya penerangan dirumah kala malam itu. Beruntungnya rumah kami yang baru ini sudah berdinding tembok beratap genteng.
Rumah baruku ini posisinya berada dilembah yang dikanan dan belakangnya terdapat bekas tambak ikan yang sangat luas. Untuk di samping kiri rumahku hanya ada satu rumah tapi jaraknya jauh, kira-kira sekitar 500 meteran lah baru setelah itu lereng gunung.
Tetanggaku yang terakhir dan terdekat barada tepat depan rumah disebrang jalan, Kira-kira delapan meteran panjang jalan depan rumahku ini baru rumah tetangga. Malam pertama disini cukup dingin semoga tidak seperti nasibku yang menjadi dingin dilingkungan baru ini.
“Den kamu bantuin masukin barang ya.?” Perintah ayah saat masih berdiri disamping truk

“Iya yah.” Jawabku

“Aku juga ikut bantuin ya yah?” Sahut adikku Niko

“Ya gak papa asal jangan yang berat-berat”? Jawab ayah dengan senyum serta rasa sayang kepada adikku.
Malam itu kami semua berenam dibantu pak sopir menurunkan semua perabot yang kami bawa dari Medan. Kami menurunkan dihalaman rumah dulu sebelum membawanya masuk ke rumah, biar enak menatanya pendapat ayah malam itu.
Pak sopir dan Pak Herman yang menurunkan dari atas truk sedangkan kami bertiga dengan ayah bergantian membawa barang-barang kami masuk kerumah. Untuk perabot yang berat seperti almari, dipan dan sejenisnya menunggu pak sopir dan pak herman selesai menurunkan dari atas truk.
Baru setelah mereka selesai kami bersama-sama memindahkan barang-barang yang berat itu ke dalam rumah.

Kegiatan bongkar muatan itu sampai jam 1 malam baru selesai. Saat selesai kegiatan memasukkan barang selesai itu, aku baru tahu bahwa rumahku ini mempunyai tiga kamar tidur,
1 kamar mandi dan 1 ruang dapur. Sedang dari depan mulai teras, ruang tamu dan ruang tengah untuk bersantai. Untuk lantai hanya plesteran semen biasa, aku rasa rumah yang cukup bagus menurutku malam itu.
Waktu bongkar muatan dari truk dua rumah terdekat/tetangga tak ada yang datang membantu atau menegur kami, kami sekeluarga waktu itu maklum karena waktu sudah malam, dua rumah tetangga terdekat itupun sudah terlihat tertutup rapat dan terlihat gelap rumah mereka.
Setelah itu kami semua istirahat dirumah baruku, Termasuk pak sopir dan pak herman. Kami berlima tidur diruang tamu beralaskan karpet yang tipis warna biru, berjejer seperti pindang dalam wadahnya. Tak lupa selimut loreng hitam putih berada ditubuhku dan adikku.
Sedangkan ayah, pak herman dan pak sopir berselimutkan sarung. Untuk mamakku tidur dikamar sendirian beralaskan kasur busa tipis berwarna cokelat tua berselimut kambal hijau tebal.
Suasana semakin larut semakin dingin pula dirumahku, serta kabut mulai menutupi lereng pegunungan sampai kerumahku.

Cuiiittttt….Cuiiiiittttt….Kriiiiiekkkk….[suara burung liar yang saling bersahutan]
Dipagi hari banyak kicauan burung liar yang sangat nyaring dan merdu disekitar rumah baruku. Suasana disana waktu pagi sangat dingin, karena berada dilereng gunung.
Kabut dan embun menemani dipagi itu, tak lupa embun-embun itu menancapkan dirinya pada ujung rumput dihalaman rumahku. Dirumah baru ini hawanya benar-benar menandakan area pegunungan yang masih asri dan alami.
Hari itu kami semua mulai aktifitas pada jam 6, sedang mamakku sudah bangun entah mulai jam berapa? Aku sendiri tak tahu. Mamak kelihatannya bangun duluan untuk menyiapkan sarapan seadanya untuk pagi itu.
Padahal mamak juga sudah dua hari dengan kami kurang istirahat, karena sudah jadi kebiasannya juga mamakku selalu rajin dan tepat waktu untuk semua kegiatan rutinnya.
Dipagi itu aku sendiri masih merasa capek dan lelah, sedang adikku masih tidur. Memang sengaja pagi itu aku tak membangunkannya karena kasian, begitu pula mamak dan ayah yang tak tega melihat adik yang masih tidur sangat lelap dipagi yang dingin.
Aku yang sudah bangun bergegas membantu mamak menyiapkan makanan didapur baru. Meskipun aku cowok aku tak segan ikut membantu masak dan belajar masak dari mamakku. Setelah beberapa saat semua hidangan sudah tersedia diruang tamu.
“Dek bangun ayok sarapan dulu.” Ucapku dengan tangannya kugoyang-goyangkan.

“Iya bang.” Jawabnya pelan yang menandakan kelelahannya dipagi itu. Serta dengan pelan ia berjalan menuju kamar mandi.
Sekitar jam delapan pagi, kami semua sarapan bersama. Setelah itu ayah membayar ongkos truk dari Medan ke Jambi kepada pak sopir, tak begitu lama setelah menghitung uangnya pak sopir langsung pamit pulang kemedan tanpa membawa muatan lagi.
Sementara itu mamak masuk kerumah ambil HP dan kembali diteras rumah untuk telpon kakek dimedan untuk memberi kabar.

Tuutttt..tuuttt…tuuuttt

“Assalamu’alaikum..Hallo Yah.” Kata mamak
“Walaikum salam…Iya ‘nang boru’ (nama panggilan kesayangan kepada anak perempuannya) gimana kabarnya, sudah sampai belum?” Tanya kakek

“Sudah yah, tadi malam jam sepuluh.” Jawab mamak

“Gimana cucuku, sehat semua kan?” Tanya kakek
“Iya yah, syukur kami semua sampai disini selamat dan sehat semua.” Jawab mamak

“Oh ya sudah kalau begitu, hati-hati disitu?” Pesan kakek

“Iya yah.” Jawab mamak

“Kalau ada apa-apa hubungi ayah ya?” Pinta kakek lagi

“Iya yah tenang saja.” Jawab Mamak
“Sudah dulu yah, nang boru mau beres-beres rumah dulu ini karena baru nyampe rumah baru tadi malam.” Kata Mamak

“Ooohh Ya sudah.” Jawab kakek

Tuuuuuttttttt
Setelah melepas kepergian truk pagi itu dan selesai mamak telpon kakek, kami berkumpul diteras rumah bersama pak herman, dengan kami sekeluarga di pagi itu.
Kami masih duduk-duduk bersantai, sedang pak herman dan ayah duduk berhadapan dengan menikmati teh panas dan rokok filternya. Tapi hanya pak herman ngerokok karena ayah dari dulu tidak pernah merokok.
“Pak wijaya habis ini mari ikut saya untuk melihat kebun yang sudah bapak beli, sekalian melihat batas patoknya?” Pinta pak Herman disertai tangannya yang memainkan punting rokok yang sudah dibakar.

“Iya pak, ayok. Sekalian sama istri saya biar ikut.” Jawab ayahku
Waktu itu aku masih diteras duduk berdua sama adikku mendengarkan mereka berbicara. Aku disitu hanya mengamati pemandangan sekitar yang baru pertama kali aku lihat. Karena disini sangat berbeda dengan tempat asalku,
Setelah itu ayah mengambil motor yang sudah kami bawa dari Medan. Ayah memanasi motor besutan jepang yang sudah kami bawa.

“Brrruunnnngghhhh” [suara motor ayahku]

“Deno, mamak tinggal lihat kebun dulu ya sama pak herman?” Pamit mamakku sambil berjalan menuju motor ayah.
“Iya mak, tapi jangan lama-lama mak. Deno takut kalau ditinggal lama-lama disini”. Jawabku yang sedang duduk dengan adikku.

“Cepetan balik mak.”Sahut adikku
“Iya bang, adek. mamak cuma sebentar. Lagian mamak juga belum beres-beres perabotan.” Jelas mamak sambil naik dijok motor belakang ayah.

“Brungggg… Brungggg …. Brungggg” [suara motor pak herman yang berisik sedang memainkan suaranya naik turun]
Setelah itu pak herman bersama motor tanpa mereknya pergi dengan mamak dan ayahku, dia mengajak keliling melihat dan memastikan batas tanah yang baru dibeli oleh keluarga kami.
Aku hanya berdua dirumah dengan niko sampai sore setengah menggerutu dan jengkel. Sekian lama aku dirumah besama adikku menunggu kedua orang tua yang harap-harap cemas, karena bilangnya sebentar ternyata sore baru datang.
Sampai saat jam menunjukkan jam empat sore suara raungan keras motor pak herman dan motor ayah mulai terdengar.

[Bruungggg…. Bruungggg… Bruungggg, suara motor ayah dan pak herman yang datang mendekat kerumah]
Sore itu kami langsung keluar dari rumah, sebelumnya aku dan adikku hanya tiduran didalam rumah. Saat aku berdiri diteras, aku lihat mamak sudah berjalan menuju rumah.

“Mak kok lama sekali? Katanya sebentar.” Tanyaku jengkel
“Ya sabar bang, namanya lihat tapal batas kan harus jalan dari ujung ke ujung kebun.” Jawab mamakku dengan tegas

“Paling mamak sama ayah jalan-jalan mampir kerumah Pak herman?” Tanyaku lagi yang tak percaya kepada mamak
“Aduuuh bang, tadi mamak sebenarnya ingin kerumah pak herman. Tapi pak herman hanya menunjukkan letak lokasi rumahnya tanpa memberitahukan rumahnya yang ditinggali sekarang." Jelas mamak

“Masak mak?" Jawabku yang masih diteras.
“Iya bang. Tapi biar saja, lagian sertipikat sudah dibawa ayah tuh.” Jawab mamak dengan menunjuk ayah dan Pak herman yang masih ngobrol dihalaman rumah.

Keterangan yang janggal menurut mamakku sore itu dan aku sendiri beranggapan yang sama dengan mamak,
Karena hanya menunjukkan lokasi rumah tanpa pernah diajak kerumahnya dan diperkenalkan kepada keluarga atau ahli waris tanah tersebut. Tapi ayah disini juga tak mau memperdulikannya akan hal ini, ayah masih sangat percaya dengan pak Herman waktu itu.
3. Kebun Baru

Sore itu, setelah kesepakatan pergi kenotaris hari esok pak Herman langsung pulang. Ayah dan mamak akhirnya ikut aktifitas beres-beres dengan kami sampai malam.
Yah…mulai menata kursi-kursi, dipan, perabot dapur dan lain-lain, setelah itu kami istirahat dikamar masing-masing.
Pagi harinya sesuai rencana ayah dan pak herman, mereka berdua pergi naik motor ayah menuju kenotaris. Sedang aku dan adikku dirumah. Saat itu aku penasaran karena lingkungan baru. Kami berdua memutuskan berkeliling rumah baru yang terpencil ini.
Ada beberapa pohon besar disamping kanan dan kiri rumah ini, dan dibelakang rumah ada pohon manga yang sangat besar. Pohon yang besar itu ranting dan cabangnya sampai merambat diatas dapur kami.
Dibelakang rumah ada bekas tambak yang luas, setelah itu terlihat hamparan kebun karet. Setelah puas jalan – jalan bersama adikku, kami kembali kerumah. Waktu kami kembali sudah sore dan kulihat ayah sudah sampai dirumah. Sore itu kami semuanya berkumpul diruang tamu.
“Bang besok sama adek bantuin ayah kekebun dulu ya?” Pinta ayah

“Iya yah,” Jawabku

“Untuk daftar sekolahnya abang sama adek minggu depan.” Kata mamak yang sedang duduk dikursi.

“Iya mak,” Jawab adek.

“Tapi kita ke bengkel dulu bang, ganti ban motor kita semua? Kata ayah
“Lha memang kenapa yah, ban motor kita kan masih bagus?” Jawabku

“Disini jalanannya ekstrim bang, kemarin motor ayah sempat gak bisa jalan.” Terang ayah.

“ooohhh… begitu. Memang mau diganti ban apa yah?”
“Itu ganti ban cangkul, kayak punya orang-orang sini. Tapi kita juga harus bawa rantai juga bang, soalnya kalau medan bener-bener berat harus pakai rantai dililit ke bannya.” Jelas ayah

“Siap yah. “ Jawab adikku Niko.
Setelah obrolan itu kamipun istirahat, tapi kami makan malam dulu seadanya. Karena waktu itu mamak belum sempat kepasar.

Pagi hari aku dan Niko pergi kebengkel dulu untuk mengganti kedua motor kami dengan ban cangkul dan membeli rantai sekalian.
Setelah itu kami kembali pulang dan kulihat ayah dan mamak sudah siap pergi kekebun, diteras ada dua orang yang disuruh ayah untuk membantu memotong pohon-pohon besar dikebun baru. Kami mulai perjalanan dari rumah menuju kebun kira-kira 1 jam waktu yang kami tempuh.
Saat pertama kali sampai terlihat tanah dikebun memang sangat subur, karena saat itu semua tumbuhan hijau dan rimbun. Setelah itu motor kami parkir dipinggir pembatas kebun milik ayah, pagi itu kami awali dengan mulai membersihkan semak-semak dipinggir dengan sabit.
“Ranggggg….rangggg…”[suara raungan gergaji mesin yang mulai memotong semak belukar dan pohon kecil dikebun]

Setelah bunyi raungan gergaji itu dua orang suruhan ayah mulai memotong semak belukar dan pohon - pohon.
Waktu itu aku dan adikku diajak ayah keliling dulu, memperlihatkan batas kebun karet dan kebun yang sedang dibersihkan karena akan dipakai untuk menanam sayur-sayuran.
Kebun karet ayah ternyata luasnya 25 hektar sedang yang dibabat sekarang 25 hektar juga, dua kebun ini memang bersebelahan. Di areal kebun karet ada gubuk lumayan besar, tempat untuk istirahat dikala siang hari.
Saat itu kami sudah selesai melihat tapal batas kebun, kami berjalan menuju tempat mamak dan dua orang suruhan ayah yang sedang membersihkan semak belukar…

Gruduk..gruduk… gruduk [suara beberapa orang berlari kearah kami]

“Ada apa?” Kata ayah yang sedang penasaran.
“Itu yah…..aaadaaaa….ulaaarrrr.” Jawab mamak terbata-bata.

“Ular dimana?” Tanya ayah lagi

“Itu pak di tengah semak yang tinggi.” Jawab orang suruhan ayah

“Sebaiknya siang ini kita akhiri yah, ayok pulang dulu.” Pinta mamak
Saat itu kepalaku yang fokus memandang mamak karena penjelasannya, pelan pelan kepalaku tegak berdiri memandang kearah lokasi ular tersebut berada.

“Ayo mak lari mak…ayo ayah.” Kataku cepat
Kulihat dari jauh ular besar sedang berjalan meliuk-liuk kearah kami, ular itu membelah rimbunan semak dengan santai, sedang kepala hitamnya mendongak kedepan dan tetap terlihat diatas semak. Memang ular hitam itu sangat besar, tidak lazim seperti pada umumnya.
“cepet pak..cepet…..” Kata orang suruhan ayah

Kami semua siang itu berlari menuju motor yang diparkir ditapal batas kebun kami. Kekecewaan kami semua siang itu belum kerja sampai sore tapi harus terpaksa untuk pulang, itu juga demi keselamatan kami semua.
“Ayok cepet pak….” Kata mamakku yang mulai panik memegangi motor

Kami naik motor dengan cepat, tiga motor itu saling adu balap dijalan yang licin, selama diperjalanan kami hanya diam hanya teriakan motor kami yang saling bersahutan.
Aku dan Niko hanya melihat ketakutan dua orang suruhan ayah, sampai akhirnya kamipun ikut takut karena melihat ekspresi wajah mereka. Sesampainya dirumah kami semua duduk diteras dan masih memakai baju yang kotor serta penuh keringat.
Sedang kedua orang suruhan ayah langsung pulang, mereka berjanji bahwa besok pagi ikut kembali kekebun kami dengan membawa enam orang lagi biar pekerjaan pembersihan kebun cepat selesai.
“Tadi ularnya besar yah.” Kata mamak

“Sebesar apa mak, kok sampai takutnya begitu, kok gak seperti biasanya mak?” Tanya ayah yang tak tahu ular tersebut

“Pokoknya besar yah, tidak umum. Belum pernah juga mamak lihat ular sebesar itu?” Jawab mamak dengan menghela nafas
“Iya yah Deno sempat lihat ularnya bergerak menuju kita waktu kita berhenti ketemu mamak.” Sahutku

“Tenang mak…tenang.”Sahut ayah yang masih berada disampingnya.

“Ular hitam itu tadi kayak mau makan mamak dan kedua abang tadi saat memotong pohon ditengah semak.”Jelas mamak.
“Hati – hati bang kalau disemak yang tinggi tadi, ularnya hitam sebesar gardu listrik. Ularnya tadi kayak marah, kepala ularnya berdiri seperti ular cobra tapi teliganya kayak kelelawar. Hiiiii…..” Jelas mamak lagi serta bulu kuduknya yang berdiri.
“Deeeggg….Ooohh iya mak.” Jawabku yang ikut takut.

“Tapi besok kita harus kembali bang, karena kebun itu sumber mata pencaharian kita.” Jelas ayah

“Tapi yah….? Jawab adikku Niko

“Udah gak papa besok paling ularnya sudah gak ada lagi.”Jelas ayah
“Semoga saja yah...Huuuuuhhh…huhhh”Jawab mamakku yang masih kencang nafasnya.

Setelah kejadian siang itu kami semua akhiri dirumah saja tanpa ada kegiatan, karena masih melihat mamak, Niko dan aku yang takut.
Lanjut dipagi hari...!!!
seperti biasa kami sudah bersiap kekebun lagi, seolah tidak ada kejadian apapun kemarin. Sebenarnya pagi itu aku dan adikku yang masih takut akan kejadian kemarin, akhirnya kami putuskan ikut menemani ayah sama mamak tapi untuk memancing disungai saja.
Karena waktu itu sudah banyak orang juga yang membantu dikebun.
Kami memancing disebelah kebun ayah tapi jaraknya jauh dari mereka yang sedang membabat semak belukar dikebun baru. Kulihat dari jauh mereka membakar semak yang tinggi katanya kemarin ada ular hitam besar.
Waktu aku dan adikku disungai kulihat sungai itu terlihat jernih dan mengalir dengan tenang. Banyak ikan yang berlalu Lalang melawan dan mengikuti arus tenang. Kami memilih lokasi untuk mancingnya berbeda-beda…

“Bang …bang disini saja mancingnya.” Teriak adikku
“Dimana nik…?” Jawabku yang jauh disebrang sungai.

“Disini bang…!!!” Teriak adikku yang menunjukkan keberadaannya.
Pagi itu aku berjalan menuju lokasi niko yang memancing. Niko berada dibawah pohon besar tanpa daun, tapi kulihat pohon itu masih hidup. Aku sendiri tak tahu apa nama pohon tersebut. Setelah sampai kulihat dia sudah mendapat banyak ikan,
senang rasanya baru sebentar ia melempar kail Niko langsung menarik joran pancing.

“Banyak kali nik, ikannya?” Tanyaku yang menghampirinya

“Iya bang, ayok masukkan pancing abang.” Ajak niko
Pagi itu aku putuskan mancing ditempat Niko, dibawah pohon besar ini. Benar kata adikku dalam waktu yang singkat aku banyak mendapatkan ikan. Kami memancing duduk berdua, sedang ikan tangkapan kami dikumpulkan dalam satu ikat tali akar. Suasanya sangat nyaman dipagi itu…
Kreeekkk…kretek…kreeekteeek….[suara dari pohon diatas kami]

“Suara apa nik?” Tanyaku sambil mendongak ke atas

Memang saat itu aku melihat dari bawah pohon tidak ada apapun dari atas, hanya hembusan angin yang pelan.
“Jangan takut bang, suara pohon kena angin.” Jawab Niko yang sedang mengambil ikan dari kailnya

“Beneran kamu nik?” tanyaku lagi.

“Iya bang dari tadi suaranya kayak gitu kok! Tegas niko
Kratak….kratakkk….kraattaakkkk bruaaaakkkkkkk [pohon besar itu tumbang tepat didepan kami]

Kami lihat ada banyak pocong yang jatuh ke sungai, mereka berasal dari pohon besar diatas kami. Pocong ini bermuka hitam, dan penuh rembesan darah diwajahnya.
Nampak kain kafannya lusuh. Mereka berjatuhan mengikuti robohnya pohon besar saat pagi itu, sebagian jatuh masuk ke sungai sebagian ke tanah.

Byurrr…byurrr….byurr ..Buugg…Buuuggg [suara pocong yang jatuh kedalam air dan tanah]
“An****Setaaaaannnnnn …..Niko ayok lari….”Teriakkku

“iiii…iiiiyyaaa bang….” Jawab niko yang diam mematung dan kaget.

Aku langsung memegang tangan Niko menyeretnya untuk beralari menjauh dari sungai tadi.
Disaat yang sama joran pancing kami lempar kemuka pocong-pocong sialan. Gila bener daerah ini, masih pagi setan-setan pada kumpul reunian…. Waktu itu aku masih berlari ketakutan mencari ayah dan mamak. Aku berlari sambil berteriak mencari keberadaan mereka.
“Ayahhhh….Mamakkkk “Teriakku sambil berlari…

Krasakk…krasakkk….[suara tubuh kami yang membelah rimbunnya kebun belum dibersihkan]

“Oiiii” Jawabnya dari kejauhan
Dari jauh kelihatan ayah yang sedang membersihkan semak dengan mamak, mereka dengan santai mengumpulkan semak-semak itu untuk dibakar.

Haaahhh….haahhhh..hahhhh…[suara nafasku dan niko sudah ngos-ngosan berlari menuju tempat ayah dan mamak].
“Ada apa bang?” Tanya ayah.

“Di…ssssaaaannaaaaa ada pocooooonggg banyyyaaakkk yah…hhhhhaaahhhh!” Jawab niko yang masih ketakutan.

“Iyaa yah….jawabku sambil menunjuk lokasi pocong yang pada jatuh dari pohon.
“Makanya bantuin mamak sama ayah, jangan main muluuuu?” Sahut mamak.

“Iya mak ,,,,maap mak”. Jawabku takut dan sedih pagi itu

Aku beranggapan saat berangkat tadi terhidar dari ular kemarin yang mengejar kami,
eh taunya malah pocong yang datang. Dipagi hari pula, pocong yang tak tau waktu…pagi-pagi udah takutin kami.

“Mak aku sama Niko pulang dulu yah?” Pintaku yang masih takut

“Ya udah bang, tapi abang sama adek beres-beres rumah
ya? Kalau nyampe rumah?” Perintah mamak
“Iya mak” Jawab kami berdua.

Pagi itupun aku dan Niko langsung pulang kerumah, dari pada dikebun. Dua hari baru ditempat ini sungguh pengalaman yang sangat mengerikan bagi kami,
mau bantu mamak dikebun banyak setannya gak bantu juga itu adalah sumber penghidupan keluarga kami juga pikir kami berdua.
4. Kehidupanku

Sesampainya dirumah kami berdua langsung bersih-bersih sesuai pesan mamak, Mumpung masih pagi waktu itu. Saat aku dan Niko mulai membersihkan rumput liar dibelakang rumah, ditengah aku sedang mengumpulkan ranting.
“Nik bau apa ini?” Tanyaku saat mengumpulkan ranting kering.

“Iya bang kayak bau amis darah.” Jawab niko sembari hidungnya melahap bau amis tanpa rasa curiga.

“Tapi dari mana ya, sumbernya bang?” Tanya Niko

“Kayaknya iya nik,” Jawabku meyakinkan
“Iya bang, beneran ini.” Jawab Niko

Aku berdiri mencoba mencari sumber bau ini, berjalan menuju dekat bekas tambak….
“Tapi kok hilang ya baunya nik” kataku dari jauh

“Masak bang.” Jawabnya

“Coba cium kalau gak percaya” Perintahku

“Iya bang sudah ga ada lagi.”Jawabnya

“ayok nik kita cepet selesaikan pekerjaan ini.” Perintahku sambil mengumpulkan ranting kering dengan cepat.
Setelah itu kami membakar dahan, rumput dan ranting dibelakang rumah. Waktu berjalan dengan cepat, malam pun datang. Kami sekeluarga berkumpul diruang tengah. Ayah yang terlihat payah begitupun mamakku, wajah lelah nampak dari kedua orang tuaku.
Mereka duduk dikursi Panjang, sedang aku dan Niko duduk dikursi kayu sendiri-sendiri. Suasana malam itu hening sekali hanya suara-suara hewan hutan yang saling berebut suara dikala malam.

“Bang kamu cium bau busuk tidak.” Kata mamakku yang memluai pembicaraan diruang tamu
“Bau busuk apaan mak.” Jawabku

“Iya Bang kamu cium tidak.” Sahut ayah

Malam itu aku langsung menghirup udara diruang tamu dalam – dalam. Pelan - pelan kurasakan dan benar kata ayah sama mamakku tentang bau ini.
“Iya yah mak, benar bau busuk apa ini.?” Tanyaku

“Ih bau busuk sekali.” Timpal Niko

Semakin lama aroma busuk itu semakin terasa menyengat, aku berjalan pelan pelan untuk mencari sumbernya. Tapi anehnya, lama kelamaan bau ini hilang dengan sendirinya.
“Mak Baunya kok udah gak ada ya”? Kataku masih berdiri mencari sumber bau itu.

“Iya bang, baunya sudah gak ada” Jawab mamak

“mungkin itu bau dari bekas tambak belakang rumah”tegas ayahku.

“sudah..sudah…sudah…, gak usah dicari lagi bang, kita bahas yang lain” perintah ayah
Sehabis aku mencari bau yang aneh ini, kami mengalihkan topik pembicaraan tentang sekolahku dan Niko. Memang untuk urusan pendidikan mamak paling getol dan disiplin.

“Ya udah bang besok pagi kau siap-siap didaftarin sekolah sama ayahmu.”Kata mamak

“Niko kapan mak” Sahut Niko.
“Niko selasa aja ya, gantian sama abang kau” Jawab ayah

Hari senin kemudian aku diantar ayah kesekolah baruku, aku didaftarkan di sebuah sekolah SMA yang jarak dari rumah sekitar satu jam. Suasana baru dan menyenangkan pagi itu, setelah selesai urusan administrasi.
Aku langsung masuk kelas dan berkenalan dengan teman-teman baru, disini aku langsung jadi pusat perhatian. Memang fisikku kala itu mendukung. Yang namanya Deno berciri tinggi 172 cm, rambut setengah ikal,
berhidung mancung, berkulit kuning keputihan, bebibir merah muda dan bermata belok.

Hari selasa ayah mendaftarkan adikku sekolah SMP, walau satu arah dari rumah tapi jarak antara sekolahku dan adik sekitar tiga puluh menit.
Hari rabunya kami sudah berangkat sekolah berdua dengan Niko, dengan motor bebek yang sudah siap diteras rumah. Waktu itu kebetulan aku melihat tetangga depan rumah yang memakai bet yang sama denganku. Perlahan kuamati ternyata dia satu sekolah denganku.
Sejujurnya selama seminggu dirumah aku tak tahu bahwa tetangga satu-satunya depan rumah, ada anak laki-laki yang seumuran denganku. Akupun sebagai warga baru berjalan mendekat untuk berkenalan.
Sedikit basa basi, ternyata namanya Angga satu sekolah denganku. Setelah itu angga menaiki motornya untuk memanasi kendaraannya dipagi itu.

Bruuunnngggg…Brunggggg…Brunggggg (suara motor Angga yang keras itu)
“Payo (bahasa Jambi) berangkat.” (ayo berangkat). Pintanya sambil memainkan tarikan gas motornya.

“Oh iya.” Jawabku dengan berjalan kebali menuju motor depan rumahku.
Akhirnya kami naik motor untuk berangkat sekolah. Tapi aku menggantarkan adikku dulu kesekolahnya dengan Angga, setelah itu aku baru berangkat menuju sekolahku.
Setelah sampai disekolah kami kami berjalan dari tempat parkir sekolah untuk segera masuk kelas masing-masing. Ditengah perjalanan…

“Wak ‘ang dah makan?” (kamu sudah makan). Tanya Angga
“Lohh kenapa (karena belum faham bahasa daerah Jambi)?” Jawabku masih bingung akan bahasanya.

“Kamu sudah makan?” Tanyanya Angga lagi

“Oh sudah Ngga.” Jawabku
“Ooh ya sudah, kalau gitu nanti payo pulang sama ambo” (Ooh ya sudah, kalau gitu nanti ayo pulang sama saya).
Pintanya Angga kepadaku.
“Ok Ngga” Jawabku singkat agak canggung
Hari itupun selesai sekolah kami pulang bersama dengan Angga sebagai tetangga dan teman baruku disekolah maupun dirumah.
Hal yang membuatku aneh saat pulang kulihat rumah Angga ramai oleh orang-orang yang berwajah sangar, aku sendiri sebagai warga baru enggan untuk bertanya sore itu.
Selanjutnya sore itu aku diajak Angga kelapangan untuk bermain sepak bola dan sekaligus diperkenalkan sama teman-teman yang lain. Kami bermain sepak bola di lapangan berjarak lumayan jauh, karena harus melewati satu bukit.
Tapi agak bisa cepat kalau kami melewati jalan pintas yang ditengah cekungannya.

Sehabis bermain bola aku kaget dan takjub karena disebelah lapangan bola sekitar 200 meter ada sungai yang sangat indah, sungai itu sangat jernih sehingga dasar sungai terlihat dengan jelas.
Ternyata kebiasaan anak-anak disana sehabis main bola, mereka mandi disungai dan mencari ikan. Anak – anak didaerah ini kalau berenang dan cari ikan memang jago, seperti menangkap ikan dengan tangan kosong di air yang jernih.
Kegiatan itu menjadi rutinitas sehabis main sepak bola.
Sebelum magrib aku dan adikku pulang, dan harus sudah dirumah karena peraturan dari keluarga kami sejak kami kecil. Waktu itu kami sehabis magrib ikut mengaji di surau yang lewati sehabis bermain bola tadi.
Jadi kegiatanku sehabis magrib berangkat jalan kaki keatas gunung, sampai disurau kira-kira satu jam perjalanan. Sesampainya disana, ternyata yang kelihatannya dari jauh surau itu kecil dan terbuat dari kayu yang lapuk.
Setelah kami masuk kedalam tempatnya terlihat kokoh dan terdapat ukiran ornamen dibeberapa ruas tiang penyangga dari daerah ini.

Surau kayu ini penerangannya sangat minim, hanya satu lampu minyak tanah itupun ditaruh didepan meja ustad.
Kami diajar mengaji oleh ustad lulusan pesantren yang berasal dari Jawa, Murid yang belajar saat itu juga lumayan banyak sekitar 25 orang.
Ketika jam delapan malam kami pulang jalan kaki, kami melewati tengah lembah dengan jalan setapak tanah yang sangat gelap. Apalagi kalau habis hujan sering kami jatuh terpeleset.
Saat diperjalanan suara-suara aneh selain hewan ikut mengiringi kami, padahal jalanan ini akan menjadi langganan kami kedepan. Saat pulang mengaji adikku menggandeng erat tanganku karena rasa takutnya, padahal aku sendiri juga takut waktu itu.
Dengan berjalannya waktu empat bulan kulalui tanpa terasa, Selama itu disekolah baru nilaiku cukup bagus karena selalu menempati posisi dinomor satu dalam satu kelas. Baik ulangan harian maupun ujian tengah semester itupun karena didikan mamakku yang keras dan tegas.
Dalam waktu empat bulan aku mempunyai seorang pacar, Namanya Intan. Meski kala itu banyak juga cewek-cewek yang luluh padaku, tapi kuniatkan hatiku dulu ke dia karena sudah mantap kepada Intan.
Selain Intan anaknya cantik dia juga adalah anak seorang pengusaha kaya raya didaerahku. Semenjak ia jadi pacarku dia kerap berkunjung kerumahku yang biasa dilembah, dan dia kenal juga sama semua keluargaku dirumah.
Biasanya ia bersama sopirnya jika kerumahku dengan beralasan belajar bersamaku. Hal semacam itu kuanggap biasalah namanya kita sama-sama anak muda, dengan semangat 45 yang masih membara. Inilah yang menjadi salah satu pelecut semangat belajar dan hidupku.
Waktu itu aku berharap semoga kelak janur kuning bisa melengkung indah dirumahku dan rumahya.

Saat musim panen tiba, hari minggu kami ikut membantu ayah dan mamak dikebun.
Pagi itu aku, Intan dan Niko kekebun yang empat bulan lalu dibabat dan ditanami sayuran. Sedang ayah dan mamak sudah berangkat duluan. Setelah itu, kami menyusul kedua orang tua yang sudah sampai di perkebunan.
Setelah menempuh perjalanan dua jam akhirnya kami sampai dan parkir dibawah pondok (gubug). Gubug yang berada ditengah kebun ini biasa untuk kami parkir dan istirahat.

“Tan kamu tunggu dipondok dulu ya.” Pintaku

“Gak mau yank, aku ikut abang saja” Jawabnya
“Ya sudah tapi sebentar saja ya, kasian kamunya” Kataku

“Ya bang.” Jawabnya singkat

Setelah kami membantu memanen sayuran dikebun sebentar, kami bertiga kepondok sebelah karena untuk melihat suasana baru. Sebelumnya kami sudah ijin kepemilik pondok itu kemarin siang.
Pondok itu milik tetangga sebelah rumah, pondok yang berlokasi dikebun karet tetangga itu seperti rumah panggung tapi besar dan bagus. Setelah sampai di pondok itu kami mulai menikmati bekal yang kami bawa dari rumah.
Saat ditengah acara makan, aku dengar ada suara dibawah pondok panggung.

“Bang siapa yang bicara dibawah.”Kata Niko dengan menghentikan makannya

“Gak tau Nik.” Jawabku pelan

“Emang suara apaan Nik.”Tanya Intan

“Kayak ada orang bicara tapi aku gak ngerti bahasanya” Jawab Niko
Setelah itu Niko menghentikan makannya dan memeriksa kebawah pondok, dia turun sembari melihat kekanan dan kekiri mencari sumber suara.

“Aduuuuuhhhhh…” Teriak Niko dibawah.

“Ada apa Nik” Tanyaku cepat sambil berjalan cepat menghampirinya kebawah.
“Gak tau bang sakit kali, kayak di cubit mamak.” Jawabnya yang masih diposisinya.

“Mana gak ada siapa-siapa dibawah” Kataku pada Niko

“Ya sudah cepet naik keatas.” Perintahku karena kuatir ada apa-apa dengan Niko.
Akhirnya kami bertiga kembali makan diatas pondok tetangga, kami meneruskan kegiatan kami dan tak menghiraukan suara – suara tak jelas itu lagi. Sekitar beberapa menit kemudian tetanggaku pemilik pondok datang.

