, 301 tweets, 45 min read
My Authors
Read all threads
Jawa Tengah, 2019

Namasumber : sebut saja Andika

KKN, momen yang menguras tenaga bahkan menguras kantong mahasiswa semester (hampir) akhir. Mengabdi kepada masyarakat, membuat Program Kerja (Proker) untuk sedikit mengedukasi dan memberikan secuil kenangan dimana aku pernah
hidup bersama teman-temanku didesa itu. Hidup Bersama teman dan dihadapkan dengan warga sekitar yang sebagian besar belum bisa menerima pengaruh dari luar. Belum lagi masalah mindset orang-orang tentang “Mahasiswa KKN adalah sumber uang”. Ketika datang ke sebuah desa langsung
dibantai dengan harga air,listrik, dan makan yang sangat tinggi. Meminta dibuatkan ini itu untuk menunjang warga sekitar dan perpisahan KKN yang mewah, uang darimana? Aku sebagai mahasiswa saja masih meminta uang orangtua, jajan diburjoan kopi 1 untuk 3 orang dan kalau puasa
mencari takjil dimasjid. Tragis memang jika mendapatkan Dhusun yang seperti itu, tapi disisi lain aku juga mendapatkan keluarga baru. Teman KKN yang menjadi keluarga, bapak/ibu pemilik rumah yang kami jadikan Posko KKN dan warga sekitar, itulah keluarga baruku. Oh iya, tak
jarang pula banyak tempat KKN yang masih hangat dengan “penunggu” Dhusun dan harus hidup berdampingan dengan “mereka”. Salam, sopan santun selalu aku junjung dimanapun aku berada, terutama ditempat baru. Kalau enggak, “mereka” enggak akan segan-segan untuk “SENGGOL BACOK”.
Sedikit saja berbuat kesalahan kasusnya akan sangat fatal dan mengancam nyawa.
Informasi tempat dan nama-nama teman kelompok KKNku keluar, aku melihat ditempatkan di Kota T, Propinsi Jawa Tengah. Setelah aku mulai melihat nama teman-temanku, ternyata hanya ada 3 laki-
laki termasuk aku dan 7 perempuan.

“sepi banget lanange gur telu, masalah udud we rame mesti” (sepi banget laki-lakinya Cuma 3, Cuma masalah rokok aja pasti bakal rame) gerutuku waktu mengetahui aku sebagai kaum minoritas dikelompok KKN ini.
Kira-kira 2 bulan aku mengetahui informasi itu, aku hanya mengetahui nama Kecamatannya saja yang bernama Kecamatan Nyamping. Karena salah satu teman kelasku rumahnya ada di Kota T jadi aku bertanya padanya siapa tau dapet bocoran sedikit-sedikit tentang Kecamatan Nyamping.
“ndes omahmu ro Kecamatan Nyamping ngendine?” (ndes rumahmu sama Kecamatan Nyamping mananya?) tanyaku pada Uzi (teman kelasku)

“adoh nek karo nggonaku Ndik, ngopo?” (jauh kalau dari rumahku, kenapa?) jawab Uzi

“kowe entuk KKN nengndi? Aku ning Kecamatan kuwi” (kamu dapat
KKN dimana? Aku di Kecamatan itu) jawabku

“aku ning Gunung Kidul Ndik, adoh men kowe cuk tekan nggonaku, padahal omahmu pucuk pinggir segara kidul, hahaha” (aku di Gunung Kidul, jauh sekali kamu sampai daerahku, padahal rumahmu ujung pinggir Pantai Selatan, hahaha)
“iyik, ngerti ra nggone?” (brisik, tau nggak tempatnya? ) jawabku kesal karena Uzi selalu mengejekku

“sakngertiku Kecamatan Nyamping ki ana 2, sing siji ning pegunungan perbatasan karo Kabupaten K nah sing sijine ning tengah Kota cuk. Penak nek kowe entuk kono”
(sepemahamanku Kecamatan Nyamping itu ada 2, yang satu di pengunungan perbatasan dengan Kabupaten K nah yang satunya itu ditengah Kota cuk. Enak kalau kamu dapet sana) jelas Uzi yang sangat paham akan Kotanya
“woo yo yo nuwun cuk” (wooo ya iya terimakasih cuk) kataku padanya

Kami sekelompok menunggu dan terus menunggu kabar dari kampus perihal nama Kelurahannya supaya kita bisa lebih mempersiapkan segalanya dan segera observasi. Dan h-2 minggu baru keluar
lagi informasi terbaru mengenai KKN. SHITTTT!!!!! Kelompokku dipindah ke Kecamatan yang lain, semula kami di Kecamatan Nyamping dan sekarang di Kecamatan Timang tetapi tetap belum ada nama Kelurahan/Desanya.

“jane sida KKN apa ora iki ki” (sebenarnya jadi
KKN apa enggak ini tu) ucapku karena saking kesalnya dengan pihak kampus.

Perkenalkan nama kelompok kami adalah KKN 69 dengan nama anggota aku(Andika), Malik, Ivan, Rika, Asti, Miya, Tia, Iva, Laras, dan Putri. Setelah berdiskusi dan kami memutuskan di hari senin
observasi, aku tidak bisa ikut karena ada acara lain jadi Rika dan Malik yang observasi. Hari-H observasi alhamdulillahnya nama Kelurahan sudah keluar yaitu di Kelurahan Tekuk. Sialnya ketika temanku observasi malah salah tempat, yang diobservasi adalah Kelurahan yang
dekat dengan lereng Gunung S. Nama Kelurahannya sama tetapi Kecamatannya berbeda! KENTHIRRRRR. Padahal mereka sudah bertemu dengan Bapak Lurahnya (ini cerita dari Rika yang ikut observasi waktu itu).
“selamat siang Pak, boleh kami meminta waktunya sebentar? Kami dari Universitas Cinta Damai ingin mengadakan observasi berkaitan dengan mata kuliah kami KKN di Desa ini” kata Malik yang selaku ketua kelompok. Karena dia orang Sunda jadi hanya bisa Bahasa Jawa sedikit-sedikit,
maka dari tu dia menggunakan Bahasa Indonesia ketika berbicara, takut salah katanya.

“siang, iya boleh. KKN di Desa ini? Kok saya belum mendapat surat langsung dari kampus anda ya mas?” Jawab Pak Lurah heran

“iya Pak maaf sebelumnya ini kami kesini juga tidak membawa surat,
solanya dari kampus juga belum turun dan kami langsung mengkonfirmasi kepada Bapak untuk lebih jelasnya” jelas Malik

“sebentar sebentar mas, selama ini jarang ada KKN disini mas. Apa benar disini?” pertanyaan Pak Lurah yang menaruh curiga
“iya Pak di Kecamatan Timang Kelurahan Tekuk, disini kan Pak tempatnya?” Malik menjelaskan

“nah ini mas, anda salah Kecamatannya. Disini memang Kelurahan Tekuk tapi ini Kecamatan Subal” sahut Pak Lurah

“aduh maaf sekali pak, kami yang kurang teliti membaca alamatnya”
jawab Malik

Setelah percakapan itu teman-temanku mencari lagi Kecamatan Timang dan memang nyasarnya ga tanggung-tanggung, hampir 2 jam jaraknya dengan Kecamatan yang seharusnya. Kata Rika Kecamatan Subal masih sangat singup, pohon-pohon yang tinggi dan jalanan yang masih
sangat sepi. Untung tidak jadi disini kata Rika sambil senyum tipis.

Akhirnya mereka sampai juga di Kecamatan Timang dan bertemu dengan Bapak Camat dan langsung diarahkan menuju Kelurahan. Bapak Lurah ternyata tidak mau menerima kedatangan kelompok kami
karena tidak ada surat pemberitauan dan ada sedikit perbincangan antara Pak Camat dan Pak Lurah. Dengan peran serta pak Camat akhirnya kami bisa di terima oleh Pak Lurah.

Selang beberapa hari surat pemberitahuan turun dari kampus, Rika dan Malik beserta perwakilan
kelompok lain kembali kesana untuk membicarakan administrasi selama KKN. Sehari dipatok harga Rp. 20.000 (makan 3 kali, listrik dan tempat), jujur kami semua agak kesal karena dari kampus apa-apa serba mendadak, mendapat harga yang cukup tinggi karena kami 45 hari ditempat
KKN dan Dhusun yang belum jelas Namanya.

-PELEPASAN KKN-

Setelah selesai pelepasan KKN di Aula Universitas aku dan teman KKNku berkumpul di foodcourt untuk mengenal satu sama lain. Karena pada tahun itu gencar sekali Theadhoror KKN di Desa Penari
aku spontan bertanya kepada teman-temanku.

“ning kene ana sing nduwe penyakit non medis?” (disini ada yang punya penyakit non medis?) tanyaku

Semua menjawab satu persatu dari ada yang punya asma, alergi dingin sama pantangan permakanannya. Selesai menjawab sampailah kepada
Rika dia mengatakan bahwa dia bisa melihat perdemitan duniawi.

“aku Ndik. Maaf ya cah aku nduwe kekurangan isa ndelok koyo ngono, iso komunikasi juga dan iki ket cilik” (aku Ndik. Maaf ya teman-teman aku punya kekurangan bisa melihat hal seperti itu, bisa
berkomunikasi dan ini sudah dari kecil) kata Rika. Diibaratkan seperti Risa Saraswati kurang lebih.

“santai lo Rik rapopo. Eh wingi entuk apa pas kowe observasi ro Malik?” (santai Rik enggak papa. Eh kemarin kamu dapat apa ketika observasi sama Malik?) tanya Asti
“anu iya wingi kelalen, kan Pak Lurah sing saiki wis meh entek masa jabatane dadi tanggung jawabe diserahke ning Pak Carik. Tapi nek ngaranku yo pak Lurah karo pak Carik ki ora satu pemikiran” (oh iya kemarin kelupaan, kan Pak Lurah yang sekarang udah mau habis masa
jabatannya jadi tanggung jawab semua dilimpahkan kepada Pak Carik. Tapi kalau menurutku ya Pak Lurah dan Pak Carik tu enggak satu pemikiran) jelas Rika

“nggone piye Rik menurutmu?” (tempatnya gimana Rik menurutmu?) tanyaku langsung menuju hal yang aku khawatirkan
“kene lagi ngomongke Pak Lurah kowe malah takon kuwi Ndik hahaha” (ini baru ngomongin Pak Lurah kamu malah tanya itu Ndik hahaha) jawa Rika dengan suara renyahnya

“hahaha piye Rik?” (hahaha gimana Rik?) lanjutku

“mengerikan” sahut Rika
1 kata beribu makna yang diucapkan Rika. Selesai mengucapkan kata itu Rika langsung meminta ijin pulang duluan, mungkin karena ia takmau membuat teman-temannya takut akan hal itu. Dari 4 kelompok yang diterjunkan di Kota T Rika-lah mahasiswa yang paling aktif, dekat dengan
Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) dan dekat dengan pihak Kelurahan.

