My Authors
Read all threads
"Pukul 10 PM"

Thread Horror Story

@bacahorror #bacahorror Image
Mohon maaf sekali karena ada kata2 yg kasar 🙏

Selamat membaca

Let's get started
1. Foto dan rambut

"Temen ta iki nggon e?" (Yakin ini tempatnya?)

Tanya seorang pria bernama Badrun kepada firman temannya yg hanya dijawab dengan anggukan,

"mblusuk tenan panggon e iki, uadoh tekan kampung, omah nok pucuk gunung, edaan cuk"
(pelosok banget tempatnya ini, jauh dari pemukiman warga, rumah kok di pucuk pegunungan, gila njir ) keluhnya.

"Cok rame ae koen, wes ayo melbu, percoyo ta nang aku"

(njir ribut banget, ayo masuk, percaya aja ke aku) jawab temannya Firman,
mereka berdiri di depan sebuah rumah kuno, dikelilingi rerumputan setinggi dada orang dewasa.

Rumah yg menyimpan banyak misteri, dibangun dengan kayu yg kokoh namun usang, diterangi dengan cahaya obor terlihat beberapa patung-patung tua,
berderet di teras seolah mereka adalah prajurit, terdapat sesajen di kanan kiri teras, dan kertas-kertas yg ditempel di dinding menambah kemistisan rumah ini.

Suasana malam mencekam serta binatang malam menemani mereka, tak ada angin yg berhembus seolah tempat ini dikhususkan-
untuk "mereka", hawa yg sangat panas meskipun mereka berdua berada di pegunungan.

*KRIIIEEEEEETT* suara decit lantai kayu yg mereka injak,

"peteng e se cok" (gelap banget anjir) gerutu Badrun,

*TOK TOK TOK* Firman mengetuk pintu
lama...lamaaa sekali pintu tak terbuka,

*TOK TOK TOK" untuk yg kesekian kali firman mengetuk pintu.

"Ojo ngomong wong e ga ono, wes adoh-adoh rene, asu"

(jangan bilang orangnya ga ada, kita udah jauh-jauh kesini, anj*ng) protes Badrun,
"cangkemu iku encene rusak, sabar sik tala, nggacor ae lambene"

(mulutmu itu rusak, sabar bentar dong, ngomel mulu kau) ucap firman.

*HUU HUUUUUU HUUU* terdengar suara tangisan,

"jamput, krungu wong nangis a?"
(Sial, denger orang nangis ga?) tanya badrun, firman hanya manggut, keringat sudah membasahi baju mereka berdua,

"lapo? " (ada apa?) bisik suara perempuan, suaranya lirih dan serak.

Suara tersebut berhasil membuat mereka berdua tersentak kaget, "asu!!"
(Anj*ng) teriak firman dan badrun bersamaan, mereka menengok ke kanan dan kiri mencari sumber suara, perempuan tersebut duduk di tengah jendela rumahnya yg berada diujung kiri teras.

Perempuan itu menatap ke depan tanpa melihat mereka berdua yg ada di sampingnya,
"mbah kulo badhe..." (mbah saya mau...)

belum selesai firman berkata,

"ga iso, poyang ku ga iso saiki, rong dino engkas balio rene"

(tidak bisa, poyangku ga bisa kalau sekarang, dua hari lagi kembalilah kesini) kata perempuan tersebut.
"Mbah kulo pun adoh-adoh mriki, tolong mbah, kulo bayar pinten mawon pun"

(mbah saya jauh-jauh kesini, tolong mbah, saya akan membayar berapapun biayanya) kata badrun,

perempuan itu melihat ke arah badrun, lebih tepatnya hanya melirik, "syarat e?"
Tanya si perempuan,

"kulo beto sedoyo mbah" jawab badrun.

Perempuan itu melompat masuk ke dalam rumah, tak lama pintu terbuka, perempuan itu sudah duduk di belakang mejanya.

Perempuan ini bernama Gandhini, berumur setengah abad,
dia sudah berganti pakaian, baju yg longgar berwarna coklat dengan motif batik.

"Duduk" kata Gandhini,

mereka berdua duduk, terlihat di sekeliling banyak pernak pernik barang antik, boneka, patung, kotak dengan ukiran, keris , parang dan benda pusaka lainnya,
di meja terdapat kertas-kertas coklat bertuliskan aksara jawa, dupa, dan bunga yg sudah mengering.

Di sisi lain terdapat beberapa kandang, beberapa ayam cemani, ayam putih, kambing, dan juga hewan lainnya,

"tokno syarat e" (keluarkan syaratnya) perintah gandhini,
badrun mengeluarkan sebuah foto dan beberapa helai rambut.

"Arep mbok apakno arek iki?" (Mau di apakan anak ini?) Tanya gandhini,

"di pateni ae mbah" (dibunuh aja mbah) jawab firman,

"asu koen, ngga lah" (anj*ng kau, jangan dong) sahut badrun sembari memukul kepala firman.
"Gawe loro-loroen ae mbah pirang ulan ta kunu, pokok nelongso"

(buat sakit-sakitan saja mbah beberapa hari, yg penting sengsara) pinta badrun kepada gandhini.

Gandhini berjalan ke arah kamar yg ditutup dengan tirai merah, disana ada seorang anak laki-laki
berumur 8 tahunan, dia tertidur di atas ranjang.