“Maap pak kami duluan ke pondoknya, untuk makan sebentar.” Kataku
“Iya gak papa, silahkan” Jawab pak slamet yang bersahaja

“Pak slamet, sudah selesai motong karetnya.” Tanya Niko

“Sudah ini mau istirahat sama mak Rinda [sebutan untuk istri pak Slamet]”. Jawabnya
Siang itu kami awalnya bertiga dan harus berbagi tempat dipondok karena pemiliknya datang. Dengan datangnya pak slamet dan istrinya suara-suara tidak jelas itu hilang dengan sendirinya. Mereka ini suami istri berasal dari Jawa, dan sudah lama tinggal disini.
Aku dan Niko juga jarang ketemu orang ini karena mereka juga hidupnya sering dikebun dari pada dirumah. Setelah mereka datang, pak slamet dan istrinya berdua ikut makan siang waktu itu, disaat kami mau kembali kekebun ayah dan mamak.
“Pak tadi kok dibawah ada suara – suara aneh sama jejak kaki aneh dibawah.” Tanya Niko.

“Oalah itu kalau disini disebut orang bunian” Jawab pak Slamet

“Jadi Hati-hati sama orang bunian, jejaknya jangan diikuti.” Jelas pak Slamet

“Orang bunian itu apa pak.” Tanyaku.
Akhirnya pak slamet membetulkan duduknya dan menghadap ke kami. Setengah kakinya terjuntai dibawah panggung, sedang tangannya mulai membakar rokoknya.
Jadi begini “orang bunian itu semacam hantu, hantu yang tubuhnya pendek-pendek berwujud seperti manusia.
Yang membedakan hantu ini adalah telapak kakinya terbalik. Hantu – hantu bunian ini sukanya menyesatkan warga kalau dikebun. Kalau hantu itu tidak suka sama seseorang pasti mereka akan menyerang orang itu dengan cara mencubit seluruh tubuhnya.
Jadi kalian harus hati-hati, jangan ikuti jejak telapak kaki sembarangan. Yang jelas hantu orang bunian ini tidak terlihat bang”. Jelas pak slamet

“Terus tadi yang cubit saya dibawah pondok ini siapa pak.” Tanya Niko
“Kemungkinan hantu orang bunian.” Jelas pak slamet sambil membuang kepulan asap rokoknya

“Karena mereka sering terlihat didaerah ini bang, mulai dari jejak sama panampakan wujudnya saat mereka ketahuan warga dikebun.” Jelas pak slamet.

“Hiiiii ayo bang pulang.” Kata Niko
“Ayo yank.” Pinta Intan yang mulai mendekap ketanganku ketakutan

“Ya sudah pak, saya mau ke tempat ayah sama mamak dulu.” Kataku.

“Ya bang, hati-hati ya! Jangan ikuti jejak kayak dibawah pondok ini” Pinta pak Slamet.

“Ya pak” Jawabku sambil meninggalkan pondok pak Slamet
Siang itu kami ikut kembali memanen sayuran sebentar, setelah itu kami bertiga pulang dengan membawa sayuran yang habis dipanen. Sesampainya dirumah kami duduk-duduk diteras dulu untuk menghilangkan rasa capek.
“Yank kok tanganku biru-biru gini ya?” kata Intan sambil memperlihatkan kedua tangannya kepadaku

Kulihat kedua tangannya, dan wajahnya banyak yang membiru seperti cubitan, aku langsung masuk kedalam rumah untuk mengambilkan air.
Karena kukira Intan kena getah tumbuhan atau yang lain.

“Nih basuh dulu pakai air moga cepet ilang warna birunya” Kataku

Setelah membasuh sekujur tangannya dan sebagian wajahnya dengan air yang kubawakan.
Selesai itu sopirnya datang kerumah untuk menjemputnya, akhirnya dia langsung pulang. Selepas intan pulang, Aku dan Niko mulai membawa sayuran-sayuran untuk di bagikan keseluruh tetangga dan warga yang berada dilingkunganku sampai habis.
Waktu aku pulang sore hari habis membagikan sayuran, perkumpulan bapak-bapak didepan rumahku semakin ramai. Aku lewat dengan cuek saja karena kami tidak ada yang kenal. Lagian temanku Angga juga tidak ada dalam perkumpulan itu.
Roda waktu terus berputar, dibulan kedelapan kami tinggal disitu. Ekonomi keluarga kami semakin menanjak, hasil dari kebun karet yang kami nikmati memang membawa berkah.
Saat itu kami masih bisa mendapatkan keuntungan empat juta per minggu, dengan berjalannya waktu tiap minggu harga karet didaerah kami selalu meningkat. Akan tetapi waktu itu tanggapan masyarakat sekitar sangat berbeda dengan kebiasaan kami.
Pada hari minggu sore saat kami sekeluarga dari kebun, dalam perjalanan tak sengaja samar -samar mendengar perbincangan warga…

“Eh itu keluarga pak Wijaya kebanyakan kerja” mamak x

“Iya tuh, yang dipikir tiap hari dunia melulu” mamak x1
“Bener mak, otaknya cuma kerja sama duit” mamak x

Perbincangan para tetangga ini menyinggung kami, tapi kami ambil sikap diam saja karena masih tergolong baru dilingkungan pelosok ini. Mereka beranggapan bahwa kami terlalu memikirkan harta dan dunia.
Padahal kerja keras dan ulet itu sudah jadi budaya keluarga Ayah dari Jawa dan ibuku suku Batak. Setelah melewati mamak-mamak tadi dengan obrolan yang tanpa sungkan, akhirnya dari kejauhan sudah bisa melihat rumah kami.
akhirnya dari kejauhan sudah bisa melihat rumah kami. Saat kami berjalan mau masuk halaman rumah, tetangga depan rumah kami sangat ramai tidak seperti biasanya.

“Tambah lagi John” Teriak pria x yang sedang tak memakai baju memegang gelas minuman keras sambil berjoget.
“Oi dari mana kalian? nikmati hidup jangan kerja terus.” Kata pria yang memegang botol miras tersebut sambil memandangi kami berempat yang sedang jalan kaki menuju rumah.

“Sudah Deno cepat masuk rumah.” Perintah ayahku dengan tangannya merangkul pudakku.
Dirumah temanku itu berkumpul para pria sekitar 25 orang, tiga lingkaran masing masing berjudi sisanya sebagian mabuk-mabukkan dengan melantunkan musik khas mereka yag keras. Ternyata kegiatan seperti itu mereka lakukan hampir tiap hari menurut mamak.
Aku yang belum satu tahun dilingkunan ini baru sadar ada kegiatan kayak gini, karena biasanya aku dan adikku selepas sekolah langsung main sepak bola dan kesungai.

“Mak sebenarnya mereka siapa kok kumpulnya disini.” Tanyaku yang mulai masuk dihalaman rumah
“Oh yang dirumahnya pak maman itu, biasa orang-orang itu. Anak buah bang maman, gak usah diseriusin.” Jawab mamak tenang

“Angga kan temanmu disekolah dan anaknya pak Maman juga?” Tanya mamakku

“Jadi angga juga ikut mabuk sama judi gitu mak dirumahnya.” Tanyaku lagi.
“Iya bang, jadi kalau abang Deno bergaul sama Angga hati-hati ya. Mamak gak mau abang ikut-ikutan kayak mereka.” Jelas mamakku

“Iya mak.” Jawabku singkat.

Sore itu aku langsung mandi gantian dengan adikku, kemudian aku melanjutkan kegiatan rutin kami disurau selepas maghrib.
Putaran bumi membawa kami lebih jauh, tak terasa waktu berjalan satu tahun lebih. Kami sekeluarga mulai bisa menikmati hasil jerih payah berkebun selama ini. Di saat mamak yang memegang uang banyak, ia tidak membelikan mobil ataupun perhiasan.
Mamak hanya menabungnya di bank dan berencana membelikan kebun karet baru.
Tepat dibulan ketiga belas ayah menanam padi seluas 4 hektar, selang empat bulan kemudian waktu panen tiba.
Hasil dari menanam padi saat itu dibagikan ke lingkungan masyarakat sekitar tempat tinggal kami. Semua itu kami lakukan sebagai rasa sukur atas semua yang diberikan yang esa selama ini.
Berawal dari kegiatan sosial rutin tiap panen semakin banyak, bencana dikeluarga kami dimulai. Pagi di hari minggu saat aku dirumah, aku dan Niko sedang membersihkan halaman rumah.
Meski pagi itu halaman masih tertutup kabut putih tipis kami tetap membersihkan daun daun kering yang terkena embun dihalaman rumah. Tiba tiba ada dua orang pria yang tak dikenal datang menghampiri kami…

“Eh bang mana orang tuamu”? Tanya lelaki memakai kaos biru
“Didalam bang, memangnya ada perlu apa?” Jawab dan tanyaku

“Sudah cepat panggil orang tua kau.” Perintahnya dengan wajah emosi
“Sebentar bang, saya panggilkan.” Jawabku serta langkahku pergi kedalam rumah untuk memanggil ayah serta mamak. Sedang Niko terus membersihkan halaman rumah sendirian.
Sekian menit aku keluar bersama mamak dan ayah dari dalam rumah. Kami bertiga langsung menghampiri mereka diteras yang sudah duduk diteras. Mamak dan ayah berjalan dan ikut duduk diteras…
“Permisi bang ada perlu apa ya bang”? Tanya mamak yang menghampiri mereka berdua sedang aku dan ayah dibelakang mamak

“Ini mak, saya mau ambil tanah milik saya.” Jawab pria memakai kaos itu.
“Abang ini siapa dan dari mana, kok tiba-tiba datang mengaku-ngaku mau ambil tanah kami!!” Tegas mamak

“Saya Agus, dan bapak ini “Heru”. Saya dari desa sebelah, saudaranya Herman [penjual tanah yang kami tempati saat ini]”
Jelas orang yang mengaku namanya Agus, serta tangannya menunjukkan sosok yang bernama Heru

“Ooohhh begitu, Maksudnya tanah yang mana bang?” Tanya mamak bingung mendengar jawaban pria yang bernama Agus
“Ya kebun karet yang pak wijaya garap sekarang” Jawab Agus sambil menunjuk ayahku

“Kebun ini kan sudah jadi milik kami bang, sudah saya beli dari Herman setahun yang lalu.” Jawab ayah

“Ini kebun kami bukan kebun herman.” Bentak Agus
“Eh ini kebun kami beli secara sah pak, saya beli dari Herman!!! Suara keras mamak

“Eh jangan marah mak, ini kebun saya juga. Saya ingin segera kebun saya dikembalikan.” Tegas pria bernama Heru.
“Ya gak bisa pak, tanah serta kebunnya sudah jelas – jelas kami beli.” Jawab Ayah.

“Gak bisa gimana!!! Ini sertipikatnya” Kata Agus sambil menunjukkan copy dua bendel sertipikatnya kepada mamak dan ayah.
Ayah dan mamak mengambil dua sertipikat tanah itu dari Agus, mereka membaca pelan-pelan dan teliti. Sertipikat A dengan luas 7 hektar letak bidang dikebun karet kami, sertipikat B dengan luas 8 hektar letak bidang sama dikebun karet kami,
sesuai nama mereka dilampiran fotocopy ktp agus dan heru dihalaman depan copyan sertipikat itu.
Setelah selesai mamak mengecek sertipikat itu, wajah ayah dan mamak berubah seketika menjadi merah padam seakan terkena bencana yang tak diinginkan.
Dengan cepat mamak bergegas masuk kedalam rumah, untuk mengambil sertipikat kami yang sudah jadi. Sekian detik mamak dengan berjalan cepat sudah kembali keteras dan kembali berkumpul bersama kami.
“Ini sertipikat asli kami” Kata mamak serta tangannya mengangkat sertipikat tanahnya.

Pagi itu kami sekeluarga menjadi bingung mendadak, adikku berjalan perlahan menuju kepadaku karena melihat keadaan mulai memanas diteras rumah kami.
Suasana yang dingin dilembah sudah tak bisa mendinginkan akal sehat mereka. Perdebatan panjang seakan tiada henti, antara mereka berdua yang baru dikenal dengan kedua orang tuaku.
Saat Agus yang mulai tersulut emosi, tangannya mulai mengayunkan kearah ayah dia menonjok ayah…dengan cepat mamak berjalan mendekat disamping ayah dan menepis tangan Agus. Wajah mamak yang sudah terlihat marah dengan cepat mengangkat tubuh Agus keatas dengan kedua tangannya,
tangan mamak langsung membantingnya bagai melempar gelas…

“Brugghhhh” [tubuh agus yang dibanting kelantai teras kami].

Waktu itu aku melihat mamak sudah kerasukan arwah dari leluhur Simalungun.
Tenaganya menjadi belipat lipat sangat kuat dan susah diakalahkan sama orang biasa. Kami bertiga hanya diam mematung tak ada yang berani menghentikan kemarahan mamak pagi itu.

“Kesini kau kalau berani.” Bentak mamak kepada Heru.
“Ayo, siapa takut.” Jawab Heru berjalan menuju mamak dengan kedua tangannya yang sudah terkepal
Tiba tiba tangan kanan Heru secara cepat mulai memukul ke arah wajah mamak, hantaman tangan kanan Heru sedikit mengenai pipinya mamak, mamak hanya diam tak bergeming seakan kena belaian sapu tangan. Tapi kepalan mamak dengan cepat membalas,
tangan mamak langsung menghantam kepalanya tepat dipelipisnya. Disaat tangan mamak sudah megenai kepalanya Heru, dia langsung tersungkur kelantai sedang tangan mamak terus melaju sampai menghantam tembok.

“Bruuuuakkkkkkk”
Pukulan mamak pagi itu sampai menjebolkan tembok depan rumah kami. Setelah itu mereka berdua yang masih terbaring dilantai dengan sadar, mereka terlihat kalau diteruskan berantem tak akan menang dan tahu kekuatan mamak yang besar.
Hanya kode dari kedua kepala mereka yang saling menggangguk dan tanpa permisi mereka langsung lari dari rumahku.

Setelah selesai kejadian dipagi itu, kami kembali beraktifitas seperti biasanya.
Kedua orang tuaku mengganggap masalah ini sudah selesai, kami anggap pagi itu hanya dua orang yang mencari-cari masalah saja. Setelah itu Aku dan Niko kembali ke halaman rumah untuk bersih-bersih.
Waktu semakin siang kami malah main disuguhi bau amis darah yang lama dihalaman, padahal sudah berulang kali sebelumnya kami mencari sumbernya tapi tak pernah menemukan bau – bau tak sedap itu.
Menjelang malam hari pun kami disuguhi bau busuk bangkai dengan durasi yang lama, itupun kami juga tak mengetahui keberadaan sumbernya. Waktu terus berjalan sampai pagi, aku dan Niko menjalankan kewajibanku sekolah sedangkan mamak dan ayah tetap kembali bekerja dikebun.
Setelah pulang sekolah kami melihat ayah dan mamak ketakutan panik serta bingung. Mereka mondar mandir keluar masuk kamar, mereka juga sama-sama menggerutu mengeluarkan bahasa asal masing – masing yang tak kumengerti.
Sore hari yang rencananya kami mau main bola dan mencari ikan disungai terpaksa batal. Aku dan Niko hanya duduk diruang tamu, melihat dan menunggu kondisi mereka tenang. Sekian menit mereka akhirnya duduk diruang tamu bersama kami…
“Mak sebenarnya apa yang terjadi. Kok sedih dan bingung begitu” Tanyaku

“Ini bang orang yang kemarin ribut sama mamak datang lagi kekebun tadi pagi”. Jawab ayahku yang menekuk mukanya kebawah

“Memang kenapa lagi yah.” Tanya Niko penasaran
“Tadi mereka kekebun membawa kawan tiga orang.” Jawab mamak lirih

“Terus mau mereka apalagi mak, kan sudah jelas kita yang punya sertipikat tanahnya?” Kataku
“Gini bang, mereka tadi pagi ada lima orang datang kekebun. Mereka itu Agus, Heru dan kawan-kawannya, mereka membawa sertipikat aslinya masing-masing. sertipikat mereka sesuai dengan letak bidangnya di kebun karet kita.” Jawab ayah

“Kok bisa yah” Jawabku.
“Gak tau bang.” Jawab Mamak

“Terus gimana yah akhirnya” Tanyaku

“mereka memaksa kalau tidak diberikan tanah yang diklaim mereka, ayah dan mamak akan dibunuh tadi pagi. Mereka memaksa dengan menodongkan senapan kekepala mamak dan ayah.
Akhirnya tadi pagi ayah dan mamak putuskan ke balai desa untuk memecahkan masalah ini, tapi didesa kami kalah bang. Setelah semua dirapatkan dan disaksikan semua pihak terkait,
Dengan berat hati bang mamak dan ayah menyerahkan 15 hektar kebun karet kepada mereka berdua.” Terang ayah

“Kok bisa gitu yah?” Jawabku yang tak terima

“Sudahlah bang, abang diam saja dari pada kita sekeluarga kenapa-kenapa.” Sahut Ayah yang terlihat sedih.
“Pak hermannya kemana mak. Apa ayah dan mamak tidak mencarinya”. Tanyaku lagi

“Hermannya menghilang bang, sebelum ayah tadi negosiasi kami semua mencari Herman untuk tanggung jawab. Sekian lama kita mencari Herman, termasuk keluarga dan perangkat desa ikut mencari.
Tapi keberadaan dia tidak ada lagi mulai dari ditempat yang pertama kali dimenunjukkan tempat tinggalnya sampai alamat terakhir.” Jawab ayah yang masih shock

“Sudahlah bang, mak, kita ambil pelajaran dari semua ini, semoga tidak terulang lagi.” Jawab ayah
Sore itu menjalankan waktunya hingga malam, kami semua terpukul akan hal ini. Jadi mulai hari itu lahan kami otomatis berkurang jadi tinggal 10 hektar, padahal kebun karet kami sebagai andalan untuk bertahan hidup.
Sementara si penjual tidak betanggung jawab dan kabur hilang entah kemana rimbanya sampai sekarang.
Malam itu, aku pergi tidur sendirian dikamar dengan membawa beban kesedihan dari ayah dan mamak.
Perasaanku ikut hancur dan tak terima, aku dan Niko berencana untuk mencari keberadaan herman besoknya.
“Kuuuukkkuuuruyuuukkkkk….. Kuuuukkkuuuruyuuukkkkk” [kokok ayam]

“Auuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuhhhhggg” [lolongan serigala]
Aku terbangun kala kokok ayam dalan lolongan serigala memanggil bersahutan, saat aku keluar kamar dan melihat jam diruang tengah ternyata masih jam satu malam. Beberapa saat sebelum aku kembali kekamar,
Niko berjalan kluar kamarnya ia ikut terbangun dan keluar menghampiriku sambil mengucek kedua matanya.

“Bang sudah pagi.” Katanya polos

“Belum Nik” Jawabku yang masih berdiri diruang tengah memandangi adikku ini

“Kok banyak ayam yang berkokok” Tanya Niko
“Gak tau, ayok tidur lagi.” Perintahku pada Niko

“Bang Niko ikut tidur sama abang ya.” Pintanya

“lha kenapa nik” Tanyaku
“Tadi disebelah kamar Niko dari luar banyak orang-orang lagi ngobrol, tapi Niko intip dari lubang kecil jendela sepi bang gak ada orang sama sekali.” Jelas Niko dengan menguap
“Ya udah ayok tidur sama abang malam ini” kataku

Kriiiiiaaaakkkk…kriaaaakkkk….[suara burung yang terus berbunyi diatas rumah kami, aku sendiri tak tahu burung apa juga malam-malam bernyanyi diatas kamar Ayah tiada henti]
“Ya udah ayok tidur sama abang malam ini” kataku
Kriiiiiaaaakkkk…kriaaaakkkk….
[suara burung yang terus berbunyi diatas rumah kami, aku sendiri tak tahu burung apa juga malam-malam bernyanyi diatas kamar Ayah tiada henti]
Mulai malam itu kejadian yang aneh dan tidak lazim mulai bermunculan. Saat itu aku tidak pernah menaruh curiga sama sekali akan tanda keadaan alam sekitar. Aku dan Niko tidur bersama dikamarku berharap besok menjadi hari yang cerah bagi kami.
Saat aku sudah berbaring melirik Niko yang gelisah takut..

“sudah Nik, cepat tidur. Besok kita masih sekolah!” Kataku

“Iya bang.” Jawabnya sambil membetulkan selimutnya.
5. TEROR

Hari itu kami akhiri dengan tidur, keesokan harinya kami beraktifitas seperti biasa. Di malam selanjutnya, waktu aku mau tidur dikamar bersama Niko mendengar pembicaraan ayah dan mamak.
Mereka dengan serius membicarakan masalah kebun karetnya, mereka khawatir jika kedepannya ada yang meminta minta lagi. Apalagi dengan berbagai cara yang mengakibatkan kami dirugikan. Disaat pembicaraan mereka belum selesai, Tiba tiba suara dentuman keras diatap rumahku.
Tepatnya suara itu dari dapur..

"Kratak…Krataakkkk… krataakkkk…..Duarrrrrrrr"

Setelah suara itu berulang kali berbunyi dengan kerasnya, kami sekeluarga tidak ada yang yang curiga sama sekali. Kami beranggapan pohon mangga dibelakang rumah rantingnya patah saja.
Aku pun dan Niko hanya kaget sebentar dan melanjutkan untuk tidur lagi…

Pagi hari seperti biasanya, saat makanan sudah siap didapur. Kami semua berkumpul untuk memulai sarapan bersama, ditengah ayah makan beliau tiba-tiba berkata…
“Eh tadi malam ayah mimpi didekap orang yang menyeramkan, dia tiba – tiba datang menyekik leherku.” Kata ayah yang hampir selesai mengunyah

“Lho kok sama yah?” Sahut mamak

Suasana didapur ketika itu semua menghentikan makannya, dan saling berpandangan antara kami berempat.
“Sama gimana yank.” Kata ayah

“Mimpinya ayah, sama denganku.” Jawab mamak

“Kayaknya ada yang tidak beres?” Kata ayah lirih

“Alah mungkin kelelahan dan kepikiran karena kemaren ada masalah besar” Kata mamak

“Ya udah, sekarang anak anak berangkat sekolah dulu” Perintah mamak
“Ayah dan mamak juga mau berangkat kekebun.” Sahut Ayah

“Ia mak” Jawab kami bergantian
Setelah kejadian mimpi buruk bersamaan malam itu, kami melajutkan aktifitas kami seperti biasa.
MALAM KEDUA

Hari kedua setelah ribut masalah tanah. Disiang sampai sore hari kami masih melanjutkan kegiatanku seperti biasa begitupun orang tua kami. Tibalah malam ini, Malam yang tidak seperti malam-malam sebelumnya.
Waktu kami semua sudah terlelap, aku dan Niko tiba tiba mendengar suara teriakan yang sangat keras ayah dari kamarnya…

Whoiiiii ….Hooooiiii…. Ojjooooooo [Jangan]
Aku bangun karena kaget seketika itu juga, aku dan Niko langsung bangun dan berlari kekamar Ayah, tangganku dengan cepat menggedor pintu kamar orang tuaku.

“Tokkk..tok… tokkk.. Yah/Mak ada apa? Buka mak?” Kataku dari luar ruangan kamar orang tuaku.
“Masuk bang tak dikunci kamar mamak.” Perintah mamak

Aku langsung membuka pintu kamar mereka. Aku melihat ayah yang masih belum bangun. Ayah masih berteriak-teriak kencang serta berkata “Jangan”, “Jangan” “Jangan”!!! setelah itu aku mencoba membangunkannya.
“Yah bangun yah.” ini Deno yah kataku dengan menggoyang goyangkan kakinya
Setelah lama kucoba bangunkan tidak ada reaksi, akhirnya mamak yang sudah mulai panik dan jengkel mencoba membangunkannya.

“Bangun Yah” Teriak mamak dengan menggoyangkan kepala Ayah.
Dalam hitungan detik ayah mulai bangun dan sadar, aku, Niko dan mamak bertiga memandangi ayah yang tampak kelihatan lelah.

“Ada apa yah.” Tanya mamak

“Ayah bermimpi, seperti ada nyekik leher Ayah” Jawab ayah yang sudah duduk dan kepalanya masih tertunduk lesu
“Siapa yah yang nyekik” Tanyaku

“Orang yang berjubah hitam kemarin malam” Jawab sedih ayah

“Sudahlah yah, mungkin ayah kelelahan seharian dikebun. Coba ayah ambil wudhu dan sholat malam setelah itu ayah kalau sudah tenang tidur lagi.” Perintah mamak
“Iya yank” Jawab ayah ke mamak

Setelah itu ayah ambil wudhu dan sholat malam, aku menemani ayah karena beliau masih tampak kusam dan takut. Sehabis keadaan ayah mulai tenang, aku kembali kekamar untuk tidur begitu juga dengan ayah.
Pagi pun datang kami berkumpul didapur untuk makan bersama, waktu itu bau amis didapur masih sangat terasa menggangu. Aku yang sudah merasa terbiasa tidak begitu memperdulikannya. Aku dan Niko langsung duduk menunggu ayah dan mamak untuk memulai sarapan.
Aku melihat Ayah datang dengan lemas, terlihat dari caranya berjalan. Saat ayah sudah duduk dihadapan kami.

“Wajah ayah kok beda hari ini.” Kataku dengan tatapan curiga

“Beda kenapa bang.” Jawab ayah dengan tenang

“Iya, ayah beda hari ini.” Kata Niko ikut penasaran
“Nggak tahu nih bang, rasanya gak enak semua badan ayah.” Jawabnya ayah yang datar

“Wajah ayah pucat kali mak” Kataku yang dengan menunjukkan wajah ayah untuk meyakinkan ke mamak yang baru ikut gabung dimeja makan di dapur.
“Udah gak papa bang, ayah kalian pasti kecapek’an biar hari ini gak pergi kekebun. Istirahat saja dirumah ya yah? Jawab mamak.

“Iya yank, hari ini kita dirumah saja dulu ya.” Pinta Ayah ke mamak

“Iya yah.” Jawab mamak
Setelah obrolan kami didapur seperi biasa kami beraktifitas masing-masing. Ayah pagi itu langsung kembali istirahat dikamar, sedang mamak dirumah melanjutkan pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga.
MALAM KETIGA

Siang hari kami lalui dengan kegiatan seperti biasa. Malam itu sepulang aku dan niko mengaji disurau, aku melihat ayah dirumah duduk diruang tamu sendirian.
Wajah ayah terlihat semakin pucat, meskipun sudah seharian beristirahat. Akupun berjalan menghampirinya…

“Yah, gimana kondisi ayah” Kataku

“Gak papa bang, tenang saja” Jawab ayah

“Wajah ayah makin pucat, apa bang Deno antar periksa yah?“ Kataku
“Gak usah lah bang. Besok pasti ayah sudah baikkan.” Jawab ayah dengan tenang.

Setelah mendengar penjelasan ayah yang melegakan hatiku, akupun pergi kekamar untuk istirahat. Saat itu aku dan Niko tetap tidur satu kamar di kamarku.
Ketika Malam itu kami sudah tertidur dengan lelap, pada saat jam dua dini hari…

DUARRR… DUARRR… DUARRR….BLAAAARRRRRR [dentuman kali ini lebih keras dari malam sebelumnya]
Aku dan Niko langsung terbangun dengan cepat, kami berlari menuju kearah suara dentuman keras itu, sementara dari kamar mamak terdengar…

“Ala ma’jang apanya ini, (aduh ini ada apa sebenarnya : bahasa batak)”? Ucap mamak dengan cepat.
Aku dan Niko yang sudah berada dapur tempat suara meledak, kami berudua memandangi dapur dengan seksama. sesaat kemudian ayah dan mamak dari belakang menghampiri kami. Kami semua melihat dapur kami yang sudah hancur gentingnya dan pecahan genting sudah berserakan dimana-mana.
Ayah malam itu yang masih terlihat pucat berjalan pergi kebelakang dapur kami. Ayah menyelidiki sendiri dibelakang apa yang sebenarnya terjadi.
Ketika ayah habis melihat kondisi dari luar ia berjalan kedalam dapur lagi. “tidak ada apa – apa, “Ini bukan mangga jatuh, tapi aneh sekali malam ini.” Gumam ayah sambil berjalan masuk kedapur. Saat ayah sampai didapur…
“Aneh kali yank gak ada apa – apa diluar, mangga pun tak ada yang jatuh.” Kata ayah

“Masak yah” Jawab mamak

“Tapi yah, kok sampai atap dapurnya hancur semua yah.” Tanya mamak

“Gak tau yank, ayah juga bingung.” Kata ayah
“Yah sudahlah biar besok pagi dibetukan tukang, ayok kita tidur lagi saja.” Perintah ayah.

Saat itu sebenarnya aku dan niko sudah merasa gelisah dan tak nyaman dirumah baru ini, saat aku dan niko berjalan ia mulai berbisik disampingku.
“Bang rumah ini kok makin lama makin aneh ya” Tanya Niko

“Iya nik, abang sendiri juga merasa begitu” Jawabku

“Hiiii….bang, ayok tidur saja” Jawab Niko sambil berjalan cepat ke kamarku.

“Dasar kamu nik,” Jawabku yang takut juga ikut berjalan cepat dibelakang Niko.
Setelah kejadian jam dua dini hari itu kami melajutkan tidur dengan nyaman. Waktu berjalan dengan cepat hingga pagi pun tiba. Saat itu aku masih bersih bersih halaman rumah, sedang Niko masih dikamar mandi. Aku mendengar ayah dari halaman depan sudah teriak teriak marah didapur.
“Yank sarapannya mana?, Yank sarapannya mana?, Yank sarapannya mana?” [Teriakan ayah dari dapur]

“Yank kok masih tidur toh, sarapannya mana? [Teriakan ayah dari dapur lagi]
Aku pun yang mendengar teriakan ayah itu langsung pergi kedalam rumah, karena hal ini sangat tak wajar bagiku. Karena mamak selalu disiplin tidak pernah telat ketika menyiapkan sarapan untuk kami. Saat aku sudah diruang tengah aku bertemu ayah.
“Ada apa yah, kok teriak teriak begitu. Memang mamak kemana yah?” Tanyaku

“Mamak kau itu bang? masak sudah siang gini belum siapin sarapan. Gak tau bang” Jawab ayah berjalan menuju kamarnya mencari keberadaan mamak.
Sesaat kemudian, aku yang sudah didapur masih melihat serpihan genteng dan perabotan yang masih berserakan. Kudengar lirih dari dapur suara ayah…

“Yank yank bangun?” Panggil Ayah pelan

“Yank yank bangun?” Panggil Ayah lagi agak keras
Setelah panggilan membangunkan mamak tidak ada respon, ayah dengan cepat kebelakang mencariku dan Niko.

“Bang ayok, ikut ayah” Perintah ayah

“Kemana yah” Jawabku polos

“Ayok ikut saja, mana si adek kau bang?” Jawabku

“Masih dikamar mandi yah” Jawabku lagi
“Ya sudah ayok kesini bantuin ayah” Pinta ayah yang penuh teka teki

Setelah sampai dikamarnya mamak, aku melihat ayah langsung membuka selimut putih bergaris hitam, dan saat itu terlihat wajah mamak sangat pucat sekali.
Telihat mamakku yang tiba-tiba terbujur lemas sudah tidak berbicara sama sekali. Bibirnya mulai berwarna keputihan seakan terkunci selama – lamanya. Hanya sesekali dengan mengedipkan kedua matanya saja….tanpa terlihat iris dan pupil hitam dimatanya.
Hanya bola mata warna putih yang terlihat saat mamak mengedipkan matanya pelan.

“Mak …mamak….bangun….mak…bangun…!!!” Pintaku dengan mengoyang-goyangkan badan mamak

“Tenang bang...tenang!!!!” Kata ayah serta tangannya memegang kedua pundakku
“Bang mamak kenapa bang.” Sahut Niko yang sudah ada di belakangku

“Gak tau nik” Jawabku dengan mataku mulai menteskan air mata.
“Maaaakkkkk….maamaakkkk…. jangan tinggalkan Niko maakkkk.” Kata Niko berjalan dan memeluk tubuh mamak yang terbaring diranjang dengan menangis, serta suara tangisnya yang mulai menyayat hatiku.

Huuuuu....Huuuuu....Huuuuuuu.....Mamaakkkk....
6. RUQYAH

Dipagi itu saat kondisi mamakku mengagetkan kami sekeluarga, aku langsung mencari balsem dan minyak kayu putih serta bau bauan yang menyengat. Aku mulai memijit mamak, setelah itu minyak kayu putih kuoleskan tipis dihidung mamak.
Dengan caraku ini waktu itu berharap mamak bisa cepat siuman. Tapi setelah beberapa jam usahaku sia-sia. Pagi itu aku hanya sedih memikirkan mamak dan duduk disebelah kakinya, sedang Niko tetap menangis disamping kepala mamak.
“Diamlah Nik, ayo bantuin abang pijitin mamak.” Kataku Pelan

“Iiiiiiyyaaa bang” Jawabnya sambil tangisnya mulai mereda dan ikut mengambil isi balsem yang kubawa.
Ayah yang panik berjalan keluar masuk kamar tanpa bisa berucap kata-kata lagi, memang ciri ayahku jika mendapati kondisi seperti ini langsung panik dan bingung. Pagi itu ayah sudah kehilangan rasa laparnya, begitupun juga kami. Karena hanya tatapan sedih kami saat melihat mamak.
Kami semua masih bingung di pagi itu untuk apa yang dilakukan menangani kondisi mamak, hingga waktu berjalan sekitar jam dua belas siang. Ayah yang berjongkok terdiam didepan ranjang, kondisinya ayah juga sudah terlihat mulai tenang. Ia tiba tiba berucap...
“Bang jagain mamak sama adek kau sebentar, ayah mau cari obat keluar.” Kata ayah yang menatap kami dengan mata memerah bekas tangisnya.

“Iya yah.” Jawabku singkat

Setelah itu ayah pergi keluar dengan motornya, yang aku sendiri tak tahu ia pergi kemana.
Sedang aku dan Niko terus berusaha mengelus, memanggil dan memijit mamak, air mata kami pagi itu seperti tak pernah kering dari pipi kami. Meski tangis kami terhenti, air mata kami tetap meleleh dengan sendirinya.
Jam empat lebih lima belas menit ayah baru datang dengan membawa mobil. Ayah tanpa kompromi langsung memerintahkan kami untuk membawa mamak kedalam mobil.

