Rumah dalam keadaan gelap, sama seperti beberapa jam lalu ketika om tinggalkan tadi. Bedanya, suasana luar semakin gelap karena nyaris semua bagiannya tertutup kabut pekat.
Udara dingin semakin menambah getirnya nyali yang mulai sedikit goyah.
Selama sudah beberapa tahun tinggal, kabut sepekat ini sangat jarang kami rasakan dan temui, bisa dihitung dengan jumlah jari satu tangan.
Sementara itu, om masih diam di atas motor, coba mencerna apa yang baru saja terjadi.
Bingung, heran, cemas, takut, semua bercampur jadi satu. Entah apa yang harus dilakukan..
***
Memperhatikan sekeliling, hanya ada sepi dan hening,
Dead silence..
Sebegitu senyapnya, om sampai dapat mendengar degup jantung sendiri, degup yang berdetak masih pelan, entah akan jadi seperti apa beberapa saat lagi.
Pilihannya hanya dua, mencoba lagi menuju kota dengan menelusuri perkebunan karet di nyaris tengah malam ini, atau masuk ke dalam rumah, hanya itu.
Cukup lama om terdiam, sampai akhirnya dapat memutuskan sesuatu..
Turun dari motor, lalu om berjalan mendekati pintu.
Merogoh saku celana untuk meraih kunci, lalu coba membuka pintu secara perlahan.
Ruang tamu gelap gulita, ketika akhirnya pintu sudah benar-benar terbuka. Kosong melompong, semoga penglihatan dalam gelap mata gak membohongi.
Itulah keputusan yang diambil, om memutuskan untuk masuk saja ke rumah.
Karena yakin, kalau memaksa membelah perkebunan karet untuk menuju kota, kemungkinan besar akan kembali ke titik awal, ke rumah ini.
Perasaan mengatakan, ada sesuatu yang gak menginginkan om pergi dari rumah, memaksa untuk om tetap tinggal, dengan situasi seperti ini.
Begitulah..
***
Masih sama dengan beberapa jam yang lalu, ruang tengah kosong melompong. Meja kursi dan lemari masih pada tempatnya, berbentuk siluet hitam tapi masih terlihat.
Petromak menggantung di tengah ruangan dalam keadaan mati, mata bekerja keras untuk mengamati dan memperhatikan isi rumah sebelum melangkah masuk.
Gak ada pilihan lain, kaki akhirnya melewati garis pintu, memasuki rumah.
Hal pertama yang om lakukan adalah meraih petromak lalu menurunkannya, kemudian coba mencari korek api di atas meja dengan meraba di dalam gelap.
Korek api biasanya memang kami letakkan di atas meja, supaya gampang menemukannya di kala gelap atau pun terang.
Harusnya gampang menemukannya, karena om sudah sangat hapal letaknya, tapi kali ini gak ketemu aja, padahal sudah meraba-raba nyaris seluruh permukaan meja.
“Ah di mana sih korek api ini.” Dalam gelap om bergumam sendirian.
Yang om rasakan, di atas meja hanya ada beberapa majalah, koran, asbak, dan radio, gak ada korek api.
“Ah mungkin jatuh ke lantai.” Begitu pikir dalam hati.
Lalu om mulai coba mencari di bawah meja dan sekitarnya, masih dengan meraba-raba dalam gelap.
Udara dingin karena malam berselimut kabut, gak bisa menahan keringat mengucur di tubuh, aktifitas di dalam gelap ini agak sedikit melelahkan.
Sambil berjongkok, om terus aja berusaha mencari korek api.
Sampai akhirnya pergerakan om berhenti, karena tangan sepertinya menyentuh sesuatu. Sesuatu yang dapat dipastikan kalau itu bukan korek api..
***
Indera perasa bekerja sangat intens, coba menjelaskan apa yang sedang dalam rabaan.
Di gelap yang teramat sangat, om memaksa perasaan untuk mencari jawaban apa gerangan yang ada di hadapan.
Benda ini permukaannya lebih tinggi dari lantai, mungkin tingginya setengah tinggi kursi. Yang dapat dipastikan pertama kali, benda yang om sedang sentuh ini memiliki permukaan berlapis kain, kain kasar dan agak tebal. Kain ini seperti membungkus sesuatu.