-PENERJUNAN KKN-

Penerjunan ini dilakukan di lapangan Universitas, pihak kampus menyediakan bus untuk keberangkatan kami ke tempat KKN. Sekali lagi kami belum tau akan ditempatkan di Dhusun apa,
kami hanya mengetahui Kecamatan dan Kelurahannya saja. Kelompoku yang ikut bus hanya Malik saja karena menemani DPL, aku dan yang lain membawa motor karena alasan geografis dan juga agar enak bepergian jika membutuhkan sesuatu. Ditambah 1 mobil Pick up milik Asti untuk
membawa barang-barang kita. Ketika mulai otw ada saja halangannya, ada tilangan polisi dan ternyata STNK motorku kurang 3 hari sudah mati, tapi karena kepiwaianku dalam berbicara akhirnya aku terlepas hehe dan tak lama ban motor Rika bocor mau tidak mau harus berjalan
kaki mencari tambal. Selesai kita berangkat lagi. Karena Rika dan Malik yang observasi kemarin, mereka berada didepan sebagai penunjuk arah kami sampai pada suatu ketika mereka berhenti dan bertengkar.
“Lik aku yakin belok gang kene” (Lik aku yakin belok gang sini) kata Rika kepada Malik yang kelihatan muka mereka sedang berapi-api

“enggak Rik, harusnya yang sana tadi” bantah Malik

“ora Lik aku yakin” (enggak Lik aku yakin) sahut Rika
“wis sakarepmulah, dibilangin gapercaya. Udah ayok jalan” kata Malik yang kesal dengan Rika begitu juga sebaliknya

Rika sangat yakin bahwa itu gang yang dilaluinya pada saat Observasi kemarin, tapi tidak sampai-sampai. Aturan 3 jam kita sudah sampai tapi ini hampir 4 jam
belum sampai juga. Jalan yang kami lalui adalah hutan, benar-benar seperti hutan karena pohon samping kiri dan kanan jalan sampai menjadi satu tepat diatas jalan itu. Setelah melewati jalan hutan yang cukup panjang kita menemukan 1 Dhusun yang bertuliskan Dhusun Jebehan Lor.
Dhusun yang sangat sepi, sunyi senyap seperti Dhusun mati. Tanpa memikirkan Dhusun itu aku lanjut dan dari kejauhan aku melihat warung yang buka kami semua kesana berharap ada yang memberi tau kemana seharusnya kami berjalan. Disana ada seorang bapak-bapak paruh baya sedang
menikmati makanannya.

“nuwun sewu Pak badhe nyuwun pirsa, menawi badhe wonten Kelurahan Tekuk leres medal riki Pak?” (permisi Pak mau bertanya, kalau mau ke Kelurahan Tekuk benar lewat sini Pak?) tanya kepada bapak itu
“njenengan kebablasen mas, lewat dalan mriki mawon sing rada cepet. Njenengan mangke lewat dalan sing niki jedhulane kali lurus terus onten 1 Dhusun taksih lurus nah mangke pun caket kaliyan Kelurahan” (anda kelewatan jauh mas, lewat jalan sini aja yang agak cepet. Anda
nanti lewat jalan yang ketemunya sungai lurus terus ada 1 Dhusun, masih lurus nah nanti sudah dekat dengan Kelurahan) kata bapak yang menerangkan jalan sembari menyruput kopinya.
“o nggih Pak matur nuwun, mangga Pak” (o iya pak terimakasih, mari pak) kataku sambil meninggalkan warung itu. Aku sampai berpikir apakah itu warung beneran warung atau halusinasiku saja karena jarang sekali terlihat orang disini.
Kami mengikuti jalan yang diarahkan bapak tadi, melewati kembali Dhusun Jebehan Lor yang sepi itu dan sampailah kepada sungai dan kami sedikit lega karena ada beberapa orang yang menambang pasir disana. Takut salah jalan lagi aku memutuskan untuk bertanya kembali kepada
salah seorang yang ada disana dan alhamdulillahnya kali ini benar. Jadi aku dan teman-temanku memutari daerah sini. Sial! Kurang lebih 1 jam perjalanan menuju Kelurahan dan sampailah pada kelurahan Timang. Kami sampai sana sudah sangat telat, hanya tinggal menunggu kami
untuk penerjunan. Nama Dhusun yang akan digunakan untuk KKN adalah Dhusun Jebehan Kidul , Dhusun Ceplok, Dhusun Ronce, Dhusun Mlati dan Dhusun Semboja. KKNku mendapatkan di Dhusun Jebehan Kidul dan kami sekelompok langsung diserahkan kepada Pak Bayan. Pak Bayan adalah
sebutan kepala Dhusun di wilayah tersebut. Biasanya kita menyebutnya Pak Dukuh nah kalau disini Pak Bayan. Setelah selesai acara penerjunan, kelompokku kena marah Dosen. Ya wajar Dosennya marah karena kita telat hampir 1,5 jam :(
Pak Bayan langsung mengajak kita kerumahnya untuk membicarakan tentang Posko KKN dan lain halnya. Sampai dirumah Pak Bayan ternyata rumah beliau tidak cukup jika dihuni 10 anak KKN. Pak Bayan sudah menyiapkan tempat tinggal lain. Jadi anak KKN dibagi menjadi 2 kelompok. Posko
pertama dihuni oleh 4 orang yaitu Tia, Iva, Laras, Puti yang bertempat dirumah Pak Bayan, sedangkan posko kedua berada dirumahnya Pak Bambang 6 orang yaitu aku, Malik, Ivan, Rika, Miya, Asti. Kenapa di rumah Pak Bambang? Karena Pak Bambang dulunya adalah mantan Bayan, jadi
paling tidak taulah situasi anak KKN, kehidupan anak KKN seperti apa. Kami ber-6 diantar Pak Bayan ke rumah Pak Bambang, disana kami bertemu Pak Bambang dan Bu Bambang.

Gambaran rumah Pak Bambang adalah sebuah rumah yang sudah bertembok tetapi ubinnya masih mester hitam
dan jika diinjak sangat dingin. Pak Bambang mempunyai 2 anak, yang 1 sudah menikah dan punya anak lalu tinggal bersama suaminya sedangkan anaknya yang satu lagi bekerja di Kalimantan sehingga Pak Bambang hanya tinggal berdua dengan istrinya dirumah itu. Oh iya Pak
Bambang bekerja menjadi Kaur di Kelurahan Tekuk. Rumahnya berbentuk persegi dan ada terasnya, teras menghadap ke jalanan yang lumayan menurun, samping rumah ada garasi yang pintunya terbuat dari kayu. Penampakan dari luar rumah kurang lebih seperti itu. Masuk ada ruang tamu,
maju sedikit disebelah kiri ada kamar anaknya yang di Kalimantan menjadi kamar untuku dan 2 temanku si Malik dan Ivan, didepan kamar itu ada ruangan yang cukup luas sehingga kami jadikan tempat untuk evaluasi atau rapat kecil nah disampingnya ruangan itu ada pintu
yang kalau dibuka bisa melihat samping rumah. Maju sedikit disebelah kanan ada kamarnya Pak Bambang terus masuk lagi menuju ruang TV didekat ruang TV itu ada kamar anak pertamanya Pak Bambang yang dijadikan tempat tidur perempuan dan masuk lagi sudah dapur. Dapurnya
masih dapur jaman dulu yang kalau masak masih memakai kayu bakar, belum memakai kompor melainkan memakai tungku. Bisa dibayangkan tembok dan langit-langit berwarna pekat kehitaman karena kepulan asap setiap hari, mau seterang apapun lampu yang diberikan tetap saja dapur
itu gelap karena asap yang menjadi satu dengan tembok. Di dapur ada 1 kamar lagi untuk menyimpan gas, beras dan perkakas lainnya dan itu sangat-sangat gelap. Didekat dapur ada pintu kesamping menuju kamar mandi, dirumah ini kamar mandinya ada 2, sebut saja kamar mandi 1 dan 2.
Didepan kamar mandi 1 ada sumur tua yang sudah ditutup. Lalu ada 1 pintu lagi yang mengarah keluar rumah tepat dibelakang rumah dan bisa melihat kendang sapi.

“aku KKN ning tengah alas tenan, paring slamet Gusti” (aku KKN ditengah hutan, berikan keselamatan Tuhan) ucapku
dalam hati.

Mobil Asti datang dan kami semua menurunkan barang bawaan. Sembari kami menurunkan barang-barang aku melihat Pak Bayan dan Pak Bambang mengobrol sangat serius karena diraut mukanya seperti tidak santai. Ah mungkin ngobrol tentang kampungnya pikirku. Selesai
menurunkan semua barang dan sudah siap kami istrirahat. Disinilah dimulai teror selama 45 hari, di rumah Pak Bambang! Yang mendapatkan terror hanya kami dirumah Pak Bambang saja sedangkan dirumah Pak Bayan anak KKN baik-baik saja. Belum terpecahkan sampai saat ini
kenapa alasannya.

Hari pertama aku dan semua temanku berkeliling melihat-lihat Dhusun Jebehan Kidul ini, kira-kira bisa membuat proker apa karena memang masih sangat meraba, tau Dhusunnya aja baru pas penerjunan jadi ya serba dadakan. Sampai pada sebuah jalan yang sangat
jelek dan tidak ada petunjuk arah akan sampai kemana jalan itu. Kami menunggu sejenak siapa tau ada orang yang lewat untuk mendapatkan informasi sekalian srawung supaya kami dikenal masyarakat sekitar.
“dalane koyo kali asat cuk hahaha” (jalannya seperti sungai kering cuk hahaha) kata Ivan pada kami

“enggg cangkemen ra toto, ra ngono kuwi Van” (enggg mulutnya dikondisikan, jangan kaya gitu Van) kata sambil menepuk bibirnya Ivan

“wislah yo mlaku wae raono uwong
yoan ning kene, timbang nyasar ning alas” (udah yuk jalan aja gaada orang juga disini, daripada nyasar dihutan) sahut Asti

Kami meneruskan perjalanan untuk keliling-keliling dan menemukan lagi jalan tapi kali ini tidak
begitu jelek, jalan ini menuju sendang (sumber air). Kita ke sendang itu dan lagi-lagi tidak ada orang disana sampai mataku melihat jalan menuju alas. Jalan setapak yang sudah rusak mengarah ke alas.

“rene yo, ana jalur iki sopo ngerti tekan dalan rusak kae mau. Ben
observasine awakdhewe ra sia-sia le tekan kene” (sini yok, ada jalur siapa tau sampai di jalan jelak tadi. Biar observasinya kita enggak sia-sia sudah sampai sini) kataku sambil menujuk ke arah jalan

Kamipun melanjutkan perjalanan melewati jalan samping sendang itu.
Pemandangan yang disuguhkan adalah pohon-pohon besar sangat banyak sehingga matahari saja sulit menemukan tanah. Hawa dingin yang selalu mengitari kita dan suara binatang yang masih sangat khas menambah pesona Dhusun ini. Kami berjalan sekitar 15 menitan dan Ivan berkata
“cah-cah gek-gek awakdhewe kesasar koyo KKN desa Penari kae” (temen-temen jangan-jangan kita kesasar kaya KKN desa penari itu) celetuk Ivan

“CANGKEMU i lo Van trocoh tenan e, ra waton nek omongan. Pisan meneh ngomong ngono tak keplak kowe!” (mulutmu itu lo Van dikondisikan,
jangan ngawur kalau bicara. Sekali lagi ngomong gitu tak pukul kamu!) ujarku karena gregetan sekali mendengar Ivan selalu parno seperti itu.