“Bang ayo bantu ayah angkat mamak kau ke dalam mobil” Perintah ayah

“Iya yah.” Jawab kami bergantian
Dengan sigap aku dan Niko serta ayah langsung mengangkat mamak kedalam mobil. Sore itu hanya kami berlima dengan sopir mulai keluar dari rumah untuk pergi yang membawa mamak. Akupun tidak tahu tujuan ayah sore itu. Saat mobil sudah berjalan, aku mencoba bertanya kepada ayah...
“Yah ini mamak mau dibawa kemana.” Tanyaku penasaran

“Kita bawa ke tempat ustad bang?” Jawab Ayah

“Kok ustad yah?” Jawabku heran, karena aku pikir waktu itu mamak akan dibawa kedokter.
“Tadi ayah diberi saran sama bang Slamet, katanya suruh alternatif dulu. Karena istrinya bang Slamet kemarin juga begitu.” Kata ayah

“Memang mak Rinda kenapa yah” Tanyaku lagi
“Mak Rinda seminggu kemarin setiap pulang dari kebun pasti badannya membiru terus, dan kesakitan. Sampai mak Rinda dua hari tak sadarkan diri.” Jawab ayah

“Terus sekarang mak Rinda gimana yah.” Tanyaku penasaran lagi
“Ya syukurlah bang, sekarang sudah banyak perubahan, tapi belum sepenuhnya.” Jawab ayah.

“Terus ini rumah ustadnya jauh apa tidak yah? Kasian mamak yah.” Kataku

“Iya yah, kasian mamak yah.” Jawab Niko
“Ya kurang lebih satu sampai dua jam bang.” Jawab ayah.

Sekitar dua jam perjalanan kami akhirnya sampai dirumah ustad yang dituju oleh ayah. Dari jauh rumah itu terlihat sederhana dan mempunyai halaman yang luas.
Setelah sopir memarkirkan mobilnya dihalaman pak ustad, Aku dan ayah keluar duluan dari mobil, sedang Niko dimobil menjaga mamak dengan sopir. Kami berjalan memasuki teras rumah kayu bercat putih, terlihat pintu rumah itu masih tertutup.
Ayah yang sudah didepan pintu sedang aku dibelakangnya, setelah itu ayah yang langsung mengetuk pintu..

‘Toook...tokkk...tokk...’

“Assalamu’alaikum” Salam Ayah

Sekian menit kami menunggu, dibukalah pintu itu. Nampak pria memakai gamis putih, dan songkok putih bundar.
“Walaikum salam”. Jawab pria itu dengan menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan dengan kami bedua.

“Benar pak ini rumahnya ustad Rohim” Tanya ayah

“Iya benar pak, saya ustad Rohim Pak.” Jawab Ustad itu
“Saya wijaya dari kecamatan **** pak, saya kesini diberi tahu pak Slamet tetangga kami.” Kata ayah yang penuh harap.

“Ooooh ya…yaa…ada yang bisa saya bantu pak.” Tanya ustad Rohim
“Ini pak istri saya sakit, seperti stroke atau lumpuh pak.” Kata ayah yang masih berdiri didepan pintu ustad Rohim

“Memang istrinya sekarang dimana pak.” Jawab Ustad rohim

“Itu pak dimobil.” Jawab ayah dengan tangannya menunjukkan kearah mobil yang kami tumpangi.
“Oh ya kalau begitu langsung bawa masuk sini pak.” Perintah ustad yang mulai tergopoh – gopoh
Setelah itu aku dan ayah kembali kemobil untuk membawa mamak masuk ke ruang tamu pak ustad Rohim. Aku mengangkat mamak bertiga dengan ayah dan Niko.
Kami langsung membawa keruang tamu pak ustad, setelah sampai didalam ruang tamu kami melihat ada satu ranjang memang sudah dipersiapkan untuk pasien ruqyah. Kami langsung meletakkan mamak diranjang tersebut.
Setelah itu kami langsung disuruh duduk dikursi busa pak ustad dahulu, sedang pak sopir tetap diluar dengan mobilnya.

Setelah kami semua duduk diruang tamu pak ustad memanggil istrinya untuk membuatkan minuman untuk kami bertiga.
Selang beberapa menit sajian sudah dihidangkan dimeja.

“Mari pak diminum dulu.” Perintah istri Ustad Rohim

Kami yang kebetulan merasa haus langsung meminum sedikit teh itu sebagai syarat bertamu.
Waktu itu istri pak ustad memakai cadar biru muda dan gamis putih panjang ikut duduk diruang tamu, menemani suaminya. Saat suasana tegang sudah agak mereda, pak ustad mencoba mencairkan suasana diruang tamu…

“Oh iya, sebenarnya ada apa ini pak wijaya?” Tanyanya kepada ayah
“Begini pak ustad, tadi pagi tiba-tiba istri saya hanya terbaring tergolek lemas diranjang tanpa bisa apa-apa lagi?” Jawab ayah

“Ooohh…begitu, mungkin bisa diceritakan pak sebelum ini apa saja kejadian yang menimpa keluarga bapak?” Tanyanya kembali
Setelah pertanyaan itu ayah menceritakan kronologis kejadian yang kami alami selama tinggal dirumah dari awal sampai sakitnya mamak tadi pagi. Waktu itu sambil bercerita kami tak lupa menunaikan kewajiban kami untuk beribadah.
Setelah selesai bercerita dengan nuansa mulai sedikit tegang akhirnya pak ustad meminta kami berdiri, mereka berdua akan memulai kegiatan ruqyah tersebut.
“Pak wijaya sama anak-anaknya coba bantu saya untuk berdo’a dibelakang saya” perintahnya, seketika itu juga kami bertiga berdiri dibelakang agak menyamping dari posisi beliau sekitar 4 meteran.
“Saya akan mencoba membantu dengan meruqyah bersama istri saya.” Kata pak ustad Rohim yang sudah mulai mengambil posisinya.

Sekilas aku melirik jam dinding waktu itu sudah jam setengah sembilan malam waktu dimulainya.
Istrinya Ustad Rohim berada di bawah kaki mamak sedang ustad Rohim disamping tubuh mamak. Kalimat kalimat suci mulai dilantunkan dari ustad Rohim dan istrinya yang awalnya perlahan.
Lama kelamaan kalimah-kalimah thoyibah yang dilantunkan mereka mulai kencang dan keras, bersamaan dengan itu kedua telapak tangan ustad Rohim diarahkan ke tubuh mamak dari jarak sekitar satu meter.
Setelah itu tiba-tiba mata mamak yang terbaring diranjang langsung melotot tajam keatas, tapi hanya warna putih sedang iris hitamnya tak terlihat.Sedangkan mulutnya langsung terbuka lebar.

“HAHAHAHAHAHAHHAHAHAH”

[suara tawa dari mamak tapi suaranya menyerupai suara laki-laki]
“ADUHHHHH……BRRRUAAAAAKKKKKKK”

Seketika itu, kedua suami istri ini langsung terpental. Ustad Rohim yang tadinya berada disamping mamak terlempar ke pintu. Kuatnya benturan energi itu sampai membuat pintu kayunya ikut roboh seketika.
Sedangkan untuk istrinya langsung terpental mengenai tembok dibelakangnya, ia langsung jatuh tersungkur.

“Astaghfirullah hal adzimmmm…..” Spontan ucap kami
Kami yang terkejut melihat kejadian ini langsung berlari untuk menolong ustad Rohim dan istrinya.
“Ustad tidak apa-apa” Tanya ayah dengan cepat sambil memegang kepala ustad rohim.

Ustad rohim hanya diam waktu itu, terlihat badannya mulai panas dan lemas sedang dari mulutnya memuntahkan banyak darah segar. Hingga darah itu sampai hampir memerahkan sebagian gamis putihnya.
“Mari ustad ayok bangun” kata ayah mulai merangkul pundaknya dan membangunkan tubuhnya diatas pintu kayu.

Sedangkan aku dan Niko berlari menuju istri ustad Rohim, kulihat juga darah muntahan darah segar merembes dari cadar sampai seluruh baju gamisnya.
“Ustadzah tidak apa-apa” Kataku dengan mencoba membantunya bangun untuk berdiri.

“Gak tau bang rasanya sakit tubuh saya” Jawabnya pelan.
Belum selesai kami menolong mereka berdua, terdengar dari luar rumah ustad suara.

“HAHAHAHAHAAHAHHAHAHAHA”
Aku yang kaget serta penasaran, meletakkan kembali tubuh istri ustad Rohim dilantai. Setelah itu dengan cepat aku berlari keluar rumah, saat itu ayah dan Niko ikut menyusulku berlari dari belakangku untuk mencari sumber suara itu.
Sesampainya kami diluar yang kami tuju adalah mobil kami, ditengah langkahku ada suara terdengar samping..

“Ada apa bang, siapa yang tertawa keras tadi.” Tanya sopir yang berjalan kearah kami, dia terlihat juga barusan mencari arah suara itu.
“Tak tahu bang makanya kami keluar mencari tahu siapa yang tertawa itu”. Jawabku yang sudah berdiri dengan pak sopir dihalaman rumah

“Lha terus siapa yang tertawa tadi? baru saja abang terbangun karena pintu yang rubuh tadi, eh malah ada yang ketawa?” Tanyanya yang bingung.
“Apa yang terjadi didalam bang”? Tanya sopir

“Sudah bang nanti kucertitakan, sekarang bang siapin mobilnya kita siap2 balik kerumah.” Perintah ayah

“Okelah bang.” Jawabnya kembali kemobil penuh rasa penasaran
Setelah itu Kami tetap berjalan kesana kemari mencari sumber suara tapi ternyata memang tak ada orang sama sekali sekitar rumah ustad Rohim. Akhirnya kami kembali kerumah Ustad Rohim, kami kembali membantu beliau yang masih tergeletak diatas daun pintu kayunya.
Aku dan ayah membopongnya kekursi diruang tamu. Setelah itu gantian istrinya yang kami bantu untuk berdiri dan berjalan untuk duduk dikursi ruang tamu.
Ayah langsung membantu ustad Rohim membersihkan tetesan darah dari mulutnya, dengan tisu yang berada di meja tamu.
Sedang Niko membantu istri pak ustad membersihkan darah dimukanya. Semua malam itu tampak tegang, belum ada yang bicara satunpun dari kami waktu itu.
Ustad Rohim waktu duduk kepalanya hanya disandarkan kebelakang yang sudah dilapisi bantal,
ia nampak lelah dan tak berdaya malam itu. Begitupun istrinya juga terlihat sangat lemas dan tak berdaya.
Suasana yang hening dan takut malam itu yang kami hadapi, aku dan Niko hanya duduk tertunduk lesu diruang tamu.
Ayah pun mengikuti sikap kami, kebingungan saat itu menambah beban ayah yang semakin berat. kamipun ingin pergi saja waktu itu melihat kejadian ini karena merasa takut dan tak enak kepada keluarga ustad Rohim.
Setelah beberapa saat ustad Rohim akhirnya membuka pembicaraan dalam kondisi yang masih lemah.

“Pak wijaya saya mohon maaf, besok kita lanjut lagi.” Kata Ustad Rohim dengan suaranya yang lirih.
“Iya ustad, saya juga mohon maaf. Saya tidak menyangka akan terjadi seperti ini.” Kata ayah yang merasa sedih akan kondisi ustad Rohim.

“Tidak apa apa pak.” Jelas ustad Rohim

“Baik ustad.” Jawab ayah yang pasrah.
Setelah itu kami berpamitan untuk pulang kerumah, aku serta ayah menggotong mamak kedalam mobil dan langsung pulang. Malam itu usaha kami belum ada hasil, aku yang masih SMA waktu itu tidak bisa berpikir apa-apa untuk menyelamatkan mamak dari sakitnya.
Waktu perjalanan menuju kerumah, ayah mengajak kami semua untuk makan dulu dipinggir jalan kota. Waktu itu mamak sengaja dibiarkan sendirian terbaring didalam mobil karena kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan. Saat kami makan ayah membuka pembicaraan…
“Bang besok kita bawa ke ustad Rohim lagi apa tidak ya?” Tanya ayah
“Terserah yah, Deno sama Niko ngikut saja.” Jawabku sambil makan

“Tapi besok abang buat surat ijin sekolah dulu, karena hari ini abang sama adek sudah bolos. Tetap pikir pendidikan kalian.” Pinta ayah
“Iya yah.” Jawab Niko yang sedih dengan suara berat
Setelah makan-makan kami kembali melanjutkan perjalanan, saat perjalanan pulang kami semua menjelaskan kejadian tadi kepada pak sopir yang sudah penasaran akan kejadian tadi.
Sesampainya kami dirumah Ayah juga berpesan kepada pemilik mobil untuk menjemputnya kembali besok pagi dirumah.
Waktu kami semua sudah dirumah bau busuk malam itu seakan tak mau pergi dari rumah kami, dan suhu rumah kami menjadi panas. Aku sendiri tak tahu waktu itu apa yang sedang menimpa kami.
8. Berjubah Hitam

Sambil menikmati bau busuk yang sudah menjalar diluar rumah kami, aku tak perduli. Kami tetap menggotong dan merebahkan badannya mamak kekamar tidurnya. Aku dan Niko yang sudah dikamarnya dengan setia duduk menunggui mamak disampingnya,
sambil memijit-mijit tubuhnya kembali. Saat sudah malam beranjak larut kami bersiap-siap untuk istirahat, tepatnya disamping ranjang tempat tidur mamak dengan alas tikar plastik. Tapi kami berdua menyiapkan surat ijin kesekolah dulu untuk besok pagi sesuai pesan ayah tadi sore.
Malam itu Ayah masih tertinggal duduk sendirian diteras rumah dengan segala kebingungan dan beban hidupnya. Tiba – tiba dari ruang ruang tamu terdengar…

Bruuaaakk…Klek..klek…[pintu depan yang dibanting terus dikunci ayah]
Ayah berlari menuju kami bertiga yang sedang dikamar, tiba-tiba ayah langsung duduk disamping kami dengan wajah yang gelisah dan takut. Niko pun bangkit serta menutup pintu kamar mamak.

“Ada apa yah?” Tanyaku dengan tenang sambil melipat surat dan memasukkan keamplop putih.
“Ada orang yang mirip seperti dalam mimpi ayah kemarin didepan.” Jawab ayah dengan bibir gemetar

“Maksudnya gimana yah.?” Tanya Niko kembali duduk ditikar plastik disampingku.

“Itu orang yang pakai jubah hitam bermata merah, ditangannya membawa senjata.” Jawab ayah.
Dengan cepat pandangan kami tertuju ke arah ayah dengan tegang, kami melihat beliau mulai panik dan bingung. Ia segera berdiri lagi dan membawa sedikit keberaniannya membuka pintu kamar dan melangkah pergi kearah belakang.
”Jaga adikmu sebentar bang, ayah mau kunci pintu belakang” perintah ayah. Jawabku hanya menganggukkan kepala saja, sedang ayah langsung berjalan menuju belakang, setelah beberapa saat kemudian ayah pun kembali dan berkumpul bersama kami dikamar.
Tanpa ada kata yang keluar dari mulut kami, kami bertiga langsung memulai tidur bertiga beralas tikar plastik. Sekian jam kami tertidur, tiba-tiba mataku terbuka sedikit karena mulai gerah dan berkeringat.
Kulihat Jam dinding kamar mamak yang tepat di tergantung ditembok depanku menunjukkan jam dua belas lebih tiga puluh tiga menit. Dari samping kamar tidur mamak terdengar…

Sreeeekkk…sreeekkkkk…srekkkk...(langkah kaki yang terseret)

Tak berapa lama kemudian diikuti suara….
“Auuuuuu….Auuuuuuuuuuuuuuu…Auuuuuu” (Lolongan anjing dan serigala hutan mulai ramai bersahutan, suara itu seakan dari belakang dan samping kanan kiri rumah kami)
Aku yang terbangun karena suara itu, dengan pelan dan perasaan penasaran mulai bangun dari tidur untuk mengintip dari jendela, meski kulihat ayah dan Niko sudah tidur dengan lelap.
Tangan dan kakiku mencari celah jalan untuk mencari celah atau lubang dari jendela. Saat aku menemukan lubang kecil, mataku mulai melihat keluar, terlihat seorang memakai jubah hitam lengan panjang, kepalanya tertutup kain hitam sedang memanggul senjata dibahu kirinya.
Ia berjalan dengan menyeret dengan rantai seseorang yang terluka dilehernya, orang itu terlihat diam pasrah tak ada perlawanan saat tubuhnya terseret. Tapi orang itu kepalanya bukanlah manusia lagi melainkan berkepala kuda.
Saat mataku mengamati dengan seksama orang berjubah hitam ini tiba tiba dikejutkan saat ia menoleh dan menatapku dengan mata merahnya. Saat aku merasa ketahuan, kepalaku langsung berbalik arah, serta tubuhku yang merespon cepat untuk meminta kembali tidur...
“Bruugghh….aduh..!!!” (aku yang jatuh mengenai tubuh Niko)

Saat itu juga aku bangkit dan langsung menunduk dan membungkam mulut Niko. “diam kau Nik”. Perintahku dengan berbisik, dan akupun terus memandang Niko dalam remang cahaya dikamar mamak.
Alisku naik turun serta mataku yang melotot ke Niko agar tenang sebentar malam itu. Beberapa saat kemudian aku mulai merenggangkan dekapan telapak tanganku yang menempel pada Niko. Serta mataku melihat kearah ayah yang tidur disamping Niko.
Mata ayah hanya melirik kosong keatas tapi tubuhnya hanya diam membisu…”Ada apa bang” kata ayah dalam posisi tidurnya.

“Tidak ada apa – apa yah, hawanya panas yah”. Jawabku pelan
“Jangan bohong bang, ayah juga dengar.” Kata ayah yang masih dalam kondisi yang mencurigakan, karena cuma mulutnya yang bicara, tak ada reflek apapun saat aku jatuh mengenai Niko.

“Nik, kau tenang saja jangan ribut.” Kataku pelan ditelinga Niko.
Aku melangkah pelan kearah ayah, kuamati keadaan ayah yang bibirnya mulai pucat bergetar dan tatapan matanya kosong keatas. Dengan pelan kutempelkan tanganku kepada kulit dahinya. Ternyata badan ayah mulai memanas, serta tangan dan kakinya mulai ikut bergetar pelan.
“Ayah kenapa.?” Tanyaku

“Gak tau bang, habis melihat orang berjubah tadi badan ayah mulai sakit semua dan tidak bisa digerakkan lagi.” Jawab ayah pelan dengan suara yang berat.
“Sama yah...ayah gak papa kan?” Tanya Niko yang mendekati kami

“Gak papa dek.” Jawab bohong ayah untuk menenangkan Niko
Aku dengan cepat mengambil cairan minyak gosok, aku mulai memijit dan memberikan minyak yang hangat ini keseluruh tubuh ayah. Setelah itu aku mulai menyelimuti seluruh tubuh ayah, selesai memijitnya.
“Nik kau tidur saja duluan, biar abang yang jaga ayah sama mamak malam ini” Perintahku. Aku melanjutkan kegiatanku ini sampai menjelang subuh, tak lupa aku juga sesekali melihat kondisi mamak yang matanya masih terpejam.
Dan tetap bau busuk dimalam hari itu semakin menyengat dan menggangu hidungku.

Saat pagi sudah menjelang, kondisi ayah sudah pulih sedikit. Ia sudah bisa bangun meski dengan tubuh yang berat dan masih hangat.
Aku dan Niko memasak dan menyiapkan makanan sebisa kami, untuk kami semua. Setelah memberikan mereka sarapan aku memandikan mamak dengan menyekanya, dan menggantikannya baju yang bersih. Tak lupa setelah itu aku membersihkan semua kotoran-kotoroan mereka yang menempel dibajunya.
Habis itu aku memapah Ayah untuk duduk bersandar dikursi ruang tamu, dengan harapan ia bisa lebih segar pagi itu terkena udara pegunungan, tapi yang sesaat kulihat ia hanya tetap diam dengan keadaan yang tak berdaya.
Beberapa menit kemudian kegiatan pagi dirumahku selesai, waktu itu aku teringat akan perintah ayah untuk ijin sekolah. Aku yang sudah mandi dan berganti baju segera berjalan menuju kerumah Angga.
Waktu itu kabut depan rumah masih tebal, tapi aku tetap saja berjalan menuju rumahnya. Langkah kakiku terhenti didepan pintu rumah Angga, saat mau mengetuk pintu kudengar pelan dari balik pintu, “bang bantuin Angga kenapa?”. “bantuin gimana bang”,
“Ya…bantuin Angga ngedapetin Intan bang”?, masak Deno anak baru disini sudah bisa ngedapetin Intan bang, sedang Angga dari kelas satu sampe sekarang ngincar Intan dan ngedektin saja malah dimaki-maki sama intan!!!”,
“Ya sudah nanti abang bilangin ke ayah Ngga?” Jawab sosok yang dimintain tolong sama Angga.”
Deg….!!!Setelah mendengar percakapan ini, aku langsung balik arah kembali kerumah.
Aku merasa tidak enak apa yang akan kuperbuat, padahal aku mau minta tolong ke angga untuk nitip surat kesekolah. Pikiran negatif pagi itu mulai muncul dan menyelimuti seluruh jiwa yang mulai rapuh ini.
Langkah kakiku dengan cepat kembali pulang terus berjalan melewati ruang tamu, aku melihat sekilas ayah masih dengan tatapan kosongnya tapi aku tetap melangkah dan akhirnya sampai ruang tengah bertemu Niko yang berjalan cepat. “Nik kau antar surat ini ya, ke bang Angga.
Abang sakit perut.” Perintahku dan memberikan dua amplop surat izin kesekolah, demi meredam perasaan yang kacau ini aku menuju kekamar mandi supaya ia tak curiga. Tapi ia malah membisiki ketelingaku..
“Bang kamar mandinya keluar darah dari kran, baunya amis” Katanya sambil membawa handuk dan ketakutan.

“Beneran kau Nik.” Jawabku
“Beneran bang masak Niko bohong sama abang, ya sudah periksa sendiri aku mau ngantar surat saja…Hiiiiiii” Jawab Niko yang berlalu pergi tanpa mandi kerumah Angga.
Aku langsung masuk kamar mandi, dan kulihat tidak ada apa-apa sama airnya. “Paling ini anak mau ngerjain abangnya” gumam dalam hatiku. Saat itu aku dikamar mandi sengaja cukup lama, akhirnya aku ganti baju dan kembali keruang tamu untuk bersiap pergi ke ustad Rohim lagi.
Beberapa saat kemudian Kami bertiga sudah bersiap menunggu jemputan, akhirnya selang menit kemudian dari jalan depan terlihat rumah mobil kemarin mulai masuk kehalaman rumah dan berhenti tepat didepan pintu ruang tamu.
Dengan terbukanya pintu mobil yang depan, pak sopir keluar menuju tempat kami…

“Gimana pak wijaya? jadi berangkat sekarang?” Tanya sopir

“Iya pak jadi,” sahutku yang mulai tak nyaman dirumah ini

“Ayo pak, buka pintu mobilnya.” Pinta Niko
Aku dan Niko segera ke kamar mamak dan menggotongnya keluar, kami secara perlahan memasukkan mamak ke mobil. Kami pelan-pelan menata posisi mamak yang masih terbujur lemas, dengan posisi yang nyaman pagi itu.
Agar ia tak merasa sakit, saat kami sudah selesai didalam mobil terdengar diruang tamu..

“Pak wijaya gak papa kan pagi ini?” Tanya sopir ke ayah penuh curiga

“Iya pak, Cuma badan saya sakit semua dan lemas saja.” Jawab lirih ayah
Mereka berdua akhirnya menuju mobil, setelah kami sudah dialam semua kami berangkat. Seperti hari kemarin kita berangkat menempuh jarak sekitar dua jam perjalanan. Setelah sampai dirumah ustad Rohim, ayah yang duduk didepan langsung keluar.
Begitu juga denganku langsung keluar mobil, sedang Niko tetap berada didalam mobil.

Waktu aku berjalan dibelakang ayah, ustad Rohim sudah duduk dengan istrinya didepan rumahnya. Wajah mereka tampak kelelahan, dan sebagian wajah ustad Rohim membiru.
Ayah langsung menyalami mereka sedang aku juga mengikuti tangan ayah untuk menyalami.

“Pak wijaya, sebelumnya saya mohon maaf.” Kata ustad rohim yang masih berdiri
“Lha memang kenapa pak” Jawab ayah

“Coba bapak wijaya dan abangnya duduk dulu saya jelaskan.” Pinta ustad Rohim yang masih diteras rumahnya dengan memberikan kursi plastik kepada kami berdua.
“Terima kasih pak ustad” Jawabku dengan mulai duduk dikursi bersama ayah.

“Jadi begini pak, tadi malam saya didatangi mahluk-mahluk aneh. Dengan wajah tak berbentuk lagi, ada yang mukanya hancur.
Ada yang bertubuh hewan berkepala manusia dan banyak juga berwajah hewan bertubuh manusia. Jumlahnya banyak pak, saya semalam dihajar keroyokan tidak karuan. Saat malam tadi saya tidak bisa melawan mereka sama sekali, karena saya merasa ada yang mengikat tubuh saya.
Jadi saya seakan-akan hanya diam berdiri sedang mereka memukul menendang bebas karah saya pak” Jelas singkat ustad Rohim.

“Begitu juga dengan saya pak.” Jawab istri ustad Rohim yang sebelah matanya terlihat menghitam.
“Saya juga mengalami hal yang sama dengan abah.” Jelas istri ustad Rohim

Kami berdua dengan ayah menatap heran dan tak percaya yang mereka ucapkan barusan kepada kami. Kepala kami hanya menggeleng pelan begitupun juga ayah,
setelah menggelengkankan kepalanya ayah mulai menundukkan kepalanya dengan wajah lesu. Saat itu aku yang tak terima panik serta bingung langsung bertanya kepada mereka.

“Terus kami harus bagaimana pak.” Tanyaku

“Apa yang sebenarnya menimpa keluarga kami pak.?” Tanyaku lagi
“Saya juga tak tahu bang” Jawab pasrah ustad Rohim.

“Coba sementara bawa kerumah sakit saja pak?” Pinta ustad Rohim.
Ayah masih menunduk mencoba berpikir untuk mencari jalan yang terbaik untuk mamak. Sekian menit ia berpikir akhirnya ayah memutuskan disiang itu untuk membawa kerumah sakit. Saat kami berpamitan mau kerumah sakit ustad Rohim berpesan kepada kami.
“Pak wijaya, hati-hati dirumah bapak. Karena semalam saya lihat pagar ghaib dirumah bapak sudah hancur. Jadi kemungkinan semua mahluk yang tidak suka bapak atau mahluk yang sudah bersemanyam disekitar rumah bapak akan bebas menampakkan diri serta mengganggu bapak.
” Pesan Ustad Rohim.

“Kok tau pak ustad kalau ada dinding ghaibnya.” Sahut Ayah heran dan berpikir keras siapa yang memasang hal semacam itu dirumah kami.

Semenjak ayah dirumah itu memang tidak pernah memasang apapun, baik bersifat ghaib ataupun sejenis yang lain.
“Memang yang membuat pagar itu bukan bapak, kelihatannya penghuni sebelum bapak wijaya” Jelas ustad Rohim.

“Tapi coba bapak wijaya hati-hati saja dan perbanyak berdo’a kepadanya semoga ada jalan.” Jelas ustad Rohim.

“Terima kasih pak ustad atas informasinya.” Jawab ayah.
“Sama-sama pak, hati-hati dijalan.” Ucap ustad Rohim.
Setelah mendengar saran dari ustad Rohim kamipun berangkat kerumah sakit, entah siang itu kami berapa jam perjalanan? Yang pasti kami sampai rumah sakit ialah sore hari.
Selesai mengurus administrasi, mamak langsung mendapatkan kamar. Diruang kamar rumah sakit itu berisi dua orang salah satunya mamakku, ruangannya masih kental dengan rumah sakit lama bekas jaman kolonial.
Dengan keramik yang sudah mulai pecah-pecah serta cat yang sudah lusuh tidak terawat, Dindingnya juga banyak terkelupas oleh zaman. Tapi celakanya kamar yang kami tempati saat itu lokasinya tepat bersebelahan dengan kamar jenazah.
9. Rumah sakit

Kini tinggalah aku berdua dengan Niko yang berada dalam kamar, sedang ayah kembali pulang dan berjanji kembali besok siang. Waktu beranjak malam kondisi ruanganku semakin terasa membangunkan buluk kuduk kami berdua.
Karena penerangan ruangan berwarna putih tidak begitu terang serta depan kamar ada pohon beringinnya yang rimbun. Rimbunnya pohon ini menambah suasana kamar kami menjadi semakin mencekam dimalam hari.
Tetapi untungnya waktu itu dalam kamar ada seseorang pasien lain, pasien disebelah kami hanya bersekat kelambu hijau serta yang menjaga seorang lelaki.
Kami hanya berdua tetap dibawah ranjang mamak, selepas jam tujuh aku dan Niko sudah tak berani keluar kamar.
Kami hanya menjaga dan memperhatikan terus dengan seksama perkembangan mamak. Saat aku selesai menyelimuti mamak dari belakang terdengar lagkah lelaki penjaga sebelah mendekatiku.
“Sakit apa bang?” Tanya sosok laki-laki yang sudah berdiri disampingku sambil memandangi mamak yang tergolek diranjang.

“Stroke bang?” Jawabku pelan dan asal. Karena waktu itu vonis dokter belum pasti dan berubah-ubah diagnosanya.
“Abang rumahnya mana, itu siapa abang?” Tanya laki-laki paruh baya itu

“Rumahku di daerah ****, ini mamak aku bang.” Jawabku yang sudah selesai menyelimuti mamak sampai lehernya.
“Siapanya abang yang sakit itu?” Tanyaku balik dengan melempar pandangan keranjang pasien sebelah.

“Kakak aku bang.” Jawabanya

Setelah sedikit perbincangan itu ia kembali duduk ketempat asalnya, begitu juga dengan aku.
Rumah sakit yang kutempati saat itu memang dimalam hari sangat sepi, saat jam sembilan saja tidak ada orang yang lewat satupun dilorong depan kamar. Waktu jam dinding mulai menunjukkan angka sebelas lebih dari luar kamar terdengar…
Huuuuu….Huuuuu…Huuuuu [suara tangisan perempuan]

Aku yang tadinya masih rebahan ditikar plastik dengan keadaan yang belum tidur, akhirnya bangun. Aku memperhatikan sebentar penduduk ruanganku semuanya terlihat sudah tidur dengan pulas.
Aku yang masih belum tidur dengan perasaan penasaran mulai mencari sumber suara tersebut. Pelan – pelan kudekatkan kepalaku kejendela, Setelah kepalaku tepat berada dijendela kulihat ada sosok wanita memakai baju perawat putih-putih duduk dahan pohon beringin sedang menangis.
Setelah kutahu hal aneh itu aku pun kembali dengan cepat untuk tidur dibawah bersama Niko. Waktu aku meringkuk disamping Niko dan berharap malam ini cepat berlalu,
semakin aku mencoba memejamkan mata semakin kumendengar dengan jelas lengkingan tangisan perawat yang berada dahan pohon beringin itu. Sampai jam tiga dini suara tangisan itu sayup sayup mulai menghilang dengan sendirinya, baru setelah itu aku bisa tidur dengan tenang.
Saat pagi menjelang, kakiku mendapat goyangan pelan dari kanan dan kiri…

“Bang bangun bang…” Kata Niko yang sudah duduk dibawah kakiku.

Akupun langsung terbangun dan pergi kekamar mandi diluar untuk cuci muka dan sekalian mandi.
Suasana pagi pertama kali saat aku dirumah sakit ini sangat asri dan tenang,Tapi tak asri dan nyaman dikala malam hari. Seperti biasa dikala pagi hari semenajak mamak sakit aku memandikan mamak dan menyuapi makanan yang bisa masuk kedalam mulutnya sambil menunggu kedatangan ayah.
Dengan penantian yang panjang, akhirnya siang hari ayahku sekitar jam dua belas baru datang, beliau hanya mengantar baju ganti kami bertiga dan uang untuk kami yang menjaga mamak dirumah sakit.
Setelah itu ia pulang lagi karena harus melanjutkan bekerja dikebun, meski kondisinya fisiknya terlihat sakit juga.

Sore hari saat aku memandikan mamak lagi, tingkah yang mencurigakan mulai muncul.
Kegiatanku sore itu yang dilihat oleh penjaga pasien disebelahku seakan kegiatan yang aneh. Saat itu juga ia mendekat kepadaku ia berbisik…

“Yang sabar bang, sebentar lagi mamak kau juga mati.” Kata laki-laki ini.
Dalam hati kurang ajar ini orang, kalau bukan dirumah sakit dan jaga mamak pasti ia akan kuhajar ditempat. Tapi sore itu pikiran yang sempat terbesit dalam hatiku akhirnya kuabaikan saja. Setelah itu aku hanya menanggapi dengan senyum...
“Bang tadi malam dengar suara perempuan yang menangis tidak?” Tanyaku

“Biasa itu bang, hampir tiap hari juga begitu.” Jawab tenang pria ini
“Deg...Jadi abang sudah tau?” Tanyaku lagi, sedang Niko yang mulai mendengarkan pembicaraanku hanya bengong menatapku, karena ia tak tahu hal yang terjadi semalam.

“Ya sudah bang, aku kan sudah satu minggu disini.” Jawabnya dengan kembali duduk disamping ranjang saudaranya.
“Tapi jangan dicari suaranya bang, bisa-bisa yang nangis itu ngikutin abang. Kayak penjaga dikamar sebelah.” Jelasnya lagi. “Iya bang” Jawabku singkat

Aku hanya diam takut dan bergumam dalam hati tak mau berurusan dengan perawat hantu dipohon beringin itu.
Saat kegiatanku mulai menyuapi mamak, Niko bangkit dari duduknya dibawah. Ia dengan perlahan mendekatiku…

“Benar bang, ada yang nangis tadi malam.” Tanya Niko penasaran
“Benar Nik, tenang saja. Kan disini ada abang, sama abang sebelah.” Jawabku untuk meredam ketakutan Niko.

“Tapi aku takut bang” Sahut Niko yang kembali duduk dibawah.

“Sudah Nik kau mulai tidur jam tujuh saja? Biar abang yang jaga mamak waktu malam.” Perintahku
Setelah itu Niko mengikuti perintahku untuk tidur saat jam tujuh lebih. Sedangkan aku masih terjaga hingga malam hari. Waktu menginjak jam setengah dua belas malam, suara tangisan perawat itu sayup-sayup mulai terdengar.
Saat itu aku langsung mencoba tidur meringkuk disamping Niko. Tapi dari kamar sebelah terdengar suara..