Om terus meraba dalam gelap..
Benda berbungkus kain ini ternyata bentuknya memanjang, nyaris sepanjang kursi besar ruang tengah.
Detik demi detik berlalu, untaian pertanyaan satu persatu jadi punya jawaban yang tadinya hanya bersumber dari asumsi dan perkiraan.
Keringat yang awalnya mengucur akibat kelelahan, berganti jadi keringat dingin karena perasaan takut yang tiba-tiba menjulang cepat.
Iya, om sudah dapat mengambil kesimpulan, sudah punya jawaban dari pertanyaan “Benda apakah yang sedang terbaring di hadapan?”, benda yang masih saja om sentuh dengan kedua belah tangan.
Puncaknya, ketika tangan kiri akhirnya meraba sesuatu yang letaknya di ujung benda itu, telapak tangan merasakan permukaan yang ternyata bukan lagi kain, tapi seperti kulit manusia.
Keringat dingin semakin bercucuran, degup jantung semakin kencang, tulang seperti lepas dari engselnya, ketika yakin kalau yang om sedang raba adalah permukaan yang sepertinya memiliki mata, hidung, dan mulut.
Ternyata om sedang meraba wajah manusia, manusia yang tubuhnya berbalut kain kasar yang sedang berbaring di dalam gelap, di ruang tamu, tepat di hadapan.
Sepertinya pocong..
***
Masih dalam keadaan duduk, perlahan om mundur menjauh, menggeser tubuh mendekat ke dinding yang ada di belakang.
Dalam proses mundur inilah akhirnya tangan kanan menyentuh dan menemukan korek api yang om cari sejak tadi, ternyata tergeletak di lantai.
Akhirnya om duduk bersandar di dinding, dengan ketakutan yang sudah nyaris pada puncaknya, om masih belum juga melihat dengan jelas apa yang sedang ada di dalam ruangan selain om. Dengan berharap semoga kesimpulan yang om ambil tadi, salah.
Pada titik ini, walaupun ketakutan masih mendominasi tapi rasa penasaran mengalahkan segalanya.
Kenekatan yang nantinya pasti akan disesali, perlahan tapi pasti om menyalakan korek api kayu yang ada di genggaman.
“Ceeeessssss..” Korek menyala.
Serpihan cahaya dari api kecilnya, sangat cukup untuk om bisa melihat semua, melihat pemandangan yang ada di hadapan.
Ada pocong dengan kain kafan kusam sedang berbaring di antara kursi panjang dan meja. Sambil ketakutan, om memperhatikannya dari ujung kaki sampai kepala.
Kain bagian wajah terbuka, dari situ om dapat melihat garis mukanya.
Wajah pucat menghadap ke atas, dengan lingkar gelap di sekitar mata, mulutnya terbuka.
Yang membuatnya semakin mengerikan, rahang bawah dari pocong itu bergerak naik turun, gerakannya sedikit, tapi kelihatan.
Hanya beberapa belas detik api menyala, setelahnya ruangan kembali gelap gulita, kerena korek kayu di tangan sudah habis, apinya padam.
Penasaran dan kecemasan seperti berebut atensi.
Reflek, om kembali menyalakan korek api yang kedua.
“Cessssss.” Korek api kayu menyala, api kecilnya kembali memberikan serpih cahaya.
Badan om gemetar hebat, ketakutan, nyali terhempas hancur berantakan, ketika mengetahui ternyata pocong sudah gak seperti semula.
Dia sudah dalam posisi duduk, wajahnya menghadap ke depan, om ada di sebelah kanannya.
Sungguh pemandangan yang amat sangat mengerikan..
Yang amat sangat om takutkan terjadi, pada detik-detik nyala api terakhir, perlahan pocong mulai menoleh ke kanan, menoleh ke tempat om yang sedang duduk bersandar.
“Tuhan, tolong aku.” Hanya namaNya yang dapat om sebut di dalam hati, hanya Dia yang pastinya dapat menolong, ketika menyadari kalau tubuh gak bisa digerakkan sama sekali, gak bisa melarikan diri..