“iya amit Ndik, karepku gur guyon” (iya maaf Ndik,ingin hati Cuma becanda) jawab Ivan yang syok melihatku tiba-tiba marah karena
mendengar ucapannya

“guyonmu ra lucu nyuk! wis ayo mlaku meneh, nek 5 menit awakdhewe ora nemu omah po uwong langsung puter balik” (becandamu ga lucu nyet! Udah ayo jalan lagi, kalau 5 menit kita enggak nemu rumah atau orang langsung puter balik) sahutku
Baru beberapa meter berjalan kita bertemu dengan kakek dan nenek yang sudah sangat tua. Beliau berdua sepertinya baru selesai mencari makanan sapi atau kambing karena si kakek memikul rumput dipunggungnya sedangkan si nenek membawa sabit.
“ajeng tindak pundi ngger?” (mau pergi kemana nak?) tanya kakek dengan suara gemetar sepertinya kelelahan membawa rumput dipunggungnya

“niki mbah badhe ningali kawontenan Dhusun, kula sakanca niki KKN ten Dhusun Jebehan Kidul
badhe pengenalan lingkungan. Simbah saking pundi niki?” (ini mbah melihat-lihat keadaan Dhusun, saya dan teman-teman ini KKN di Dhusun Jebehan Kidul mau pengenalan lingkungan. Simbah dari mana?) tanyaku, siapa tau bisa mendapat sedikit informasi karena dari tadi tidak ada orang
disepanjang perjalanan kami.

“saking ngalas ngger, golek pakan dinggo sapine simbah. pun dilajengaken mangga, ning aja adoh-adoh mlebu ngalas ya ngger ndak keblasuk” (dari hutan nak, cari makanan sapinya simbah. silahkan diteruskan, tapi jangan jauh-jauh masuk hutannya
ya nak nanti kesasar) jawab si Nenek

“inggih mbah maturnuwun, ngatos-ngatos” (iya mbah terimakasih, hati hati) jawab Miya

Setelah berbincang-bincang kakek dan nenek itu berjalan menuju arah Dhusun. Menurutku jalannya mereka berdua sangat cepat dan menghilang begitu saja.
Padahal ketika berpapasan tadi jalannya sangat pelan, tapi ya sudahlah mungkin lewat jalan pintas yang kami semua belum tau. Perasaanku sudah tidak enak, disini aku melirik Rika tak sengaja mata kami berdua saling bertemu dan Rika
mengkodeku untuk tidak meneruskan perjalanan ini. Kalian ingat Rika? Iya dia yang Indigo. Baru mau berbicara lagi-lagi Ivan memulai obrolan.

“Ndik bener to sing tak omongke, kandani kok” (Ndik benarkan yang ku bilang, dibilangin kok) celetuk Ivan
“pisan meneh ngomong tak kepruk lo we, ayo bali” (sekali lagi ngomong tak pukul kamu, ayo pulang) kataku

Karena tidak mau ambil resiko akhirnya kami memutuskan untuk mengakhiri perjalanan hari ini dan kembali ke posko tanpa mendapat informasi apapun.
Kegiatan hari pertama kami adalah rapat internal di rumah Pak Bayan dan sesekali bercanda bersama beliau. Hari pertama aman terkendali

Hari kedua aku dan beberapa temanku datang ke Kelurahan untuk sekedar basa basi, barangkali ada yang bisa dibantu atau saling membantu.
Setelah selesai urusan di Kelurahan akhirnya kami ber-6 kembali ke Posko di rumahnya Pak Bayan bertemu dengan 4 teman lainnya, disini kami rapat internal membahas apa saja kira-kira proker fix yang akan dilakukan. Tiba-tiba Pak Carik menghampiri Posko kami, karena searah
jalan pulang sekalian mampir kata beliau. Pak Carik disini bertanya apa saja proker yang akan kami buat, benar- benar diinterogasi satu persatu. Prokerku saat itu adalah membuat plang menggunakan aksara Jawa tujuanku paling tidak anak-anak disini lebih mengenal
aksara Jawa dan secara tidak langsung mereka belajar Bahasa Jawa. Tapi Pak Carik memintaku untuk menambah 1 proker lagi yaitu MC (Master of Ceremony)/Pranatacara, tujuan beliau agar pemuda setempat bisa diandalkan ketika ada acara resmi. Ya aku beralasan menampung
itu dan dipikirkan terlebih dahulu dan juga Pak Carik berpesan kalau bisa plangnya jangan cuma kayu nanti cepat lapuk. Setelah menerangkan itu beliau pamit.

“duite sopo nek ora nggo kayu!” (uangnya siapa kalau tidak pakai kayu!) gerutuku kesal

“gampang banget dia ngomong
gitu, dipikir duit tinggal nyetak apa !” Malik menyambung gerutuanku

“haaaa gawea dhewe nek arep nggo wesi!” (yaaa buat aja sendiri kalau pake besi!) sambung Ivan

“do ngopo to ya, wong gur usul tok Pak Carik ki. Jenenge usul oleh ditampa oleh ora” (pada ngapain sih ini,
orang cuma usul tadi tu Pak Carik. Namanya usul bisa diterima atau enggak) kata Putri yang gemas melihat kami bertiga ngomel

“diiih usul apaan itu tadi, dia enggak usul Put, dia itu nyuruh kita” bantah Malik

“yaudah sih lakuin aja, tapi ya harus mikirin kas
kelompok. Gini, kita semua mikirin solusinya gimana besok kita rapat lagi dan tuangkan pikiran kita semua dirapat. Sekarang kita balik ke rumah Pak Bambang karena udah sore. Ya?” sahut Rika mencoba mencairkan suasana

“yaudah oke lah, besok ya. Tiati yang pulang
Posko 2 termasuk aku” kata Malik lalu menutup rapat internal kali ini.

Semingguan ditempat KKN khususnya dirumah Pak Bambang kami selalu mendengar suara-suara brisik ketika malam hari, tak kuhiraukan karena bisa saja kucing atau binatang lain. Kalaupun hantu,
doi enggak ganggu aku juga. Dicuekin lama-lama hilang sendiri suaranya.

Rutinitas dipagi hari adalah ketika subuh Rika bangun bersama Miya untuk sholat sedangkan yang lainnya masih tertidur pulas. Sekitar pukul 7 pagi aku bangun, cuci muka dan menuju dapur untuk membuat kopi.
Duduk di ruang tamu sambil ngopi, ngrokok sembari mendengarkan lagu. Tak lama Rika mendekatiku tanpa berkata-kata, duduk, diam dan hanya memandang sekitar seperti mencari celah untuk sekedar ngobrol denganku. Kuhiraukan saja karena tidak jelas sekali perempuan 1 ini,
tetapi ketika anak-anak yang lain sudah sibuk dengan pekerjaannya masing-masing Rika membuka obrolan pagi ini.

“mau isuk aku tindihen, aku bener-bener raiso omongan” (tadi pagi aku tindihan, aku benar-benar tidak bisa berbicara) bisik Rika padaku membuyarkan
kesenanganku pagi ini

“terus?” sahutku dengan cepat

“sing nindihi aku cah cilik Ndik” (yang menindihiku anak kecil Ndik) jawab Rika yang masih berbisik kepadaku takut yang lain dengar

“le nindihi nengndi?” (menindihimu dimana?) jawabku dengan nada yang sedikit kupelankan
“bocahe kuwi teturon ning wetengku, diencot-encot ngono kae Ndik, aku arep omong karo Asti ora isa” (anak itu tiduran di perutku, menindihiku dan dibuat mainan gitu lo Ndik, aku mau bilang Asti gabisa) jelas Rika
“maaatanee tenan ra Rik?” (seriusan Rik?) jawabku kaget

“tenan Ndik, cah cilik” (beneran Ndik, anak kecil) tambah Rika yang sepertinya sangat syok dengan keadaan ini

“terus lehmu iso omongan piye?” (terus gimana kamu bisa berbicara lagi?) tanyaku
“pas meh arep subuh mau lagi iso, ilang dhewe bocahe. Lega pol aku Ndik” (ketika mau subuh baru bisa, hilang sendiri anaknya. Lega banget aku Ndik) sahut Rika

“wis omong Miya ro Asti?” (udah bilang Miya sama Asti?) tanyaku memperjelas

“ra wani omong sapa-sapa aku ndak
malah do wedi” (ga berani bilang siapa-siapa taku pada takut) Rika menundukan kepala menunjukan ia takut jika memberitahukan teman-temannya, mereka semua tidak mau tidur bareng sama Rika.

“yowis rapopo, anggep wae bunga tidur Rik, yoh mangan ngelih aku hehe” (yaudah gapapa,
anggap aja bunga tidur, yuk makan laper aku hehe) ajaku kepada Rika supaya dia tidak memikirkan tindihan itu

Hari selanjutnya rutinitas yang masih sama, kembali Rika menemuiku diruang tamu dengan keadaan cemas. Rika bilang jika Asti baru saja bercerita padanya.
Kata Asti dia ketindihan juga, gabisa gerak dan gabisa berbicara tapi Asti tidak bisa melihat apa yang membuatnya seperti itu. Tangannya ingin menggapai tubuh Miya tapi tidak bisa. Rika khawatir jika kejadian tindihan ini berturut-turut, kalau di Rika
enggapapa tapi kalau sudah ke teman-teman kelompok bisa menjadikan ketakutan tersendiri. Aku mendengar cerita Rika tentang tindihan Asti ini berpikiran mengajak mereka sharing. Hari mulai siang, aku mengajak Asti dan Rika ke Kota untuk membeli snack persediaan begadang. Dengan
alasan itu mereka mau diajak pergi, setelah selesai belanja kamipun pulang sekitar pukul 4 sore. Sampai disuatu tempat yang pemandangannya bagus aku memberhentikan motor dan bertujuan mengajak Asti ngobrol, siapa tau dia mau cerita denganku tentang kejadian tadi pagi.
“apik yo nggo sunsetan” (bagus ya buat sunsetan) basa basi kumulai supaya bisa membawa dia ke tujuanku

“iya Ndik, jelas banget seka kene” (iya Ndik, jelas banget dari sini) sahut Rika yang sepertinya dia juga tau maksudku
“hey Ti kenapa kowe meneng wae, ra ngalamun” (hey Ti kenapa diem aja, jangan ngelamun) senggol Rika pada Asti

“aku isih kepikiran mau isuk” (aku masih kepikiran tadi pagi) jawab Asti lirih

“kowe ngopo?” (kamu kenapa?) tanyaku
“ emmm pokoke aku raiso obah, raiso omongan pas turu kuwi, aku melek gur arep nyeluk Miya ora iso. Aku sadar, ning aku raiso ngopo-ngopo. Eehmmm wedi banget, pengen bali” (emmm pokoknya aku gabisa gerak, gabisa berbicara pas tidur itu, aku membuka mata mau
manggil Miya gabisa. Aku sadar tetapi aku gabisa ngapa-ngapain. Eehmm takut banget aku, pengen pulang) tiba tiba Asti menangis ketika menceritakan hal yang dialaminya. Karena selama 21 th hidup baru sekali ini dia merasakan hal tak mengenakan
“ojo nangis Ti, sabar, ana aku aman kok. Nganu,,,,Tak critani ning aja wedi ya kowe” (jangan nangis Ti, sabar, ada aku aman kok. Gini,,,, Aku certain tapi jangan takut ya kamu) Rika menengankan

Akhirnya Rika menceritakan tentang ketindihannya kemarin sebelum Asti mengalaminya.
Asti yang mengetahui itu semua semakin histeris dan ketakutan. Karena situasinya yang tidak kondusif serta hari mulai gelap aku mengajak mereka kembali ke posko. Biar ini menjadi cerita kami bertiga, tidak perlu ada orang yang tau. Disisi lain aku sebenarnya juga sudah
sangat lapar dan badanku lengket seharian bertemu matahari dijalan. Sampai posko, aku langsung makan di dapur dan Rika coba menenangkan Asti lalu diajaknya dia ke kamar. Selesai makan aku mandi di kamar mandi 2, baru meletakan handuk digantungan dan akan
menutup pintu tiba-tiba Rika masuk dan mengusirku

“ndik kowe kamar mandi sing kono, aku kene!” (Ndik kamu kamar mandi sana, aku sini!) teriak Rika sambil memegangi pintu

“kadung mlebu kene, kowe kono Rik!” (terlanjur masuk sini, kamu sana Rik!) tolaku karena sangat
kebelet buang air besar

“raurusan, pokoke aku kene. Ndang metu selak pengen adus aku!” (gamau tau, pokoknya aku sini. Cepetan keluar aku pengen mandi!) Rika memarahiku

“celeng!! Yo sek sabar, andukku ndes! Kon ra andukan po piye!” (babi! Iya bentar sabar, handuku
ndes! Suruh ga pakai handuk apa!) jawabku kesal

“iyik!” (brisik) sentak Rika

Aku menaruh curiga kepada Rika kenapa ia takmau mandi dikamar mandi 1, padahal dikamar mandi 1 ruangannya lebih luas dan lebih bagus sedangkan dikamar mandi 2 lebih kecil dan sedikit kotor.
Apa karena di depan kamar mandi 1 ada sumur tua? Tapikan udah ditutup juga sumurnya, kenapa mesti takut. Halah biarkan, dasare aleman pikirku.