Nampak tidurnya tak nyaman, dia merengek dan menangis dengan mata terpejam, kakinya menendang langit, tangannya mencakar-cakar,

"le, iki sing terakhir"

(nak, ini yg terakhir) kata gandhini meneteskan air matanya.
Ya, dia lah poyang atau biasa disebut dukun, tapi poyang adalah roh nenek moyang, lebih tepatnya roh nenek moyang ini mendiami raga dari si anak ini, poyang anak yg mengirim santet melalui media foto dan rambut orang yg akan di santet.
Dia membuka mata dan melotot,si poyang semakin tak karuan, dia berdiri menari-nari, berjingkat dengan lalu memejamkan mata lagi, mengeram dan sesekali berteriak "sakit" dan sisanya mengucapkan kata-kata yg tidak jelas.

Tak lama gandhini keluar,
"wes, mulih o" (sudah selesai, pulang lah) kata gandhini,

firman dan badrun kebingungan seolah berkata "udah? Gitu doang?",

namun ia tak berani menanyakan hal itu kepada gandhini,

firman memberi kode kepada badrun agar ia memberi uang yg sudah di janjikan kepada gandhini.
"Niki mbah, maturnuwun" (ini mbah terimakasih) kata badrun,

Gandini hanya manggut dan menatap mereka berdua dengan wajahnya yg ngeri, firman dan badrun segera masuk mobil dan memacu kendaraannya meninggalkan rumah tersebut.
2. Gadis yg malang

Bu Emi menangis tak henti-hentinya melihat Diana putrinya terpasung,

"sopo sing tego gawe anak ku koyok ngene? Tak patenane..!!"

(Siapa orangnya yg berani membuat anakku seperti ini? Akan kubunuh..!!) Teriak Pak Tikno.
"Le, nduk, reneo, aku arep ngomong"

(nak, kesinilah, aku mau bicara) panggil wak Suro kepada bu Emi dan pak Tikno,

mereka bertiga kemudian duduk di samping kandang tempat Diana di pasung.
Wak suro menghela nafas panjang,

"wes meh rong ulan arek iki koyok ngono, sik mbok jarno ae ta?"

(Sudah hampir dua bulan anak itu seperti ini, apa masih saja kalian biarkan?) Tanya wak suro.
Bu Emi hanya terdiam, wajah pak Tikno mulai mengeras,

"ga iso ngene terus wak, lek sampeyan sanggup, aku bakal nyediakno opo sing sampeyan butuhno"

(tidak bisa seperti ini terus wak, kalau Anda sanggup, saya akan menyediakan yg Anda butuhkan) jawab pak Tikno.
"Pak.. wak suro kan..."

Ucap bu Emi lirih hampir tak terdengar,

pak Tikno melirik bu Emi,

"ga ono cara liyo"

(ga ada cara lain) tandas pak Tikno, yg kemudian berganti melihat wak suro.
"Aku bakal turun tangan, aku ga mungkin tego ndelok arek iku koyok ngono, yo opo iku Diana wes tak anggep putuku dewe"

(Aku akan turun tangan, aku ga mungkin tega membiarkan anak itu begini, bagaimana pun aku sudah anggap Diana itu cucuku sendiri), jelas wak suro.
Terlihat kekhawatiran di wajah bu Emi, ia takut kejadian dahulu yg Wak Suro hadapi terulang lagi, melawan musuh bebuyutan nya, yg membuat istri dan anak-anak nya terbunuh, terlebih lagi Wak Suro sudah berhenti dari dunia dan ilmu ghaib sejak beberapa tahun yg lalu.
"Wes yakin ae, ndungo, kene bakal menang"

(sudahlah yakin saja, berdoa lah agar kita akan menang) kata pak Tikno sembari mengelus pundak istrinya itu,

bu Emi tak menjawab, ia hanya bisa menatap sedih kondisi putri nya yg mengenaskan.
_______________
Dua bulan sebelumnya
_______________

"Bu, Diana pamit berangkat kerja" teriaknya,

"hati-hati nduk" (nduk=nak, panggilan anak perempuan), diana menstater motor butut nya menuju kantor.
Diana, gadis cantik berambut hitam panjang, dengan lesung pipit dan senyuman maut nya yg manis, banyak lelaki yg ingin dekat dengannya, namun, Diana adalah perempuan yg sangat dingin dan cuek.
"Nanti makan siang bareng yok Di"

tawar seorang laki-laki bernama Yoga,

diam-diam yoga mengagumi diana sejak mereka masih duduk di bangku sekolah.

"Hmmm" jawab Diana sekenanya dengan masih sibuk mengerjakan laporan di komputer,
"Di, kamu jangan cuek-cuek banget lah sama aku" pinta Yoga.

Diana menghentikan pekerjaannya lalu melihat Yoga,

"move on dong Yog, aku kan udah berkali-kali nolak kamu hehe" ucap Diana dengan nada manja,

"udah ah mau fokus kerja, kamu ngga kerja apa?" Lanjut nya.
Yoga manggut lalu meninggalkan Diana,

Diana hanya menggeleng kepala melihat kelakuan Yoga yg sama sekali tak berubah.

Jam kerja pun usai seperti biasa juga Yoga menunggu Diana untuk pulang bersama.
"Duluan aja, aku mau belanja bulanan" pinta Diana tanpa menunggu jawaban dari Yoga,

ia pergi dengan motor nya begitu saja,

Yoga mengejar Diana membuntuti nya dari belakang.