Detik berikutnya, keadaan kembali gelap gulita, api dari dari nyala korek padam untuk yang kedua kali..
Nyaris menangis, ketika tanpa hasil setiap kali coba untuk menggerakkan tubuh, tetap gak bisa..
Ketakutan, di ambang pingsan..
Lalu tiba-tiba..
“Creeek, creeekk, creek.” Suara itu tiba-tiba muncul, terdengar keras di dalam gelap.
Om menangis pelan, gak tahu harus berbuat apa, pasrah..
***
Hai,
Balik ke gw lagi ya Brii. 🙂
Sudah selesaikah malam mencekam yang sedang dialami om Heri? Tentu saja belum, kelanjutannya amat sangat mengerikan, minggu depan aja ya.
Jangan lupa, hari senin udah bisa pesan buku #rhdpk, di buku itu akan banyak pertanyaan yang terjawab. Ngerinya gak ada sensor, cekamnya melewati batas, pol pastinya. Jangan sampai kehabisan.
Sampai jumpa minggu depan, met bobo semoga mimpi indah.
Salam,
~Brii~
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Kadang keadaan memaksa kita untuk menempati tempat tinggal baru. Sering kali, susahnya proses adaptasi harus ditambah dengan terpaan seram dari sisi gelap.
Ada teman yang mau berbagi cerita pengalaman ketika harus menempati rumah baru.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
Lagi-lagi, aku menemukan beberapa helai rambut panjang, entah ini sudah yang keberapa kali, kali ini aku menemukannya di depan lemari ruang tengah. Beberapa helai rambut ini kalau diukur dengan tubuh perempuan dewasa, kira-kira dari kepala sampai ke pinggul, panjang memang.
Apa yang aneh? Ya anehlah, karena di rumah gak ada seorang pun yang memiliki rambut sepanjang itu. Rambutku hanya sebatas pundak, itu pun jenisnya gak sama dengan rambut yang sudah beberapa kali kami temukan.
Gak memandang apa pekerjaan kita, “Mereka” akan datang dengan keseraman tanpa diduga, dengan berbagai bentuk yang gak tertebak.
Malam ini, simak pengalaman seorang supir travel di salah satu bagian Sumatera.
Hanya di sini, di Briistory…
***
~Lampung, Circa 1998~
“Hati-hati, Bang. udah malam ini, kenapa gak besok lagi ajalah nariknya.”
“Hehe, tanggung, Man. Setoran masih belum setengahnya ini, nanti bos marah.”
Nyaris jam sebelas malam, ketika aku masih berada di pelabuhan Bakauheuni, Lampung. Percakapan dengan Iman, rekan sejawat, sejenak membuyarkan lamunan.
Sejarah panjang dan kelam sering kali terungkap dalam senyap, tergambar oleh tarikan garis seram.
Satu sudut di Lembang, tersaji horor tempat pelatihan, seorang teman coba bercerita pengalaman seramnya di sana.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
Waktu seperti berhenti, udara sama sekali gak bergerak, suara detik jam yang tadinya samar terdengar tetiba gak ada lagi. Dalam gelap, aku terus memperhatikan ujung tangga, menunggu kira-kira siapa gerangan yang akan turun dari lantai atas.
Sementara itu, suara yang sepertinya bunyi langkah kaki, terus saja kedengaran, makin jelas, makin dekat.
Cadas Pangeran, satu tempat bersejarah. Ratusan tahun berusia, sahihkan kisah hitam dan putihnya, terus bergulir hingga kini.
Mamal ini, seorang teman akan menceritakan pengalamannya ketika melintasi daerah ikonik ini. Seram? Tentu saja.
Simak di sini, hanya di Briistory.
***
Lepas dari pusat kota Jatinangor, aku akhirnya masuk ke daerah yang terlihat seperti gak berpenduduk.
Tahun 1998, Cadas Pangeran masih sangat sepi, jalan berkelok dikelilingi oleh pepohonan yang membentuk hutan, sama sekali gak ada penerangan, gelap gulita.