Setelah adzan isya kami semua akan kerumah Pak Bayan untuk menghadiri rapat RT/RW sekalian sosialisasi dan pengenalan KKN.
Kami kesana jalan kaki biar kalau ada warga sekitar melihat kita bisa tahu bahwa ada KKN di Dhusun ini. Sekitar pukul 9 malam Rapat RT/RW selesai kami yang cowok-cowok masih ngobrol sama Pak Bayan akan tetapi yang cewek-cewek pulang duluan ke Rumah Pak Bambang.
Sekitar pukul setengah 12 malam Rika WA aku

“Ndik pulang!” WA dari Rika

Tidak biasanya kalau aku pergi Rika nyuruh aku pulang. Pikirku karena memang sudah malam juga akhirnya aku berpamitan kepada Pak Bayan untuk pulang duluan. Malik dan Ivan juga ikut denganku
karena takut kalau harus pulang berdua, akhirnya kami bertiga pulang ke Posko. Jalan yang harus kami lalui untuk sampai di rumah Pak Bambang harus melewati jalan setapak, melewati beberapa rumah warga, melewati masjid barulah sampai ke rumah. Sampai Posko aku mendapati teman-
teman cewek duduk di teras dan saling berhimpitan.
“ngopo Rik?kok do pucet ki” (kenapa Rik? Kok pada pucat) tanyaku penasaran

Hening. Tidak ada jawaban sama sekali… tipenya Rika adalah orang yang lumayan cerewet, asik diajak ngobrol dan dewasa pemikirannya. Asti adalah
tipe yang sangat cerewet sedangkan Miya adalah orang yang lumayan pendiam. Dari mereka bertiga tidak ada yang mau berbicara, sangat pucat seperti habis melihat sesuatu.

“ana apa?” (ada apa?) tanyaku sekali lagi
“anu mau awakdhewe ning ko no engg anu Ndik kae…..” (anu tadi kita di sa na engg anu Ndik itu…) jawab Miya terbata-bata

“Miy, sing sareh. Dileremke sek atine lagi ngomong” (Miy, yang tenang. Ditenangin dulu hatinya baru berbicara) kataku menenangkan Miya
“mau bar liwat dronjongan cerak masjid awakdhewe krungu kaya klapa tiba Ndik, tapi awakdhewe blas raono sing wani ndelok kuwi apa. Seketika awakdhewe mandeg, terus mlaku meneh. Embuh perasaanku apa emang tenan klapa kuwi ngglindhing ngetutke awakdhewe” (tadi setelah lewat
turunan dekat masjid kita denger seperti buah kelapa jatuh Ndik, tapi kita sama sekali gaberani lihat itu apa. Seketika kita berhenti, terus jalan lagi. Entah perasaanku atau emang beneran buah kelapa itu menggelinding mengikuti kita) jelas Asti
“tapi aman to kabeh?” (tapi semua aman kan?) tanyaku

“aku ra ngerti Ndik aman opo ora, awakdhewe ketmau gur ndonga terus. Rawani mlebu omah, gur ning kene ketmau” (aku gatau aman apa enggak, kita dari tadi berdoa terus. Gaberani masuk rumah, disini aja daritadi) tambah Asti
“sing penting aja lali unggah-ungguhmu cah ningkene, arep nengndi wae kulanuwun njaluk ijin ya, wis raono apa-apa” (yang penting jangan lupa sopan santun ya guys disini, mau kemana aja permisi minta ijin, udah gaada apa-apa) sahutku
Malik ke dapur membuatkan kami kopi untuk menemani malam yang mengerikan ini. Akhirnya cewek-cewek mau diajak masuk dan kita berdiskusi diruang depan kamarku. Suasana cair, mereka bertiga bisa sedikit tersenyum melihat tingkahku dan Ivan yang berusaha melucu walaupun jatuhnya
garing hehe. Disini Malik memulai lagi menceritakan cerita-cerita horror atau urban legend yang ada ditempat tinggalnya. Perbincangan horror ini makin asyik, semakin malam semakin asyik sampai suatu ketika Rika yang semula hanya mendengarkan kami mengobrol memecah keseruan ini.
“cah aku arep ngomong” (temen-temen aku mau bilang) kata Rika dengan muka serius

“kenapa Rik? Bilang aja” balas Malik

“aku arep jujur, jane aku isa ngendaleke awaku bab kaya ngene makane aku trima meneng. Aku gur
wegah nek pas aku cerita kalian malah dadi wedi dhewe, ngedohi aku lah dan sebagainya. Tapi iki wis kadung kedaden tak critake apa sing tak delok ning kene” (aku mau jujur, sebenarnya aku bisa mengendalikan diriku bab seperti ini makanya aku lebih memilih diam. Aku cuma
gamau ketika aku cerita, kalian malah takut sendiri, menjauhiku dan sebagainya. Tapi ini karena sudah terlanjur kejadian aku mau cerita apa apa yang kulihat disini) jelas Rika
“oke Rik, kaget sih kamu bilang ini ke kita. Gabakal lah jauhin, gila apa. Buang itu pikiran jauh-jauh! Jadi gimana?” sambung Malik sedikit kesal dengan pernyataan Rika

“kalian kelingan pas kita keblasuk lewat Dhusun sing sepi banget kae? Dan akhire nemu warung?”
Rika memulai penjelasannya

“DHUSUN JEBEHAN LOR” Ivan menyebutkan Dhusun itu dengan sangat jelas

“bener. Seumur-umur aku lagi nemoni iki, sumpah lagi ning kene, ning Dhusun kuwi. Kalian oleh percoyo opo ora terserah” (benar. Seumur-umur aku baru nemu ini, sumpah baru disini,
di Dhusun itu. Kalian boleh percaya atau enggak terserah) lanjut Rika

“lihat apa kamu?” tanya Miya

“Rik pake Bahasa Indonesia aja kenapa ceritanya, aku ga terlalu paham. Tau sendiri kan aku orang sunda. Paham sih dikit-dikit ehehe” pinta Malik
“yaudah oke. Kitakan orang baru nih biasanya orang baru seperti kita ini akan ditampakan oleh “mereka” penghuni suatu tempat. Tapi tidak dengan Dhusun itu, “penghuni” sana bahkan tidak berani menampakan wujudnya kepada kita. Dhusun itu aneh” lanjut Rika
“anehe?” (anehnya?) tanyaku

Rika tidak menjawab pertanyaanku, ia malah bertanya kepada kami semua apakah diantara kami membawa jimat/cekelan. Teman-temanku menjawab bahwa tidak satupun dari mereka membawa cekelan lalu mata Rika tertuju padaku. Dia memejamkan mata lalu
tak lama ia sedikit menganggukan kepalanya, Rika membuka mata dan pandangan itu masih tertuju padaku.

“kowe ana sing njaga Ndik?” (kamu ada yang menjaga Ndik?) sontak Rika bertanya hal itu kepadaku. Semua pandangan lansung tertuju kearahku
“iya, ning aku rareti wujude apa” (iya, tapi aku tidak tau wujudnya apa) jawabku. Mendengar perkataanku Rika tak membahas itu lagi dan melanjutkan ceritanya

“ oke lanjut yo, pas awakdhewe Liwat Dhusun Jebehan Lor kae aku ndelok bener-bener kabeh omah
kuwi ana wujude jaran ndase uwong. Sumpah lagi iki aku ndelok koyo ngono, dan nganti koyo peternakan saking akehe” (oke lanjut ya, ketika kita lewat Dhusun Jebehan Lor itu aku melihat benar-benar semua rumah itu ada perwujudan kuda kepala manusia. Sumpah baru ini aku melihat
seperti itu, dan seperti peternakan karena saking banyaknya) sambung Rika

“SUMPAH?” sahut Miya

“iya Miy. Dan kalian ngerti? Pas awakdhewe liwat mereka minggir gur ndeloke seka tempat mereka ngadeg. Biasane kan nek ana wong anyar teko langsung diserang to, nek iki ora.
Mereka tetep ngadeg ning omah-omah sing dinggoni kuwi” (iya Miy, dan kalian tau? Ketika kita lewat, mereka minggir dan cuma melihat dari tempat mereka berdiri. Biasanyakan kalau ada orang baru langsung di serangkan, kalau ini enggak. Mereka tetap berdiri di rumah-rumah
itu) kembali Rika menyambung omongannya

“apa merga kowe Rik?” (apa karena kamu Rik?) tanyaku

“udu, justru merga kowe Ndik” (bukan, justru karena kamu Ndik) balas Rika

“aku?” tanyaku kembali padanya
Pintu samping dan jendela memang sengaja belum kamu tutup, tiba-tiba dari kedua arah itu ada angin kencang yang sangat dingin menembus rusuk. Angin lewat dan hanya sekali saja, tapi sumpah aku masih ingat sekali angin itu sangat dingin seperti mencabik kulitku.
Rika kaget lalu menutup pintu dan jendela, ia mengakhiri obrolan malam ini dengan alasan sudah dini hari.
Gangguan-gangguan masih tetap ada setiap harinya, seperti suara anak kecil, orang berjalan tapi seperti kakinya diseret, orang menyapu dini hari dan masih banyak lagi.
Saking sudah terbiasa mendengar itu kita hiraukan saja daripada dipikir bisa bikin sakit kepala. Hampir 3 minggu kita disitu dan sepertinya “penghuni” sana masih belum mau menerima kita. Ketika malam datang suasana begitu mencekam, baik dari warganya yang
tertutup sampai penghuni-penghuni yang lain.

Pagi hari aku dan Rika akan menemui Pak Carik di Kelurahan untuk membicarakan tentang proker Plang yang tidak boleh memakai kayu itu. Aku mengajak Rika karena dia sangat lihai dalam
berbicara. Kami menaiki motor lalu melewati turunan, setelah melewati turunan itu disamping kanan jalan terlihat ada pohon yang sangat besar. Posisi pohon itu agak masuk kedalam gang, tapi karena ukurannya yang sangat besar jadi dari jalan kelihatan jelas. Jika kita
masuk kedalam gang dan melewati pohon itu maka akan menemukan Dhusun Ronce.