Setelah Diana selesai berbelanja, Yoga meminta nya untuk berbicara sebentar,
"bentar aja tapi ya, udah mau magrib soalnya" pinta Diana,

Yoga pun manggut.

"Di, aku tau kok perasaan mu ngga berubah ke aku, tapi kamu masih mau kan jadi temen ku? Jangan ngehindar terus, itu buat aku sedih Di" ucap Yoga,
"syukur lah kalo kamu ngerti Yog, aku tuh udah anggep kamu kayak kakak ku sendiri, kayak saudara ku" jelas Diana.

Wajah Yoga nampak sedih mendengar kata-kata itu dari mulut orang yg ia cintai,

"ini gelang persahabatan buat kita pake berdua, kamu mau pake kan Di?" Tanya Yoga
Diana melihat gelang mutiara berwarna hijau tua itu, ada keraguan di benak Diana,

namun ia tak mampu menolak pemberian dari orang yg di anggap kakaknya itu, Diana manggut,

Yoga segera mengenakan gelang tersebut ke pergelangan tangan Diana.
**Malam sekitar pukul 22.00**

"Ssssshhh ssshhh sssshhh"

suara desisan seperti ular membangunkan Diana dari tidurnya, matanya sibuk mencari kesana kemari dimana sumber suara itu, setelah ia pastikan itu hanya salah dengar atau halusinasi nya saja, Diana melanjutkan tidurnya.
Baru saja ia memejamkan mata, ia merasakan di rambutnya ada sesuatu yg berjalan disana,

segera ia memegangi kepalanya, jarinya sibuk mencari-cari sesuatu yg ada di rambut nya,

tangannya merasakan segumpal rambut kasar.
Ia segera menarik rambut itu, jelas itu bukan rambut nya,

rambut itu berwarna sedikit putih seperti rambut orang tua yg beruban,

ia buru-buru membuang rambut itu melempar nya ke lantai,

sekejap saja rambut itu berubah menjadi ular.
Diana berteriak sekuat tenaga, namun suaranya hilang, sama sekali tak terdengar bahkan di telinganya, ia menangis ketakutan karena ular yg tadi nya hanya satu kini bertambah banyak dan kian membesar.

Ia naik ke atas kasurnya dengan masih teriak, ia meloncat-loncat ketakutan,
dengan cepat ular itu masuk ke dalam mulutnya dan membuat nya tak sadarkan diri.

Keesokan hari nya ia terbangun, melihat keadaan sekitar,

"apa semalem itu mimpi?" Tanya nya pada diri sendiri, ia meraba rambut nya dan memeriksa mulutnya,

"ah pasti cuma mimpi" katanya-
bermonolog.

"Wis tak siapke nduk maem e, ibu tak nang kebon sik yo, ngirim sarapan e bapak mu"

(sudah ibu siapin makanannya nak, ibu mau ke kebun dulu, anter sarapan untuk bapakmu) kata bu Emi.

Diana hanya manggut, ia melihat makanan di depannya sama sekali tak berselera,
padahal biasanya ia sangat lahap dengan sayur bayam, sambal terasi dan tempe goreng masakan ibunya.

Ia hanya minum air lalu pergi berangkat kerja sama sekali tak menyentuh sarapannya, di tengah perjalanan menuju kantornya,

Diana merasa badanya sangat panas, bukan demam,
tapi seperti terbakar.

Ia segera menghentikan motor nya, melihat kulitnya yg kemerahan ia panik dan segera pergi ke klinik terdekat, ia pun di resepkan obat dan salep untuk kulitnya yg panas dan memerah.
"Sajane kenek opo toh kowe nduk? Abang kabeh koyok ngene iki"

(sebenarnya kenapa sih kamu nak? Sampai merah-merah gini badanmu)

tanya bu Emi sembari mengoleskan salep ke seluruh kulit Diana yg memerah.
"Kirangan buk, budal kerjo wingi moro abang kabeh ngeten"

(kurang tau buk, berangkat kerja kemarin lalu memerah kayak gini) jawabnya,

"Obat e wes di ombe po rung?"

(Obatnya sudah di minum apa belum?) Tanya bu Emi.
"Pun buk" jawab Diana,

"panas e nekan-nekan buk, kulo titeni kok mesti jam sedoso dalu keraos panas, sakniki mboten panas"

(panas nya datang tiba-tiba bu, saya inget-inget setiap jam sepuluh malam terasa panas, sekarang ga panas) lanjutnya.
"Ya wes mugo ae ono oleh e ngombe obat karo kei salep yo nduk",

(Ya sudah semoga saja ada hasilnya minum obat sama di oles salap nya itu ya nak) ucap bu Emi.

Diana hanya manggut lalu pergi ke kamarnya, sudah dua hari ini ia tak berselera makan sama sekali,
hanya minum saja, ia tak merasa lapar.

**Malam sekitar pukul 22.00**

Badan Diana terasa panas, ia tak bisa tidur, ia putuskan untuk ke kamar mandi, mungkin setelah berendam, ia tidak akan merasa kepanasan lagi, sepanjang perjalanan ke kamar mandi,
Diana mendengar suara desisan ular dimana-mana.

Saat ia mencari menengok kanan-kiri tak ia temukan ular tersebut, ia mempercepat langkah kakinya menuju kamar mandi,

segera ia guyur kepalanya dengan air, *CCEESSSSSS* bagaikan kayu terbakar yg tersiram air,
kulit diana mengeluarkan asap.