Klotakk…klotak...klotak…[suara dari loker mayat]

Kreekkk..krekkkk..krekkkk [suara tangan yang mencakar tembok]

Entah suara apa itu, yang jelas dari ruang jenazah.
Semacam suara yang mau keluar dari loker mayat tapi tak bisa, serta suara tangan mencakar dinding kamar. Padahal malam itu sudah menunjukkan jam dua dini hari, aku sendiri yang setiap malam ingin tidur dengan tenang tapi tidak bisa karena suara-suara itu terus menggangguku.
Setelah jam tiga lebih barulah suara-suara itu kembali reda dan mulai menghilang. Sukurnya Niko saat malam hari bisa tidur dengan pulas, jadi saat siang hari ia bisa menjaga mamak sedangkan aku bisa tidur.
Hari ketiga tidak seperti biasanya ayah datang lebih pagi, ia merasa badannya sakit dan tidak berkebun lagi hari itu. Pagi itu ayah ikut istirahat disampingku serta aku mulai memijitnya, karena kukira ia kelelahan saja. Setelah jam menunjukkan pukul empat ayah kembali pulang.
Setelah itu saat aku sedang makan sore dengan Niko pasien sebelah kami tiba – tiba berteriak keras…

An****gggg…..*******, semua kata-kata kotor diucapkan dengan keras berulang-ulang…

Panas …sakit…. Panas …sakit ….Ya allah…… A****ngg……

AKHHHHHHH
Setelah teriakan terakhir itu pasien disebelah ranjang mamakku meninggal dunia. Saudaranya hanya menangis histeris, serta memeluknya. Dia merasa tak terima kalau saudaranya sudah tiada, aku masih terdiam dan tertegun melihat hal ini.
Setelah beberapa detik aku putuskan untuk pergi mencari perawat untuk membantu pasien disekamar denganku yang meninggal. Setelah semua selesai diurus dan mereka pindah kekamar sebelah yaitu kamar jenazah, sekarang tinggalah kami berdua yang berada dikamar itu.
Mulai Malam itu menjadi malam yang menakutkan bagiku, karena harus berjaga dimalam hari sendirian. Saat suara tangisan muncul lagi dimalam itu sekitar jam dua belas lebih, aku hanya duduk memandangi mamak dari bawah.
Pandanganku jelas sampai keranjang kosong bekas pasien meninggal tadi sore, karena pembatas kain dibuka total. Aku hanya diam duduk berjongkok memegang erat kakiku sedang daguku menempel dilutut.
Samar – samar terlihat pria berwajah pucat pasi yang tadi barusan meninggal bangun dari ranjangnya dan berjalan keluar dengan kaki tanpa menempel ke lantai. Saat kejadian itu langsung kubenamkan wajahku ditengah lutut yang mulai bergetar ini.
bersamaan dengan getaran kakiku ada tangan yang menyentuh kakiku, saat kulihat..

“Bang takuuutttt…” bisik Niko yang ternyata sudah bangun dan habis melihat orang itu pergi keluar.
Dia akhirnya ikut meringkuk ketakutan dan mulai melingkarkan tubuhnya di kakiku dalam keadaan berselimut.

Aku hanya diam serta tetap membenamkan wajah dalam tekukkan lututku dan mengelus pelan kepalanya Niko yang mulai menempel dikaki kananku.
Dalam hati sudah menjerit sejadi-jadinya, mau laripun kami tak bisa, karena harus jaga mamak. keadaan yang membuat kami harus bertahan walau rasa ketakutan kami rasakan.

Seiring berjalannya waktu seminggu sudah kami jalani dirumah sakit tanpa ada perubahan apapun pada mamak,
tapi kamipun harus bertahan dengan kebingungan akan kondisi mamak dan ketakutan akan hantu yang tiap malam menangis. Berlanjut dalam minggu kedua ini kami lalui juga seperti malam-malam sebelumnya,
tetap ditemani tangisan suster dimalam hari kadang suara langkahnya ikut menemani juga. Bahkan suara rintihan serta suara suara yang lain dari kamar mayat sering bermunculan selepas jam dua belas malam.
Diakhir minggu kedua sekitar jam sepuluh malam terdengar suara dari depan kamar mamak…

Plok…plok suara sepatu pantofel beriringan menuju kamar sebelah

“Bawa ia masuk kekamar mayat, kunci dari luar.” Kata pria ke 1
“Ya pak, katanya ia jago dan paling berani” Jawab Pria 2

“Biar tau rasa dia” Kata pria ke 1

Saat aku melihat dari jendela ternyata ada dua orang aparat yang berseragam berjalan kembali dari ruang mayat, serta dua petugas kamar jenazah dibelakangnya.
Wajah mereka terlihat kesal dan bersikap ingin memberi pelajaran untuk pria yang dikunci dikamar mayat. Setelah itu jam terus berputar menunjukkan angka dua belas, tangisan perawat dari pohon beringin kembali dimulai. Terdengar dari kamarku…
“Huuuuuu….huuuuu…huuuuu”(suara tangisan dari pohon beringin)

Setelah mendengar suara ini ganti suara berasal dari kamar sebelah…

Brakkk..braakkkk..brakkkk…tolong paakkkk [suara pintu kamar sebelah digedor-gedor dan suara teriakan pria dari dalam kamar mayat]
Ampun pak…ampun…ampun….ampun….huuuu…huuuu..huuuu…mayatnya bangun pak….tolong pakkkk… Huuuuu..huuuu (suara tangisan dari ruang sebelah)
Tangisan dan gedoran ruang sebelah itu terjadi sampai jam dua dini hari, Niko yang sebelumnya tidur akhirnya terbangun dan tak bisa tidur lagi karena suara dari sebelah yang keras tiada henti.
Kami berdua malam itu serasa senam jantung, disisi lain suara hantu mulai terdengar disisi lain suara orang meronta-ronta yang ketakutan dari kamar sebelah. Malam itu aku dan Niko hanya duduk berdua dengan melantunkan do’a sebisa kami.
Beberapa saat kemudian suara langkah para aparat dan petugas rumah sakit datang untuk membuka kamar mayat dan mengeluarkan pria itu. Mereka berjalan kembali melewati depan kamarku dan mulai membuka kamar sebelah…

“Gimana enak rasanya?” Kata pria 1
“Katanya jagoan….Plakkk.” Kata pria 2 dengan suara tamparan kerasnya

“Ampunn.. pak…huuu..huuu?” Jawab pria yang habis ditampar dan mulai keluar dari dalam kamar mayat.

“Katanya paling jago, gak takut mati. Kok udah nangis -nangis” Kata pria 2
“Ampun …pak…! Jawab pria itu lagi
Setelah sedikit obrolan dari depan kamar sebelah itu, mereka pergi melewati lorong jalan depan kamar kami.
Waktu berputar sampai akhir minggu keempat, mamak masih dirawat ditempat yang sama.
Dua hari sebelum pulang, saat malam hari sekitar jam satu malam aku mendengar langkah kaki mulai masuk kekamar kami.

Kletak…kletak…kletak

Waktu itu aku sudah tiduran dan pura-pura tidur, dalam celah selimut yang aku tutupi sampai kesekujur tubuhku.
Mata ini hanya melihat dari celah kecil selimut sepatu hitam berjalan tanpa menyentuh lantai tapi berbunyi. Waktu itu aku diam saja hanya mengamati dan berdoa sebisanya, dia berjalan dan berhenti tepat disamping tempat tidur mamak.
Aku sendiri tak tahu apa yang ia perbuat, sementara mulutku dengan cepat membisu sedangkan berdo’anya berganti dalam hati. Dalam hatiku yakin bahwa ia adalah hantu perawat,
sekian lama akhirnya perawat ini kembali keluar tapi waktu ia berjalan sepatunya tak menempel ke lantai dan sudah tak bersuara lagi. Saat itu aku langsung melanjutkan kegiatan pura-pura tidurku sampai tertidur beneran hingga pagi.
Pagi telah tiba, setelah kejadian malam tadi, aku pun diam dan tak menceritakan ke Niko. Siang seperti biasa ayah datang dan memutuskan untuk membawa mamak pulang besok siang, karena selama itu mamak tiada perubahan sama sekali.
Selama empat minggu pula aku dan Niko sering kali mendapati suara tangisan, dengkuran dan jeritan dimalam hari, kadang bau busuk dan amispun memenuhi kamar kami. Selama itu pula setiap habis jam tujuh malam kami tetap tidak ada yang berani keluar kamar.
Kelebatan bayangan putih dan tawa perempuan juga sering terdengar dikamar kami, tapi dengan semua kejadian itu kondisi mamak malah semakin sering menutup mata.

Malam terakhir sebelum kami pulang jam setengah dua belas, aku yang masih terjaga seperti biasa.
Mendengar ketukan pintu dari depan kamarku.
Toook..tokk..tokk..[suara ketukan dari jendela kaca diatasku]

Saat mendengar itu, aku langsung mencari sumber suara.
Saat sampai dijendela kepalaku yang menoleh kekanan dan kekiri hanya pemandangan kosong diluar dan tiada suara tangis perawat di malam itu. Kejadian ini berulang kali, sampai akhirnya. Perawat yang biasa menangis ini tiba-tiba muncul duduk diranjang sebelah mamak yang kosong.
Dia duduk sendirian diranjang menatapku dengan tatapan kosong, ia memakai rok putih panjang. Tapi perawat itu kakinya tak terlihat hanya rok putih lusuhnya yang bergerak kedepan dan belakang. Sedang wajah hantu ini menghitam, serta kedua matanya ikut menghitam legam.
Bekas darah sedikit terlihat dari samping kanan kiri matanya, dan juga rambutnya panjang sebahu yang cak-acakan.

Saat melihatnya aku langsung kembali duduk berjongkok dan membenamkan kembali wajahku kedalam lutut. Tanganku memegang erat-erat kedua kakiku.
Sedang Niko tertidur pulas dengan posisi tak beraturan disampingku.

“Bang tolong saya bang…” suara dari arah wanita hantu perawat ini.

“Bang tolong saya bang…” suaranya lagi…

“Bu tolong jangan ganggu saya…” Jawabku cepat dengan ketakutan
Waktu itu aku cukup lama membenamkan wajahku dalam lutut, saat aku kira sudah aman. Waktu kurasa suara itu suda tak terdengar lagi, aku memberanikan diri untuk mulai mengangkat kepalaku kedepan melihat hantu itu lagi…
disaat bersamaan sesuatu yang dingin mulai menyentuh lengan tanganku. Ternyata tangan hantu perawat itu yang mulai memegang lengan kananku. Spontan saat aku melihat tepat didepanku hantu itu berhadapan saling berjongkok bertatap muka pas didepanku..
“Bang tolongin saya bang….” Suaranya pelan dan mulutnya mengeluarkan bau busuk dan terlihat sedikit belatung dibibir dan lidahnya.

Aku langsung memejamkan mata dan berjingkrak-jingkrak naik turun dalam keadaan jongkok…

”AKKKKKKKKKKKHHHH…”
Dalam kondisi sudah tak tahan lagi dengan ketakutan tiba-tiba badanku lemas dan pandanganku mulai gelap, setelah berteriak keras aku sudah tak ingat lagi.
Pagi sudah datang aku yang masih pingsan bangun dengan dikasih bau minyak kayu putih dihidungku oleh Niko…
“Bang bangun udah siang, bantuin ayah ngurus administrasi”. Kata Niko yang berada tepat didepan wajahku.

“Sialan” bikin kaget saja kau Nik. Kataku yang bangun dengan kaget dan mengucek mata dahulu.
“Susah amat bangunnya bang” Gumam Niko sambil menutup botol minyak kayu putih ditangannya. Aku yang masih takut dipagi hari karena mengingat peristiwa tadi malam, kuputuskan langsung kekamar mandi.
Waktu berjalan kekamar mandi sekilas kulihat ayah dengan wajah yang pucat sudah mulai bersiap-siap membereskan barang-barang untuk dibawa pulang.
10. Tumbang Lagi

Selesai mandi aku bersiap dan langsung mengurus administrasi untuk mamak. Ini kulakukan karena ayah berpendidikan rendah dan tidak mengerti hal semacam ini. Setelah sampai diruang admin kulihat ada dua orang petugas perempuan yang melayani.
Saat sampai diruangannya, mereka langsung kuberitahu nama dan beberapa lembar dokumen tentang mamak, pelayanan pagi itu agak lambat dalam memprosesnya. Ketika sedang menunggu agak lama, aku putuskan untuk duduk sementara dikursi tunggu depan ruang itu.
Beberapa menit kemudian nama mamakku dipanggil untuk membayar, selesai membayar aku memberanikan diri untuk bertanya kepada mereka, tetang hal yang menjadi ganjalan selama aku tinggal dirumah sakit ini…
“Bu sebenarnya saat tengah malam ada yang menangis itu siapa?” Tanyaku dengan rasa penuh penasaran kepada mereka.

“Dimana bang?” Jawab petugas perempuan yang sedang menghitung uang ditangannya.

“Itu bu, disebelah kamar mayat yang depannya ada pohon beringin.” Tanyaku lagi
“Ooohhh biasa itu bang, rata-rata semua orang yang disini sudah tahu.” Jawabanya petugas perempuan yang setengah cuek kepadaku

Dalam hati ‘aku tak menyangka betapa terkenalnya hantu perawat itu sudah menjadi buah bibir disini. Syukurnya hari ini aku sudah bisa pulang.’
“Memang abang pernah ketemu hantunya” Tanyanya yang mulai serius dan menatap kearahku serta menghentikan kegiatannya sejenak.
“Iya bu, tadi malam dia mendatangiku sampai kamar, ia mengatakan terus minta tolong begitu bu.”Jawabku yang mengadu kepada mereka berdua.

Sedang Petugas yang menghitung uang itu hanya menggelengkan kepalanya sambil berbisik dan menyenggol pelan pundak rekannya yang lagi menulis
kuitansi ”mulai berulah lagi hantu Rina itu”. Petugas yang menulis hanya diam dan ikut menggelengkan kepala saja. Selanjutnya Petugas yang habis menulis tadi memberikan kuitansi lunas kepadaku. “ini bang, simpan baik-baik.
” Katanya. “Iya bu” jawabku singkat.

“Tak apa bang, hari ini abang kan sudah pulang jadi nanti malam abang sudah tidak dengar lagi tangis mantan rekan kami yang sudah menjadi hantu itu” sahut petugas perempuan yang sebelumnya menghitung uang tadi.
Aku hanya menatap heran, dan penuh tanya mengapa juga hal demikian mereka jadi terbiasa dengan keadaan ini. Tanpa pikir panjang kakiku berjalan langsung kembali kekamar dan membuang rasa takut akan tangisan hantu itu, aku ingin secepatnya membawa mamak untuk cepat pulang.
Sampai dikamar ternyata semua barang tertata rapi dan sudah siap untuk pulang. “Ayok bang”. Kata ayah mengajakku pulang. Akhirnya Kami semua keluar ditemani dua petugas pria yang mengantar dengan mendorong ranjang mamak sampai depan rumah sakit.
Saat kami semua sudah masuk mobil, perasaanku mulai lega dan sedikit tenang. Beberapa jam kemudian kami semua sudah sampai dirumah. Sesampainya kami secara umum beberapa tetangga dekat dan jauh mulai datang untuk menjenguk mamak,
tapi namanya dipedalaman tetangga yang dekat serta jauh pun cuma sedikit. Waktu menjelang sore para penjenguk dirumah sudah mulai pulang satu persatu. Sampai akhirnya jam tujuh malam rumah kami kembali sepi sepertia biasa.
Waktu beranjak Malam, suasana dan sikap ayah semakin aneh tapi aku tak tahu apa penyebabnya, padahal ayah tiap hari juga tidur di rumah. Malam itu kami berempat tidur diruang tengah, dengan posisi berjajar rapi lesehan beralaskan kasur.
Posisinya aku berbaring disebelah kanan mamak serta ayah, sedang Niko disamping kirinya. Saat Punggungku mulai menyentuh kasur langsung terasa nyaman dan berharap bisa tidur lelap malam ini karena lama tidak tidur dikasur.
Kulihat dalam tidur terlentang Jam dinding sudah menunjukkan waktu pukul sepuluh malam, sekilas kuamati mereka dari samping yang sudah lelah bersiap tidur tanpa memasang selimut. Sesaat mata mulai terpejam, tangan ayah mengelus pelan pundak kananaku…
“Bang, sudah ngantuk”. Kata ayah lirih

“Iya yah.” Jawaku sambil menguap

“Kalau ada apa – apa dirumah ini jangan dihiraukan, atau setidaknya abang beritahu ayah.” Terang ayah

“Memang ada apa yah?” Tanyaku penasaran sembari menahan kantuk.
“Gini bang, sejak ayah dirumah sendirian banyak penampakan dan suara-suara aneh dirumah bang.” Jawab ayah yang membuatku takut.

Mungkin nasibku habis dirumah sakit sebulan diganggu dengan hantu perawat, dirumah malah ditakuti lagi sama ayah.
Aku gak habis pikir apa yang sebenarnya terjadi dirumahku ini.

“Tapi tenang saja bang, ada ayah juga disini, besok abang sama Niko sekolah saja. Biar besok ayah yang jaga mamak.” Perintah ayah
Iya juga aku sudah lama gak sekolah hanya beberapa kali dijenguk sama temen, tapi guru-guru sama Intan juga tak ada kabar sama sekali dalam sebulan ini.

“Iya yah” Jawabku langsung membetulkan posisi untuk mulai tidur dengan nyaman.
Disaat tidurku sangat lelap sayup-sayup aku mendengar suara pelan dari kamar mandi …

“Kricik..kricik..kricik…(suara air dari kran)

Suara ini cukup lama kudengar tapi setelah itu berhenti, dan setelah itu suaranya muncul kembali.
Suara ini berulang kali dari kamar mandi seolah olah kran itu dibuat mainan. Dalam keadaan setengah sadar aku berpikir ada salah satu anggotaku yang kekamar mandi, tapi setelah aku sedikit membangunkan kepalaku,
dengan menoleh kekanan dan kekiri kulihat semua anggota keluargaku masih lengkap tidur dikamar tengah ini. Dalam keadaan terjaga sendirian dan perasaan takut akhirnya aku biarkan saja dan melanjutkan untuk tidur kembali.

***
Nyanyian kokok ayam mulai terdengar dipagi hari selesai subuh, aku yang terbangun bersiap dengan cepat untuk memulai kegiatan dipagi hari. Hari itu aku kembali sekolah dengan Niko, sewaktu di sekolah aku sempat berpapasan dengan Intan tapi ia seolah tak mengenalku sama sekali.
Sikap dan pandangannya sudah berbeda padahal dulu ia selalu ingin tahu apa yang kulakukan sehari hari lenyap seketika. Sikap dan perubahan yang aneh dari Intan membuat diriku berpikir untuk tahu diri dan segera mencoba untuk melupakannya meski rasa sesak didada.
Waktu pulang sekolah kegiatanku seperti biasa, dengan menjemput Niko lebih dulu dan kami pulang bersama. Setelah sampai dirumah aku langsung merawat mamak seperti biasa, setelah itu aku tetap dirumah dan kegiatan rutinku dulu sehabis pulang sekolah mulai kutingglakan.
Malam hari saat aku masih diruang tamu untuk belajar, saat jam mulai menunjukkan angka sebelas aku masih asik membaca diruang tamu.
Tiba-tiba dari dalam aku melihat pancaran cahaya kuning oranye sebesar bola basket terbang mendekati rumah kami dan ia mendarat ditengah halaman rumahku dengan pelan.
Saat melihat kejadian ini kurasa aneh, aku langsung berdiri dan bergegas melihat cahaya itu dari jendela ruang tamu.

Saat kulihat Cahayanya sampai menempel ketanah, dengan pelan-pelan cahaya mulai meredup dan hilang.
Aku yang sudah berada didepan jendela langsung keluar dari rumah mencari tau apa yang sebenarnya. Saat sampai ditempat jatuhnya cahaya itu ternyata tidak bekas apapun, “apa yang sebenarnya terjadi” gumam lirihku.
Karena kulihat malam itu hanya rumput tipis yang hijau yang terkena kabut malam.

Setelah Melihat kejadian cahaya itu, dengan cepat aku berlari kembali masuk kedalam rumah berniat untuk menanyakan kepada ayah.
Waktu aku sampai diruang tengah ayah memang belum tidur, terlihat ia masih memegang remot dan melihat TV...

“Yah barusan ada cahaya yang turun kehalaman depan.” Tanyaku yang terus berjalan mendekati ayah yang sedang tiduran.
“Cahaya apa bang.” ucapnya yang masih tenang dan badannya tertutup selimut meski ruang tengah hawanya panas.

“Gak tau yah, kayak bola bercahaya warnanya kuning oranye gitu yah.” Jawabku yang mulai duduk disampingnya
Dengan pelan ayah mulai menoleh kearahku dan memperhatikan apa yang barusan kuucapkan. Ia mulai bangun membetulkan duduk bersila serta menaruh remote yang ia pegang.

“Sini bang” Perintah ayah pelan dengan suara berat

“Iya yah” Jawabku singkat.
“Seminggu yang lalu ayah juga melihat cahaya sebesar bola itu melewati dapur belakang rumah kita.” Jawab ayah dengan wajah tegang.

“Kira-kira itu apa yah” Tanyaku pelan yang tak ingin membangunkan Niko.
“Kurang tau juga bang. Sudahlah bang ayo tidur saja lagian sudah malam.“ Jawab ayah serta mematikan TV.

Setelah itu aku tidur berjejer dengan ayah. Sekilas kulihat Niko yang tidur disamping kanan mamak sudah tidur pulas, sedang mamak masih tetap diam membisu terbaring.
Padahal malam itu diluar kabut tetap turun dan dingin akan tetapi didalam rumah terasa panas. Jam berlalu malam pun terus berjalan…

Kletek..kletek…kletek…Duuuuaarrrr…..[suara dentuman keras dari arah kamar Niko]
Aku langsung terbangun karena kaget dan mencoba membangunkan ayah, tapi ayah sudah bangun dan duduk memandang arah suara dentuman itu. Aku yang sudah duduk karena suara itu mencoba mendekat ke ayah..

“Suara dari apa itu yah?” Tanyaku dengan berbisik
“Tak tahu bang, kedengarannya dari kamar Niko bang” Jawab ayah tenang

Kami berdua dengan pelan melihat dan mulai memasuki kamar Niko, aku menyalakan saklar lampu didepan kamar Niko sedang ayah langsung masuk kekamar Niko lebih dulu.
Saat kami sudah sama-sama dalam kamar kulihat genting dan plafon diujung kamar Niko sudah jebol. Aku memandang lubang itu sebesar nampan, dan puing – puing genting dan asbes berserakan dikamar niko.

“Apalagi ini.” gumam ayah dengan menggelengkan kepalanya.
“Kenapa ini yah.” Tanyaku

“Sudah bang kau balik tidur saja, besok ayah betulkan kamar adek kau” perintah ayah

Setelah itu aku kembali kekamar tengah untuk melanjutkan tidur duluan, Selang beberapa saat ayah ikut tidur disampingku.
Pagi menjelang, seperti kemarin aku melakukan kegiatanku seperti biasanya. Saat semuanya sudah beres, aku berjalan dari dapur menuju kamar tengah dan melihat Niko yang masih tidur, saat aku mau menyuapi mamak aku coba bangunkan dia.
“Nik bangun, udah siang” Kataku sambil memegang dadanya

Kucoba bangunkan berulang ulang dengan suaraku, tapi tidak ada jawaban. Setelah aku menaruh piring makan mamak dikasur, aku yang sudah merasa kesal akhirnya konsentrasi untuk membangunkan Niko untuk bersiap sekolah.
Waktu tanganku mulai memegang pelan hidungnya yang hangat dan menggoyangkan badannya yang panas, karena niatku sambil bercanda. Setelah itu matanya mulai terbuka dan bibirnya mulai berucap…

“Bang badanku lemas, aku gak kuat lagi…” Kata Niko lemah
“Kenapa kau dek”…Tanyaku kaget

“Tak tau bang, badanku tak bisa digerakkan rasanya sakit semua” Jawab rintih Niko.

Mendengar jawaban itu, aku langsung mencari ayah digudang belakang, tadi kulihat ayah sudah bersiap bersih – bersih rumah dan mau berkebun disamping rumah.
Sesampainya digudang ayah sudah tidak ada “ celaka ” batinku. Aku berlari kedepan mencari ayah, saat sampai dihalaman perasaanku lega karena melihat ayah masih ada, ia ternyata sedang mengumpulkan sampah. Langkahku yang cepat terhenti tepat di sampingnya.
“Yah Niko sakit yah.” Kataku Panik

“Sakit apa? Dimana dia sekarang.” Tanya ayah yang menghentikan kegiatannya saat itu juga.

“Dia gak bisa bangun yah, sekarang dia didalam yah terbaring sama mamak” Jawab panjangku.
Saat itu juga kami langsung berjalan cepat menuju kamar tengah untuk melihat keadaan Niko. Sesampainya dikamar tengah ayah memandangi dan memegangi kepala dan tubuh Niko,

“Kau kenapa dek”? Tanya ayah
“Gak tau yah, Niko rasanya gak bisa bergerak” Jawab niko dengan suara berat, dan mulai menangis kesakitan.

Seketika itu juga kami langsung panik dan bingung. Satu masalah belum selesai kini Niko ikut tergolek disamping mamak.
Ayah yang masih terlihat pucat, hanya duduk lemas disamping Niko. Aku sendiri langsung menghampirinya dan memeluk pundak ayah dari samping.

“Yah apa gak sebaiknya kita bawa ke rumah nenek di Solo?” Tanyaku
“Mau ngapain kesana bang, kakek nenek kau disana sudah tidak ada semua. Jaraknya juga jauh, lagian kalau disana mamak kau dan Niko apa bisa sembuh?” Jawab ayah yang mulai panik

“Apa kita bawa ke medan yah, kan kakek nenek disana masih ada”? Tanyaku lagi
“Ayah sama mamak kau sudah berjanji bang, tak mau ngerepotin kakek nenek kau? Jawab ayah tertunduk lesu.

FYI. Ayah sama mamak ada perbedaan prinsip dengan keluarga dimedan waktu itu yang tidak bisa dijelaskan dalam cerita ini.
“Kita bawa saja ke dokter ya bang, sekalian mamak kau diajak pula.” Pinta ayah.

Pagi itu ayah segera pergi keluar untuk mencari kendaraan untuk memeriksakan kondisi niko serta mamak dikota.
Aku sendiri langsung mengambil minyak gosok untuk memijitnya dan mengoles kesekujur tubuh Niko. Selang beberapa saat mobil datang sudah kerumah bersama ayah. Aku dan ayah segera menggotong bergantian mamak serta Niko masuk kedalam mobil.
Setelah muatan sudah siap kami memulai perjalanan, waktu yang kami tempuh sekitar tiga jam. “sabar Nik, abang akan berjuang demi kau sama mamak” ucapku sambil memangku kepala Niko serta mengelus dahinya yang hangat.
Sekitar jam dua belas lebih kami sampai tempat praktik dokter spesialis, aku keluar duluan untuk mendaftarkan Niko serta mamak. Tapi mereka tetap terbaring dimobil karena tempatnya waktu itu tidak ada.
Setelah menunggu beberapa jam akhirnya Niko dipanggil duluan untuk diperiksa, selang beberapa saat selesai gantian mamak yang diperiksa. Agak ribet memang, kami harus menggotong bergantian mereka berdua,
sekian jam ditunggu akhirnya aku dan ayah diberitahu kondisi terkini oleh dokter tersebut.

“Pak, istri dan anak bapak tidak ada penyakit apapun! Semua kondisinya normal”Jelas Dokter yang sudah berumur itu sambil menunjukkan hasil pemeriksaannya.

“Terus gimana dok?” Tanya Ayah
“Bapak bawa ke alternatif saja atau kiai yang berada didaerah sekitar sini.” Jelas dokter

“Iya dok, terima kasih.” Jawab singkat ayah dengan menggaruk kepalanya.

“Kira – kira dimana ya dok, mungkin dokter punya rekomendasi.?” Tanyaku
“Coba didaerah *** sama pak Kiai Alwi.” Terang pak dokter

Wajah ayah terlihat bingung lagi kala itu setelah mendengar jawaban yang tidak memuaskan hatinya begitu juga denganku,
sedangkan dalam lubuk hatiku untuk ingin segera pergi mencari tahu kiai yang disebut oleh dokter spesialis barusan.
11. Kiai Alwi

Setelah perbincangan ayah dan dokter selesai, kami keluar langsung menuju rumah kiai Alwi. Berjalannya mobil ini menyusuri jalan agak berat, beberapa kali kami berhenti untuk menanyakan keberadaan kiai yang terkenal dan tersohor didaerah itu.
Perjalanan sudah lebih dari satu jam, mobil kami berbelok dari pertigaan jalan besar menuju gang bertuliskan Jl. ***. Dari jarak 50 meter ayah sudah bisa melihat rumah yang ciri-cirinya persis seperti yang telah disebut oleh dokter spesialis tadi.
Perlahan mobil masuk ke halaman rumah mewah, besar serta berlantai dua, kami langsung parkir diarea yang sudah disediakan. Ayah dengan yang penuh semangat turun sendirian berjalan menuju rumah Kiai Alwi.
Sesampainya ia diteras kiai Alwi yang sudah duduk-duduk dikursinya yang berada teras rumahnya, seakan kedatangan ayah sudah diketahui beliau. Dari jauh kulihat mereka bersalaman dan bercakap-cakap agak lama,
sekian lama kami menunggu, dari jauh kulihat lambaian tangan ayah mengarah kepada kami yang berada dimobil.

Ia menandakan untuk menyuruh menurunkan Mamak dan Niko yang masih berada dalam mobil, dan menyuruh kami membawa kedalam ruangan disamping ayah berada.
Aku bersama sopir dengan cekatan menuruti perintah ayah, mulai kuturunkan dan menggotong Niko masuk keruangan khusus dirumah kiai Alwi terlebih dahulu. Setelah itu bergantilah mamak yang kami pindah ke ruangan khusus itu.
Dengan nafas masih ngos-ngosan kami semua duduk dilantai untuk istirahat, dan langsung meminum air kemasan yang sudah disuguhkan. Sedang Ayah yang baru datang langsung melihat keadaan Mamak dan Niko, wajah sedih serta kondisi ayah mulai tak sehat yang terlihat.
Ayah hanya mengelus rambut mamak serta Niko sebagai bukti ia menyimpan kesedihan yang mendalam saat berada diantara dipan mereka. Ia mulai mencium kening Niko yang masih bisa bicara dan merasakan rintihan kesakitannya.
“Sabar dek” Kata ayah dengan suara sedih, hanya anggukan kecil dari Niko yang ia beri kepada ayah.
Tak lama kemudian kiai Alwi dari balik pintu mulai muncul, kiai yang rambutnya sudah beruban penuh,
berjenggot panjang memutih serta memakai pakaian gamis putih seperti syaikh dari negeri padang pasir. Ia mulai mendekat kearah ayah dibantu tongkat untuk menyangga tubuhnya yang sudah renta, sedang dibelakangnya ada lima pemuda pengabdi kiai Alwi yang mengikuti.
Dari tempat dudukku yang dilantai kudengar mereka bercakap…

“Bagaimana ini semua bisa terjadi pak wijaya?” Tanya kiai Alwi dengan memandangi Niko dan mamak serta ia mengelus dadanya melihat keprihatinan pada keluarga kami. “Astaghfirullah” gumamnya kiai alwi lirih
“Saya sendiri tak tahu kiai.” Jawab ayah dengan wajah pucat tertunduk lesu.

“Ya sudah kalau begitu, mari langsung kita coba bantu dengan do’a-doa’ dulu.” Pinta kiai Alwi

Kiai Alwi mulai duduk dikursi, letaknya di sela tengah ranjang tepat diatas kedua kepala mamak dan Niko.
Sedang kelima pengikut kiai Alwi berdiri berjajar melingkar dibelakangnya sambil bersiap-siap menunggu perintah dari sang kiai. Acara ruqyah dimulai dengan basmalah, setelah itu kiai Alwi matanya mulai terpejam serta kedua tangannya mengarah tepat di antara kepala mamak dan Niko.
Tangan sang kiai tak sampai menempel kepala Niko dan mamak hanya berjarak sekitar satu meteran. Setelah selesai mendiagnosa ia kembalikan tangannya keposisi semula, dan ia melambaikan tangan kepada pengikut yang berada disampingnya.
Selang beberapa saat kiai memberi arahan kepada kepala pengikutnya, Pemuda itu berjalan mendekat dengan pelan serta memiringkan kepalanya dan mendekatkan teliganya kebibir kiai Alwi, lantas Ia berbisik pelan sampai akupun yang duduk bersama sopir tak mendengarnya.
Setelah mendapatkan arahan dari pimpinan pengikut kiai Alwi, mereka langsung ambil posisi dan mulai membaca mantra masing-masing secara bersamaan. Sedang sang kiai dengan pelan menyandarkan tongkatnya dipaha kirinya, karena tangannya dipakai menengadah keatas untuk berdo’a.
Suara diawal yang lirih dengan komat kamitnya, semakin lama semakin terdengar mengeras tapi alunannya lembut, sekian detik kursi alwi mulai bergerak pelan mundur kebelakang.

“Sreekk”
Bersamaan dengan itu kiai Alwi menghempaskan kedua tangannya dari atas sampai kearah kepalnya mamak dan Niko, bersamaan gerakan tangannya ia mengucap kalimat suci yang lebih keras.

“SREEEKKKK…….BRAAAKKKK”””’(kursi yang terseret kebelakang dan menabrak tembok)
“AKHHHHHH….HAHAHAHAHAH” (perlahan tubuh mereka terangkat sedikit sekitar lima centimeter dari dipan, lalu teriak serta tawa bersamaan dari mamak dan Niko, Niko yang tadinya masih bisa bicara dan melihat sekarang kondisinya seperti mamak.
Ia Hanya terpejam dan bibirnya mulai membisu selesai berteriak dan tertawa)

Kursi itu melesat cepat ditengah pengikutnya dan menabrak ketembok. Sedang semua pengikutnya terhuyung badannya mundur dan jatuh kelantai, seakan ada tenaga yang kuat menghempaskan mereka semua.
“Astaghfirullah”…ucapku atas kejadian itu, Aku yang melihat kejadian ini langsung berdiri untuk membantu mereka bangun, sedang ayah langsung berlari kearah kiai Alwi untuk membantunya duduk tegak kembali.
“anda tidak apa – apa kiai” Tanya ayah sedang membetulkan duduk kiai tua ini.

“gak papa pak wijaya. Untungnya tadi kami persiapan dengan benteng kami, jika tidak pasti kami sudah celaka” Jelas kiai dengan nafas yang tersengal-sengal dan wajah yang sudah terlihat lemas.
Aku yang sedang membantu berdiri satu persatu pengikut kiai Alwi, sesekali mencuri pandang pada kiai tersebut untuk memastikan kondisi kiai tua ini. Untungnya kejadian dirumah kiai Alwi tidak sampai seperti dengan yang dialami ustad Rohim.
Setelah selesai kami membantu mereka duduk, akupun kembali duduk dilantai…

“Pyak…pyak..pyak…(suara tiga gelas kaca di meja yang pecah secara berurutan)
Saat itu juga semua mata tertuju pada pecahnya benda ini, hanya hening dan rasa penasaran serta takut yang menyelimuti kami semua.