“Ndik cepet!” suruh Rika

“ngopo?” (kenapa?) tanyaku

“rapopo, cepet” (gapapa, cepat) pinta Rika
Sampai di Kelurahan aman, Rika juga biasa saja, dia tidak menunjukkan sikap aneh. Selesai bertemu dengan Pak Carik kami berdua langsung pulang melewati jalan yang sampingnya ada pohon besar itu. Sesampainya di Posko kita istirahat dan malamnya akan ada rapat. Malam
setelah isya kita rapat membahas proker plang penunjuk arah. Selesai membahas proker Rika ingin bercerita

“cah, aku tak omong ya” (teman-teman, akum au bicara ya) ucap Rika

“Rik, uda dibilang dari kemarin kalau mau ngomong ya tinggal ngomong aja. Jaaan bocaaaah!” sahut Malik
“kalian ngerti to nek arep ning Dhusun Ronce ana wit gedhe banget?” (kaliyan taukan kalau mau ke Dhusun Ronce ada pohon besar sekali?) Rika mulai bercerita

“iya Rik, kenapa?” tambah Malik

“nah ning ngarepe wit gedhe kuwi kan ana alas to, ning alas e kuwi ana kerajaan gaib,
jan kabeh ana sing kono mbok wujud apa wae. Aku mau ra sengaja ndeloke kono” (nah didepan pohon besar itukan ada hutan, di hutannya itu ada kerajaan gaib, semua ada disitu, mau wujud apa aja ada. Aku tadi gasengaja ngeliat kearah sana) jelas Rika
“wooo pas kowe mau omong aku kon cepet le numpak montor?” (wooo ketika kamu nyuruh aku cepet pas naik motor?) tanyaku

“iya. Kono kae daerah wingit, nek lewat kudu tlakson yo kabeh wae pokoke aja waton” (iya. Disana daerah keramat, kalau lewat harus tlakson ya semuanya
pokoknya jangan ngawur) tambah Rika

“oke Rik” jawab Asti mewakili jawaban kami semua

Entah apa yang akan kami dapat selepas KKN, yang penuh dengan kemistisan tempat ini. Aku
berharap semoga KKN cepat selesai dan bisa tidur dikasur empuku. Yang terpenting sekarang adalah prokerku berjalan lancar, warga senang, Pak Bayan senang dan nilaiku mata kuliah ini mendapat A.

Budaya KKN adalah mengunjungi Posko-posko teman yang lain, aku lumayan sering
ke Dhusun Mlati menemui temanku dan mencari-cari siapa tau ada yang cantik ehehe candaaaa. Rika dan Miya berpamitan mau ke Dhusun Ronce menemui temannya yang bernama Nia. Sepulang dari Dhusun Ronce Rika menemui aku ketika aku sedang ngopi di teras.
“jebul sing medeni ora gur kelompoke dhewe Ndik” (ternyata yang mengerikan bukan hanya kelompoknya kita Ndik) Rika memulai pembicaraan denganku

“heee?” sahutku
“Poskone Nia omahe angker. Dadi pawone kono ki cerak karo sumur to, nah ana suara wong dolanan watu suwe banget, dan sing krungu kabeh sakelompoke. Mereka lagi rapat kuwi posisine terus ana suara iku” (Poskonya Nia rumahnya juga angker. Jadi dapurnya mereka itu dekat sama sumur,
terus disana ada suara seperti orang mainan batu lama banget, dan semuanya dengar. Mereka baru rapat posisinya terus suara itu muncul) cerita Rika padaku

“tapi ora separah nggone dhewe to?” (tapi enggak separah punya kita kan?) tanyaku
“enggak Ndik, tapi ternyata ya ada kelompok lain yang digangguin” balas Rika

Yaaaa Namanya juga rumah, pasti saja ada “penghuninya”. Menurutku wajar sih mereka ingin menunjukkan eksistensinya, karena ya memang itu daerah mereka. Pikirku seperti itu
Pagi hari aku ijin kepada Malik untuk ke Kota membeli bahan-bahan plang petunjuk arah bersama Ivan. Sampai dirumah aku menceritakan semuanya kepada bapak, dari hari pertama sampai hari aku pulang kuceritakan semuanya. Bapak tidak memberi solusi apa-apa hanya berpesan
“sing empan papan le” yang artinya adalah kita harus tau tempat. Rencanaku dan Ivan setelah selesai membeli barang-barang mau menginap dirumahku satu hari baru besoknya kembali ke Posko tapi baru saja selesai menceritakan pengalamanku kepada bapak hpku bunyi. Rika
menelponku berulang kali, aku angkat telponnya dan Rika sudah membabi buta menyuruhku segera balik ke Posko hari ini juga. Dia tidak mengatakan apa-apa dan kenapa menyuruhku pulang padahal rumahku dengan Kota T
perjalanan hampir 3 jam. Aku bergegas memberesi, pamit bapak dan segera kembali ke Posko. Aku tidak tau akan kudapati apa setelah aku sampai di Posko.

Sekitar pukul pukul 8 malam aku sampai di Posko dan Rika langsung menarikku ke teras. Dengan
muka yang sangat serius dia menceritakan kejadian ketika aku pulang.

“bocah cilik sing nindihi aku wis wani iseng” (anak kecil yang menindihiku sudah berani iseng) kata Rika

“ngopo dee?” (ngapain dia?) tanyaku
“wis wani ngetok dee, padahal pas kowe ning Posko dee ra ngetok, gur pas aku tindihen kae. Terus iki mau kowe bali dee ngadoh meneh Ndik” (udah berani menampakan diri, padahal pas kamu di Posko dia gaberani, cuma pas aku ketindihan itu. Terus ini pas kamu balik dia menjauh
lagi) jelas Rika

“berarti rapopo to saiki? Wis ditenangke sek Rik, aku wis ning kene” (berarti gapapa kan sekarang? Udah ditenangin dulu Rik, aku udah disini) kataku menenangkan Rika, yang sepertinya sudah mulai stres dengan keadaan yang semakin memburuk.
Dilain hari ketika pukul 9 malam aku ingin membuat kopi. Aku saat KKN sengaja membawa hitter bertujuan untuk memasak air di kamar supaya lebih praktis aja. Aku memasak air, ketika airnya sudah matang baru sadar kalau belum mengambil gelas di dapur. Aku berjalan ke dapur dan
mengambil gelas, ternyata Miya sedang mandi dikamar mandi 1. Iya Miya memang gemar sekali mandi dimalam hari, dia mandi bisa berkali kali karena badannya mudah berkeringat. Baru mengambil gelas dan sendok dari tempatnya, listrik padamm
“sing mateni lampu sopo yo?” (yang matiin lampu siapa ya?) teriak Miya dari dalam kamar mandi

“mati listrik ndes!” (mati lampu ndes) jawabku

“Ndik Andika? Kowe o? ngopo we?” (Ndik Andika? Itu kamu? Ngapain?) tanya Miya
“njipuk gelas Miy, adus yo jam semene kowe ki, rematik mengko” (ambil gelas Miy, mandi ya jam segini kamu tu, rematik nanti ) jawabku sambil jalan menuju kekamar

Aku masuk kamar lalu membuat kopi, setelah kopiku jadi aku duduk diruang tamu bersama teman-
teman yang lain. Taklama kemudian Miya datang

“loh Ndik cepet men ndang tekan kene?” (lok Ndik cepat sekali sudah sampai sini?) tanya Miya padaku

“la aku ketmau wis ning kene Miy, ket bar njipuk gelas mau” (aku daritadi disini Miy, dari ambil gelas
tadi) jawabku heran

“kowe maukan ngejak ngobrol aku to?” (kamu tadi mengajaku ngobrol kan?) tanya Miya seperti menaruh curiga padaku

“iya, nggojeki kowe njuk langsung lunga aku” (iya, bercandain kamu terus pergi aku) jawabku kembali
“ora Ndik, wong aku ngobrol ro kowe tekan aku rampung adus kok” (enggak Ndik, aku ngobrol sama kamu sampai aku selesai mandi kok) jelas Rika terheran heran

“ora Miy, sakelingku terakhir aku ngomong ki gur ngomong adus kok jam semene ngono, bar kuwi
aku mlaku ning kamar terus ning ruang tamu” (enggak Miy, seingatku terakhir aku ngomong itu cuma ngomong mandi kok jam segini, habis itu aku jalan ke kamar terus ke ruang tamu) jelasku pada Miya

“ora Ndik” (enggak Ndik) bantah Miya
“takono cah-cah nek ra percoyo Miy” (tanya anak-anak kalau enggak percaya Miy) sahutku

“iya Miy, udah daritadi Andika disini” kata Malik

“terus sing tak ajak ngobrol mau sapa? Aaaaaaastaghfirullah yaAllah sapa yaAllah” (terus yang kuajak
ngobrol tadi siapa? Aaaaaaastaghfirullah yaAllah siapa yaAllah) ucap Miya. Seketika Miya menangis histeris.

Disini Miya sangat ketakutan sehingga membuat kita bingung harus bagaimana. Mungkin ini kali pertamanya mengalami hal seperti ini. Aku ke teras lalu menyulut
rokok agar bisa berpikir jernih, sebenarnya aku juga menghindari Miya biarkan saja teman cewek yang mengurusinya.

Gangguan-gangguan ini terus muncul, kali ini ditambah dengan suara ketukan pintu yang sangat keras, benda-benda berjatuhan tanpa tahu penyebabnya dan masih
banyak lagi. Selang 4 harian anak kecil itu kembali menampakan wujudnya. Pagi menuju siang hari Ivan belum bangun padahal hari itu dia ada proker, Rika membangunkannya agar tidak terlambat mempersiapkan peralatan proker. Saat Rika keluar dari kamar cowok tiba-
tiba anak kecil itu berlari menembus tembok berulang kali. Rika sangat syok, sungguh sangat di luar nalar! Rika memang sangat kuat pada saat itu, ia tak ingin satu diantara kita menjadi penakut. Banyak yang disembunyikan dari kami, kata Rika pun
dia hanya bisa bercerita denganku saja karena aku dan dia 1 frekuensi. Aku tak tau apa maksudnya, yang terpenting bagiku jiwa 5 temanku tidak ada yang terguncang.

Malampun tiba, kami ada rapat besar di rumah Pak Bayan. Aku tipe orang kalau di kamar mandi
lama. Buang air besar dulu lalu mandi, ya sekitar 1 jam lah kalau diitung itu ehehe. Teman-temanku meninggalkanku di Posko karena jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Setelah selesai mandi aku menyusul mereka dengan berjalan kaki. Kalau mau sampai ke rumahnya
Pak Bayan kan pasti melewati masjid, nah disamping masjid itu ada rumah yang sedang dalam tahap pembangunan. Banyak sekali material, kayu-kayu serta, pintu dan jendela yang disandarkan dipinggir jalan. Untuk mengurangi rasa takut, aku bernyanyi sepanjang jalan.
Saat sudah melewati senderan pintu-pintu itu tiba-tiba

*BRAAKKKKKKK*

Suaranya seperti pintu digebrak dengan sangat keras. Kali ini aku sendiri, tanpa teman satupun, saat itu juga aku tanpa pikir panjang langusng mengucapkan 1 kalimat.
“AKU ORA AREP NGANGGU KOWE DADI KOWE ORA SAH GANGGU AKU !” (AKU TIDAK AKAN MENGGANGGUMU JADI KAMU JANGAN MENGGANGGUKU!) ucapku

Tanpa menoleh aku tetap melanjutkan perjalananku ke rumah Pak Bayan. Tak ada yang kuberi tau tentang hal ini, tidak penting juga untuk mereka
mengetahuinya. Selesai rapat kita pulang, Alhamdulillahnya perjalanan pulang kerumah Pak Bambang aman-aman saja, mungkin karena kita ramean.