"Aaaaakkkhhh" teriaknya,

kulit nya semakin memerah membara, Diana menggeliat kesakitan, berteriak meminta tolong,

bu Emi dan pak Tikno segera menghampiri Diana.
"Ya Allah,, nduk nyapo toh kowe iki?"

(Ya Allah, nak kenapa kamu ini?) Teriak bu Emi,

pak Tikno segera membopong Diana ke kamarnya, kulitnya masih memerah, namun kali ini Diana pingsan, Mungkin karena tidak kuat menahan sakitnya.
**Keesokan hari nya**

"Ayo maem sik nduk, wes pirang-pirang ndino awak mu ra maem"

(ayo makan dulu nak, sudah beberapa hari kamu tidak makan) pinta bu Emi,

Diana hanya terdiam tak menjawab ibunya.
Ibu nya menyuapi nya, Diana berusaha membuka mulutnya meski ia tak berselera makan, ia harus makan agar tenaga nya pulih dan tidak lemas, ia mengunyah makanan yg ada di dalam mulutnya.
Baru saja ia menelan, tenggorokan nya terasa sangat sakit,

ia ingin mengatakan itu kepada ibunya, namun tenggorokan nya tercekat tak bisa bersuara, "

eeh eh eh" ucap Diana yg tak di mengerti ibunya.
"Ayo ngombe sik nduk"

(minum dulu nak) kata bu Emi,

setelah Diana minum, tak berapa lama ia memuntahkan seluruh isi perut nya, nasi dengan darah kental keluar dari mulutnya.

"Nduuk..!!" Teriak bu Emi,

mendengar teriakan istrinya pak Tikno segera mengahampiri bu Emi-
di kamar Diana,

"ga beres iki buk, rupane ono sing macem-macem karo Diana",

(Ada yg tidak beres buk, rupanya ada yg macam-macam kepada Diana) kata pak Tikno,

pak Tikno segera mengambil air dan membacakan doa, lalu mengusap seluruh tubuh diana dengan air tersebut.
Diana meronta kesakitan teriak dengan bahasa yg tak di mengerti,

hanya sesekali ia mendesis seperti ular, tak lama Diana tenang dan pingsan,

bu Emi dan pak Tikno membiarkan Diana untuk beristirahat.
"Piye pak, Diana?"

(Gimana kondisi Diana pak?) Tanya bu Emi,

"yo sik pancet, iki mau aku mek nahan cek ga kelaran, aku te njaluk tulung wak suro"

(ya tetap seperti itu, aku tadi hanya menahan nya agar Diana tidak merasa kesakitan, aku akan minta tolong wak Suro) ucapnya.
Bu Emi terlihat kaget,

"wak Suro ga ngarah gelem, wong e wes leren, pak"

(wak Suro ga akan mau, dia sudah berhenti, pak) ucap bu Emi,

pak Tikno hanya diam lalu meninggalkan bu Emi sendirian di depan kamar Diana.
**Malam sekitar jam 22.00**

Diana terbangun dari tidurnya nya, ia melihat ibunya tidur disampingnya,

diam-diam Diana melangkahkan kaki, ia membuka pintu dengan pelan lalu berjalan keluar rumah, ia mengamati sekitar rumah, sepi.
Ia berjalan ke arah kandang ayam membuka pintu di kandang tersebut dengan pelan,

Ia mengambil seekor ayam lalu mencabik nya dan memakan daging ayam mentah-mentah.

Merasa masih lapar Diana segera berlari dan mengejar tikus, ia menelan tikus itu bulat-bulat,
tangan dan bajunya berlumuran darah, di tangannya masih ada bangkai tikus,

"woi sopo neng kono?" (Woi siapa disitu?) Teriak pak tikno.

Pak tikno yg dari cek kebun, mengarahkan senter nya ke arah bayangan itu, kaget melihat putrinya berlumuran darah dengan membawa bangkai-
tikus di tangannya,

"asu..!! Koen duk anak ku, minggat koen tekan awak e anak ku..!!"

(Anj*ng..!! Kamu bukan anakku, pergi kamu dari tubuh anak ku..!!) Teriak nya,

pak Tikno memejamkan mata dengan bibir nya komat kamit membca doa, Diana segera berlari hendak mencekik-
bapaknya itu.

Namun belum sampai ia menyentuh pak Tikno, tubuh nya terpental lalu pingsan, dari dalam rumah terdengar bu Emi teriak mencari dengan memanggil nama putri nya,

"nduk,, Diana" ucapnya.

**Malam berikutnya di jam yg sama pukul 22.00**
"Entenono ae, mariki arek iku lak metu, wis pirang-pirang ndino tangi e jam yahmene, liyane kuwi yo turu tog"

(tunggu aja, bentar lagi anak itu akan keluar, udah beberapa hari ini dia terbangun jam segini, selain itu pasti tidur) bisik pak Tikno kepada bu Emi.
"Sajane nyapo toh pak arek kuwi metu? Getih tog klambi e, Ket wingi ra iso mangan, ora kelebon sego blas cah kuwi"

(sebenarnya ngapain anak itu keluar? Bajunya berlumuran darah, dari kemarin ga bisa makan, ga kemasukan nasi sama sekali dia) tutur bu Emi.
"Te lapo maneh lek ga nggolek mangan"

(mau apa lagi kalo tidak cari makan) jawab pak Tikno,

mata bu Emi terbelalak kaget,

"mangan opo pak?" (Makan apa pak?) Tanyanya lagi,

"sssst" ucap pak Tikno lirih sembari menunjuk kamar Diana dengan kepalanya.
Benar saja, Diana keluar dari kamar nya,

pak Tikno yg hendak mengejar Diana tertahan bu Emi, tangannya menarik lengan pak Tikno,