“Rom bersihkan pecahan gelas itu” Perintah kiai Alwi kepada salah satu pengikutnya dan menghentikan keadaan hening kami.
“Pak wijaya coba kesini sebentar” Perintah kiai Alwi yang masih duduk didikursi kayunya dengan nafasnya yang mulai teratur.

Padahal ayah baru duduk dilantai tapi Ayah langsung berdiri dan mendekati kiai Alwi lagi,
bersamaan itu kiai Alwi memerintahkan semua pengikutnya untuk kembali kedalam rumah besarnya. Saat ayah sudah didekatnya, Kiai Alwi berkata.

“Pak wijaya kalau keadaannya seperti ini, saya mohon maaf.
Saya tidak bisa membantu lebih jauh lagi.”Jelas kiai Alwi dengan tatapan kosongnya serta kedua tangannya yang memegang gagang tongkat kayu.

Ayah yang membungkuk penuh harap didepan kiai Alwi tubuhnya mulai lemas, serta wajahnya menghadap kiai Alwi mulai sedikit tertunduk lesu.
“Iya kiai, tidak apa-apa?” Jawab ayah pasrah akan usaha kiai Alwi.

“Tapi bawa beberapa botol air ini pak, sebagai peredam sakit untuk anak istri bapak.” Jelas kiai Alwi. "Ya kiai” Jawab singkat ayah.
Sore itu kami setelah dengan ritual kiai Alwi langsung pulang, serta diselimuti perasaan putus asa yang sudah menghampiri kami. Hanya suasana hening dalam perjalanan pulang, tak ada sepatah katapun keluar dari mulut kami.
Kuamati dari bangku tengah, ayah hanya menatap kosong di bangku depan sebelah sopir.
Malam sekitar jam sembilan kami baru sampai rumah, aku dan ayah dengan cepat menggotong dan membaringkan Niko dan mamak diruang tengah.
Saat semua anggota keluarga sudah diposisi masing masing diruang tengah. Ayah langsung menghidupkan televisi untuk menutupi rasa sedihnya dengan tatapan tipuan ke layar TV. Kulihat sekilas Niko sudah tidur, akupun mulai mendekati ayah. Mencoba untuk mengajaknya bicara…
“Yah terus kita mau gimana ini?” Tanyaku yang sudah membuncah dan duduk disampingnya.

“Gak tau bang ayah masih bingung, lebih baik abang tidur saja biar ayah yang memikirkan masalah ini.” Jawab ayah yang lelah, serta ia langsung bangun dari duduknya dan pergi keteras.
Melihat keadaan ayah yang bingung aku tak mau mengganggunya lagi, aku langsung mebersiap untuk tidur disebelah mamak. Dalam rebahanku sempat terbesit jika tak ada jalan lagi untuk Niko dan Mamak akankah hidupku akan berakhir disini secara tragis???
Sambil berangan-angan tak jelas akhirnya akupun sudah tertidur dengan sendirinya. Sekian jam aku terlelap ada kerikil yang terlempar kemukaku.

”Taaakk”...Aduh….Kataku cepat, bersamaan tanganku memeriksa keningku yang kena lemparan batu itu.
Aku langsung bangun dan duduk, dengan kepala menoleh kekanan dan kekiri melihat tak ada siapapaun. Hanya ketiga anggota keluargaku yang sudah tertidur. Tapi kulihat ayah tidurnya agak menggigil kedinginan.
Aku sangka ayahku yang melempar batu itu, aku perlahan mendekati ayah. “Ayah kenapa?” Tanyaku.
“Ayah tadi habis didatangi orang berjubah lagi bang.” Jawabnya dengan bibirnya bergetar.
Saat itu kuputuskan untuk melaburkan minyak kayu putih untuk menghangatkan badannya sambil memijitnya pelan. Sekian menit keadaan ayah sudah reda akupun kembali untuk melanjutkan tidur lagi disamping ayah.
Saat aku tidur lagi dalam keadaan setengah sadar aku mendengar lirih suara tangisan bayi dari belakang…”whoaaaa…whoaaa..whoaaa”, kini mataku yang kembali terbuka sedikit serta badanku kumiringkan ke arah ayah.
Tapi ayah masih tidur pulas dengan badan badan sedikit gemetar tapi tak ada respon sama sekali. Aku yang penasaran mencoba mencari tahu keberadaan asal suara, langkahku pelan-pelan menuju dapur.
Disaat pintu kubuka sedikit aku melihat dari celahnya ada sesosok perempuan berbaju putih panjang dan lusuh, ia berambut hitam panjang sepinggang sedang menggendong bayi. Wanita itu mengayunkan bayi dalam gendongannya kekanan dan kekiri dengan tenang.
Wanita itu tepat berada disamping kamar mandi, lama kuamati wanita ini karena pandangannya hanya tertunduk kebayinya. Sekian menit wanita ini mulai mengangkat wajahnya kearahku disertai senyumnya yang menakutkan, ternyata wajahnya yang penuh darah serta hancur.
Setelah sadar itu bukan manusia aku langsung cepat kembali tidur disamping ayah, tapi sebelumnya kukunci dulu pintu kayunya. Tubuhku langsung kuhempaskan dan meringkuk menempel dibadan ayah serta berselimut sampai kesekujur tubuh ini,
karena amat sangat takutnya badanku juga ikut gemetar. Pada akhirnya lama kelamaan aku tertidur karena rasa takut yang mulai reda.

Subuh menjelang, aku yang terbangun duluan dan membangunkan ayah untuk menemaniku kekamar mandi untuk bersuci dan menunaikan ibadah wajib bersama.
Aku masih ingat betul kejadian semalam, dengan rasa yang masih takut aku minta ayah untuk menemaniku menggantikan tugas mamak. Ayah yang terlihat masih lemas hanya kupinta duduk dikursi saja.
Pagi itu aku mulai memainkan peralatan dapur dengan sedikit bersuara, ditengah kebisingan dini hari itu ayah yang hanya duduk termangu dikursi. Ia hanya diam memandangku dengan mata kosongnya.
Disaat Mataku melirik sebentar kearahnya sejenak kupelankan gerakan masakku lantas kuhampiri ia...

“Kenapa yah” Tanyaku yang masih memegang peralatan dapur

“Gak papa bang, ayah cuma merasa tak enak badan” Jawabnya datar
“Tadi malam ada bayi yang menangis dari sini yah, apa ayah dengar.” bisikku ditelinganya, karena takut ada mahluk tadi malam mendengar.

“Jadi abang sudah tahu” Jawab ayah dengan wajahnya mendongak kecil kewajahku.
“Iya yah, kemarin malam Deno sempat melihat bayi itu digendong sama perempuan yang wajahnya hancur dan banyak darahnya. Itu yah disebelah sumur dekat kamar mandi.” Jawabku sambil menunjuk sumur didekat kamar mandi kami.
“Tak usah terlalu kau pikirkan bang.” Jawab ayah mulai berdiri serta berjalan menuju gudang disebelah kamar mandi.

Apa sebenarnya ayah sembunyikan dari semua ini, karena aku yakin ia tahu sesuatu dirumah ini. Tapi ia hanya diam tanpa memberikan penjelasan sama sekali kepadaku.
Hanya senyum kecil dan tetap setia pada tatapan kosongnya saat pergi kegudang.

Aku terdiam sementara karena mencerna jawaban yang hambar dipagi ini, selanjutnya aku memulai lagi kegiatanku didapur. Hingga merawat adik dan mamakku diruang tengah sampai selesai.
Hari itu akupun tak bersekolah lagi, hanya fokus untuk merawat mereka berdua, Sementara ayah pergi kekebun untuk bekerja meski sakit.
Satu minggu berjalan, kondisi kesehatan ayah semakin menurun. Apalagi sehabis bermimpi atau bertemu kelebatan siluet orang-orang berjubah hitam, pasti ia akan langsung tidak bisa bangun keesokan harinya.
Pagi itu aku didapur dan masih tetap ditunggui oleh ayah, ia duduk dikursi kayu mengenakan jaket tebal dengan bibir yang memucat. Hanya lamunan dan getaran kecil ditubuhnya yang hinggap di tubuhnya pagi itu.
Selesai memasak aku mengambilkan makan terlebih dahulu, dan memberikan satu piring hasil masakanku kepadanya. Masih didapur, mataku masih melihat ia yang memegang piring sedikit bergetar tapi tangan ayah tetap memasukkan makanan dimulutnya dengan sedikit memaksa …
Tokk…tok…tok.. “Assalamu’alaikum” Salam dari pintu dapur

“Walaikum salam” Jawabku yang duduk didepan ayah sambil menoleh kearah pintu, ternyata wajah pak Slamet sudah mulai terlihat dari pintu yang terbuka sedikit.

“Masuk pak”. Ucapku
“Eh pada ngumpul semua didapur bang, makanya tadi pangil-panggil didepan tak ada jawaban.” Tanya dan jelas pak Slamet yang berjalan kearah kami

“Tadi lagi masak pak, ada apa pak kok tumben pagi-pagi kemari?” Tanyaku yang masih tetap duduk didepan ayah.
“Jadi gini bang, pak kusdi sekeluarga meninggal tadi malam.” Terang Info pak Slamet yang mulai duduk disamping ayah.

“Ah yang bener kau met.” Sahut ayah sambil perlahan menghentikan kegiatan makannya
“Beneran pak Wijaya, barusan saya didatangi dan diberitahu sama pak RT.” Jawabnya dengan raut wajah dan suaranya meyakinkan kepada kami.

“Pak Kusdi juragan karet itu bang?” Tanyaku yang mulai tegang dan menatap penasaran penjelasan pak Slamet.
“Iya bang Deno, benar.” Jawab Pak Slamet. “Ayok pak Wijaya ngelayat barengan sama saya” Ajak pak Slamet penuh semangat.

“Padahal kemarin kan, aku ketemu sama dia dikebunku Met. Ia juga kamaren masih terlihat sehat.” Gerutu ayah pelan dengan mengunyah sisa makanan
“Pagi ini aku lagi tak enak badan Met, kau berangkat sama Deno saja ya?” Perintah ayah yang masih berangan-angan kejadian kemarin sama Pak Kusdi serta belum menyelesaikan makannya.

“Ya sudah, ayok bang Deno kalau begitu kita berangkat bareng sama saya” Ajak Pak Slamet.
Pagi itu aku dan pak Slamet langsung pergi bersama menuju rumah pak Kusdi, rumah juragan karet ini berada diatas gunung. Tepatnya didaerah pemukiman yang agak sedikit banyak rumah tapi tetap satu kampung dengan kami.
Dipagi yang masih buta serta berselimut kabut putih, aku mulai berjalan kaki menuju kediamannya. Karena waktu itu jalan menuju rumah pak Kusdi tidak bisa dilalui kendaraan bermotor, meski ban sudah dirantai.
’ Dalam hati setauku pak Kusdi ini punya lima anggota keluarga dirumahnya, masak lima orang sekaligus meninggal mendadak dalam satu malam???’
Tapi waktu dijalan aku coba menutupi rasa ingin tahuku yang besar karena kuatir kalau salah ucap, tapi besarnya rasa penasaran pada diriku yang lama kelamaan tak terbendung akhirnya kuberanikan untuk bertanya…
“Pak met, ini bener pak Kusdi juragan itu? Kok bisa sekeluarga meninggal dimalam yang sama?” Tanyaku heran
“Kurang tau bang, bapak sendiri juga heran karena berita dari pak RT tadi cuma keluarga pak Kusdi mati dirumah semua, Itu saja.” Jawab pak Slamet dengan mengatur nafasnya yang mulai terengah – engah karena berjalan jauh dengan medan sulit sambil merokok.
Sekitar empat puluh menit langkah kaki kami semakin mendekat, dari jarak dua puluh lima meter kami mulai melihat dirumah juragan karet sudah banyak orang. Mulai kerabat, tetangga dan para perangkat desa.
Suasana berkabung berat sangat kental pagi itu, tangis pilu dari para kerabat dan saudara pak Kusdi saling bersahutan. Pagi yang seharusnya cerah kini menghitam oleh baju para pelayat, serta kabut yang mulai hilang karena tingkah orang-orang belalu lalang yang penuh kesedihan.
Kami semua pagi itu tak tidak pernah menduga dan mengira akan kejadian yang tiba-tiba ini.

Aku dan pak Slamet setelah sampai lokasi orang-orang yang bergerombol disamping rumah pak Kusdi, langsung ikut duduk-duduk bergabung dengan mereka yang terlebih dahulu sudah sampai disana.
Dari ramainya orang yang bergerombol telingaku mendengar percakapan dikanan dan kiri, memang benar kelima anggota keluarga itu mati secara bersamaan semalam. Mereka meninggal setelah ada cahaya kuning oranye tiga kali berturut-turut turun keterasnya.
Kejadian inipun disaksikan oleh beberapa warga yang menjadi tetangga dekatnya. Dalam hati aku jadi takut sendiri karena cahaya itu pernah sekali turun kehalaman rumah dan keesokan harinya Niko langsung sakit. Saat aku masih berdiri dan disamping pak Slamet…
“Pak kemarin sebelum Niko sakit, ada cahaya yang persis seperti yang mereka bicarakan?” Kataku lirih kepada pak Slamet

“Beneran bang!!!” Jawabnya singkat serta kepalanya menoleh kearahku dan mulai menanggapi serius perkataanku.
“Iya pak, malam itu Deno lihat sendiri cahayanya turun ke halaman rumah.” Terangku yang meyakinkan

“Hati – hati bang, itu biasanya santet daerah sini” Jelasnya pelan sambil matanya melirik kekanan dan kiri, takut akan perkataanku terdengar orang lain.
“Terus gimana ini pak Met.” Tanyaku lagi yang mendekat serius kearahnya

“Nanti malam saja saya kerumahmu, kita bicarakan sama Ayah kau bang”. Jawab pak Slamet yang wajahnya mulai tegang akan keteranganku.
Pembicaraanku dihentikan oleh suara pengumuman dari pemuka agama, untuk warga yang bersedia mensholati kelima jenazah ini. Selang beberapa detik acara mensholati jenasah dimulai, kami secara bergantian shalat jenazah diruang tamu rumahnya almarhum.
Setelah selesai kira-kira jam sepuluh pagi kami semua mulai memberangkatkan jenazah untuk dikebumikan. Kelima mayat keluarga pak Kusdi dibawa dan dibagi dalam dua mobil menuju kepemakaman.
Sesampainya di lokasi, jenazah oper satu persatu ke area pemakaman dengan dua keranda yang disiapkan. Sekian jam akhirnya kelima mayat itu berhasil dikebumikan tanpa ada keganjilan sama sekali menurutku karena aku sendiri tak paham dengan hal semacam itu,
tapi orang yang disebelahku merasa ada yang ganjil. Mereka berpendapat setelah melihat kelima jasadnya sebelum dimandikan, rata-rata perut mereka agak membesar, tapi sewaktu dikebumikan perutnya rata kembali seperti sedia kala.
Selesai acara aku sendiri tetap bersama pak Slamet tetanggaku untuk pulang kerumah. Sewaktu dirumah aku mulai menceritakan semua kronologi yang dialami keluarga pak Kusdi kepada ayah, meski hanya dari beberapa keterangan saksi dari lokasi kejadian.
Tapi jawaban ayah hanya diam mematung dengan respon batuk kecil saja, selesai ocehanku kepada ayah ruang tamu hanya berisi sepi. Selang beberapa menit keheningan ruang tamuku berubah ketika pak Slamet datang dan ikut bergabung duduk bersama kami diruang tengah.
“Gimana Pak wijaya, sudah sehat?” Tanya pak Slamet yang sudah duduk didepanku

“Sudah met, gimana sudah dikasih tau sama Deno tadi?” Tanya Ayah dengan tatapan datar. “Sudah pak” jawab singkat pak slamet dan mulai menyulut rokoknya.
“Pak wijaya, apa benar sebelum Niko sebelum jatuh sakit ada cahaya jatuh dihalaman rumah bapak.” Tanya pak Slamet yang mulai perbincangan serta menghembuskan asap putih pertamanya keruang tamu.
“Aku sendiri tak tau Met, yang melihat itu Deno. Tapi aku yakin met Deno gak bakal bohong karena aku adalah ayahnya dan paling tau watak ini anak.” Jawabnya ayah sambil tangan kanannya menahan batuk kecilnya didada.
“Jujur pak, saya gak tega lihat keluarga bapak seperti ini.” Terang pak Slamet dengan sedih

“Gimana kita besok coba ke kiai atau dukun di kampung sebelah pak? Tawar pak Slamet yang membangkitkan semangat kami.
“Boleh juga met, dari pada tak ada usaha sama sekali. besok pagi anterin saya ke kiai atau dukun mana saja met, yang penting istri dan anakku selamat.” Jawab ayah yang mulai sumringah.
Disini pak Slamet sebelumnya sudah tau waktu mamak dibawa ke ustad Rohim hasilnya malah menakutkan kami semua, dengan tawaran baru dan alternatif lain akhirnya malam itu ayah mengiyakan untuk berburu keselamatan besok pagi.
12. Eksistensi mereka

Pagi menjelang tapi masih buta, rumah dilembah masih tertutup kabut putih yang pekat, Hawa yang dingin masih menusuk tulang. Sesuai janji semalam Ayah dan pak Slamet dipagi hari setelah sarapan pergi mencari dukun atau sejenisnya,
kini tinggalah aku sendirian dirumah. Selesai bersih – bersih sekeliling rumah, kegiatanku kembali menunggu mamak sama Niko yang masih terkapar. TV kunyalakan sebagai penghilang rasa jenuh,
beberapa puluh menit selanjutnya gelas dibawah meja rak televisi bergerak kesamping kiri secara perlahan, pandangan mataku sebelumnya fokus pada layar TV kini beralih turun pada gelas yang mulai bergeser pelan…

"Sreeeggg…sreeggg… sreeggg"
Gerakan itu terhenti diujung meja, badanku awalnya rebahan kini mulai duduk berjongkok mengamati fenomena aneh ini. Semua panca indraku mulai mengamati gelas yang kini tepat didepanku.
Setelah kuamati lama gerakan gelas diatas meja televisi tak bergerak lagi, merasa capek menunggu akhirnya tubuhku kurebahkan kembali bersama mamak. Tapi selang beberapa jam setelah berhentinya gelas dan aku yang dalam posisi rebahan???

“Bruakkkk…”
“Suara keras bantingan jendela dikamar mamak”

Badan ini langsung berdiri serta berjalan penuh penasaran, rasa hati ingin melihat asal suara, sampai akhirnya dipintu kamar langkah ini terhenti. Kulihat jendela mamak masih bergoyang, seingatku jendela mamak pagi tadi belum kubuka.
Anggapku dipagi itu mungkin ada maling atau perampok, dengan nyali yang setengah menciut. Aku pergi kedapur untuk mengambil senjata, tangan kananku dengan cepat merebut sebuah pisau dapur dari rak piring.
Saat kabut mulai hilang, Langkah kakiku perlahan dengan sendirinya berkeliling rumah mencari sesuatu. Aku mulai memeriksa tiap sudut rumah sampai memutar diluar rumah berulang kali.
Terakhir masuk kedalam rumah, semua kamar kumasuki satu persatu, tapi semuanya keadaanya kosong dan sepi. Tak ada satupun manusia atau mahluk selain kami bertiga dirumah pagi itu. Akhirnya aku kembali keruang tengah, dan beberapa jam kemudian ayah datang.
Ia memarkirkan motor diteras sedang pak Slamet langsung kembali pulang,ayah dengan langkah gontai masuk keruang tengah serta menghampiriku dengan membawa bungkusan plastik hitam ukuran sedang.

“Bang kau tebar garam ini, disekitar rumah.” Perintah ayah yang sudah terlihat letih
“Ya yah” Jawabku serta mengambil bungkusan plastik hitam.

Selanjutnya sesuai permintaan ayah, perlahan kutebar garam disekeliling rumah sampai garam itu habis. Dalam hati Alhamdulilah semoga tidak ada mahluk yang mengganggu kami lagi, dan berharap mamak serta Niko cepat pulih.
Selesai menebar garam kuhampiri ayah diruang tamu, dengan nada serius kuceritakan kepada ayah kejadian yang baru terjadi dirumah, ia hanya mengatakan “Semoga mulai sekarang kita semua aman bang”.
Selama satu minggu beberapa syarat yang dibawakan ayah untuk dikonsumsi mamak dan Niko tak mengubah keadaan apapun. Hanya gangguan dari mahluk halus dirumah saja yang mereda selama satu minggu, Sedangkan ayah malah menjadi sering keluar sama pak Slamet.
Karena ayah tau mereka masih belum ada perubahan, entah ia usaha kemana saja aku sendiri tak tahu.

Tapi tidak dengan fakta yang ada dirumah, setelah kejadian selama satu minggu gangguan terhenti kini dirumah muncul kembali bahkan lebih sering.
Mereka para mahluk astral yang entah dari mana terasa ingin menampakkan eksistensinya semua, kini bukan hanya sekedar bau amis dipagi hari dan busuk disore hari. Seperti disuatu hari yang sudah siang sekitar jam sebelas setelah ayah pergi dengan pak Slamet…kudengar dari dapur.
Pyar..pyar..pyarrr…(suara piring yang dilempar kelantai)

Suara itu membangkitkan aku untuk mendekati dapur, kulihat memang banyak berserakan piring-piring yang pecah dilantai. ‘Siapa juga siang-siang pada banting piring kayak gini pikirku’,
saat aku melangkah didapur dan mulai membersihkannya tiba-tiba ada suara “pergi kau!!!” suara yang tak kuketahui dari mana sumbernya.

Spontan saat itu aku lari dan mengunci lagi pintu dapur dari ruang tengah.
. Aku langsung bergabung tidur tengkurap dengan Niko dan mamak dikamar tengah. Dalam posisi masih tengkurap suara bantingan piring kaca diganti dengan tangisan yang melengking…di siang hari!!!
dalam kondisi ketakutan aku tetap tengkurap cukup lama dan kututup kepalaku dengan bantal, hal ini akhirnya juga membuatku sesak nafas. Disaat dadaku sesak parah kakiku ada tangan menyentuh “bang bangun bang, ini ayah?” Perintah ayah yang sudah berdiri dibelakangku
Setelah kusadari itu suaranya ayah, akhirnya aku berbalik dengan nafas yang masih berat nan sesak. ”Kenapa bang” Tanya ayah.

“Ada yang membanting piring dibelakang yah”. Jawabku mulai mengatur nafas secara perlahan.
Ayah yang mendengar keteranganku langsung kedapur. Ia sendiri tanpa pikir panjang memindah sementara peralatan dapur, dan sebagian bahan makanan keruang tengah. Aku yang masih takut dan letih akhirnya tertidur. Waktu tidur dalam beberapa jam telingaku mendengar…
Kraaakkkk…kraaakkk….suara cakaran dari kamar Niko. Aku mengira ayah yang didalam kamar Niko tapi selang beberapa saat ayah keluar dari kamar mandi. “Ku kira ayah didalam kamar Niko?” Kataku
“Kamu ada – ada saja bang, mimpi kali! Cepat mandi sana.” Perintah ayah dengan mengelap rambutnya yang basah dengan handuk.

Setelah itu aku langsung menuruti permintaan ayah,
kegiatan mandi cepat kulaksanakan sore itu karena masih takut dan ingat betul didapur akan kejadian tadi siang.

Malam hari ketika aku bersama ayah sudah mau tidur diruang tengah, suara mulai terdengar dari kamar
ayah”…glodak…glodak...glodak…”ayah mengira itu tikus,
sehingga ayah yang tanggap langsung pergi kekamarnya. Setelah beberapa saat ia kembali tidur bersamaku. “Ada apa yah” Tanyaku yang tidur disampingnya.
“Gak ada apa – apa bang.” Mungkin suara tikus.
Jawab bohong ayah untuk meredam ketakutanku, padahal aku sendiri yakin itu bukan bukan suara hewan. Tapi aku tetap mengiyakan saja jawaban kepada ayah.
Suara – suara seperti ini menjadi hal yang mulai sering terjadi dirumahku, tidak perduli waktu siang atau malam. Aku sendiri yang masih polos hanya bisa menanamkan rasa takut yang mendalam tiap hari dan was-was.
Kondisi semacam ini terus berlanjut hingga memasuki bulan ketiga, mereka berdua tetap setia pada sakitnya. Akupun tetap setia merawatnya, meski harus kutinggalkan bangku sekolah yang hampir lulus tahun itu.
Selama itu ayah sudah berulang kali keluar rumah untuk mencari solusi atas kejadian yang menimpa kami. Tapi dari semua usaha ayah selalu belum membuahkan hasil atau bisa dibilang “gagal”, karena belum memberikan perubahan apapun pada mamak dan Niko.
Bulan ketiga diminggu pertama.

Malam hari yang sepi, lembah yang sudah tertutup kabut…aku yang sudah tertidur samar-samar mendengar lirih gesekan parang yang diseret sesorang dari luar memutari rumah kami.
Aku hanya diam saja dalam posisi tidur, karena kutahu ini smeua mahluk setan yang sedang mengganguku. Selang beberapa jam setelah suara itu menghilang dari atap kamar ayah tiba-tiba…

“Blenggg…”(suara benda yang terjauh dengan keras)
Sontak aku langsung berdiri dan berlari menuju kamar ayah, kunyalakan lampu kamar.Sinar bohlam lampu putih yang terang menyinari kamar ayah, mataku memandang dari ujung-keujung kamar tidak ada apapun. Semua benda dan letaknya masih tetap sama, tidak ada yang bergeser sedikitpun.
“Uhuk…uhukkk…Huuekkk…hueeekkk.” Suara batuk dan muntah ayah

Telingaku yang mendengar suara dari ruang tengah, telapak kakiku langsung berjalan menuju sumber suara tanpa mematikan bohlam putih kamar ayah lagi.
“Kenapa yah?” Tanyaku sambil melihat muntahan ayah diremang cahaya ruang tengah. “Gak tau bang” Jawab ayah dengan bibir bergetar serta kepalanya mulai berkeringat.
Kuhidupkan sumber cahaya putih kamar tengah yaitu lampu utama untuk membersihkan muntahan ayah, Penglihatanku mendapati darah segar yang keluar dari mulut ayah. Sebagian sprei dan kasur yang menjadi bekas tempat tidur ayah menjadi merah hitam, serta bajunya mulai berbau amis.
Spotan aku kaget, saat itu juga aku langsung membopong ayah serta memindahkannya keruang tamu, kondisinya malam itu ayah sangat lemah.
Aku baringkan ia dikursi panjang untuk sementara dengan bertujuan menenangkan beliau, selanjutnya kutinggalkan ayah di ruang tamu sendirian sebentar. aku yang panik kembali kedapur untuk mengambil air dan membuat minuman hangat diruang tengah.
Sekembalinya dari dapur keruang tamu, diriku merawat ayah dengan hati-hati, setelah ia aku kembali keruang tengah.
Aku yang masih panik membersihkan bekas muntahan ayah dengan cepat serta mengganti spreinya.
Saat kubawa sprei serta mau merendam bekas muntahan ayah disamping sumur, tiba-tiba diatas sumur sudah wanita dengan bayinya ini kembali muncul,,,ia tetap memakai baju putihnya yang lusuh memanjang, wajah yang pucat dan tangis sesenggukannya menatap bayi yang digendongnya.
Tanpa bisa berkata apapun lagi, aku langsung lari kedepan menuju ruang tamu. Badanku langsung bersimpuh merapat kepada ayah yang terbaring dikursi,

“Uhuk..uhuk..ada apa bang?” Tanyanya sambil mengelus pelan kepalaku.
“Wanita didapur muncul lagi yah” Jawabku dengan wajah yang kubenamkan kesofa tempat berbaring ayah.

“Sabar ya bang” Jawab ayah pelan.

Sejak malam itu ayah ikut tergolek lemas dirumah, ia merasa tubuhnya panas terus meski besoknya sudah berobat kedokter.
Akhirnya lambat laun ia ikut terbaring juga bertiga diruang tengah. Kini tinggallah aku satu-satunya yang masih sehat dikeluargaku. Tapi ayah masih bisa bicara, melihat dan sesekali berjalan tapi jalannya terbatas dirumah saja karena kondisi fisiknya yang lemah.
Kegiatanku saat pagi menjadi bertambah untuk merawat ketiga anggota keluargaku, terkadang aku juga minta bantuan pak Slamet ketika ia berkunjung kerumahku.
Bulan ketiga diminggu pertama akhir, tepatnya hari sabtu. Malam yang tak pernah aku inginkan.
Sehabis Isya’ saat aku duduk santai diteras sendirian mengusir kebosanan, kulihat Intan dari kejauhan keluar dari rumah depan sedang berpeluk mesra dan manja bersama Angga. Senyum bahagia mereka terlihat sangat terpancar dari keduanya.
Beberapa menit kemudian dari kejauhan ia melihatku, spontan dengan cepat mereka berdua bergegas untuk pergi yang aku sendiri tak tahu kemana tujuannya.
Aku tetap hanya diam duduk termenung, tanpa berucap apapun.
Tak sadar aku yang sendirian bengong meratapi nasib hidupku, hanya memainkan kedipan mata. Dengan pelan mata ini mulai mengeluarkan rembesan air yang tak kuminta. Tak sadar dari sampingku, ada tangan hangat meraih pipiku untuk menyeka rembesan air dengan pelan…
“Sabar bang, maafkan ayah” Kata ayah yang mulai duduk disampingku.

“Iya yah, Deno tak apa-apa” Jawab singkatku untuk menutup sesak dan sedih didadaku, meski lebih sedih ketiga anggota keluargaku yang sakit saat itu.
Masih dalam suasana sesak didada langkah ini langsung masuk kedalam rumah bersama ayah, untuk menemani Niko yang masih belum bisa bicara dan memijit mamak serta ayah. Mataku yang sudah mengering hanya fokus melihat acara TV dirumah, hingga tak terasa waktu sudah tengah malam.
Saat mereka sudah tertidur semua dari halaman rumah, aku mendengar suara ada langkah anak kecil sedang bermain berlarian, seingatku tetangga terdekat disini cuma dua rumah dan tak punya anak kecil.
Kalaupun ada anak yang bermain pasti siang hari tapi hal itu jarang terjadi dihalaman rumahku. Dengan hati yang masih sesak aku berjalan kejendela serta menyelingkap sedikit selambu ruang tamu untuk melihat siapa gerangan yang main di tengah malam ini.
Sesampainya dijendela depan, mataku langsung melihat pemandangan halaman rumah yang tertutup kabut tipis. Dari dalam kabut terlihat dua anak kecil berlari – lari kejar mengejar dihalaman rumah.
Mereka berlarian memakai gaun putih yang indah tapi dengan rasa saling adu amarah, kuamati cukup lama kegiatan mereka tanpa rasa curiga. Tapi sekian lama anak – anak perempuan ini malah berlari mendekat kearahku, terlihat dari wajahnya pucat semua.
Terus mereka bermain lagi berlarian beputar-putar diterasku. Diakhir permainan mereka yang saling mengejar, keduanya berlari kearahku tepat dijendela. Waktu kulihat mereka berdua menembus dinding rumah…
disaat yang sama aku menunduk melihat badanku serta samping kanan-kiriku, ternyata anak-anak yang berlarian itu menghilang entah kemana.

Sejenak aku terdiam dan sadar bahwa anak-anak ini bukanlah manusia yang nyata,
melihat keganjilan ini badanku berputar cepat berbalik arah kembali keruang tengah. Tapi sewaktu berjalan cepat menuju ruang tengah sekilas mataku melihat kekiri ada sosok tiga orang yang duduk dikursi ruang tamu dengan berwajah pucat serta tatapan kosong.
Satu laki-laki, satu perempuan dan satu anak laki-laki ditengahnya. Dengan cepat aku berlari dan langsung mengunci pintu ruang tengah sebagai pembatas antara ruang tamu dan ruang tengah.
“Klek…klek…”

Sampai dikasur ruang tengah dengan cepat badanku tengkurap meringkuk disamping ayah, tak sadar aku membangunkan ia yang sudah tidur. “ada apa bang” Tanya ayah pelan yang mulai bangun dari tidurnya.
“Ada tiga orang diruang tamu kita yah” Jawabku dengan tubuh tertelungkup di samping ayah.
Suasana hening sejenak, ayah hanya merangkul dan mendekapku yang sedang ketakutan. Serta ia berkata lirih padaku…
“Diruang tamu itu sosok satu keluarga bang?” Tanya pelan ayah disamping telingaku.

“Benar yah” Jawabku dari dalam dekapannya.
“Dihalaman juga tadi ada anak-anak kecil berlarian menembus tembok ruang tamu, tapi anak-anak itu langsung hilang saat menembus tembok ruang tamu” Terangku pelan.
“Sabar bang, ayah juga sering melihat mereka, sebenarnya ayah juga bingung sudah banyak ayah bawakan macam-macam syarat serta do’a-do’a tapi mereka malah sering menampakkan wujudnya dirumah.
Makanya dari kemarin - kemarin ayah bilang kalau dirumah sekarang banyak penampakan semenjak mamak kau jatuh sakit.” Jawab ayah

“Sudah bang kau tidur saja sekarang, semoga mereka tak menggangu kita diruang tengah ini.” Jelas serta tangan ayah yang menyelimuti tubuhku.
Malam itu akhirnya aku tertidur dalam dekapannya ayah, tapi tidur dalam ketakutan rasanya jantung mau copot. Selalu was-was ketika mereka mulai menampakkan eksistensinya dirumah. Subuh menjelang, akupun tidak seperti biasa.
Hari itu aku cuma melaksanakan kewajiban dengan tayamum dan ritual wajib diruang tengah, jelas perasaan trauma berat yang kuhadapi malam itu. Selesai melaksanakan kewajiban bersama ayah, aku mau memasak tapi kulihat diujung ruang ini bahan makanan kami habis.
Rencana pagi itu aku mau kepasar untuk beli bahan makanan. Kuhampiri ayah yang sedang duduk nonton TV...

“Yah berasnya habis?” Kataku didepannya

“Ambil uangnya dibaju ayah yang tergantung itu bang,” Perintah ayah
Langsung kuambil uang yang ada, dikantong saku ayah ternyata hanya ada tiga puluh ribu rupiah. Setelah kutahu jumlah untuk belanja dan persiapan beberapa hari kedepan kurang, aku kembali kepada ayah…

“Yah untuk belanja ini kurang?” Kataku
“Pakai saja dulu bang, secukupnya. Uang kita sudah habis.” Jelas ayah dengan raut wajah sedih

“Maksudnya gimana yah?” Tanyaku lagi yang penasaran akan jawabannya
“Semua sudah ayah jual bang, semua kebun dan tabungan mamak kau sudah habis untuk biaya berobat kita semua selama ini.” Terang ayah yang tertunduk sedih

Selama sebulan terakhir memang ayah sudah tak terlihat berangkat kekebun lagi, ia hanya berangkat keluar bersama pak Slamet.
“Kini cuma tinggal rumah ini dan satu motor yang kita punya bang!!!” Terang ayah dengan rasa sedihnya.