Berganti hari ketika aku mandi di kamar mandi 1 yang depannya ada sumur itu, ritual pertamaku
adalah buang air besar. Aku membawa hp untuk nonton Yout*be supaya tidak sepi-sepi banget. Dari depan pintu aku merasa bahwa ada orang disana sedang menari-nari, melompat-lompat, tingkahnya sama seperti Rika. Kubiarkan saja mungkin dia sedang memasak mie dengan
membayangkan artis Korea yang penuh dengan koreo, sampai lama sekali dia menari-nari disitu. Aku sangat yakin bahwa itu Rika, yang biasanya bertingkah seperti itu hanya dia. Awas aja nanti, kalau selesai mandi kumarahi kau Rik karena sudah mengganggu konsentrasiku,
gumamku dalam hati. Selesai mandi aku menghampiri teman-teman yang sedang duduk nonton tv

“RASAH SOK MEDEN-MEDENI AKU” (JANGAN COBA MENAKUT-NAKUTIKU) ucapku tegas kepada mereka semua
Karena mereka kaget sontak pandangan mereka tertuju kearahku dengan muka terheran-heran. Kuulangi sekali lagi pernyataanku itu.

“kowe ngopo Ndik? Metu-metu kok nesu-nesu” (kamu kenapa Ndik? Baru saja keluar kok marah-marah) tanya Rika
“kowe mau njilnjilan ning ngarep lawangku ngopo?” (kamu tadi lompat-lompat didepan pintuku kenapa?) balasku pada Rika karena sangat kesal

“aku?” tanya Rika kembali
“sopo meneh sing pecicilan ning kene nek ora kowe” (siapa lagi yang banyak tingkah kalau enggak kamu) sahutku

“Ndik, aku ketmau karo cah-cah ning ngarep tv dan aku ora ning pawon lo” (Ndik, aku daritadi sama anak-anak didepan tv dan aku enggak ke dapur lo) bantah Rika
“terus sing njilnjilan ning ngarepku mau opo?” (terus yang lompat-lompat di depanku tadi apa) ucapku lirih

Tak ada yang berani menjawab pertanyaanku ini. Teman-temanku hanya saling memandang satu sama lain lalu merapatkan pengangan mereka. Rika langsung mengalihkan
mengalihkan pembicaraan sedangkan aku ke kamar untuk ganti baju. Selesai ganti baju aku ke teras sembari menghisap rokok yang kupadukan dengan secangkir kopi panas. Rika mendatangiku lalu duduk disampingku
“kuwi alesanku ngopo aku ra pernah gelem adus ning kamar mandi 1” (itu alasanku kenapa aku gapernah mau mandi di kamar mandi 1) jelas Rika

“maksudmu?” tanyaku penasaran

“sing senengane mlumpat-mlumpat opo?” (yang sukanya lompat-lompat apa?) tanya Rika padaku
memberikan sebuah clue

“he? POO………” kataku

“rasah disebutke. Ngerti to?” (gausah disebutkan, tau kan?) Rika memotong omonganku

“astaghfirullah astaghfirullah asraghfirullah” sambungku
Karena aku sangat muak dengan perhantuan yang ada dirumah ini aku ikut berkumpul dengan pemuda pada malam harinya. aku mencoba mengakrabi pemuda dengan cara ikut berkumpul atau membantu mereka ketika ada hajatan dll. Tujuanku supaya anak KKN ada proker mereka bisa diajak
kerjasama. Kejadian yang kualami tadi siang membuatku badmood, seharian aku hanya diam saja dan sekitar pukul 8 malam aku ke rumah salah satu pemuda yaitu basecampnya mereka. Pukul 11 malam aku baru pulang, kumasukan motor kedalam garasi lalu aku menghampiri teman-temanku
yang duduk di ruang tamu. Mereka hanya menatapku serius

“awakdhewe ketmau ora obah, ning kene terus. Pas lagi nonton tv ana sing nyakar jendela seka njaba, awakdhewe langsung lungguh ning kene” (kita dari tadi enggak gerak, diam disini. Ketika baru
nonton tv ada yang nyakar jendela dari arah luar, kita langsung duduk disini) jelas Rika dengan muka yang sudah sangat jelek

Aku tidak menjawab perkataan Rika barusan karena perutku sudah meronta-ronta. Ku tinggal mereka di ruang tamu dan aku berjalan menuju dapur.
Saat menuju dapur ada suara sendok yang dipukulkan ke piring. Ah mungkin pak Bambang baru mau makan malam pikirku, sesampainya didapur tidak ku temui siapapun disana. Aku hanya melihat meja makan berantakan dan mejikom yang mengangga. Kali ini aku benar-benar
kecewa dengan teman-temanku, kok bisa dapur sampai sekotor itu dan membiarkan mejikom terbuka

“kowe ki wis dha gedhe ra mikir! Mejikom dibuka yo segane rapanas, ngentek-enteke listrik!” (kalian itu udah besar enggak mikir! Mejikom dibuka ya nasinya enggak panas,
habis-habisin listrik!) bentakku kepada mereka

“astaghfirullah, demi Allah rung ana sing mangan Ndik. Awakdhewe seka jam 8-11 lungguh ning kene” (astaghfirullah, demi Allah belum ada yang makan Ndik. Kita dari jam 8-11 duduk disini) jelas Asti
“ha terus?” disini nafsu makanku hilang, bulu kuduku langsung berdiri

“aku mau arep mangan. Lagi tekan pawon urung sido njipuk apa-apa, ana sing ndodok cendela pawon terus aku mlayu melu cah-cah ndelok tv” (aku tadi mau makan. Baru sampai dapur belum jadi
ambil apa-apa, ada yang ngetuk jendela dapur terus aku lari ikut anak-anak nonton tv) jelas Miya padaku

Karena saking penasarannya kami ber 6 memutuskan untuk menengok dapur. Saat kami sampai dapir centong nasi berada diantara tutup mejikom dan badannya.
Padahal saat kulihat tadi mejikom benar-benar terbuka lebar. APALAGI INI YA ALLAH!!!

Kejadian di dapur ini membuat aku dan teman-temanku sekarang kalau makan selalu bersama, tidak boleh ada yang kelewatan pokonya makan bareng selesai juga harus bareng. Situasi dapur dan
kamar mandi yang semakin tidak bisa diprediksi ini membuat kami semua tidak berani mencuci pakaian, akhirnya dengan kami memutuskan untuk laundry saja. Tugas untuk mengambil laundry adalah Rika dan Asti, jarak tempat laundy ke Posko lumayan jauh jadi harus menggunakan
kendaraan. Hanya ada 1 jalan untuk sampai ditempat laundry, jalan ini bakal melewati hutan, melewati 1 Dhusun lalu melewati 3 kuburan baru bertemu jalan raya. Asti dan Rika berangkat dengan aman, akan tetapi kata Rika ketika mereka melewati kuburan tak sengara Rika melihat
Kuntilanak sedang duduk di tembok kuburan. Mereka berdua sudah melewati kuburan itu, Rika iseng melihat ke spion ternyata Kuntilanaknya sudah tidak ada di tembok itu melainkan dia terbang mengikuti mereka sampai Posko. Kuntilanak ada didepan posko sampai kira-kira jam
5 sore baru doi pergi.

Berganti hari sekitar siang menuju sore hari ada beberapa pemuda yang menyambangi Poskoku mengajak untuk melihat jathilan di beda Kelurahan. Aku mengajak Malik untuk ikut bersama para
pemuda Dhusun. Kata mereka tempat jathilannya ga terlalu jauh jadi aku dan Malik tidak memakai helm. Mulai perjalanan dan ternyata jauh banget, kurang lebih 1 jam baru sampai lokasi jathilan. Jauh versi warlok sama versiku berbeda ternyata ☹ tempatnya sangat pelosok,
lebih pelosok dari Dhusunku signal saja tidak ada disini. Pemuda Dhusun Jebehan kidul memang suka sekali dengan jathilan, mau dimana saja jathilan berada pasti mereka datangi. Pantang pulang sebelum selesai. Karena aku hanya menerima ajakan mereka, aku dan Malik hanya
duduk dipinggir saja sambil menikmati jajanan. Jathilan terlama yang pernah ku lihat. Jam 12 malam baru selesai, sumpah aku sudah sangat bosan, tapi jika aku pulang hanya dengan Malik akupun yakin kita akan tersesat. Mau tidak mau menunggu mereka selesai menonton.
Sekitar pukul 2 dini hari aku dan Malik baru sampai Posko dengan kondisi badan sudah sangat lelah. Sampai posko aku diberitau Ivan bahwa Miya sakit dan dibawa ke Puskesmas terdekat. Aku dan Malik langsung OTW ke Puskesmas detik itu juga. Sesampainya di Puskesmas Rika menemui ku
“kowe tak telpon ketmau raiso, awakdhewe diteror meneh sampe Miya lara” (kamu kutelpon daritadi gabisa, kita diteror lagi sampai Miya sakit) terang Rika

“amit Rik, mau blas raono signal dan aku rareti dalan nek bali sek. Njaluk ngapura tenan aku” (maaf
Rik, tadi bener-bener gaada signal dan aku juga gatau jalan pulang. Aku minta maaf ya) ucapku pada Rika

“mau awakdhwe krungu suara ning garasi. Lawange garasi seka kayu to? Nah suarane cetha banget nek lawange kuwi dicakar-cakar. Bar kuwi langsung suara-suara liyane
do metu kabeh, dan kuwi ora gur aku sing krungu tapi kabeh” (tadi kita dengar suara di garasi. Pintu garasi dari kayu kan? Nah suaranya jelas banget dari pintu itu seperti dicakar-cakar. Sehabis itu langsung suara-suara yang lain bermunculan, dan itu enggak cuma aku yang
denger tapi semuanya denger) jelas Rika dengan mata yang berkaca-kaca

“Miya?” tanyaku

“Miya maag ro asam lambunge kumat, dee semenjak mejikom buka dhewe kae dadi arang mangan
Ndik” (Miya sakit maag dan asam lambungnya kmuat, semenjak mejikom terbuka sendiri dia jarang makan Ndik) jelas Rika

“oke terus aku kudu piye Rik saiki?” (oke terus aku harus bagaimana Rik sekarang?) sahutku

“aku rareti Ndik, pokoke anggere kowe lunga seko Posko
awakdhewe kabeh mesti di terror, hawane panas” (aku gatau Ndik, pokoknya setiap kamu pergi dari Posko kita semua pasti diteror, hawanya panas) kali ini Rika meneteskan air mata

Aku dan Malik menemani Rika di Puskesmas sampai subuh. Karena kondisi badanku sudah sangat
Lelah aku memutuskan untuk kembali ke Posko dan Ivan yang bergantian jaga di Puskesmas bersama Asti. Miya sakit membuat kami sadar bahwa gangguan ini mulai menguras pikiran dan tenaga.

Sebulan lebih kita di tempat KKN mengerikan ini, tak terasa sudah h-1 minggu
penarikan kita diajak bakar-bakar oleh pemuda setempat. Kami anak KKN menyiapkan 2 ayam potong dan perlengkapan yang lainnya disiapkan oleh pemuda, tempatnya berada didepan Posko KKNku. Ketika bakar-bakar ini aku mencari celah untuk mengorek informasi mengenai Dhusun
Jebehan kidul melalui pemuda. Dan pancinganku berhasil, ada salah satu pemuda yang bercerita tentang hal mistis di tempat ini.