"melu pak" (ikut pak) pintanya,

"enteni di kene wae, ewangi ndungo, ngerti"
(Tunggu dirumah saja, bantu doa, mengerti?) Ucap pak Tikno yg dibalas anggukan ragu oleh bu Emi,

"duh gusti, mugi mawon anak kale garwo kulo selamet" (ya Allah Semoga anak dan suamiku selamat) harap bu Emi dalam doanya.
Pak Tikno mencari-cari Diana di sekitar rumah, tak ada tanda keberadaan Diana disana,

"cak.. caak Tik..!!" Panggil seorang warga bernama cak Budi,

Ia berlari menghampiri pak Tikno dengan nafas terengah-engah.
"Iko..Diana.." (itu Diana) katanya terbata-bata sembari menunjuk ke arah dimana Diana berada,

"ayo terno aku rono" (ayo antar aku kesana) pinta pak Tikno,

wajahnya menegang, ia sangat khawatir jika warga tau kondisi putrinya.
Beberapa warga berkumpul melihat Diana dibawah pohon pisang,

Ia sedang asyik memakan beberapa ayam milik warga, ia mengunyah nya dengan lahap, tinggal tulang belulang yg tersisa,

pak Tikno nampak sudah tidak kaget menyaksikan putrinya seperti itu.
"Pitik e sopo? Mene nang o omah, tak lironi, Bud, aku jaluk tolong, wong-wong kon mbalik nang omah e dewe-dewe"

(ayamnya siapa? Besok datang lah kerumah, akan ku ganti, Bud, aku minta tolong warga suruh kembali ke rumah masing-masing) pinta pak Tikno.
Cak Budi tampak menuruti perintah pak Tikno, warga pun membubarkan diri dan kembali ke rumahnya.

Kejadian seperti ini sudah berlangsung selama seminggu ini, warga pun banyak yg protes karena kelakuan Diana sangat meresahkan warga.
Tak hanya ayam yg jadi sasaran, tak jarang Diana masuk kerumah warga untuk mengejar tikus,

memakannya dan meninggalkan bercak darah dirumah warga tersebut,

"mending endi arek iku di pasung opo di usir tekan kampung iki?"
(Pilih mana anak itu di pasung apa di usir dari kampung ini?) Tanya pak Bejo kepala desa,

Bu Emi dan pak Tikno tak bisa berkutik, mereka harus merelakan putrinya itu di pasung.
"Panas buk, panas.."

Ucap diana lirih, bu Emi hanya mengelus rambut anaknya, tak tau harus berbuat apa lagi,

semakin hari kulitnya melepuh mengeluarkan darah dan nanah,

Diana sama sekali tak makan sejak di pasung.
*PRAAANGG* pak Tikno melempar piring yg dibawa bu Emi,

"opo-opoan iki??" (Apa-apaan ini?)

Bu Emi kaget dan menunduk, ia diam-diam membawa ayam mentah agar Diana bisa makan,

"lek ga ngene, Diana ga mangan pak"

(Kalo ga begini, Diana ga makan, pak) jawab Bu Emi lirih,
Pak Tikno mencengkeram lengan bu Emi,

"ga ngene carane buk..!!"

(Gak begini caranya Buk) ucap pak Tikno setengah berteriak.

"Trus mbok jarno anak e ora mangan? Diana mati duk perkoro setan itu, tapi mati polae keluwen pak..!!"
( Terus kamu akan membiarkan anak kita tidak makan? Diana mati bukan karena setan itu tapi karena kelaparan pak..!! ).

Pak Tikno dan Bu Emi menangis mereka tak tahu harus bagaimana lagi,

dengan berat hati mereka memberikan ayam mentah itu kepada Diana.
3. Ritual

Sebelum pulang wak Suro berpesan kepada pak Tikno

"poso o muteh telong ndino iki, siapno degan, getih pitek cemani sak cukupe, syarat liyane mengko aku sing nyiapke"
(Puasalah putih, siapkan kelapa muda, darah ayam cemani secukupnya syarat yang lain nanti aku yang menyiapkan) pesannya,

Pak Tikno manggut dan mengantar wak Suro ke halaman depan.
Hari yg ditunggu pun tiba, pak Tikno dan wak Suro duduk berhadapan di depan kandang dimana Diana di pasung,

mulut bu Emi terus komat kamit membaca doa yg ia bisa.

Wak Suro mengambil darah ayam cemani, meminum nya seteguk, sisanya ia masukkan ke dalam air kelapa muda,
(untuk ritual lain ga perlu aku jelasin ya, sensor ya, aku juga ga jamin ini pure ilmu putih).

Tak lama wak suro membuka mata, dia manggut-manggut,

"wes ero aku sopo sing ngelamak karo putu ku"

(kini aku sudah tau, siapa yg kurang ajar dengan cucuku)
ucap wak Suro dengan senyum tipis di bibirnya.

"Sinten wak? Nopo kulo kenal? Tak patenane wong e"

(siapa wak? Apa aku kenal? Aku akan membunuhmu nya) tanya pak Tikno,

Wak Suro melirik pak Tikno dan menggeleng,

"wes jogoen anakmu, aku sing budal dewe, iki ngono gampang"
(Sudah jagalah anakmu, Biarlah aku sendiri yg berangkat, ini sangatlah mudah bagiku) tuturnya,

Pak Tikno hanya manggut dan menuruti kata-kata Wak Suro.