Suasana shok jelas yang ada dalam otakku dipagi hari, jiwa muda yang tadinya tak terima atas jawaban ayah, perlahan luluh dan menyerah karena keadaan sudah seperti ini.
Dalam diam otak ini berpikir ulang, mau tak mau harus menerima kenyataan ini dan harus berpikir keras untuk bertahan hidup dirumah lembah. Tanpa pikir panjang lagi,
dihari yang masih pagi aku langsung kerumah pak slamet untuk minta bantuan, sukurnya ia baik hati dan mau membantu kami untuk beban masalah ekonomi.
14. Janur Kuning

Satu minggu berjalan bahan makanan sudah habis lagi, semua yang sudah bertumpu padaku. Dengan langkah pendek diriku meminta bantuan lagi, keadaan yang mulai minus ekonomi kami. Tapi tetap kucoba untuk tetap bertahan, meski entah sampai kapan.
Sampai akhirnya aku sudah bertekad dalam waktu dekat mau menjual rumah ini, serta isinya. Rencanaku setelah rumah terjual secepatnya aku sekeluarga pindah ke rumah om yang berada di Jakarta.

Bulan ketiga, minggu kedua awal.
Hari senin, kondisi ayah sudah tak berdaya lagi.
Ia perlahan seperti orang stroke dengan suhu badan yang semakin panas. Mamak masih tetap dalam kondisinya, hanya mulutnya yang terbuka sedikit untuk berjejal sedikit asupan bubur. Niko hampir seperti mamak kondisinya tapi matanya terkadang masih bisa terbuka meski jarang.
Aku sendiri kondisi tubuhku rasanya sangat berat, kepala sudah pusing dan panas, selesai merawat ketiga keluargaku aku langsung ikut tidur berdekatan bersama mereka.
Seadanya aku mati hari itu, aku sendiri sudah siap dan pasrah, karena kurasa badanku sudah tak kuat lagi menahan panas serta sakit disemua persendianku.
Dalam menahan rasa sakit ini, kutetap berdzikir menyebut namanya. Hanya lantunan do’a dalam hati sebisa-bisanya yang kupanjatkan khusus sekeluarga atas cobaan ini, serta memohon untuk jalan yang terbaik bagi keluarga kami.
Masih pagi sekitar jam delapan, kabut dihalaman rumahpun belum hilang. Tapi suara-suara penghuni lain dirumahku mulai bertabuh genderang dari kamar maupun dapur. Suara TV yang menyala tiada henti sebagai peredam rasa takutku terhadap mereka.
Dari halaman rumah terdengar suara mobil yang berhenti, badanku yang mulai rapuh serta rasa panas tubuhpun tak mampu untuk menahan rasa penasaranku untuk melihat siapa yang datang. Hanya tubuh yang membujur sakit untuk tetap memendam rasa penasaran itu.
Tok..tokkk..tokk..assalamu’alaikum..

Tok…tokkk…tok….assalamu’alaikum…

Tok…tokkk…tok…assalamu’alaikum… spadaaa….!!!
‘Sapa dari balik pintu ruang tamu yang tak sabar ingin masuk bertamu kepada kami’
Walaikum salam…Jawabku dengan suara mengeras serta menahan sakit disekujur tubuh.

Pagi yang menyusahkan waktu itu, aku berjalan dengan tertatih sekali terjatuh kelantai karena menahan sakit disemua sambungan tulang persendianku.
Setelah membuka pintu aku segera kembali kekursi ruang tamu tanpa melihat siapa yang datang.

“Masuk saja bang.” Perintahku yang sudah memegang kursi kayu untuk mulai duduk
“Den…deno…deno…???” Sapa sesorang dibalik punggungku, mulutku masih diam sementara badanku tertunduk karena menahan sakit. Kedua tanganku menjulur merapat terselip diantara kedua kaki, dengan badan yang bergetar pelan.
Sekilas dari belakang ada bayangan tiga orang, satu orang langsung duduk berhadapan denganku sedang yang dua mengampiriku saat duduk.

“Kenapa kau den” Tanya dari suara sosok pernah pria kukenal, ia yang sudah berada disamping kananku…
“Eh kau, rupanya bang.” Jawabku pelan serta kepalaku mulai mengingat sosok yang pernah kukenal, ternyata dia adalah Harun.

Harun adalah seorang kawan dari medan, ia tiga tahun lebih tua dari pada aku.
Entah apa tujuan ia kemari pagi itu, dan dapat dari mana alamat rumah yang baru ini akupun tak tau.

“Kau kenapa bang, mana ayah dan mamak kau?” Tanya sosok perempuan setengah baya yang mulai menunduk didepanku serta menempelkan telapak tangannya pada kedua pundakku.
“Oh wawak Ita (sebutan bude ita, ia adalah ibu dari bang Harun) lagi gak enak badan nih wak. Itu mamak juga lagi sakit sama ayah di dalam ruang tengah, masuk saja Wak!” Jawabku dengan mengacungkan jari telunjuk kearah pintu ruang tengah keluarga kami.
Wawak ita ialah sahabat karib sejak kecil mamakku dimedan, ia sudah seperti saudara sendiri bahkan melebihi dari kata saudara, kedekatan serta ikatan itu terjalin dimedan sampai sekarang.
Dengan keteragannku barusan, wawak Ita yang lama tak jumpa dengan mamak, ia langsung berjalan cepat menuju ruang tengah. Kutahu kebiasaan dia dan mamak pasti pengennya kangen-kangenan, dan saling curhat. Tapi yang ia dapati waktu diruang tengah tidak seperti yang ia harapkan…
“Bang….bang…bang…kenapa Mamak kau, adek sama ayah kau ini kenapa juga? apa yang terjadi sama kalian?”Teriak keras Wak Ita yang tidak terima atas keadaan ketiga keluarga kami dari dalam ruang tengah.
Mulutku masih terdiam, tak bisa menjawab apapun dari semua teriakan wak Ita, aku hanya bicara pelan kepada sobat karibku bang Harun “kami semua sakit bang”.
“Eh kau ternyata Mak Ita, kapan datang?” Hanya kata ayah yang lirih sampai lama kelamaan aku tak lagi mendengar dengan jelas percakapan ayah. Harun bersama kawannya dengan cepat masuk keruang tengah menghampiri mamaknya, sekian menit ia berdua akhirnya kembali dihadapanku.
“Sakit apa kau den, keluargamu kenapa?” Tanya Harun pelan dengan wajah haru penasaran.

“Tak tau aku bang, Satu persatu sejak tiga bulan yang lalu kami terkena penyakit aneh” Jelasku padanya yang tetap mendesis menahan sakit dipesendianku.
“Gimana ceritanya kau sampai bisa kemari bang?” Tanyaku pada harun yang berjongkok dihadapanku.

“Panjang Den ceritanya, sekarang kau duduk saja yang benar.”Perintah Harun dengan menyandarkanku dikursi dengan pelan.
Kudengar ruang tengah semakin ramai tangis wak Ita sejak kedatangannya, ia menangis mengeras dari dalam serta menyebut-nyebut nama mamak serta Niko berulang kali tapi tetap tidak ada jawaban.
Isak tangisnya yang sudah pecah mulai tambah mengeras lagi hingga akhirnya ia keluar dari ruang tengah berurai air mata. Masih terisak dalam tangisnya mamak bang Harun duduk lagi dikursi ruang tamu untuk menahan emosi dan kesedihannya sebentar.
“Braakkkk……” Suara bantingan pintu dari kamar ayah.

Suara yang mengagetkan tamu baru ini membuat semua menoleh kearah kamar tengah, hanya hening langkah harun dan kawannya laki-laki yang pergi kekamar ayah.
Setelah ia mengamati dari kamar, bang Harun kembali hanya menggelengkan kepala saja, lantas ia langsung duduk disampingku.

“Gila rumah kau den” Celetuk bang Harun
“Kau sama siapa ini bang” Tanyaku kepadanya untuk mengalihkan topik pembicaraan, karena kau sendiri tak enak mau bilang tentang gangguan-gangguan dari rumah ini.

“Ooohhh iya Den, kenalin ini kawanku dari Jawa” Perintahnya serta sambutan tangan kawannya ini
“Paijo mas, panggil saja jo” Katanya dengan mulai berjabat tangan denganku

“Deno bang.” Jawabku singkat.

‘Begini Den sebenarnya kami lagi liburan, kebetulan mamak tadi ingin mampir kerumah kau sekalian ngajak kalian berwisata.
Soalnya mamak baru pindah rumah dari medan minggu kemarin. Dari dua hari yang lalu ia sangat ingin bertemu dengan mamak kau, tapi niatannya kucegah dulu karena kusuruh mamak nunggu aku sampai rumah.
Aku sendiri baru balik dari Jawa kemarin Den, ya sekalian ingin lihat kau. Kan lama kita tak jumpa’ Terang bang Harun yang panjang.

“Ngomong-ngongong kau sudah usaha dan berobat kemana saja Den?” Tanya bang Harun
“Tak tahu lagi bang, udah kemana-mana kali. Mamak saja sudah opname dirumah sakit sebulan tapi gak ada hasil. Ayah saja tiap hari nyari tabib sama dukun sampai akhirnya ia ikut sakit seperti sekarang. Tak tau lah bang yang penting udah banyak.” Terangku pada bang Harun
“Ooohh begitu ceritanya! kalau begitu gini Den, kebetulan nih aku dulu di Jawa pernah ngalamin hal yang berat seperti kau ini. Gimana kau mau coba apa tidak?” Tawar bang Harun serius
“Terserahlah bang, yang penting kami bisa kembali seperti sedia kala.” Jawabku yang sudah mau menidurkan tubuh panas ini karena tidak kuat lagi menahan sakit.

Harun langsung mendekati kawannya yang bernama Paijo, ia berkata pelan meminta bantuan untuk keluargaku.
Setelah itu ia pamit “Den kami boleh keliling sambil lihat-lihat rumah kau” Pintanya. “Silahkan saja bang” Jawabku yang sudah terlentang dikursi panjang.
Sesaat kemudian ia pergi untuk mengamati keadaan rumah kami saat itu juga, ia berjalan memutari rumah dan masuk kesemua kamar bersama bang Harun.
Sampai beberapa belas menit kemudian mereka berdua sampai diruang tamuku lagi, hanya gelengan kepala mereka berdua saat berjalan mendekatiku. Sedang aku sudah terlentang dikursi karena sudah tak kuat menahan beban dikepala dan tubuh ini, rasa mual, pusing panas semua jadi satu.
“Sebenatar bang ya” Kata Mas Paijo yang mulai duduk disampingku

Paijo langsung duduk bersila dengan kedua tangannya ditaruh diatas ujung lutut, mulutnya mulai komat kamit terdengar lirih ia membaca mantra dari yang esa. Sekian detik berlalu rumahku mulai bergetar…
“Regggghhhh…Reeeggghhh….Reeegggghhhh”

“Jo…jo…jo… rumahnya goyang Jo….!!!!rubuh ini jo kalau diteruskan….kata bang Harun yang disampingnya dengan tatapan wajahnya menghadap kelangit-langit rumahku.
“Iya run” Jawabnya Paijo, dengan mengakhiri ritualnya

“Ada apa bang rumahnya kok bergetar, mau roboh” Sahut Keras wak Ita dari dalam ruang tengah.
“Tak ada apa apa mak!” Jawab Bang Harun!!!
Paijo lantas menurunkan kakinya dan kembali duduk seperti biasa, ia berfikir sejenak dan berbicara sebentar kepada bang Harun untuk meminta persetujuannya.

Sekian detik ia langsung mendekatiku…
“Mas Deno gimana kalau sekarang semua keluarganya abang untuk sementara waktu ikut kerumah bang Harun” Kata mas Paijo serius

“Ya gak papa mas, Deno ikut saja. Apa gak ngerepotin bang Harun sama keluarganya di kecamatan sebelah” Jawabku dengan bibir mulai mengigil
“Enggaklah den tenang saja kau, masak kau tak tau aku ini siapa? kau dari dulu sudah kuanggap lebih dari saudara bagiku den?” Jawabnya meyakinkan aku.
Tak sadar Wawak Ita yang mendengar serta mencermati pembicaraan kami dari ruang tengah berteriak keras, “Ikuti saja kata mereka Den”. Setelah itu wawak Ita keluar dari ruang tengah menuju bang Harun dan mas Paijo, mereka berunding untuk mencari yang terbaik bagi kami semua.
Hasilnya mereka berkeinginan keras dan bulat membawa kami semua dari rumah setan ini saat itu juga.

Setelah pembicaraan itu kami semua satu persatu dibawa bang Harun dan Mas Paijo masuk kedalam mobilnya.Yang pasti mobil itu berjejal penuh dengan posisi mamak dan Niko terlentang,
sedang aku, Bang Harun dan ayah duduk disamping mereka. Sekian jam akhirnya kami sampai dirumah bang Harun yang berada dikota. Secara perlahan kami berempat seperti mayat hidup yang dipindah dari mobil ke dalam rumah bang Harun,
beberapa tetangga terhenti memandangi kami yang digotong satu persatu masuk rumah.

“Kanapa itu bang” Tanya tetangga bang Harun yang berdiri didepan rumah

“Sakit stroke bang” Jawab bang Harun yang sedang menutup pintu mobil.
Mamak dan Niko ditidurkan dikamar Wak Ita, sedang aku dan ayah tidur dikamar bang Harun. Karena kondisi fisikku semakin melemah beberapa saat kemudian akhirnya akupun sudah tak sadar.
Ceritanya biar dilanjutkan sama mas Paijo dan bang Harun.
FYI. Cerita ini berganti sudut pandang kepada mas Paijo dan bang Harun.(oke den kau tidur saja, biar Mas Jojo yang lanjutin kisah pahit kau…)
Awal kedatanganku ikut harun kerumahnya adalah untuk liburan dan rekreasi karena menurut infonya, rumah Harun yang baru tempatnya banyak tempat wisata yang terkenal indah. Tapi saat mau hapy-hapy aku dihadapkan pada kenyataan yang berbeda.
Setelah Deno dan keluarganya terlentang di rumah keluarga Harun akupun dengan cepat menghubungi Ki bagus, guru spiritual yang membimbingku dan Harun di Jawa.

“Tuuttt…tuuttt..” assalamu’alaikum ki” Salamku dari HP

“Walaikum salam mas Jo, gimana liburannya?” Tanyanya yang ramah
“Ki…keluarga temannya bang Harun sekarat. Gimana ini ki”? Tanyaku cepat karena panik

“Sekarat gimana Jo, coba jelaskan pelan-pelan jangan panik. Aki biar tau apa masalahnya?” Kata Ki Bagus yang mulai serius
Masih dalam telpon aku menjelaskan secara singkat akan kondisi keluarga Deno waktu itu, selesai bercerita beliau diam sejenak untuk memikirkan solusi untuk keluarga bang Deno.
“Mas Jo, kamu sekarang cari lima helai janur kuning. Setiap orang kamu ikat pinggangnya dengan janur itu. Serta sisakan satu helai buat aki?” Jelas beliau

“Lha buat apa aki minta satu.” Jawabku penasaran.
“Ah nanya terus mas Jo ini, lakukan perintah aki” Jawabnya yang tetap ramah

“Rencananya aki lusa ke medan jadi sekalian mampir ke rumah Harun kalau begini ceritanya.”? Jelas Ki Bagus yang perhatian kepada bang Harun
“Ya ki terima kasih, kalau mau nyampe kabari kabari Paijo ya Ki?” Ucapku senang

“Ya Jo, tapi setelah kau ikat mereka dengan janur kuning setelah tiga jam kabari Aki lagi ya?” Jelas Ki bagus sambil menggodaku
“Jangan lupa salam aki untuk Harun dan keluarganya disitu”? Pesan Ki Bagus

“Siap Ki” Jawab serta panggilan telpon terakhir yang kuputus duluan.
Setelah mendapat perintah, aku dan Harun langsung pergi kepasar untuk mencari janur kuning. Sekitar beberapa puluh menit kemudian kami kembali kerumah.
Sampai dirumah Harun dan aku membacakan mantra sebentar didepan janur kuning itu, selanjutnya melaksanakan perintah Ki bagus untuk mengikat pinggul mereka semua dengan janur kuning dan menyisakan satu buat beliau yang akan datang besok lusa.
Tugasku sudah selesai aku bersama dengan Harun serta ayahnya duduk-duduk diruang tamu sambil membicarakan musibah yang menimpa keluarga Deno. Tiga jam berlalu, suara teriak dari ibunya Harun terdengar dari ruang tamu…
“Bang…bang….bang…mamaknya Deno sama Niko matanya terbuka dan bisa bicara…” suara keras yang membuat kami bertiga berlari cepat kekamar ibunya Harun.
Sesampainya kami dikamar, Ibunya Deno terlihat sudah bangun dengan Niko, mereka sudah membuka matanya dan mulai bicara perlahan. Serta membetulkan tempat duduknya, mereka berdua langsung bersandar dibantu dengan Bu Ita.
Tak lama kemudian dari kamar sebelah teriakan Harun yang sudah berada dikamar sebelah berteriak…”Yaahhhh…Jooooo….Deno sama ayahnya juga sudah bicara…”

Aku serta ayahnya Harun ganti berlarian kekamar Deno…mereka terlihat sama dengan ibu dan adiknya.
Mulai bicara dan mata sudah terbuka, hingga akhirnya mereka mulai duduk bersandar di ranjang. Kami yang senang dengan melihat keadaan itu langsung terlempar satu sama lain senyum dan wajah sumringah. Dan terdengar suara dari kamar sebelah…
“Ini dimana ? Mak Harun, tolong saya antar kekamar mandi?” Pinta ibu Deno yang terdengar dari kamar sebelah.

“Ini dirumahku, ayok…apa kau bisa jalan.” Jawab dan tanya ibu Harun
Hanya anggukan kepala ibu Deno yang terlihat. Seketika ibu Deno langsung berdiri dan tubuhnya merasa ringan, ia langsung berjalan menuju kekamar mandi diantar Ibunya Harun. Mereka semua akhirnya bergantian masuk kekamar mandi satu persatu untuk membuang hajat, dan bersuci.
Langkah mereka selanjutnya menuju mushola keluarga Harun yang ada ditengah ruangan. Shalat jama’ah dan sujud sukur yang mereka lakukan bersama dengan haru dan isak tangisnya mulai terdengar lirih.
Aku yang senang dan haru melihat kebangkitan keluarga Deno, mata ini mengamati penuh kebahagiaan dari belakang mereka. Tiba-tiba HP ku bergetar dari saku celana, setelah kutahu itu panggilan dari Ki bagus aku langsung mengangkatnya.

“Gimana Jo, keluarga Deno?” Tanya Ki Bagus
“Sudah siuman semua ki” Jawabku

“Alhamdulilah…jangan lupa lusa jemput aki ya, masalahnya itu belum selesai” Terang Ki Bagus

“Ki bagus apakan itu keluarganya si Deno?” Tanyaku penasaran
“Sudah nanti saja aki jelaskan kalau sudah dirumah Harun. Satu lagi Jo, jangan dilepas selama aki belum datang janur kuningnya. Kecuali kalau kekamar mandi!!!” Pinta Ki Bagus

“Siap ki” Jawabku singkat.
Selesai mereka melakukan ritual dimushola, kami semua berkumpul diruang tamu Harun, semua duduk rapi. Seperti tidak pernah sakit sama sekali, pemandangan yang mengherankan waktu itu.
Bukan saja dari keluarga Harun, aku sendiri pun baru pertama kali mengalami kejadian seperti ini seumur hidup.
Dalam benakku masih ragu antara percaya dan tidak percaya atas apa yang baru saja terjadi, hanya dari seutas janur kuning saja beberapa jam kemudian mereka berempat siuman secara bersamaan. Tapi inilah kenyataannya, waktu itu saat dirumah Harun.
Malam itu, Ruang tamu Harun mulai dipenuhi senyum bahagia dan rasa haru mulai terpancar dari mata para penduduknya. Di ruang tamu berukuran 4 x 4 meter itu dengan pancaran cahaya lampu putih yang menerangi sampai ke sudut ruang,
Ibunya Deno dan ibunya Harun berpegangan tangan erat dengan saling peluk haru dan berbicara dalam dekapan untuk melepas rindu. Sedangkan Deno, Niko serta ayahnya mulai berbicara ceria serta penuh syukur dengan kami.
Dalam keramian obrolan masing-masing, diruang tamu yang penuh kebahagiaan tiba-tiba terhenti sejenak ketika ibu Deno membicarakan pengakuan keberadaannya selama ini kepada ibu Ita. Seketika itu juga semua mata kami secara perlahan mulai tertuju kepada mereka berdua…
“Selama ini kau tak ingat lagi dimana mak Den?” Tanya ibu Ita serius dalam tatapan sayangnya serta tangan bu Ita masih menggenggam erat jari jemari Ibu Deno.
“Selama ini aku merasa berada diatas hamparan awan putih luas tiada matahari dan sangat sepi, kakiku berlari kesana kemari tapi tetap sepi, tak ada siapapun, bahkan suarapun tak ada wak!!!
Padahal aku juga sudah berteriak-teriak kencang sekali, tapi tetap tak ada jawaban hanya hening dan sepi yang menemaniku selama itu.” Jelas panjang Ibunya Deno yang antusias
“Aku sendiri seperti didasar danau wak, tapi seperti tak ada sinar matahari atau sinar apapun yang bisa menembus gelapnya danau itu! Hanya gelap dan hamparan tanah lembek yang aku injak, tapi anehnya aku merasa bisa bernafas.” Sahut Niko yang sudah menatap tajam kedua wanita itu.
Serentak pandangan kamipun semua beralih kepada Niko, dan menghayati apa yang ia telah lakukan selama ini dalam kondisi tidak sadarnya Niko.

“Sama, mak! Niko merasa berjalan kesana kemari di dasar tapi gak ada orang sama sekali.
Mataku hanya menatap kelebatan-kelebatan hitam seperti ikan raksasa, Teriak-teriakpun tak ada jawaban” Jelas Niko, serta tatapannya tetap menuju kedua ibu ini.
“Kalian tau sudah berapa lama tubuhmu tertidur tak sadarkan diri?” Tanya bu Ita, tapi ibu Deno dan Niko hanya bisa menggelengan kepala saja.

“Tiga bulan lebih mak Den!!!” Ucap singkat bu Ita
“Kau sudah satu bulan lebih Nik.” sahut Deno
Kepala Ibu Deno hanya menunduk, menggeleng pelan dan mulai memeluk tubuh wak Ita lagi. Tangis sesenggukan dan peluk erat yang terlihat pada keduanya.
Sedang Niko langsung dipeluk Deno dengan sayangnya, suasana haru keluarga ini terus berlanjut sampai malam hari. Sampai jam berapa aku sendiri tak tahu, sekitar jam satu malam aku pindah ke kamar Harun untuk tidur.
Pagi-pagi buta, setelah melakukan shalat wajib dan membereskan kamar serta rumah, kami semua kaum pria berkumpul di teras rumah Harun. Untuk para kaum wanitanya semua memasak didapur bersama-sama.
Sekitar jam tujuh pagi hidangan tersaji dimeja ruang tengah, setelah mendapat perintah dari ibu Ita kami langsung sarapan bersama. Sarapan pagi itu terasa sangat nikmat dan menyenangkan. Semua terlihat akrab dan sesekali dibumbui dengan guyonan kecil.
Selesai sarapan aku mendapat telpon dari Ki Bagus.
“Mas Jo, kondisi keluarga temannya Harun bagaimana?” Tanya ki Bagus santai

“Sudah sehat dan sadar sampai sekarang ki.” Jawabku dengan berjalan keteras
“Mas, habis ini coba kamu datangi markas yang membuat keluarga Deno sakit. mereka ada di belakang rumah si Deno?” Perintah tegas Ki Bagus

“Dimana itu ki, tepatnya?” Jawabku dengan duduk dikursi teras
“Di balik bukit setelah melewati kebun karet. Tepatnya di areal hutan balik bukit itu” Jelas Ki bagus.

“Jauh itu ki tempatnya kalau dari sini” Jawabku dengan membayangkan jarak antara rumah harun dan lokasi markas dukun teluh itu.
“Le..tole…sukmamu saja yang berangkat, itukan cuma hitungan detik” Jelas Ki bagus.” Terang Ki bagus dengan tawa kecilnya

“Ajaklah komunikasi dengan baik – baik yang mengirim teluh itu, untuk menyudahi perbuatan jahatnya.” Perintah Ki Bagus kepadaku
“Ooohh iya ki, bener juga. Siap ki! habis ini saya kerjakan.” Jawabku penuh semangat yang sudah duduk diteras Harun.

Sehabis mendapat perintah dari ki Bagus, dengan segera kaki ini melangkah cepat menuju ke kamar mandi untuk bersuci.
Kemudian aku bergegas memanggil Harun yang berada diruang tamu untuk menemaniku dikamarnya. Sebelumnya kuceritakan pada harun bahwa aku mendapat tugas dari ki Bagus untuk mendatangi tempat tukang teluhnya Deno.
Harun sendiri dengan penuh semangat mengikutiku melakukan ritual dikamarnya. Waktu dikamarnya kuhamparkan sajadah diatas lantai keramik putih, dengan segera kaki ini mengambil posisi duduk bersila mirip semedi.
Tanganku yang bersendekap didada menghadap kebarat, sedang Harun kuminta untuk menjaga jasad kasarku tetap didalam kamar.

Memang benar apa yang menjadi perintah Ki Bagus, secepat kilat tubuh halus ini sudah mencapai tempat yang ditunjukkan oleh ki bagus.
Sebelum menuju kerumah utama ditengah hutan ada lima pos kecil untuk mirip seperti gerbang ghaib.Sekian lama kuamati dari atas, Hanya dengan melewati per pos itulah jalan satu-satunya untuk menuju kerumah utama.
Setelah melihat gerbang pertama dari atas awan,aku langsung turun.
Gerbang pertama, gerbang ini berwarna hitam seperti gapura menjulang tinggi dan tertutup pintu seperti batu. saat aku sampai didepan gerbang mata ini melihat dua sosok penjaga bertubuh tinggi besar bediri disamping kanan dan kiri.
Mereka bertubuh manusia memakai baju layaknya seperti didunia nyata tapi kepalanya berwarna hitam sedangkan bentuknya persis seperti kepala kuda.
Sesuai arahan Ki bagus aku mulai berjalan pelan mendekati mereka untuk bertemu tukang teluhnya, meski perasaan sedikit takut, tapi kaki ini tetap berjalan dan mendekat...
“Mau apa kau kesini manusia?” Tanya siluman dengan bibir kuda yang moncong kedepan.

“Eh bang aku hanya ingin bertemu pimpinan kalian?” Jawabku pada mereka.
“Hadapi dulu kami kalau bisa” Jawabnya mulai marah
Mereka berdua tanpa senjata mulai berjalan kepadaku, salah satu dari mereka tanpa aba-aba langsung memukul kearahku dan membanting tubuhku.
Padahal Niatku cuma ingin ketemu dan berbicara baik-baik sama pimpinannya malah dihajar, dengan cepat dan sedikit emosi aku langsung berdiri membalas pukulan mereka.
Tubuh halus ini melawan satu persatu siluman ini, keadaan langsung berbalik, ganti aku yang menghajar mereka tanpa ampun sampai tersungkur ditanah. Saat mereka sudah tak berdaya lagi, dua siluman ini langsung kubakar mati, dari pada repot sendiri dikemudian hari.
Selesai digerbang pertama, aku sudah menang. Pintu gerbang seperti batu itu terbuka menyamping dengan sendirinya. Selanjutnya Kakiku berjalan merangsek masuk digerbang kedua.
Sampai digerbang kedua ternyata disitu ada penjaganya lagi, kali ini sosoknya ada dua sosok bertubuh manusia berkepala babi. Mereka duduk didepan gerbang sedang tangannya masing-masing membawa sebilah pedang,
dengan sikapnya dan gerak geriknya sepertinya mereka sudah tau akan kedatanganku. Mereka berdua langsung berdiri maju kearahku, tanpa ada pembicaraan. Aku yang sudah berdiri dihadapan mereka langsung dikeroyok tanpa ampun,
setelah bertarung sekian lama dengan susah payah menghindari sabetan pedang dari mereka ternyata aku kalah. Untungnya tubuh halus ini cuma dihajar saja tanpa ampun, tanpa ada tebasan yang mengenaiku.
Saat aku merasa kalah dan sudah tak berdaya, dengan cepat aku kabur kembali kerumah Harun. Dengan cepat pula tubuh halus yang sudah sakit ini melesat cepat kembali ke jasad kasar.

“Fuussshhhhh…”
Saat sampai dikamar tubuh halus ini memasuki tubuh kasar dengan cepat, dan tubuh kasar ini langsung tersungkur ikut merasakan sakit dan tak berdaya.

“Jo…jo… kamu gak papa” Tanya Harun, serta kedua tangannya dengan cepat mengangkat dan membaringkan tubuhku dikasur kamarnya.
“Aku kalah Run, sakit semua rasanya tubuh ini.” Jawabku pelan menahan sakit disemua badan ini.

Saat itu juga kulihat seluruh tubuh kasar ini mulai lebam dan memar membiru, serta kepalaku rasanya sangat berat, pusing dan sakit.
Aku yang sudah terbaring dikamar harun tergeletak tak berdaya dengan posisi setengah melingkar menahan sakit dikepala, sedang Harun dengan cepat mengambilkan air minum. Selesai itu aku perintahkan harun untuk menghubungi Ki Bagus dengan Hpku yang sudah berada dimeja kamar.
“Halo…Ki?” Sapa Harun yang sedang menelpon disamping tempat tidurku dengan panik.

“Iya, Jo. Gimana?” Jawab Ki Bagus

“Ini Harun ki, Jojo badannya memar semua dan tidak bisa bangun” Jawab Harun yang tambah panik
“Tenang dulu Run, coba kau kasihkan telponnya ke Mas Jojo dulu?” Pinta Ki Bagus dengan tenang

“Mas Jo…kenapa kamu?” Tanya singkat Ki Bagus tanpa rasa kaget sama sekali

“Saya habis dihajar ki, sama penjaganya digerbang kedua.” Jawabku sedikit merintih
“Hehehe…sabar mas jo, tunggu aki besok sampai di situ ya. Kalau kamu masih sakit biar besok Harun saja yang jemput aki?” Perintahnya dengan santai seakan tahu kondisiku biasa saja.
“Ya sudah sekarang kamu istirahat saja disitu sambil baca do’a seperti biasanya ya?” Perintahnya lagi yang tenang.

“Baik ki” Jawabku singkat.

Setelah sambungan telpon terputus, langsung kubaringkan kembali tubuh ini untuk istirahat karena masih menahan sakit disekujur tubuh.
Siang itu, Harun tetap setia menunggui aku dikamarnya, Sesekali keluarga Harun dan Deno bergantian menjengukku ke kamar untuk melihat dan memastikan kondisiku yang sakit.
Harun juga meyakinkan kedua keluarga ini bahwa kondisiku akan segera membaik,karena Harun juga membacakan do’a untuk kesembuhanku.
Esok hari, janji Ki bagus datang.Sekitar jam dua siang ia sms ke nomor hpnya Harun,isinya meminta untuk menjemput Ki bagus di bandara dua jam lagi.
Harun bersama ayahnya serta Deno berangkat duluan untuk menjemput Ki Bagus, selang beberapa jam akhirnya beliau sudah sampai juga dirumah Harun.
Dasar ki Bagus orangnya yang santai dan tenang serta suka bercanda, ia datang tak langsung menghampiriku tapi malah bercanda dulu diruang tamu. Sekian puluh menit kemudian ia baru menghampiriku dikamar…
“Mas Joooo…bangunnnn” Ucap ki bagus yang sudah duduk disampingku

“Eh Aki ???” Jawabku singkat pura-pura tidak tahu kedatangannya.

“Masih sakit, mas?” Tanyanya dengan senyum

“Ya masih ki, ini saja dari kemarin belum bisa bangun” Jawabku sedih
“Hehehehe… sabar mas, kalau gak gini mas jo belum tau rasanya dihajar setan” Candanya yang menjengkelkan, sedang aku sendiri hanya melempar senyum kecut.
Setelah itu, ia minta kepada harun untuk menyediakan satu gelas air putih.
Kemudian Ki bagus langsung memberikan mantra pada air itu serta melaburi tubuhku dengan airnya. Terakhir sisa air itu diminumkan kepadaku. Setelah itu akupun kembali istirahat dikamar Harun, sedang Ki Bagus kembali keluar menuju teras.
Suasana teras yang asri dan sejuk membuat aki ingin bersantai dulu untuk melepas lelah setelah perjalanan jauh. Saat diteras ia langsung dikerumuni oleh keluarga Harun dan Deno, mereka sangat senang dan sangat berterima kasih akan kepedualian serta kedatangannya.
Dua keluarga ini saling gantian bercerita tentang apa yang dialami Keluarga Deno, tapi dengan bahasa canda tawa. Memang gaya pembawaan ki bagus tidak pernah serius dalam hal seperti ini, agar yang mengalami musibah tidak takut dan sedih.
Pembawaannya ki Bagus seperti berdongeng lucu untuk menghibur mereka.

Sekitar jam tujuh malam aku terbangun, aku merasa sudah sehat dan pulih lagi. Sakit dan memar disekujur badanku telah hilang.
Malam itu aku langsung bergegas mandi, sholat dan makan malam, waktu menuju keruang tamu ternyata di ruangan itu sudah ada ki Bagus, keluarga Deno dan Harun. Kelihatannya mereka habis merencanakan sesuatu.
Saat itu Harun mulai siap dan mereka mau berangkat, tapi ki Bagus mendekat kepadaku dan bertanya.