“mas wingi kancaku bar ana sing diweruhi” (mas kemarin temanku habis diliatin) ucap pemuda itu, sebut saja mas Gepeng
“diweruhi apa mas? Nengndi?” (dilihatin apa mas? Dimana?) tanyaku kepada mas Gepeng

“sampeyan ngerti omah tingkat cerak warung sing lor e Dhusun Jebehan Lor kae mas? Ning kono kuwi” (kamu tau rumah tingkat dekat warung yang utaranya Dhusun Jebehan Lor itu mas? Disana
itu) jawab mas Gepeng

“ngerti mas, omah apik kae to?” (tau mas, rumah yang bagus itu kan?) sambungku
“iyo kuwi, omah tingkat kuwi dikontrake tapi ratau ana sing betah suwe ning kono mergo sing ngontrak kuwi kerep diweruhi demite kono. Kancaku wingi bar diweruhi Pocong
ning kono, njuk malah ngetutke tekan ngomah” (iya itu, rumah tingkat itu kan dikontrakan tapi gapernah ada yang betah karena yang ngontrak sering diliatin hantunya sana. Temanku kemarin habis diliatin Pocong disana, terus malah ngikut sampai rumah) sambung mas Gepeng
“biyajigur ngeri tenan mas” (menakutkan sekali mas) jawabku

Dari mas Gepeng aku mendapat informasi jika yang paling angker didaerah sini adalah sendang dan rumah tingkat itu. Mungkin lebih ke wingit/keramat ya tempatnya itu. Sendang memang tempat
yang disakralkan oleh masyarakat Dhusun Jebehan kidul karena ketika masyarakat ada acara Nyadran warga semua membawa tumpengannya ke sendang. Diatas sendang juga ada sebuah tanaman yang tidak boleh dipetik, kalau ada yang berani mencoba mengambilnya atau berniat tidak
baik maka orang itu tidak akan pernah kembali. Ngeri juga ya, untuk kemarin aku dan teman-temanku bisa kembali dengan selamat gumamku.

“mas? Mas? Mas Andika? Sampeyan rapopo ta?” (mas?mas?mas Andika? Kamu gapapa kan?) tanya mas Gepeng

“gakpapa mas” (gapapa mas) jawabku
“jarang yoan mas pendatang iso betah ning kene, kerep sok dilinglungke bar metu daerah kene. Pokoke aja waton mas nek ning kene” (jarang mas pendatang bisa betah disini, sering dilinglungkan habis keluar dari sini. Pokoknya jangan ngawur kalau disini mas) jelas mas Gepeng
“ohhh siap-siap mas, matur nuwun infone ya” (ohh siap-siap mas, terimakasih informasinya ya) terangku

“oh hooh mas, omah tingkat kuwi mbiyen dinggo bunuh diri dadi wong kene do wedi mas, makane do nyebut tempat kuwi wingit” (oh iya mas, rumah tingkat itu dulunya
digunakan untuk bunuh diri jadi pada takut mas, makanya kita menyebut tempat itu tempat keramat) tambah mas Gepeng

Sejujurnya aku sangat ingin mengetahui asal usul Dhusun ini seperti apa, tapi dari Pak Bayan sampai pemuda tidak pernah menceritakan sedikitpun
mengenai hal itu entah pantangan atau mereka sengaja menutupi sejarah tersebut. Kukorek lebih mendalam melalui mas Gepeng dan sekali lagi aku mendapatkan informasi

“nek sing sok ngetutke ngono gur seka omah tingkat kae mas? (kalau yang sering ngikutin gitu cuma
dari rumah tingkat itu mas?) tanyaku kembali

“wo ora mas, sing kuburan jejer telu arah ratan gedhe kae yo sok ngetutke. Terus Ndabyah kae yo hooh mas, wong kene we trimo mubeng nek liwat, blas raono sing wani” (wo enggak mas, yang kuburan jejer 3 arah jalan raya itu
juga suka ada yang ngikutin. Terus Ndabyah itu juga iya, orang sini mending muter jalan daripada harus lewat situ, bener-bener gaada yang berani) jelas mas Gepeng

“Ndabyah?” sahutku penasaran, tempat apalagi ini

“iya mas, wit gedhe arah ning Dhusun Ronce jenenge Ndabyah”
(iya mas, pohon besar arah ke Dhusun Ronce namanya Ndabyah) tambah mas Gepeng

Aku bisa simpulkan bahwa cerita mas Gepeng dengan apa yang diceritakan/dialami Rika 100% sama. Dari cerita kuburan yang ada Kuntilanaknya, Ndabyah, sendang dan tempat-tempat lainnya.
Pertemuan kami dengan para pemuda sedikit membuka misteri-misteri terror yang kami alami. Kami bakar-bakar sampai larut malam, sekitar pukul 12 kami merampungkan acara ini.

Keesokan harinya aku pergi ke Kota untuk membeli perlengkapan mandi, kali ini aku hanya pergi
sendirian. Sepulang dari Kota aku berhenti di tempat aku melihat sunset awal dulu bersama Rika dan Asti. Aku berhenti disana untuk menikmati pemandangan sebentar, terbesit dipikiranku untuk menelpon bapak dan menanyakan kepada simbah tentang ini semua.
“hallo Pak?” kalimat pertamaku

“piye ngger? Sehat to?” (gimana nak? Sehatkan?) tanya Bapak padaku

“alhamdulillah Pak, mbok nyuwun tulung takoke simbah Pak bab KKN Andika niki, pun boten kuat
Pak kula” (Alhamdulillah Pak, minta tolong tanyakan simbah Pak tentang KKN Andika ini, sudah tidak kuat Pak saya) pintaku kepada Bapak

Telpon tiba-tiba terputus dengan sendirinya. Ah mungkin signalku yang jelek pikirku. Aku mulai menyulut
rokok dan menghisapnya untuk menemani kesendirianku, benar-benar begitu sejuk dipandang tempat ini. Tak berapa lama bapak kembali menelponku tapi kali ini suaranya berbeda

“le?” (nak?) suaranya bergetar
“simbah?” sahutku cepat, saat itu juga jantungku berdegup sangat cepat

“iya,mburi omah sing tok nggoni saiki kuwi ana uwit gedhe ning le negor waton dadi ora nganggo sarat apa-apa. Omah sing tok nggo kuwi yoora ana pagere to? Mula seka kuwi omah iki ya dinggo
dalan mlebu metu barang ra ketok. Ngerti maksude simbah le?” (iya, belakang rumah yang kamu pakai sekarang ada pohon besar tapi ditebangnya ngawur dan enggak pakai syarat apa-apa. Rumah itu juga tidak ada pagarnya kan? Maka dari itu rumah ini dipakai untuk perlintasan gaib.
Pahamkan maksud simbah nak?) simbah menjelaskan detil rumah ini

“inggih mbah, ngertos” (iya mbak, paham) jawabku

Aku belum menjelaskan rumah yang kutinggali selama KKN dengan bapak, aku hanya menceritakan gangguannya saja. tetapi kenapa simbah bisa mengetahui persis
rumah ini padahal hanya lewat telpon saja? simbah membuat seluruh badanku merinding, aku mikir sangat keras untuk menarik garis lurus. Apakah anak kecil yang sering menampakan diri adalah ingon-ingon daerah sini? Atau
mungkin dari pohon yang ditebang itu? Atau bahkan mungkin dari rumah ini? Semua pertanyaan muncul dipikiranku, begitu banyak yang kupikirkan dan tak sadar aku teriak sekencang mungkin.

*AAAARRRRGGGGGHHHHHHHH*
Aku pulang Posko, memasukan motor ke garasi. Aku diberitahu Malik bahwa ada undangan ke rumah Pak Lurah, acaranya ngobrol santai karena sudah mau penarikan KKN. Lumayan makan makan enak batinku ehehehe. Bapak telpon
“le mantuk saiki iso ora? Pakdhe Eko seda” (nak bisa pulang sekarang bisa? Pakdhe Eko meninggal) ucap bapak

“innalillahi Pakdhe, inggih Andika mantuk Pak” (innalillahi Pakdhe, iya Andika pulang Pak) jawabku

“sing ngati-ati wis surup” (hati-hati ini sudah menjelang magrib)
pinta Bapak

Aku ijin kepada Malik untuk pulang karena Pakdhe meninggal, aku terpaksa tidak bisa ikut menghadiri undangan Pak Lurah. Aku packing sesegera mungkin dan langsung OTW sendirian. Jalan sudah sangat gelap, aku hanya mengandalkan lampu motor saja.
Alhamdulillah aku sampai rumah dengan selamat. Yang ada dipikiranku saat ini adalah keselamatan teman-temanku di Posko, karena siklusnya jika aku tidak ada dirumah “mereka” pasti akan datang. Semoga kali ini mereka aman disana doaku dalam hati.
Teman-temanku berangkat berlima ke rumah Pak Lurah menaiki motor, Rika dengan Malik, Miya dengan Asti dan Ivan sendiri. Aku mendapat cerita ini dari Asti, kejadian puncak yang pernah kita alami selama KKN di Dhusun Jebehan kidul. Awal perjalanan menuju rumah Pak Lurah
aman, acara juga berjalan lancar. Jalan yang mereka lalui adalah jalan Ndabyah itu, karena kalau mau lewat jalan lain memakan waktu hampir 1 jam lebih lama. Pulangnya posisi Ivan depan sendiri, Rika dengan Malik ditengah, dan Miya dengan Asti yang paling belakang.
Ketika lewat Ndabyah itu Ivan mengendarai motornya dengan ngebut, Rika berusaha menlakson Ivan supaya mengurangi kecepatannya. Bukannya tambah pelan justri Ivan tambah ngebut, Rika mengejar Ivan dan terus
menlaksonnya, Miya juga menlakson Rika dan ikut ngebut, jadi motor 3 ini saling menlakson dan mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan penuh. Sesampainya di Posko

“Van kowe ki tak tlakson ra ngrungoke!” (Van kamu itu aku tlakson diem aja!) omel Rika dengan
nada yang sangat marah

“kowe ra nlakson Rik” (kamu enggak nlakson aku Rik) jawab Rika

Saat Rika memarahi Ivan terlihat mata Rika memerah, Rika marah dan langsung masuk kamar. Terjadilan salah paham antara Rika dan Ivan. Tak berapa lama Rika keluar dari kamar dan
menghampiri teman-teman yang lain yang sedang duduk diruang tv.