"Pak arep nang ndi wak suro? Cegaten pak, aku khawatir"

(pak mau kemana Wak Suro? Tolong dicegah aku khawatir)
kata Bu Emi memohon.

4. Poyang

*BRUAAKK* Wak Suro mendobrak pintu rumah Gandhini,

"metuo koen..!! ojo api-api budeg"

( keluar kamu..!! jangan pura-pura tidak mendengar) teriak wak Suro.
Gandhini pun keluar dengan menggandeng anaknya,

"lek ero iku putumu, aku ga katene melok-melok, tapi wes kadung nyemplung, aku ga mungkin ngehindar"

(Kalau saja aku tahu itu adalah cucu mu, aku tidak akan ikut campur, tapi aku sudah terlanjur aku gak mungkin menghindar)
ucap gandhini,

"ga usah wedhi, ono aku"

(jangan takut, ada aku) ucap anaknya.

Bukan, bukan anaknya tapi nenek moyang yg merasuki anak ini (next sebut saja poyang),

suara berat nan serak terdengar dari mulut poyang, dia berjalan pelan membungkuk layaknya seperti orang tua.
"Mlaku ae ga genah, kok kate nantang"

(jalan saja ga becus, sok nantang) ledek Wak Suro dengan tertawa kecil,

"Hhmmmmhh" ucap poyang terdengar seperti menggeram, ia melotot ke arah Wak Suro.
Wak Suro duduk bersila disusul poyang yg juga bersila,

setelah sekian lama suasana hening,

poyang memuntahkan darah dari mulutnya,

"cabuten setan mu di putuku, opo koen tak tandangi?"
(Keluarkan setan mu di cucuku, atau kamu akan kuhajar?) Perintah Wak Suro,

poyang itu merasa tak terima akan kekalahan nya,

"GAK, ANAKMU KUDU SOROH"

(TIDAK, ANAKMU HARUS MENDERITA) bantahnya.
"Sak iki pilihan nok tangan mu, Ni, mbok culno putuku, opo koen kelangan anakmu iki?"

(Sekarang pilihan ada di tanganmu, Ni, kamu lepaskan cucuku, atau kamu kehilangan anakmu ini?) Tawar Wak Suro pada Gandhini.
Gandhini terlihat panik melihat anaknya pucat karena keluar darah banyak,

ia segera membawa poyang ke dalam rumah,

"culno ae mbah, aku ga gelem kelangan anakku"

(lepaskan saja Mbah, aku gak mau kehilangan anakku).
"Yakin ta koen? Masalah e, iki iso mbalik nang arek e sing njaluk"

(Apa kamu yakin? Masalahnya nya ini bisa kembali ke orang yang meminta) ucap poyang.

"Babah wes mbah, aku ga iso lek kelangan anakku siji-sijine iki"
(biarlah Mbah, aku nggak bisa kalau kehilangan anakku satu-satunya) jawab gandhini,

poyang manggut dan memejamkan mata, tak lama ia membuka mata.

Poyang berjalan menuju Wak Suro, memberi sebuah kantung hitam,

"umbahen iki karo banyu kembang, kintirno nang segoro"
(cucilah ini dengan air kembang, hanyutkan ke lautan).
______________

5. Siapa Dalangnya?

"Assalamualaikum.." ucap Yoga,

"waalaikumsalam, le.. suwe ora rene" (lama gak kesini) ucap bu Emi menyambut kedatangan Yoga,
"ngge ngapunten budhe, kulo tugas keluar kota sebulan niki, keadaan Diana pripun?"

(Iya maaf budhe, saya tugas keluar kota sebulan ini, keadaan Diana bagaimana?)

Bu Emi tertunduk lesuh dan mempersilahkan Yoga duduk, Yoga memberi bingkisan kepada bu Emi.
"Wes kerungu ta, le, kabare Diana yo opo?"

(Kamu sudah mendengar kabar Diana ya nak?) Tanya bu Emi balik, Yoga manggut

"Diana niku lare sae budhe, kok tasik enten sing jahat kale Diana"

(Diana itu orang yg baik budhe, kenapa masih ada orang yg jahatin Diana) ucapnya,
"le, wes suwih toh?" (Nak, sudah lama?) Tanya pak Tikno,

"nembe mawon pak dhe" (baru saja pak dhe) jawab Yoga.

Setelah lama mereka berbincang, wak Suro datang, wajahnya terlihat marah,

"ayo melu aku nang segoro, koen pisan le" (ayo ikut aku ke laut, kamu juga nak) ajaknya.
Pak Tikno dan Yoga terlihat bingung, kenapa tiba-tiba saja Wak Suro mengajak ke laut.

Setelah sampai di laut Wak Suro menjelaskan semuanya, wak Suro membuka kantung hitam itu, disana ada foto dan rambut Diana.
Yoga terperanjat kaget, dia tidak bisa berkata apa-apa lagi,

"mariki ayo di parani nang omah e, Yoga melu aku, Tikno jogoen anak karo bojomu"

(sebentar lagi ayo kita ke rumahnya, Yoga ikut aku sementara Tikno jagalah anak dan istrimu).
"Gak iso wak, aku kudu melu, tak tugel e ndas e..!!"