“Sudah sehat, Mas Jo” Tanya Ki Bagus

“Sudah ki” Jawabku pelan

“Mau ikut Kerumah Deno” Tawarnya sambil menggodaku

“Ya mau ki” Jawabku semangat
“Kalau begitu bawakan janur kemarin yang aki suruh sisakan buat aki?” Perintahnya
“Ya Ki” Jawabku serta langkahku kembali ke kamar Harun untuk mengambil janur kuning yang kemarin kusimpan
Setelah itu aku, Harun, Deno, pak Wijaya, Niko dan ki Bagus berangkat dengan membawa mobil menuju kerumah Deno di lembah.
Waktu diperjalanan diceritakan kondisi rumah Deno saat aku pertama datang kepada ki Bagus. Terakhir aku kesana hampir roboh rumah Deno ini dan banyak penunggunya yang jahat di dapur, kamar orang tua Deno serta diruang tamu.
Mendengar penjelasanku Ki Bagus hanya diam saja tanpa ada sesuatu yang keluar dari mulut, seakan – akan ia tahu apa yan terjadi.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, akhirnya kami sampai dirumah Deno, kabut tebal sudah menyelimuti rumahnya.
Malam itu rumah Deno gelap tanpa ada satu pun cahaya lampu menerangi dirumahnya. Hanya beberapa hari saja rumah yang sudah mau roboh itu tak ditempati rasanya sangat menakutkan.
Pak Wijaya yang sangat mengenal betul rumahnya melangkah masuk terlebih dahulu kerumah tanpa rasa takut, ia masuk kedalam untuk menghidupkan mulai lampu teras dahulu dan selanjutnya seluruh lampu didalam rumah.
Tapi malam itu rumah Deno tetap berbau busuk seperti saat aku pertama datang kemari, bau ini membuat rumah semakin ngeri ketika malam datang. Sekian menit setelah lampu menyala semua langsung berkumpul diruang tamu.
Sementara Deno dan ayahnya merapikan dan membersikan rumahnya sebentar,setelah itu mereka mengambil sedikit pakaian yang nanti akan dibawa kerumah Harun.

“Ayo kita lihat semua yang ada disudut kebun rumah ini” Pinta Ki bagus

Sesampainya dipojok kanan rumah Deno, kami terhenti.
Sorot lampu senter dan lampu petromax terhenti diatas gundukan kecil seperti markas rayap.

“Pak wijaya tolong ambil cangkul dan kain kafannya” Perintah Ki bagus lagi
Dengan cepat pak wijaya ke gudang yang berada dibelakang, sedangkan Deno pergi kemobil untuk mengambil kain kafan. Selang beberapa detik, mereka telah kembali lagi bersama kami.
“Tolong gali disini” perintah Ki bagus sambil menunujukkan dengan senter yang sudah ditangannya.
Pak Wijaya mulai menggali tanah, sedang aku sama Harun melihat dan menyinari tanah itu dengan lampu petromax,
saat cangkul sudah mengali dikedalaman sekitar 30 cm terlihat ada beberapa tulang. Aku sendiri tak tahu jenis tulang apa yang jelas tulang itu lumayan besar, “Den masukkan dan bungkus tulang-tulangnya ke kain kafan semua“ pinta Ki bagus.
Deno dengan cepat memasukan tulang-tulang itu kedalam kain kafan yang sudah disiapkan. Kemudian kami berempat bergegas menuju ke halaman depan sebelah kiri melanjutkan menggali lagi. Tanahnya sedikit keras sehingga Pak Wijaya agak kesulitan menggalinya.
Butir-butir keringat mulai membasahi keningnya, tapi beliau terus menggali sampai menemukan beberapa tulang lagi. Dengan sigap Deno mengambil dan memasukkannya kedalam kain kaffan. Setelah itu, kami lanjutkan di dua lokasi yang berada disudut kanan dan kiri dibelakang rumah.
Setelah semua tulang belulang itu terkumpul, kami lalu menguburkannya lagi disamping rumah secara layak serta mendo’akannya.
Dibelakang rumah yang masih gelap tiba-tiba mulai terdengar samar-samar tangisan seorang wanita dari arah dapur. Kami hanya saling pandang, sambil terus mendengar tangisan itu. Tangisan dari seorang wanita yang sangat tersakiti dan memendam kepedihan yang mendalam.
Suara tangisan yang melengking itu sangat menyayat hati para pendengarnya. Tanpa menghiraukan suara tersebut, Ki Bagus hanya memerintahkan kami untuk kembali keruang tamu. Tanpa berfikir panjang kami langsung menuju ke ruang tamu.
Dengan cepat ruang tamu Deno sudah terisi dengan kehadiran kami, Karena rasa takut pada kami sudah menyelimuti. Ki Bagus langsung duduk dikursi sendirian, sedangkan aku disuruh duduk disampingnya. Semua dalam keadaan hening dan takut seketika tapi tidak bagi ki bagus.
Krieeeetttt…bruaakkkk…[bantingan suara jendela dari dalam jendela dari kamar ayah Deno]

“Astagfirullah” ucap spontan dan jingkatan kecil tubuh kami semua diruang tamu.

Semua mata saling berpandangan ikut merasakan kengerian rumah Deno.
Hawa dingin semakin membuat suasana semakin mencekam, suara tangisan perempuan dari dapurpun masih terdengar jelas. Tapi suasana itu tidak berlaku bagi ki Bagus, ia benar-benar tak menghiraukan keadaan suara-saura dirumah Deno.
Dalam hening yang mulai terpecahkan oleh suara ki Bagus, beliau berpesan kepada harun dan pak wijaya …

“Pak Wijaya, mas Harun tolong jaga kami, saat saya dan Jojo duduk diam disini.
kalaupun ada suara-suara dari luar dan dalam rumah jangan dihiraukan, pokoknya tetap tenang dan jaga saja kami. Tapi kalau rumah pak wijaya bergoncang kuat bawa segera tubuh kami segera keluar dari rumah ini” Perintah serius Ki bagus
Pak Wijaya dan Mas Harun hanya menggangukkan kepalanya bersamaan. Kemudian mereka berdua mulai mendekat pada tubuh kami dan bersiap siaga. Setelah itu, aku dan ki bagus sama-sama memejamkan mata, tapi ki Bagus memegang tangan kananku terlebih dahulu.
Saat mata terpejam dan konsentrasi, tubuh halus mulai keluar perlahan. Saat aku sudah berada didepan jasad kasarku, ternyata ki Bagus sudah berdiri siap dengan tubuh halusnya, tak lupa ditangan kanannya membawa seutas janur kuning.
Kami berdua yang sudah berdiri di ruang tamu sejenak melirik tubuh kasar kami masing-masing dan selanjutnya dengan cepat kami melesat kehutan dibalik bukit kemarin.

Setelah sekian detik aku sudah sampai digerbang pertama. Kami berdua terdiam sejenak, lalu ki Bagus berkata...
“Mas Jo ikuti saja Aki dari belakang” Perintahnya dengan menoleh sedikit kearahku

“Iya ki” Jawabku yang langsung mundur, dan mulai berdiri dibelakangnya
Kami mulai berjalan dari gerbang pertama, tapi yang kulihat gerbang pertama sudah tidak ada penjaganya.
Kami langsung melanjutkan menuju kegerbang kedua, ternyata penjaga yang kemarin sudah berdiri tegap dan siap membantai kami. Dengan pedang besar berkilauan ditangannya membuat kedua penjaga itu menjadi semakin menyeramkan. Matanya merah melotot menatap kami, kemudian...
“Masih berani kau kesini lagi manusia? apa kau pingin mati malam ini?” Bentaknya keras

“Tak akan kubiarkan kau malam ini kabur…
Hahahaha…!!!Teriak siluman berkepala babi.
Aku hanya diam seribu bahasa, dan tetap berada dibelakang ki bagus. Sejenak terlintas bagaimana kedua penjaga itu menghajarku sampai babak belur tanpa ampun.
Sebenarnya rasa takut masih menyelimutiku karena habis dikalahkan oleh siluman kepala babi itu kemarin. Tapi aku tetap berusaha untuk tetap tegar dan berharap Ki bagus tidak kalah seperti aku kemarin.
15. Dukun Hitam

Ki Bagus tetap berdiri terdiam tanpa menghiraukan ancaman Siluman Babi penjaga gerbang. Suasana seketika hening, kedua siluman babipun terdiam seakan tak mampu untuk berkata-kata lagi.
Ki Bagus mulai membuka matanya dan mengarahkan tatapan tajam ke arah kedua siluman babi. Pancaran energi dahsyat mulai memancar dari tubuh ki Bagus. Tanpa berbicara lagi, ki Bagus langsung mengeluarkan janur kuningnya, seutas janur kuning digenggam erat-erat di tangan kananya.
Dua siluman babi yang angkuh tersenyum geli melihat Ki Bagus dengan janur kuningnnya. Namun, tiba-tiba janur kuning itu memancarkan kilauan cahaya kuning keemasan dan menyilaukan mata kedua siluman babi yang ada dihadapan Ki Bagus.
Tak lama kemudian pancaran kilauan cahaya janur kuning berangsur menghilang, namun hal aneh terjadi dengan janur kuning. Seutas janur kuning yang digenggam Ki Bagus berubah menjadi pedang panjang dengan kilauan berwarna kuning.
Kedua siluman babi yang melihat pertama kali pedang itu masih tersenyum geli, mereka sangat menyepelekan dan mulai tertawa sombong. Dengan tenang ki bagus mulai berjalan kearah mereka berdua dan langsung menebas salah satu tubuh mereka tanpa perlawanan.
Tercengang dan terdiam siluman babi yang satunya seakan tidak percaya temannya bisa terbunuh dan tubuhnya tersungkur di tanah tanpa ada perlawanan. Tanpa berfikir panjang, siluman babi langsung menyerang ki bagus dengan marah.
Tapi dengan tenang ki Bagus menghindar sedikit dari amukan pedang siluman babi. Amarah siluman babi membuncah dan tak bisa dibendung lagi, bertubi-tubi pedang dihujamkan ke arah Ki Bagus. Namun dengan sedikit gerakan Ki bagus menghindar dari ancaman tersebut.
Aku hanya bisa terdiam melihat pertarungan Ki Bagus melawan siluman babi. Tak lama kemudian Ki Bagus langsung membalas dengan menebas kepala siluman babi tanpa pertahanan. Ternyata janur kuning itu dengan mudah membelah dan membakar tubuh siluman babi sampai habis.
Kekalahan mereka membuat pintu gerbang kedua ini terbuka kesamping kanan,kami berjalan tenang menuju gerbang ketiga.

Sekian detik kami sampai di depan gerbang ke tiga, disini gerbang semakin besar dan sudah ada empat manusia berkepala buaya dengan muka beringas dan menyeramkan.
Mereka berdiri tegap didepan gerbang dan siap menyambut kami dengan senjatanya. Siluman buaya ini membawa tombak panjang dan runcing sebagai senjata andalannya. Salah satu dari siluman buaya itu berteriak dan menghardik kami.
Ki Bagus yang berjalan didepanku diam seribu bahasa dan terus melangkah mendekati mereka. Langkah pasti tanpa mengenal rasa takut dengan sebilah pedang panjang yang memancarkan kilau kuning keemasan di tangan kanannya.
Tanpa menunggu lama ki Bagus langsung menyerang keempat siluman buaya yang sudah siap didepan gerbang. Perkelahian serupun terjadi. Kilauan sabetan pedang dan gemerincing tombak saling bersahutan. Satu persatu siluman buaya itu ditumbangkan tanpa ada perlawanan yang berarti.
Akhirnya ki bagus berhasil membantai tubuh mereka semua dengan janur kuning di tangan.
Sungguh heran dalam hatiku, para siluman itu seakan lemah dan tidak berdaya terkena sabetan pusaka Janur kuning. Tubuh mereka hancur dan terbakar seperti siluman babi digerbang kedua.
Sempat kulihat sisa terbakarnya para siluman itu seperti awan gelap. Secara perlahan pintu gerbang ketiga itu pun terbuka dengan sendirinya, sepertinya para siluman penjaga berperan sebagai kunci dari pintu gerbang ini.
Kami pun melanjutkan perjalanan kembali menuju gerbang keempat.

Dalam perjalanan ke gerbang keempat, aku hanya diam dan tidak berbicara sedikitpun. Aku juga tetap berjalan dibelakang Ki bagus, sambil anganku bergentyangan mengingat aksi ki Bagus dengan janur kuningnya.
Kami terus berjalan mendekati gerbang keempat. Kemudian langkah kami terhenti sekitar beberapa meter didepan gerbang keempat. Ki Bagus terdiam dan tetap berdiri tegap didepan gerbang dengan masih menggenggam janur kuning ditangan kanannya.
Tampak sekelebat cahaya muncul didepan gerbang tanpa tahu asalnya. Sekejap muncul puluhan siluman penjaga dari gerbang keempat berbaris membentuk pagar betis melingdungi gerbang. Para penjaga ini tubuhnya menyerupai manusia tapi berkepala ular.
Dengan kulit bersisik dibalut baju perang dari besi berdiri tegap menatap kami dengan penuh amarah. Mereka lagi-lagi menyambut kami dengan tertawa sombong, seakan mereka mau menguliti kami dengan tombak andalannya. Tombak panjang dengan mata tombak berkilauan.
Sedangkan ki Bagus yang dari tadi sudah geram melihat perlakuan dari siluman – siluman sebelumnya, tetap menahan diri dan tidak bersuara sedikitpun. Senyum ki bagus serta canda tawanya dikehidupan nyata menghilang saat menghadapi siluman-siluman penjaga tersebut.
Aura energi amarah ki Bagus mulai menyelimuti tubuhnya, dengan wajah merah padam Ki Bagus langsung menghampiri mereka. Tanpa basa-basi ki Bagus langsung menghempaskan sabetan pedang janur kuningnya ke arah siluman ular penjaga pintu gerbang.
Pertarungan hebatpun tak bisa dihindarkan lagi. Dengan membabi-buta ki Bagus mulai menebaskan pedangnya kesegala penjuru dan darah para siluman melumuri pedangnya. Satu-persatu siluman ular terjungkal ke tanah dan langsung terbakar.
Ki Bagus harus bekerja keras menghabisi siluman ular ini karena jumlahnya yang cukup banyak. Sebilah janur kuning ki Bagus seakan haus darah dan tak ada satupun senjata siluman ular yang mampu nenandinginya. Karena memang itulah senjata yang dibawa ki Bagus dari rumah Harun.
Akhirnya, semua siluman itu kembali terbakar seperti siluman-siluman yang sebelumnya. Ki Bagus tetap berdiri tegap melihat semua musuhnya terbakar habis. Terlihat jelas tetesan keringat menyelimuti tubuh ki Bagus dan lelah tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.
Saat penjaga berkepala ular itu mati, gerbang keempatpun terbuka dengan sendirinya seperti gerbang-gerbang sebelumnya. Memang musnahnya para siluman ini menjadi kunci dari gerbang-gerbang yang kulewati,
aku dan ki Bagus segera melanjutkan perjalanan ku menuju gerbang selanjutnya yaitu gerbang kelima. Mulutku masih terdiam sampai sekarang, tak satupun kata yang berani aku keluarkan meskipun sekedar bertanya kepada ki Bagus. Ki bagus mempercepat langkahnya dengan wajah serius.
Terlihat gerbang ke lima semakin dekat. Aku tetap berjalan mengikuti Ki Bagus dan selalu berada di belakangnya.

Kemudian Ki Bagus menghentikan langkahnya didepan gerbang kelima. Suasana lebih menyeramkan dari sebelumnnya menyeruak disekeliling gerbang.
Gerbang kelima adalah gerbang terakhir yang harus kami lalui untuk mencapai rumah di Dukun. Di depan gerbang sudah berkumpul sangat banyak penjaga, jumlahnya hampir ratusan penjaga.
Para penjaga gerbang kelima sangat menyeramkan, mereka berwujud seperti manusia tapi memiliki ukuran badan yang cukup besar. Mereka adalah raksasa atau “Buto” yang berbadan besar, kekar, bertaring panjang dan tajam, bertanduk satu dikening dan berwarna-warni.
Mereka berbaris rapi didepan gerbang, baris pertama ditempati buto berwarna merah, baris kedua buto berwarna hijau dan baris ketiga dan seterusnya buto berwarna hitam. Meraka membawa berbagai macam senjata yang sudah siap ditangan dan mengacungkannya kepada kami.
Tubuh mereka tinggi kira-kira sepuluh meteran serta besarnya mereka juga bermacam-macam. Tapi tiba-tiba dari kegelapan gerbang terakhir ini ada sosok mahluk seperti panglima perang berpakaian adat jawa melesat dan duduk setengah jongkok dihadapan Ki Bagus.
Gerakan para siluman yang sudah berbaris terhenti seketika itu juga.

Mahluk yang berperawakan seperti panglima ini diikuti dua mahluk lagi seperti pengawal pribadinya, dengan pakaian adat Jawa.
Tapi pakainnya tidak sama dengan yang pertama bersimpuh didepan ki bagus, pakaian mereka cenderung lebih sederhana tanpa banyak asesoris.
Bentuk kaki mereka yang kiri ditekuk untuk duduk sedang kaki kanan berjongkok.
Kedua telapak tangannya menempel jadi satu terangkat sejajar dengan kepala seperti seorang hamba menyembah kepada tuannya, dengan kepala sedikit tertunduk.

“Siapa yang menggangu Raden!!!” Ucap pria berbadan tinggi besar lengkap dengan pakaian khas keraton Jawa didepan Ki bagus
“Ohhh kamu, sudah kembali saja. Saya bisa atasi sendiri masalah ini” Terang Ki Bagus

“Tapi Raden, kalau saya kembali. Bisa-bisa saya dihukum sama Prabu, kalau raden kenapa-napa?” Terang sosok panglima ini.

“Tidak, nanti saya yang bilang. Kembalilah kalian” Perintah ki bagus
Sosok mahluk yang baru aku lihat ini langsung berdiri dan berbalik arah, ia menghadap mengarah pada pasukan yang didepan kami dengan tatapan penuh amarah. Sekian detik mereka langsung melesat lagi hilang dalam kegelapan malam.
Pasukan yang tadinya mau mengeroyok kami tiba-tiba perlahan mundur dan lari dengan sendirinya kesegala penjuru arah tanpa disuruh atau diminta, mereka kabur dengan sendirinya tanpa bertarung.
Pintu terakhir berwarna merah yang terlihat menjulang tinggi dan besar ini, secara perlahan terbuka dengan sendirinya bergeser ke kakanan dan kekiri. Langkah kami terus maju hingga markas utama, dari kejauhan rumah tukang teluh mulai terlihat.
Rumah dukun teluh ini terbuat dari kayu, kusam dan agak reyot. Berbentuk rumah panggung dengan bangunan teras didepannya. Terdapat potongan pohon sedang dengan pahatan-pahatan menyerupai tangga yang diletaktan tepat didepan teras.
Di atas teras terdapat hiasan kepala kerbau dengan tanduk yang sangat besar. Pada tiang-tiang penyangga teras banyak tergantung kepala binatang yang diawetkan, salah satunya ada kepala harimau.
Disebelah kanan dan kiri rumah tumbuh pepohonan yang sangat rimbun dengan ranting yang tidak beraturan. Didepan rumah terdapat satu pohon kelapa menjulang tinggi keatas. Di bawah rumah terdapat beberapa babi yang dipelihara dengan tubuh kotor dan menjijikkan.
Tidak ada cahaya sedikitpun diluar, hanya terlihat sedikit cahaya keluar dari celah kecil himpitan papan kayu rumah panggung ini.

Kami berdua melankah menuju kerumah panggung itu.
Tanpa permisi, dengan sangat hati-hati, kami menaiki tangga yang terbuat dari kayu utuh menuju ke teras. Ki Bagus tetap menaiki tangga terlebih dahulu, setelah tiba di atas akupun mulai menaiki tangga. Suasana sangat sepi hanya terdengar suara binatang hutan.
Kami tetap melangkah pelan dan sesekali kepalaku memperhatikan kanan kiri rumah panggung ini. Ki Bagus mendekati pintu rumah itu dan membukanya pelan. Satu persatu kami melangkah masuk ke dalam rumah. Terlimat remang-remang berbagai macam tumbal tertata rapi di meja sang dukun.
Mulai kepala hewan yang bermacam – macam, tempat perapian kemenyan dan bunga-bunga berbagai rupa tertata apik di dalam wadah nampan bambu. Sedang alat teluh dan pusakanya bergelantungan didinding papan kayu sebelah kanan kiri.
Sang dukun yang sudah bersiap dengan tubuh halusnya tegap berdiri didepan kami dan menyambut kedatangan kami dengan dada membusung penuh kesombongan. Sedang tubuh kasarnya hanya duduk bersila bersendekap dengan mata sudah terpejam.
Ki Bagus melangkah maju menghampiri sang dukun, namun aku tetap berdiri agak jauh dari mereka.

“Apa mau kalian datang kemari” Tanya dukun teluh yang memakai baju serba hitam dan celana hitam serta blangkon kain warna hitam
“Aku mau kau akhiri perbuatanmu sekarang juga” ucap Ki bagus yang sudah berdiri ditengah ruang ritual dukun hitam ini.

“Beraninya kau menyuruhku” Bentak kasar sang dukun dengan tangan kananya yang menunjuk kearah kami.
Memang dalam ruangan ini terasa sangat menyeramkan, hanya diterangi cahaya remang-remang dari sebuah lampu tempel yang tergantung disisi kanan tempat ritual. Dihiasi dengan cahaya bara api kecil yang berada didalam tungku depan jasad kasar dukun teluh ini.
Dukun tua dengan bentuk tubuh sudah terlihat renta, dan berpenampilan kotor serta di tutupi baju lusuh. Dengan suara bentakkannya itupun langsung membuat ruang ritual ikut bergetar. Mata merah merona sekejab terbelalak dan menatap tajam ke arah Ki Bagus.
“Saya ingin kita semua hidup damai pak, jangan sakiti orang. Apapun masalahnya kita bisa bicarakan baik-baik” Jawab pelan Ki Bagus dan tenang

“Apa kau mau kubunuh sekalian disini…hahahahaha!!!” Jawab dan tawa jumawa dukun teluh.
“Tidak, saya hanya ingin mengajak anda untuk mengakhiri penderitaan orang lain” Pinta ki Bagus

“Halahhh, jangan banyak omong!!!!” Sergah dukun teluh yang langsung berlari kearah ki bagus dengan menghunus kerisnya yang sudah ditangan siap menyerang.
Saat ki Bagus dengan sang dukun mulai berkelahi, secara perlahan langkah kakiku mundur pelan sampai kepintu masuk. Mengambil jarak aman agar tidak terkena imbas dari pertarung hebat itu. Berbagai ilmu kesaktian mereka adu satu persatu.
Kilatan senjata mereka terlihat saling berbenturan menimbulkan percikan cahaya merah dan putih. Setelah beberapa lama pertarungan berlangsung, tiba-tiba sang dukun jatuh tersungkur tak berdaya di lantai rumah.
Sabetan janur kuning yang menyerupai kilat dengan cahaya kuning menghujam ke tubuh dukun tua renta dengan cepat. Dalam kondisi tak berdaya sang dukun kembali jasad kasarnya yang duduk bersila di depan sesajen dan kepala berbagai hewan sebagai persembahannya.
“Mas jo, sekarang kau ambil semua boneka yang ada diruangan ini. Lepaskan semua ikatannya dan bakar sekalian.” Perintah ki bagus tanpa menoleh kebelakang. Ki Bagus masih terus mengamati kondisi dukun teluh yang jatuh tersungkur diatas singgasana kebesarannya.
“Baik ki” Jawabku. Aku beranjak melangkahkan kakiku dan tanganku mulai mengambil semua boneka yang tersebar dilantai dan dinding. Boneka-boneka ini terikat tali dengan bunga, lengkap dengan nama serta alamatnya. Semua boneka itu aku kumpulkan didepan pintu.
Selanjutnya aku mengambil sebilah pisau yang terselip di dinding rumah sang dukun. Dengan menggunakan pisau tersebut, aku mulai memutuskan tali yang melilit boneka-boneka teluh satu-persatu.
Aku putus tali pengikat itu dengan sangat hati-hati dan ku pastikan semuanya telah terbebas dari lilitan tali itu. Beberapa menit setelah itu, aku langsung membakar semua boneka teluh didalam ruangan dukun tanpa ragu.
Ki bagus hanya melirik sekilas kearah boneka yang terbakar.
Kobaran api kecil menghanguskan semua boneka tersebut tanpa sisa. Selesai boneka ini terbakar semua, aku langsung diajak kembali Ki bagus kerumah Deno.
Api yang menghanguskan boneka mulai reda, kulihat dukun teluh yang tadinya tak mau diajak bertobat mulai roboh dengan jasad kasarnya dan tak sadarkan diri.
Tubuh kasar sang dukun yang tertelungkup di lantau kayu mulai mengeluarkan rembesan darah dan mengeluarkan bau arus yang menyengat. Terlihat lantai kayu disekitar tubuh sang dukun mulai dibasahi dengan darah.
Setelah dipastikan sang dukun teluh telah binasa, Ki Bagus menyinpan kembali pusaka janur kuningnya. Sungguh sangat mengerikan akhir hidup sang dukun teluh. Aku dan ki bagus berbalik arah dan melangkah menuju ke teras.
16. Penghuni Perjanjian

Kami yang sudah berada diteras rumah dukun teluh bersiap kembali, dengan cepat kami berdua melesat ke jasad kasar kami diruang tamu Deno.
Ku buka mataku perlahanilahan, terlihat semua orang yang berada dalam ruang tamu masih berada diposisi semula seperti saat kami pergi meninggalkan mereka.

“Bagaimana mas jo, ki” Tanya Harun yang menatapku dari tempat duduknya.
“Sudah Run, semua sudah selesai” jawab Ki Bagus yang mulai menyulut rokok kreteknya.

“Alhamdulilah.” Sahut semua yang berada dalam ruang tamu Deno.

Semua merasa lega, akan berita yang dibawa Ki bagus.
Ki bagus saat itu juga meminta keluarga Deno untuk melepas janur kuning yang melingkar di perut mereka semua. Karena ki bagus merasa situasi sudah kembali aman dan terkendali. Ki Bagus mengalihkan tatapanya ke arah Pak Wijaya.
Ki bagus bermaksud menyampaikan sesuatu yang penting kepada pak wijaya yang masih setia berada dalam ruang tamuanya.

“Pak wijaya rumah ini sebaiknya dijual saja” Pinta Ki bagus tanpa basa-basi.

“Kenapa ki” Jawab Pak Wijaya heran
“Harta satu – satunya tinggal rumah ini saja, kalau dijual saya tinggal dimana lagi?” sahut pak wijaya serius dengan nada pelan.

Dengan berbagai argumen dan alasan pak wijaya sangat kekeuh bertahan tidak mau menjual harta satu-satunya.
Perdebatan malam itu sangat panjang, aku sendiri sangat memahami pola pikir dan keadaan keluarga pak wijaya. Intinya aku dan Harun setuju akan keputusan pak wijaya, tapi tidak dengan ki bagus yang mempunyai pandangan berbeda dengan kami.
Hingga akhirnya ki bagus memutuskan sesuatu yang diluar nalar kami semua.

“Sekarang begini saja pak wijaya dan kalian semua segera duduk melingkar, tangan kalian semua saling bergandengan.” Perintah Ki Bagus
Kami semua saling berpandangan dan langsung mengikuti perintah Ki Bagus. Banyak pertanyaan yang muncul dalam benakku. Mau apa lagi ini? Tanpa berfikir panjang, dalam sekejab kami semua sudah duduk bersila melingkar dilantai, dengan tangan saling bergandeng satu sama lain.
Diujung ada Ki bagus yang memegang erat tanganku dan harun.

Setelah semua pada posisinya, Ki Bagus memerintahkan kepada kami unutk memejamkan mata seraya membaca do’a yang telah diajarkan sebelumnya.
Dalam ritual itu Ki bagus berpesan jika sudah tidak kuat lagi dengan apa yang dialami nanti boleh segera melepaskan pegangan tangannya. Kami berenam dalam lingkaran memulai ritual dengan khusuk, pertama yang terlihat kondisi waktu berubah mundur kebelakang.
Mulai terlihat penampakan satu keluarga dengan satu anak, yang menempati rumah ini. Pertama kami melihat pohon mangga besar berdiri tegak di belakang rumah. Dibawahnya seorang pria sedang duduk bersandar, tiba-tiba datang seorang nenek-nenek tua menghampirinya.
Mereka terlibat percakapan yang serius tentang pesugihan yang dapat mendatangkan kekayaan dengan cepat. Alangkah gembiranya pria itu, karena dia sudah lelah dengan kenyataan hidupnya saat itu. Tapi dengan berfikir panjang pria itu pun akhirnya menyetujuinya.
Dengan sekejap harta kekayaan mulai menghampirinya, dia dan keluarganya yang tinggal dirumah itu hidup dengan bergelimang harta. Namun lama kelamaan kejadian-kejaian aneh mulai menghampiri.
Pertama anak dari keluarga itu meninggal dengan tidak wajar tanpa penyebab yang jelas. Kemudian tidak lama kemudian disusul oleh istrinya meninggal dengan tidak wajar juga.
Sampai pada akhirnya pria ini juga mengalami nasib yang sama, meninggal tidak wajar dengan penyebab yang tidak jelas.

Selang beberapa saat kemudian, ada satu keluarga lagi mulai menempati rumah ini, terlihat seperti pengantin baru.
Kalender didimensi saat itu menunjukkan tahun 20**. Satu hari menjelang malam sang pria yang sedang berada didapur didatangi oleh nenek – nenek lagi yang menjanjikan kekayaan dengan cepat. “itu Herman yah” teriaknya Deno dengan mata masih terpejam.
Tapi Deno kembali diam dalam mata terpejam, ia sangat semangat melihat dimensi memory rumahnya yang dulu. Sang priapun ”Herman” merasa sangat senang dan tanpa berfikir panjang langsung menyetujui permintaan nenek tersebut.
Tapi tak lama kemudian istrinya yang terlihat hamil meninggal secara tak wajar juga bersama jabang bayinya masih dalam kandungan. Sampai akhirnya pria tersebut menjual rumah ini kepada Pak wijaya.

Keadaan rumah yang saat ini ditinggali oleh keluarga Deno sangat menyeramkan.
Para penghuni sebelum keluarga Deno terlihat diberbagai sudut rumah, yang pertama perempuan dan anak kecil diruang tamu duduk berdua dengan menginjak-injak prianya.
Mereka terlihat marah “kembalikan aku bangsat” kata-kata kasar dan tendangan kepada pria yang duduk dibawah dengan kedua tangan terikat.

“Ayaaahhhh,,,,Niko takut” teriakan Niko sedikit membuyarkan konsentrasi.
Dia langsung berlari menuju kehalaman rumah, sedangkan ayahnya mengetahui hal tersebut langsung dengan spontan melepaskan genggaman tangan dan menghentikan ritual itu. Niko berlari dengan mata ditutup dengan kedua telapak tangannya.
Ia yang berhasil disusul oleh pak wijaya langsung didekap seketika untuk menenangkannya. Tinggalah kami berempat yang terus melanjutkan ritual itu. Kami sangat penasaran dengan apa yang terjadi sebelumnya dirumah ini.
Kami melihat didapur seorang lagi pria yang terikat rantai. Pria dengan wajah memelas dan lusuh, serta tangis lirih karena sakit terbelenggu dengan ikatan tampar hitam yang sangat kuat dan sampai tubuhnya tidak bisa bergerak sedikitpun,
hanya kepalanya yang bergerak sedikit tapi dalam kepala itu keadaannya setengah hancur berantakan. “Itu Herman yah” teriak Deno sambil menunjukkan tangannya kedepan, “Herman sudah mati yah!!!” teriak Deno lagi!
Terlihat perempuan dengan jerit dan tangisnya melempari pria itu dengan benda apapun ditangannya secara beringas tiada henti, Selanjutnya kami melihat wanita ini menyiksa pria ini “herman”, mulai menendang dan memukulnya.
Mereka seperti memendam amarah yang sangat luar biasa kepada pemilik perjanjian setan ini. wanita itu tak lain istrinya herman. Wanita itu persis seperti yang ceritakan Deno, berambut panjang dan berpakaian lusuh sedang menggendong bayinya.
Dalam ruang tamu, suasana masih terasa hening dan sunyi, raut wajah dipenuhi dengan ekspresi khusyu’ dalam ritual. Prosesi ritual yang mengharuskan kami untuk saling bergandengan tangan dalam merekontruksi kejadian yang telah hilang.
Sedangkan Pak Wijaya dan Niko masih berada di dalaman rumah. Tiba-tiba dalam kekhusu’an kami terkejut dengan teriakan Deno. “Herman...!!!” Teriak Deno seraya melepas genggaman tangannya.
Diapun tidak kuasa melanjutkan ritualnya, karena melihat secara langsung sosok Herman yang pernah dikenalnya. Melihat gambaran si Herman dalam dimensi lain, dia langsung bergegas lari menghampiri ayah dan adiknya. Mereka bertiga saling berpelukan erat.
Deno berbisik kepada ayahnya bahwa Herman sang penjual rumah setan telah meninggal. Pak wijaya yang mendengar kabar dari Deno hanya diam seribu bahasa, selanjutnya mereka bertiga kembali dengan perlahan masuk ruang tamu.
Pak Wijaya terus berjalan masuk kerumah sambil memeluk Niko dengan erat, karena dalam kondisi yang sangat ketakutan. Sesampainya diruang tamu mereka duduk di sofa sambil menenangkan diri sedangkan Niko masih dipelukan Pak Wijaya.
Kami masih tetap melanjutkan ritual dan berusaha tidak terpengaruh dengan kejadian itu. Gambaran peristiwa pada masa lalu yang diputar kembali oleh ki bagus terus kami ikuti. Aku dan Harun melihat dan mendengar mereka menangis dengan penuh amarah, terus menangis dan menangis.
Tangisan mereka yang tiada akhir terus terngiang di telingaku. Beban berat apakah yang harus mereka terima, mereka yang tak tau apa-apa menjadi korban dan menderita seperti ini.
Air mata terus mengalir dan bibir pucat merekapun terus bergetar, hingga aku harus menguatkan hati dan mental untuk melihat tragedi itu. Di akhir kejadian, para korban pembantaian para pemilik perjanjian setan, mereka mengiba memohon untuk uluran pertolongan dari kami.
Permintaan dari korban yang tak bersalah membuat hatiku terenyuh dan tak tega untuk menolak permintaan mereka.

Pertama keluarga diruang tamu dahulu meminta tolong untuk menguburkan salah satu anaknya secara layak.
Wanita dengan wajah pucat itu menunjukkan tempat anak kecilnya terkubur, tepat dibawah pohon mangga dibelakang rumah. Perlahan kepalanya menoleh kearah kami, matanya menatap kami dan berucap “Bang tolong anak kecilku, kasihan dia” permohonan wanita itu.
Kami hanya bisa terdiam terpaku tanpa satu patah kata keluar dari mulut kami bertiga karena kami merasa suasana sangat tegang, hanya anggukan kecil kepala Ki bagus yang terayun.
Kemudian wanita itu bergeser kembali ketempatnya semula ketempat pria yang sudah berada dibawahnya, perlahan tapi pasti dengan beringas ia mulai kembali mengahajar lelaki yang masih terikat rantai.
Perlahan pandangan kami diarahkan keruang dapur, kami melihat disebelah sumur wanita yang menggendong bayi menoleh kearah kami. Ia tetap berwajah pucat menatap kami, seolah tahu akan kedatangan kami.
Bibir pucatnya yang bergetar mulai berbicara kepada kami “bang tolong kuburkan bayiku dengan layak, huuuuu…huuuu” Pinta wanita yang menangis disebelah sumur itu sambil salah satu tangannya menyeka air mata.
Sedang tangan satunya menunjuk kearah sebelah sumur tepatnya persis bersebelahan dengan kamar mandi. Kami bertiga hanya menjawab dengan menganggukkan kepala secara perlahan, bersamaan dengan mata kami yang masih terpejam.
Jawaban yang kami berikan karena rasa iba menyayat hati pada korban-korban yang dijadikan tumbal kekayaan.