(Tidak bisa wak, aku harus ikut, akan ku penggal kepalanya..!!) Katanya dengan nada marah,

"yo ngene iki, mulak e aku ga iso ngajak awakmu, lek koen te mateni arek e, iso dadi perkoro, koen di penjara, gelem a koen?"
(Ya ini alasanku tidak ajak kamu, kalo kamu nekat bunuh dia bisa jadi perkara, kamu akan di penjara, mau kamu?) Tanya wak Suro,

"pak dhe teng griyo mawon nenggo budhe kale Diana, kersane kulo kale Wak Suro mawon mriko"
(Pak dhe di rumah saja jagain budhe dan Diana biar saya dan wak Suro aja yang ke sana) kata yoga menenangkan,

pak Tikno pun setuju dan kembali kerumahnya.

Dirumah nya, bu Emi yg masih menunggu Diana,

"buuk..!!" Panggil Diana, bu Emi senang bukan main,
setelah sekian lama tak mendengar suara anaknya memanggil "ibu",

"nduuk" ucap bu Emi sembari memeluk putri nya.

Perlahan luka ditubuh Diana mengering, meski tak 100% kulitnya bersih, setidaknya kulit nya sudah tak melepuh dan mengeluarkan bau busuk lagi,
"tak buka e buk, mau Wak Suro wes ngomong oleh di buka"

(Aku buka pasungnya, tadi wak Suro bilang sudah boleh dibuka) kata pak Tikno yg baru saja datang,

setelah pak Tikno membuka pasung, ia segera membopong Diana ke kamarnya,

"pak tak rumat e Diana yo"
(Pak, aku bersihin Diana dulu ya) ucap bu Emi.

"Wak, tirose kajenge teng griyane tiang e" (wak, katanya mau kerumah orang itu) tanya Yoga,

wak Suro tersenyum, "ga usah, engko lak wong e moro dewe, ga ngarah kuat ngempet suwe-suwe"
(Ga perlu, nanti juga orangnya kesini sendiri, ga mungkin kuat dia memendam lama-lama) jawab Wak Suro,

Yoga nampak bingung,

"wes saiki mulih o le" (sudah, sekarang pulang saja kamu nak) lanjut Wak Suro.
**Beberapa hari kemudian**

"Sajane aku sik penasaran, wak, sopo sing gawe Diana koyok ngono"

(sebenarnya aku masih penasaran, wak, siapa yg sudah buat Diana seperti ini) tanya pak Tikno kepada Wak Suro.
"Ga perlu semerap pak, sing penting kulo pun ngertos sinten tiang e" sahut Diana,

bu Emi dan pak Tikno nampak kaget,

"adine kowe wero sopo pelakune nduk?" (Jadi kamu tau siapa pelakunya nak?) Tanya bu Emi.
Diana manggut, Wak Suro hanya tersenyum,

"ojo gawe bapak karo ibu mu bingung, nduk, ndang cerito"

(jangan buat bapak dan ibumu bingung, nak, ayo cerita) ucap pak Tikno.
_________
Flashback Diana

(sudut pandang sebagai "aku")
_________
Malam itu pekerjaan kantor sangatlah banyak hingga aku terpaksa untuk lembur, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, aku putuskan untuk menyudahi pekerjaan ku.
Aku berjalan ke area parkiran, sangat sepi, sepi sekali, karena memang di kantor maksimal orang-orang hanya lembur hingga jam 8 malam

Handphone ku berdering, ku lihat ada nama seseorang disana.
Seseorang yg selama ini aku sukai, namun itu semua berubah semenjak aku mengenal dia lebih dekat, dia orang yg sangat kasar, egois dan posesif, akhirnya kami memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami seminggu yg lalu.
"Kenapa dari tadi ngga di angkat?" Tanyanya dengan nada marah,

"maaf mas, aku sibuk kerjaan banyak, ini baru selesai dan mau pulang, sudah dulu ya" jawabku mengakhiri telepon malam itu.
Aku melanjutkan langkah kaki ku menuju dimana motor ku terparkir, betapa kagetnya aku melihat dia duduk di atas motorku,

"mas ngapain disini?" Tanyaku, yg hanya di jawab dengan tawa kecilnya.
"Aku ga seneng ndelok awakmu karo arek lanang liyo, dek, kowe gelem ra mbalik karo aku?"

(Aku ga suka liat kamu sama cowo lain, dek, kamu mau kan balikan sama aku?) Tanya nya.
"Cukup seduluran ae mas, aku yo rung cedek karo wong lanang liyo kok"

(cukup bersaudara saja mas, aku juga tidak dekat cowo lain saat ini) jawabku,

malam itu tak akan pernah aku lupa.

Dia begitu marah lalu menarik rambutku,
menjambak m dan membenturkan ku ke tembok, dia meninggal ku begitu saja, aku ingat betul apa yg terkahir dia katakan.

"Kau akan mati dengan perlahan dan merasakan sengsara untuk waktu yg sangat lama" ucapnya lalu meninggalkan ku, aku berusaha sekuat tenaga untuk pergi dari sana.
Hari kedua setelah bertemu dengan dia, malam pukul 22.00, perasaan ku tidak enak malam itu,

jadi aku putuskan untuk shalat malam, selesai aku ambil wudhu dan mengenakan mukenah,

pada rakaat pertama, leherku terasa di cekik.
Aku menghentikan shalat ku, aku mengambil minum dan mengatur nafas perlahan,

aku hendak melanjutkan shalat ku lagi,

kejadian itu terulang, leherku kali ini makin tercekik dengan erat, aku berdoa tak henti-hentinya.
Hari ketiga setelah bertemu dengan dia, pukul 22.00.

Kali ini aku merasakan panas, badanku seperti berada di tumpukan api yg membara,

aku masih bisa menahannya, aku tak mau membuat kedua orang tua ku khawatir.
Kejadian ini berlangsung hingga 8 hari, aku sama sekali tak bisa beribadah,

setiap aku shalat leherku terasa di cekik, dan tiap pukul 10 malam badanku terasa terbakar,

puncak nya ketika aku bertemu ular di kamarku, ular itu masuk ke mulutku.
Panas yg kurasakan 3x lipat dari biasanya, aku sama sekali tak bisa makan, dia telah mengambil separuh jiwaku, dan merusaknya perlahan.
_________
Flashback selesai

(Sudut pandang sebagai orang ketiga)
________
"BADRUN? SING NGGARAI AWAKMU NGENE IKI BADRUN??"

(BADRUN? YG MEMBUAT KAMU SEPERTI INI ADALAH BADRUN?) Tanya pak Tikno,

kedua orangtua Diana tau mereka sempat menjalin hubungan.
Wak Suro memejamkan mata sebentar lalu membuka matanya lagi,

"koen ora usah repot-repot mateni arek iku, arek e wes atuk balesan e, wes mati"

(kamu ga perlu repot-repot membunuh dia, dia sudah dapat balasannya, sudah meninggal) ucap Wak Suro.
"Di... Diana..."

*TOK TOK TOK*

panggil seorang di luar rumah,

pak Tikno keluar untuk melihat siapa yg datang,

"ngapunten pak, Diana enten? Kulo badhe nyampe aken niki teng Diana"

(maaf, apa Diana ada? Saya mau menyampaikan ini ke Diana) kata orang itu.
Diana membuka amplop tersebut, tulisan permintaan maaf dari Badrun,

"kowe iki sopone arek biadab iku?"

(Kamu ini siapa nya anak biadab itu?) Tanya pak Tikno.

"Kulo Firman, rencange Badrun, pak"

(saya Firman, teman Badrun, pak) jawabnya.
"Jamput koen, ojo-ojo koen yo melu-melu yo?"

(Sialan kamu, jangan-jangan kamu juga terlibat ya?) Tanya pak Tikno sembari menarik baju firman.

_________
Cerita Firman

(Sudut pandang sebagai "aku"
_________
"Janc*k, wedhok taek iku, aku di putus no"

(anjir, cewe t*i, aku diputusin) ucap Badrun marah-marah saat datang kerumahku,

aku pun bertanya

"karo Diana? Lapo kok putus?" (Sama Diana? kenapa kok putus?).
"Selingkuh paling, yo mboh kadu tak santet ae, koen ono a kenalan dukun?"

(Selingkuh mungkin, entahlah ingin rasanya aku santet, kamu punya kenalan dukun ga?) Tanya Badrun.
"Gendeng a koen? Ga wedhi mbalik nang awakmu dewe ta? Resiko e gedhe Cok"

(gila ya kamu? Nggak takut kembali ke dirimu sendiri? Resikonya besar loh) jawabku.
"Walah ga ngoros aku, aku wes kadung seneng, lek ga karo aku yo ga iso karo wong liyo"

(halah, nggak peduli aku, aku sudah terlanjur suka, jika tidak bisa denganku juga tidak bisa dengan yang lain) katanya.
Besok Malam nya aku dan Badrun memutuskan untuk pergi kerumah dukun kenalan bapakku, badrun sudah mendapatkan beberapa helai rambut dan foto Diana,

kami berangkat setelah magrib, dan sampai disana sekitar pukul 10 malam.
Setelah kami sampai disana dan si dukun pun melakukan santetnya, dan menyuruh kami agar pulang.

Kudengar dari Badrun santet nya berhasil, Diana kini di pasung karena penyakit anehnya.
Sudah 2 bulan lebih aku tidak bertemu dengan Badrun,

namun tiba-tiba dia menelfon ku, dia bilang malam itu badannya sangat panas.

Kedua orang tua Badrun sudah tiada, hingga hanya aku lah teman dekat nya yg dia mintain tolong.
Sudah 4 hari dia mengeluh badannya panas seperti terbakar, dia pun juga tak bisa makan,

kadang dia mengeluh lehernya sakit seperti di cekik, aku sama sekali tak bisa berbuat apa-apa.
Aku berinisiatif untuk datang ke tempat dukun itu, tak kutemukan siapapun disana,

sepertinya rumah itu sudah di tinggalkan,

aku datang ke beberapa dukun lain, jawabannya semua sama.
"Temanmu itu kemakan santet nya sendiri"

kata beberapa dukun yg kutemui, akhirnya aku meminta Badrun untuk meminta maaf kepada Diana,

tapi Badrun bukan orang yg mudah, dia selalu menolak, "tidak sudi" katanya.
Hingga hari ke 8 dia sekarat, tubuh nya makin melepuh mengeluarkan nanah, lalu membusuk,

dia menyuruhku menulis surat untuk Diana, saat dalam perjalanan kerumah Diana,

aku mendapat kabar kalau Badrun telah meninggal.
_______
Cerita Firman selesai
______

Terimakasih sudah membaca thread saya, semoga bisa berjumpa di thread selanjutnya, tetap jaga kesehatan yaa 😘
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with ikka ayyu

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!