Selesai putaran video di alam lain, Tiba-tiba Ki bagus melepaskan kedua genggaman tangannya dengan cepat tanpa memberi tanda apapun kepada kami berdua.
Dalam sekejab kami sudah kembali lagi duduk bertiga di ruang tamu pak Wijaya seperti sedia kala. Aku dan harun perlahan-lahan membuka mata dan mulai menatap seluruh sudut ruang ini.
Kami berdua masih memastikan dan memperhatikan dengan seksama, antara keadaan dimasa lalu yang baru kami alami dengan keadaan saat ini.
Saat kami rasa yakin kami sudah dimasa sekarang, kami langsung berdiri dan duduk sofa.
Rumah yang menyimpan memory kelam dua keluarga yang pernah menjadi menghuninya. Keluarga Deno adalah keluarga ketiga yang mempunyai nyali besar untuk tinggal disitu.
Meskipun rasa ketakutan menyelimuti keluarga pak wijaya, padahal rumah itu adalah pilihan satu-satunya keluarga Deno untuk bertahan hidup. Karena hanya rumah dilembah yang ia miliki saat itu.
Suasana menakutkan masih sangat terasa bagi kami karena rumah itu penuh dengan kejutan yang tak terduga dalam benakku dan harun, rasa mencekam dirumah pak wijaya seakan terus mengikuti kemanapun kami pergi.
Kami melihat pak wijaya bersama kedua anaknya masih berpelukan, serta terus menatap kami. Ki Bagus dengan tenang kembali mengambil bungkusan rokok kreteknya dan mulai membakarnya. Dia hisap rokok kretek itu dalam-dalam dan menghembuskan asap secara perlahan.
Wwuuusshh....
kepulan asap keluar dari mulutnya dan mulai bersatu dengan kabut tipis yang ikut masuk keruang tamu rumah di lembah. Ki Bagus mulai membuka pembicaraan...
“Gimana pak wijaya, masih ingin tetap tinggal disini?” Tanya Ki Bagus serius dengan tatapan matanya yang tertuju kepada Pak Wijaya.

“Tidak Ki, maafkan saya atas ketidaktahuan saya” Jawab sesal Pak wijaya.
“Tidak apa-apa pak, saya hanya ingin memperlihatkan fakta yang terjadi sebelum bapak dirumah ini.” Jelas ki Bagus sambil memainkan puntung rokok yang mulai terbakar. “Semua itu untuk kebaikan dan keselamatan keluarga Pak Wijaya.
Karena semua kejadian yang di alami keluarga Pak Wijaya sedikit banyak dipengaruhi oleh keadaan rumah ini. Ketika aura rumah yang dihuni baik, kemungkinan besar perjalanan hidup keluarga di dalamnya akan baik.
Begitu juga sebaliknya.” Jelas Ki Bagus yang mengeluarkan rokok kretek dari sakunya yang berwarna hijau dan menaruhnya di meja.

Situasi dalam ruang tamu itu masih sangat menakutkan bagi Deno dan Niko, mereka masih tetap dalam pelukan pak wijaya.
Pelukan Deno terlihat semakin erat memegang ayahnya setelah mendengar dan melihat fakta yang diperlihatkan oleh ki Bagus. Ki bagus hanya terdiam melihat mereka bertiga. Kemudian Ki Bagus menoleh ke arahku.

“Mas jo, kain kafannya masih ada?” Tanya ki bagus
“Kurang tau Ki” Jawabku.

“Masih ada ki, itu didalam mobil” Sahut Deno yang masih berada dalam pelukan ayahnya sambil menunjuk kearah mobil Harun

“Ayo mas kita selesaikan malam ini” Perintah Ki bagus yang mulai beranjak dari tempat duduknya.
“Baik Ki” Jawabku serta perlahan aku berdiri dan mengajak Harun berjalan kemobilnya. Kami mengambil kain kafan yang hanya tinggal dua potong. Tak lama kami sudah berada diruang tamu kembali.
Ki Bagus lalu mengajak kami semua mencari bagian jasad korban pesugihan yang masih tertanam di rumah itu. Ki Bagus berjalan menuju ke dapur dan kami semua mengikutinya.

Ki Bagus menunjuk ke satu sudut di dapur sebelah sumur,
dengan cepat kamipun bergegas menggali tanah yang diduga ada potongan korban pesugihan. Setelah beberapa lama kami gali, terlihat tulang-belulang dari jasad bayi. Tanpa pikir panjang kami mengambil tulang-tulang itu satu-persatu dengan sangat hati-hati.
Tulang belulang yang sudah terangkat kami sucikan terlebih dahulu di halaman kamar mandi. Selanjutnya aku dan harun meletakkan di atas kain kafan yang sudah disiapkan dan membungkusnya.
Selesai di dapur, Selanjutanya kami menuju kebelakang rumah dan Ki Bagus langsung menunjuk ke arah pohon mangga. Tepatnya disebelah kanan bawah pohon mangga yang besar itu. Kami berdua berjalan kearah tempat yang ditunjuk Ki Bagus dan mulai menggali dengan hati-hati.
Tak perlu waktu lama, Tulang-belulang yang sudah terlihat kami ambil terus sisanya kami lanjutkan menggali dengan tangan. Malam itu kami harus menggali dengan perlahan agar tulang yang mulai rapuh tidak patah dan rusak.
Kami ambil satu persatu tulang yang tersisa dalam tanah, selanjutnya kami sucikan terlebih dahulu.
Kelar dengan ritual mensucikan tulang-tulang korban pesugihan, kami lanjutkan dengan pemakaman.
Bertempat di belakang rumah Deno,ayah Deno menggali lobang tidak terlalu besar untuk liang lahat.Ia hanya membuat dua lubang secukupnya. Prosesi penguburan tulang-tulang tersebut di mulai dengan masukkan bungkusan kain kafan ke liang lahat dan kami kuburkan kembali dengan layak.
Setelah semua proses pemakaman selesai, Ki Bagus mengambil posisi duduk di depan makan untuk memimpin do’a buat jenazah yang sudah berupa tulang. Tak terasa malam sudah mulai beranjak pagi, kami memutuskan untuk kembali ke rumah Harun, istirahat melepas penat.
Hari sudah menjelang pagi, penghuni seisi rumah mulai bergulat dengan kesibukan masing-masing. Suasana di rumah sangat nyaman secerah pagi hari yang menyejukkan. Pak wijaya dan seluruh anggota keluarga sudah berkumpul di ruang tengah dan sajian makan pagi sudah siap.
Ki bagus keluar dari kamar dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan ke Medan.

“Mari Ki sarapan dulu.... semuanya sudah siap” Pinta pak Wijaja. Ki Bagus mengangguk dan bergabung di ruang tamu. Makan pagi bersama terlihat sangat akrab, satu sama lain saling bercanda ringan.
Suasana seperti ini yang sangat di rindu oleh keluarga Pak Wijaya. Suasana yang pernah hilang beberapa saat dari kehidupan Deno...selesai makan kami diajak berkumpul di teras rumah. “Mari kita berkumpul sebentar di teras...” ajak Pak wijaya.
Kami semua beranjak ke teras dan duduk-duduk santai sambil menikmati pagi yang sangat cerah. Ki Bagus tidak lupa mengeluarkan rokok kretek dan menyalakannya... wuuuusssh.
Hembusan asap rokok keluar dari mulut Ki Bagus. “Maaf Ki, bagaimana sebaiknya tindakan kami kedepannya” Tanya Ibu Deno.

Dengan santai Ki Bagus menjelaskan bahwa pertanyaan itu sudah dibahas tadi malam dengan Pak Wijaya.
Intinya adalah lebih baik pak wijaya sekeluarga pindah dari rumah ini. Karena rumah ini sudah menjadi tempat singgah mahluk pesugihan itu, contohnya jin yang menyerupai nenek-nenek. Ia akan terus menawarkan jerat pesugihan kepada siapa saja yang menghuninya.
Rumah ini juga merupakan salah satu jalan yang biasanya dilalui bangsa jin didaerah sini. Selain itu, kenangan dengan penghuni lama juga akan sering menghantui penghuni berikutnya. Begitu penjelasan Ki Bagus tentang ihwal rumah di lembah yang penuh dengan kenangan tragis.
Ki Bagus masih santai dengan rokok yang selalu terjepit diantara jari-jemarinya.

“Benar yank, rumah kita yang dilembah menyimpan kenangan yang tak baik untuk kita sekeluarga.
Aku dulu juga sempat didatangi nenek-nenek itu Ki, saat kita sakit dan kehabisan uang, tapi kutolak ki” Timpal Pak Wijaya
“Iya Mak den, kau tinggal saja sementara disini” Sahut ibu Harun Sambil tersenyum Ibu Harun menoleh kearah Ibu Deno seraya menghibur dan memberikan solusi sementara.
“Terima kasih wak, atas bantuannya kepada kami” Jawab ibu Deno serta tangannya memegang paha ibu Harun.

“Nenek itu mendatangi ayah dimana?” Tanya Deno serius. Deno masih teringat dengan kejadian tadi malam pada saat ritual dirumahnya.
Dia sangat penasaran dibuatnya.... penasaran dan jengkel dengan sosok nenek-nenek yang selalu menjerumuskan penghuni rumah kejalan kesesatan.
“Didapur bang, waktu tengah malam” Jelas Pak Wijaya.

“Oooohh…” Sahut Deno sambil mengangguk-anggukan kepalanya.

Setelah di rasa cukup pertemuan di teras itu dan mencapai kesepakatan bersama, Ki Bagus meminta pamit untuk melanjutkan perjalanan.
Ki Bagus minta langsung diantar menuju ke Bandara dengan cepat, karena mengejar jadwal penerbangan pagi. Harun dan aku mengantarkan Ki bagus ke bandara. Selama perjalanan ke bandara Ki Bagus hanya terdiam menikmati perjalan sesekali mengumbar canda dan tawa seperti biasanya.
Setelah menunggu Ki Bagus sudah berangkat ke Medan dengan pesawat pagi, kami langsung pulang ke rumah Harun.

Selanjutnya aku dan Harun langsung pergi lagi ke tempat wisata untuk menikmati liburan yang tertunda.
Aku dan Harun tiba di rumah sore hari.
Sungguh menyenangkan liburan kali ini, singkat namun berkualitas. Malam pun tiba, aku dan harun duduk-duduk di teras berdua sambil ngobrol tentang kejadian yang kemarin. Namun kami tidak bisa berlama-lama santai di teras.
Kami harus menyiapkan segala sesuatu yang akan kami bawa ke Jawa. “Harun, ayo kita kemas-kemas dulu biar besok ndak repot” Ajak ku. Harun pun mengiyakan, lalu dia berjalan masuk kedalam rumah. Akupun beranjak dari dudukku dan ikut masuk ke rumah untuk berkemas-kemas.
Keesokan harinya, aku dan harun sudah bersiap-siap dengan tas dan barang bawaan tertata rapi. Harun meletakkan semua barawaan di ruang tamu. Ternyata banyak juga barang-barang yang harus kami bawa kembali ke Jawa. Ibu Deno mengajak sarapan pagi bersama sebelum berangkat.
Semua yang ada di rumah itu telah duduk rapi di ruang tengah dengan hidangan sarapan pagi yang lumayan lengkap. Sungguh nikmat makan pagi waktu itu, semua sangat menikmati suasana keakrabannya.
Tak lupa aku menyempatkan pamit kepada semua dan mohon do’a agar selamat selama perjalanan ke Jawa. Keluarga Harun dan keluarga Deno sangat berterima kasih kepada kami.
Aku pulang dengan perasaan lega dan puas waktu itu, selain bisa membantu keluarga Deno juga bisa berwisata ketempat yang bagus didaerah Harun.

***
POV Harun (sudut pandang sebagai tokoh utama)
Enam bulan telah berlalu, aku merasa sangat kangen dengan kampung halaman. Rasa itu tiba-tiba saja mencuat dari dalam hatiku, apakah ini karena aku baru pertama kali merantau. Mungkin saja!!!.
Enam bulan di Jawa, serasa tidak ada waktu luang untukku. Tiap hari aku harus berkutat dengan kegiatan kampus dan tiap sebulan sekali aku mengaji di rumah Ki Bagus bersama Harun. Hari demi hari ku lalui dengan ikhlas dan kerja keras agar apa yang aku niatkan bisa dikabulkan-Nya.
Senin depan setelah enam bulan aku di Jawa tiba waktunya liburan semester. Aku berencana pulang ke kampung halaman. Selasa pagi Paijo mengantarku ke Juanda Airport, karena aku putuskan untuk naik pesawat biar cepat sampai.
Sore menjelang Magrib, aku sampai dirumah. Keluargaku sudah menunggu di rumah, hati ini sangat gembira. Ternyata keluarga Deno sudah pindah. Mereka mengontrak sebuah rumah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahku, berjarak sekitar lima rumah dari rumahku.
Malam hari aku main kerumah Deno, saat sampai dirumah Deno kulihat mereka mulai kembali dikehidupan normal seperti biasa. Akupun langsung duduk diruang tamunya beralaskan tikar, tapi mereka bahagia dengan kondisi yang ada.
Rencanya besok mereka mengajakku kerumahnya dilembah, keinginan pak wijaya mau mengambil perabot rumah tangga yang tersisa. Dikarenakan rumah mereka sudah laku terjual, untungnya penjual tahu kondisi rumah Deno, mulai dari semua keganjilan dan keangkerannya.
Menurut pak wijaya Rumah dilembah tersebut rencananya akan dibuat untuk tempat ibadah oleh pembelinya.
Pagi hari aku menjemput keluarga Deno untuk mengambil sisa perabot dan pakaian tapi tanpa istri Pak wijaya. Yang berangkat hanya aku, pak Wijaya, Deno serta Niko.
Beberapa jam perjalanan kami lalui, hari menjelang siang akhirnya tibalah kami dirumah Deno.

Pak wijaya langsung langsung masuk terlebih dahulu, ia dengan cepat mengambil sisa barangnya dan pakaian mereka dibantu Deno dan Niko.
sedang aku sendiri membantu mengangkat barang-barang masuk kemobil. Setelah selesai semuanya aku langsung duduk dikursi sopir, sedang Niko dan Deno mengikuti aku masuk mobil.
Pak wijaya yang masih didalam rumah mulai berjalan keluar setibanya ia dihalaman rumah dan mau membuka pintu mobil. Tiba-tiba tetangganya yang berada didepan rumah dengan langkah cepat tergopoh-gopoh datang menghampiri pak Wijaya.
“Pak wijaya saya mohon maaf” Ucap pak Maman sambil meminta berjabat tangan dengan raut wajah ketakutan dan merasa sangat bersalah.

“Iya pak saya maafkan.” Jawab Pak Wijaya pelan dan mencerna perkataan “maaf” yang telah keluar dari mulut pak Maman.
“Benar pak, saya minta maaf…maafkan saya pak… maafkan saya pak” pinta pak maman yang berulang kali serta penuh harap, sampai ia bersimpuh didepan Pak wijaya dengan jabat tangan yang masih melekat pada kedua orang ini.
“Iya...pak maman, tenang saja. Sudah saya maafkan!!!” Jawab pak Wijaya yang spontan dengan tangannya mengangkat pundak pak maman untuk berdiri kembali dari duduk simpuhnya.

“Terima kasih pak” ucap pak maman sambil melepas genggaman erat tangannya.
Setelah itu pak maman kembali kerumahnya dengan langkah sedikit terseret, terlihat ia sedang sakit. Aku sendiri tak tahu apa yang terjadi dengan mereka, pak Wijaya sendiri hanya diam saat memandangi pak Maman berjalan pulang kerumahnya.
Setelah itu pak Wijaya langsung masuk kemobilku.
Di dalam mobil kami masih diam, belum ada pertanyaan yang terlontar dari kami bertiga kepada pak wijaya akan peristiwa yang langka barusan. Saat mobil baru berjalan, roda mobil ini mulai melambat.
Aku melihat didepanku ada tangan seorang pria melambai dan berteriak kearah kami.

“Pak wijaya mampir dulu.” Teriak dan lambaian tangannya pak Slamet dari depan halaman rumahnya.
Pak wijaya yang melihat dan mendengar langsung menyuruhku untuk membelokkan mobil untuk masuk ke halaman rumah pak Slamet.Setelah mobil berhenti didepan rumahnya kami satu persatu keluar semua, Semua anggota keluarga Deno langsung berjabat tangan dengan pak Slamet dan mak Rinda.
Mereka sangat senang melihat keluarga pak Wijaya yang sudah pulih kembali seperti sedia kala. Kami semua dijamu diteras pak slamet, karena mereka juga kangen sama Deno dan Niko.
“Pak Wijaya tadi kelihatannya ketemu sama pak maman?” Tanya pak Slamet yang sudah duduk didepan pak Wijaya

“Iya met, kok tahu.” Jawab pak Wijaya

“Ya tahu donk Pak, tadi saya kan dikebun sebelah rumah pak wijaya. Tapi saya diam saja dan kembali kerumah.” Kata pak Slamet
“Lah kok gak samperin aku, memang ada apa met?” Tanya pak wijaya yang polos

“Ya tadi ada pak maman sujud didepan pak wijaya, jadi saya gak enak pak. Akhirnya saya kembali lagi kerumah, sekalian pak wijaya saya ajak mampir kerumah.
Keluarga pak wijaya juga jarang kerumah saya kan…hehehhe?” Kata pak Slamet yang sangat bersahaja.

“Ngomong – ngomong ada apa sebenarnya met, kok tiba-tiba maksa mampir gini?” Tanya pak Wijaya yang penasaran
“Begini pak, keluarga pak Maman sekarang sudah hancur” Jelas singkat pak Slamet

“Loh, kok bisa? hancur kenapa met?” Tanya pak Wijaya dengan serius dan penasaran.
“Jadi begini pak, habis keluarga pak wijaya pindah ke kota. Kami disini kan mendengar kabar, bahwa keluarga pak wijaya sudah sembuh semua. saya seneng pak waktu itu. Tapi selang beberapa hari pak maman tiba-tiba cerai sama istrinya.
Malah sekarang kedua anaknya juga jadi buronan aparat kepolisian pak” Jelas pak Slamet serius

“Bener itu pak” Sahut mak Rinda dan ia pergi masuk kedalam rumah

“Loh kok bisa?” Tanya pak Wijaya yang kaget.
“Iya pak, denger-denger mereka terlibat kasus perampokan. Malah sering kali aparat mondar mandir lewat depan rumah saya, kapan hari saya sempat didatangi dua orang polisi untuk menanyakan keberadaan Anak-anak Pak Maman.
Yaaa….Pak wijaya tau sendiri, saya hampir tiap hari berada dikebun jadi mana tau dimana anak-anak pak maman berada.” Terang pak Slamet

“Terus gimana mereka sekarang pak” Sahut Deno
“Wah kalau selanjutnya pak met kurang tau bang Deno, kami juga sampai saat ini tidak ada yang tahu keberadaan mereka.
Bahkan batang hidungnya sampai detik ini juga belum pernah kelihatan." Jawab pak Slamet

Deno kembali terdiam, kaget karena teman sebayanya sudah terkena masalah di usia muda. Deno sendiri sempat terlintas memikirkan tentang nasib Intan dalam lamunannya.
Kondisi siang itu hening sebentar tanpa ada pembicaraan, karena kabar yang kami terima begitu memprihatinkan. Tiba-tiba mak Rinda keluar dari dalam rumah dengan membawakan minuman hangat dan makanan ringan…

“Ayok pak, semuanya diminum dulu” Pinta mak Rinda
“Iya mak, terimakasih.” Jawab kami semua yang berada diteras pak Slamet.

Sambil menikmati hidangan diteras, pak slamet mulai membuka pembicaraan lagi.

“Rumah pak maman sekarang juga sudah laku dijual pak, mungkin dia beberapa hari lagi pindah tapi kurang tau juga sih pak.
Sekarang saja sudah sakit-sakitan orangnya.” Ucap pak Slamet sambil mengunyah makanan

“Jadi dia sekarang tinggal sendiri dirumah, pantesan tadi jalannya agak terseok-seok” Tanya dan Jawab pak Wijaya
“Iya pak, kapan hari pak Maman kerumah saya sendirian pinjam uang untuk berobat dan makan” Sahut pak Slamet

“Sudah separah itu ya keluarga pak Maman” Gumam pelan pak Wijaya
“Benar pak, mungkin yang menyakiti pak wijaya sekeluarga adalah pak Maman? Tuduh pak Slamet yang serius didepan kami.

“Gak tau lah met, jangan asal tuduh! biarkan saja. Yang penting sekarang keluargaku sudah sehat dan aman semua.” Terang pak Wijaya.
Aku duduk bersama mereka merasa sependapat dengan ucapan pak Slamet, tapi aku hanya diam tak berani menuduh tanpa alasan. Biar yang kuasa saja, yang membalas perbuatan jahat kepada keluarga pak wijaya.
Ditengah obroloan kami tiba-tiba ada yang datang, terlihat seperti pemuka agama didesa ini. Ia memakai baju koko putih, sarung hijau dan kopyah putih bundar. Ia datang dengan membawa motor dan turun dari motornya dengan tergopoh-gopoh menuju ke arah kami.
“Assalamu’alaikum” Salam dari bapak tua ini yang berdiri didepan kami

“Walaikum salam” Jawab kami semua

“Eh ada pak Wijaya, sudah sehat pak?” Tanya orang tua ini yang masih berdiri

“Alhamdulilah mang udin” Jawab pak Wijaya tenang
“Pak saya minta bantuannya semua yang ada disini ya” Pintanya dengan tatapan mata tua yang serius

“Iya mang ada apaan ya?” Tanya pak Slamet
“Gini pak met tadi malam kan hujan lebat, dipemakaman ada beberapa kuburan yang terkena longsor. Beberapa Jenazahnya ada yang muncul naik kepermukaan” Jelas mamang Udin
“Bantuin saya ya, sekalian sama warga yang belum tahu sekalian dikasih tahu. Terus suruh ikut bantu kepemakaman.” Pinta mang Udin

“Ooohh, iya pak kalau begitu” Jawab Pak Slamet dan pak Wijaya
Setelah Penjelasan dan permintaan mamang udin selaku pemuka agama dikampung selesai, mang udin bergegas untuk pergi dahulu kepemakaman. Sedangkan kami yang berada diteras pak Slamet langsung masuk mobil mengikutinya dari belakang,
Kecuali pak Slamet yang memberitahu warga sekitar dahulu untuk ikut pergi bersamanya kepemakaman. Perasaaan penasaran padaku ingin tahu siapakah makamnya yang keluar kepermukaan itu.
Sesampainya didepan pemakaman terlihat beberapa orang yang mulai datang, sedangkan kami satu rombongan langsung memarkirkan mobil disamping pintu masuk pemakaman. Selanjutnya kami bersama-sama langsung masuk menuju kearah pemakaman yang sudah terkelupas oleh tanah longsor.
Waktu siang hari areal pemakaman sudah kelihatan gelap, karena rimbunnya pohon yang mengelilingi makam. Area yang longsor memang berada disebelah sungai besar, beberapa pohon ikut roboh dan hanyut oleh ganasnya banjir dan tanah longsor.
Saat kami sudah di dekat makam, kulihat ada tiga mayat yang sudah ditaruh diatas tanah. Dua mayat yang masih utuh jenazahnya, hanya kain kafannya lusuh. Sedang satu mayat lainnya sudah tinggal tulang belulang, ia terbungkus kain kafan yang mulai berubah warna menjadi cokelat.
Dari arah belakang kami, pak Slamet datang dengan warga yang lain, ia langsung menghampiri kami…

“Itu jenazah pak Kusdi met,” Kata pak wijaya yang berdiri disampingku serta tagannya menunjuk kearah mayat.
“Iya…benar pak, itu mayat pak Kusdi. Tapi Jenazah satunya lagi kalau tidak salah adalah anaknya itu pak” Sahut pak Slamet.

“Iya pak met, benar!!!” Celetuk Deno dengan wajah serius menatap jenazah anak muda itu.
Dalam kondisi masih berdiri kami semua tertegun, melihat pemandangan ini. Secara singkat Deno memberitahukan perihal tentang kematian semua keluarga pak kusdi yang beberapa bulan lalu mati dalam semalam.
Setelah tatapan semua mata yang tertegun hilang, kami semua disuruh mensucikan semua jenzah itu dan membungkusnya kembali. Kami dengan para warga yang ada mensucikannya kembali, serta membalut para jenazah dengan kain kafan yang baru.
Sedang Mamang udin pergi keluar pemakaman untuk memberitahukan pada ahli warisnya. Sedang dua orang penggali kuburan sudah menyiapkan liang lahat yang baru untuk tiga jenazah tersebut.
Beberapa saat kemudian mamang udin yang sebagai pemuka agama datang bersama para ahli waris keluarga pak kusdi dan jenazah satunya.
Kedatangan para ahli waris atau keluarga yang ditinggalkan membuka luka lama lagi akan keluarganya yang sudah tiada, mereka dengan sedih meminta Mamang udin segera memakamkan mereka kembali. Saat itu kami bersama – sama membantu untuk memakamkan para jenazah ditempat yang baru.
Selesai acara kami langsung berdo’a bersama di depan pemakaman mereka. Ritual sudah selesai, warga mulai kembali pulang kecuali ahli waris dan kerabat yang masih duduk didepan makam keluarganya.
Mamang udin yang yang sudah berdiri disamping kami mulai ikut berjalan keluar pemakaman bersama. Ditengah perjalanan itu ia berbicara kepada pak Slamet dan pak Wijaya.

“Pak terima kasih bantuannya” Kata mang Udin
“Sama – sama mang, ini juga kewajiban saya sebagai warga dikampung ini.” Jawab pak Slamet.

“Semoga keluarga pak Kusdi sekeluarga syahid dan amal solehnya diterima oleh yang kuasa” ucap lirih mamang udin sambil mulai berjalan keluar area pemakaman.
“Amin mang” Jawab kami semua yang masih dalam satu rombongan dengan mamang udin.

Akhir kata, kami semua melanjutkan pulang kerumah Deno. Ditengah perjalanan pulang, saat masih berada didalam mobil pak wijaya berkata pada Deno.
“Itulah bang alasan ayah dan mamak kemarin, untuk tetap bersabar dan ihkhtiar. Karena kita sudah memutuskan untuk merantau jadi sebisanya kita usaha sendiri, jangan membuat susah yang dirumah.” Kata Pak Wijaya

“Maksudnya gimana yah” Jawab Deno yang belum mengerti
“Seumpama kita mati sekeluarga karena musibah kemarin insyaallah kita juga syahid bang, jadi gak usah takut.” Kata pak wijaya
“Kita kemarin diuji bang, alhamdulilah abang kuat menghadapinya. Do’a kita juga dikabulkan dan diberikan pertolongan. Pada akhirnya kita bisa kembali seperti semula, meskipun harus memulai lagi dari nol.” Terang pak Wijaya lagi.
Sampai dirumah Deno waktu sudah menunjukkan sore hari, mobil langsung kuparkir dihalaman kecil rumah kontrakan Deno. Satu persatu barang mulai dipindah, sekian menit selesai membantu pak wijaya memasukkan barangnya dari mobil kerumah barunya aku langsung kembali pulang.
Satu minggu berjalan, waktu liburanku sudah habis. Selama itu pula Deno sering kali kerumahku untuk sekedar tukar fikiran, curhat, bercerita tentang musibah antara hidup dan mati yang ia alami beberapa bulan kemarin.
Direntang waktu itu juga, teman Deno yang bernama Angga memberikan pesan “Maafkan aku” berulang kali, melalui facebook. Denopun membalas pesan tersebut dan menuliskan kata “Aku Maafkan” kepada Angga. Sedangkan untuk Intan, Deno sendiri sudah melupaknnya.
Meski rasanya masih sakit akan perbuatan Angga dan Intan yang telah ia lakukan kepadanya.
Hari sabtu pagi, saat aku sudah bersiap kembali ke Jawa untuk melanjutkan menuntut ilmu. Tiba - tiba Deno datang kerumah dengan semua keluarganya.
Berbekal dari pengalaman pahit dan gertirnya hidup yang sudah ia rasakan, dia berkeinginan keras dan membulakan tekad untuk belajar ilmu agama dan ilmu-ilmu yang lain. Dia betujuan untuk membantu sesama, dan berharap jangan ada lagi musibah yang menimpa seperti keluarga Deno.
Dengan restu serta dukungan dari keluargaku dan keluarga Deno akhirnya ia ikut belajar ke Jawa bersamaku.
Sewaktu cerita ini ditulis, mulai keluarga, kerabat, teman di Medan dan di Jawa
tidak ada yang diberi tahu sama sekali tentang musibah yang pernah dialami dikeluarga Pak wijaya, hanya keluargaku (keluarga Harun) saja yang tahu. Dari sinilah cerita hidup Deno dimulai…dalam judul thread yang lain. ----TAMAT---

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with 𝓫𝓪𝔂𝓾𝓾𝓾𝓫𝓲𝓻𝓾𝓾𝓾 ⏳🛌🥱😴😴😴

𝓫𝓪𝔂𝓾𝓾𝓾𝓫𝓲𝓻𝓾𝓾𝓾 ⏳🛌🥱😴😴😴 Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @bayuuubiruuu

Jan 28, 2021
Dia yang pernah berjanji menungguku, tapi hanya kenangan yang kuingat dan kudapat, hingga saat ini "Aisyah".

@bacahorror #bacahorror Image
Lama tidak up, mohon maaf karena saya banyak kesibukan di RL. Sebagai awal pembuka thread ditahun ini, saya akan ceritakan salah satu pengalaman om saya. Kebetulan kapan hari beliau berkunjung kerumah dan beliau menceritakan salah satu kisahnya yang sampai kini ia kenang.
Diakhir tahun era 90 an, Indra (nama omnya saya samarkan) masih mengenyam pendidikan di salah satu PTN, dimalang Jawa timur. disemester tujuh, Indra sedang sibuk-sibuknya bergelut dengan matkul skripsi, demi menyusun sebuah skripsi ia rela pontang panting kesana kemari,
Read 62 tweets
Sep 19, 2020
Peglman sholat isya' jamaah berdua dimushola buyut sma kakak sepupu, mushola msh bangunan panggung n sangat tua bangunannya. wktu rakaat kedua, hbs bacaan alfatihah w jawab aminnya lirih. Tapi anehnya sebelah kanan kiri w tiba2 ada suara bapak "AMIN" spontan w tengok kanan kiri,
gak ada org, w yg msh kelas 3 SD lngsung lari n pulang kerumah. kakak sepupu ini msh asyik lnjutin sholatnya smpe selesai. hbs itu dia nyari w krumah, jelaslah w dimarahi sholat belum selesai udh kabur. selesai dia luapin emosinya w cerita kejadian yg w alami.
Sejak malam itu, w sama kakak g berani kemushola buyut lagi sampe smp. n kejadian seperti itu sering dialami oleh bapak n keluarga yg lain, meski siang hari jg pernah ada suara rpi gk ada orgnya. sukanya ngeselin ditempat ibadah mereka, pengennya w sma sdra2 sih-
Read 4 tweets
Aug 19, 2020
Malam 1 suro ya sekarang? emm ada sedikit cerita nih. ceritanya nggak serem kok,

-Sort thread-

Kisah ini adalah pengalaman salah satu sahabat karib saya. Sampai saat ini dia masih hidup dan sering berkomunikasi, ketemu dgn saya.

Roy, pemuda pemilik bengkel mobil di Jatim.
Pagi hari seperti biasa, di jam 07.00 bengkel tua yg ia kelola sudah dibuka. Roy membuka bengkel dibantu kakak dan satu org pegawai.

Pagi itu tdk seperti biasanya, karena sdh ada dua mobil pick up yg menunggu bengkelnya buka. Lama menunggu dua org tsbt, dgn cpt menghampiri Roy
"Mas ganti oli, dua mobil ini?"pinta sopir yg biasa dipanggil mas ndol

"Ya mas" jawab Roy

"Emang mau kemana mas, pagi2 kok sudah siap2 pergi jauh"

"He...he..biasa mas dapet job dari mbah Parjo"

"Memang Job apaan mas?"

"Biasa, nganter kiriman keselatan"
Read 23 tweets
Aug 6, 2020
"Melahirkan Di RSUD Lama Mojoketo"

-Horor Thread-

@bacahorror #bacahorror
Ini cerita lama ya, yang kapan hari ditahun 2013 ramai diperbincangkan. Saya hanya menuliskan ulang berdasarkan beberapa kesaksian teman, saudara dan pemberitaan dimedia.
Mojokerto, 2013

Buah hati sebagai tujuan utama dalam berumah tangga, demikian juga yang dialami pasutri Suroso dan Padmi dari Dusun Suru Kidul, Desa Suru Kecamatan Dawar Blandong Kab. Mojokerto.

Ditahun 2013 Padmi tengah hamil,
Read 53 tweets
Jul 1, 2020
Demi apapun! Jangan pernah membicarakan mereka. Jika darah berbalut kelopak bunga sudah tumpah dilembah, aku tak tahu apa yg akan terjadi ? Hanya tradisi mereka yg menjawab "MATI".

"KKN DI LEMBAH MATAHARI"

@bacahorror #bacahorror
Yogyakarta, Juli 2017

Dua orang mahasiswa dari salah satu perguran tinggi terkemuka di Yogyakarta, Ayub dan Bahdim sedari tadi bersantai kini beranjak dari tempat duduknya dan mulai melangkah menuju kerumunan.
Keduanya menapaki jalan beraspal, tidak begitu lebar tapi sedikit bergelembung saat mendekati belokan. Canda dan senyuman seakan melakat dalam setiap derap langkahnya, menambah semangat pagi menjemput harapan.
Read 821 tweets
May 21, 2020
Malam yang pekat berselimut hawa dingin pegunungan, jalan berkelok curam menyimpan sedikit kenangan. "Coban Kethak"

-Short Thread- [based on true story]

@bacahorror #bacahorror
Silahkan RT, Pollow & Like dulu. Kita mulai nanti malam,...
Malang, tahun 2010

Siska ialah salah satu mahasiswi perguruan tinggi swasta yg terkemuka di Malang, dia sendiri saat itu tercatat sebagai mahasiswi semester tingkat akhir. Jadi perihal untuk pulang pergi ke rumah semakin sering.
Read 170 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(