“aku wis ora kuat” (aku udah gakuat) kata Rika dengan lemas dan tak bertenaga, ucapannya sontak membuat teman-teman kaget

“langopo? Kowe ki ora ngono kuwi, awakdhewe wis arep penarikan Rik” (kenapa?
Kamu jangan gitu, kita udah mau penarikan Rik) sahut Asti

Rika tiba-tiba langsung duduk dibawah dengan posisi bersila, kedua telapak tangannya diatas lutut persis Gupala, suaranya berumah menjadi suara laki-laki. Rika menjerit sangat keras

*RRRRRWAAAAAARRRRRR*
Pak Bambang yang mendengar suara itu langsung menghampiri kami. Anak-anak tidak ada yang berani mendekati Rika. Pak Bambang syok melihat Rika menjadi seperti ini, lalu Pak Bambang memegang Pundak Rika
“sapa kowe? Rasah nganggu anak-anaku sing KKN ning kene” (siapa kamu? Jangan mengganggu anak-anaku yang KKN disini) tanya Pak Bambang

“bocah-bocah iki ora nduwe tata krama!” (anak-anak ini tidak punya tata krama) Suara garang yang keluar dari mulut Rika
“la kowe kuwi sapa he?” (terus kamu itu siapa?) Pak Bambang masih berusaha menanyakan siapa yang ada ditubuh Rika

“kowe ora perlu ngerti sapa aku. Sing baku bocah kabeh iki ora bakal isa metu seka kene HAHAHA” (kamu tidak perlu tau siapa aku.
Yang penting mereka semua gabakal bisa keluar dari sini HAHAHA) gretak makhluk yang ada didalam tubuh Rika

Situasi menjadi sangat tidak kondusif, teman-temanku menangis mendengar perkataan itu. Pikiran mereka kala itu, pasti mati di Dhusun ini cepat atau lambat.
Pak Bambang sadar bahwa teman-temanku merasa ketakutan kemudian berkomunikasi dengan Rika melalui batin. Entah apa yang dibicarakan Pak Bambang dengannya, Rika langsung tergeletak dilantai. Pak Bambang membantu Rika duduk di sofa dan diambilkan air hangat.
“sesuk meneh nek numpak montor ora banter-banter, apa meneh wayah wengi” (besok lagi kalau naik motor jangan ngebut, apalagi malam hari) wanti-wanti Pak Bambang kepada anak KKN

Anak KKN malah pada saling tuduh dan saling menyalahkan satu sama lain. Mereka ngebut karena
ada alasan bukan karena apa-apa. Saling tuduh, saling mengumpat dan yang terpojokan adalah Ivan karena Ivan depan sendiri.

“aku ra krungu suara tlakson cah” (aku gadenger suara tlakson guys) jelas Ivan seperti orang ketakutan dan sangat panik
“sing nlakson kowe ki motor 2 lo Van, ra mungkin kowe ra krungu!” (yang nlakson kamu itu 2 motor Van, gamungkin kamu gadenger!) bentak Miya

“udah dibilangin sama Andika jangan asal asalan kalo disini Van, kuping kau tu!!” tambah Malik

“nek arep yak-yakan i ora ning kene Van,
iki udu daerahmu! Mangkeli, marai cilaka sak posko!! Goblok!!” (kalau mau ugal-uagalan jangan disini Van, ini bukan lingkupmu! Menjengjelkan, bikin cilaka 1 posko!! Bodoh!!) sambung Asti

Ivan memojok disudut ruang meringkukkan badan dan menangis, ia tak tau harus
bagaimana karena memang tak mendengar bunyi tlakson itu. Kalaupun dengar Ivan pasti akan menoleh kebelakang dan melambatkan motornya. Karena Ivan takut makanya Ivan sedikit ngebut di Ndabyah, bukannya mau Ugal-ugalan :( Rika mendengar teman-temannya yang menyalahkan
Ivan berusaha bangkit dan menengahi.

“uwis cah uwis, udu kabeh salahe Ivan. Saiki ngene, nek awakdhewe ora njaluk ngapura ning Ndabyah, awakdhewe ora bakal isa metu seka kene” (udah guys udah, semua bukan salah Ivan.
Sekarang begini, kalau kita enggak minta maaf ke Ndabyah, kita gabakal bisa keluar dari sini) jelas Rika

“tenan Rik aku orang krungu” (beneran Rik aku enggak denger) jelas Ivan dengan sesenggukan dan berlutut didepan Rika
“iya Van iya. Sing tak delok mau ning Ndabyah ki ana wong gedhe dhuwur ireng pokoke gedhe banget, aku nlakson ki ben Ivan ora banter-banter tapi malah soyo banter. Pas awakdhwe banter uwong gedhe kuwi ilang tapi pas awakdhewe tekan Posko wong gedhe kuwi sing nunggu
awakdhewe ning Posko” (iya Van iya. Yang aku lihat di Ndabyah ada orang besar tinggi hitam pokoknya besar sekali,aku nlakson supaya Ivan enggak cepet-cepet tapi yang ada malah makin cepet. Ketika kita cepet orang besar itu hilang tapi ketika kita udah sampe Posko orang besar itu
udah nunggu kita di Posko) terang Rika.

Perwujudan yang digambarkan Rika mungkin penjaga Ndabyah yang terganggu saat mereka melintas tanpa permisi. Rika mengatakan bahwa yang ikut ke Posko saat sudah melewati Ndabyah banyak
sekali, makanya Rika bilang sudah tidak kuat. Maksud dia tidak kuat menahan banyaknya makhluk gaib yang ingin masuk ketubuhnya bukan tidak kuat berkegiatan lagi. Rika akhirnya mengijinkan makhluk yang paling besar masuk dan menceritakan apa yang membuatnya terganggu. Jika
digambarkan perwujudan anak buahnya makhluk itu berupa anak-anak tapi sudah tua, badan binatang kepala manusia dan sebagainya. Setelah kejadian ini Pak Bambang baru bilang kalau Ndabyah ini tempat yang sangat keramat lebih khusunya dikeramatkan.
Malam yang sangat Panjang bagi teman-temanku, setelah semua emosi mereda mereka mempersiapkan mental kembali untuk ke Ndabyah. Pak Bambang yang merasa punya tanggung jawab akan anak KKN ikut mengantarkan teman-temanku kesana. Sesampainya disana Rika kembali
kesurupan, suaranya berubah seperti mbah-mbah yang sudah sangat tua.

“ssssaya minta maaf mbah, sssaya salah” ucap Ivan. Badannya gemetar, keringatnya mulai membasahi kaos yang dikenakannya

“HAHAHA bocah wingi sore, kowe bakal dadi anakku kabeh HAHAHA” (HAHAHA anak bau kencur,
kalian bakal kujadi anak HAHAHA) kalimat itu terucap dari mulut Rika

“kula kaliyan bocah-bocah mriki badhe nyuwun pangapunten. Kula ngaku lepat Mbah, nyuwun pangapunten saestu ampun dipunpendhet bocah-bocah niki mbah” (saya dan anak-anak kesini mau
minta maaf. Saya mengaku salah mbah, minta maaf sekali jangan diambil anak-anak ini mbah) ucap Pak Bambang

Pak Bambang melakukan komunikasi batin dengan mbah-mbah yang ada ditubuh Rika itu. Antara 5-10 menit Rika sadar dengan sendirinya. Lalu dia bilang
“wis orapapa cah, ayo bali Posko” (udah gapapa guys, ayo kembali ke Posko) kata Rika

Mendengar ucapan Rika mereka ber lima dan Pak Bambang berpelukan, memeluk satu sama lain. Menangis bahagia karena sudah terbebas dari makhluk besar yang ada di Ndabyah. Akhirnya malam
ini bisa tenang. Kembalilah mereka semua ke Posko dan istirahat.

Keesokan harinya di Posko 1 tempat Pak Bayan ada acara Jathilan, teman-temanku yang di Posko 2 membantu di Posko 1. Aku kembali ke Dhusun Jebehan kidul sekitar pukul 12 siang, sampai posko
memang tak ada orang. Aku diberitahu Bu Bambang jika semua temanku sedang berada di Posko 1, aku menyusul mereka. Sesampainya di Posko 1 aku tertidur di diruang tamu karena perjalanan yang cukup jauh membuatku sangat lelah. Acara selesai kami anak Posko 2 pulang,
sesampainya di rumah Asti muntah-muntah

“hesss kelebon. Ndang nek arep mlebu gek mlebu, nek ora lunga wae rasah ning kene” (hesss kemasukan. Kalau mau masuk ya masuk aja, kalau enggak pergi aja daripada disini) ucap Rika sambil menekan tengkuk Asti
Dari di tempat Jathilan Asti memang sudah diserang, tapi karena Asti memang tidak mempunyai kelebihan seperti Rika ia tak merasakan apa-apa. Kenapa Asti yang diserang? Karena dia yang paling penakut diantara kami dan saat itu juga Asti sedang PMS. Terbawalah beberapa
sosok ke Posko kami, tapi untung masih aman karena ada Rika dan aku yang melindungi Posko ini. Asti dibawa ke kamar oleh Rika, sedangkan aku duduk di teras. Untuk menemani malam yang syahdu aku membuat secangkir kopi. Rika mendatangiku dan menceritakan pengalaman
yang ia alami di Ndabyah, ya syoklah aku! Aku tak mempunyai firasat apa-apa saat dirumah dan saat teman-temanku mengalami gangguan ini. Rika lanjut bercerita

“aku wingi diceritani Mas Gepeng, jare pas dee arep nemoni kowe gek kapan kae dee wis tekan
ngarep Poskone kita terus puter balik” (aku kemarin diceritain Mas Gepeng, kata dia waktu mau nemuin kamu dia udah sampe depan Posko terus putar balik) kata Rika

“la ngopo? Merga aku raeneng?” (kenapa? Karena aku gaada?) jawabku
“udu, merga dee ndelok Pocong Ndik ning ngarep Poskone kita” (bukan, karena dia lihat Pocong Ndik di Poskonya kita) sambung Rika

Baru saja aku sampai Posko sudah dikejutkan dengan 2 cerita sangat menakutkan seperti ini. Aku juga punya rasa takut, tapi aku mengacuhkan itu semua.
Karena derajat manusia lebih tinggi dibanding makhluk-makhluk gaib.

Semakin hari semakin dekat dengan penarikan KKN, senang tentunya karena penderitaan ini akan segera berakhir. Kami membersihkan kamar, membuang barang-barang yang sudah tidak terpakai.
Biasanya yang membakar sampah dibelakang rumah adalah anak-anak cewek, tetapi kali ini aku yang ditugaskan membakar sampah dengan Malik. Saat sampai belakang rumah, kutemukan bekas tebangan pohon seperti yang dikatakan simbah tempo hari. Aku baru mengetahui ini karena
memang aku tidak pernah ke belakang rumah dan simbah bisa mengetahui pohon ini hanya dari telpon saja. Antara percaya dan tidak percaya, tapi ini memang terjadi.

Sehari sebelum penarikan kita mengadakan perpisahan kecil-kecilan bersama pak Bambang, ya
sekedar makan-makan di Posko. Selesai makan-makan aku basa-basi mengajak ngobrol Pak Bambang

“Pak, nek Dhusun Jebehan kidul kalih Jebehan lor nika beda to?” )Pak, kalau Dhusun Jebehan kidul sama Jebehan lor itu beda ya?) tanyaku pada Pak Bambang
“beda le, ketmbiyen Dhusune dhewe iki ora tau akur karo Jebehan lor. Penguripane kono yo do sugih-sugih, mergane do ngingu” (beda nak, dari dulu Dhusun kit aga pernah aku sana Jebehan lor. Kehidupannya sana juga kaya-kaya, karena ya memelihara) jelas Pak Bambang
Oke aku bisa menarik kesimpulan sekarang. Kata Rika di Dhusun Jebehan lor banyak sekali makhluk awake jaran ndase manungsa, itu kemungkinan besar adalah ingon-ingon warga sana. Sendang yang kata Mas Gepeng tempat keramat, awal saat ingin ku telusuri masuk lebih dalam
ke arah hutan samping sendang ada kakek dan nenek yang menyapaku dan mewanti-wanti supaya jangan terlalu jauh. Tapi selama 45 hari aku di Dhusun ini, aku sama sekali tak melihat mereka berdua lagi. Sampai saat ini aku masih ingat jelas bagaimana muka kakek dan nenek itu,
dan aku masih belum yakin bahwa mereka itu manusia apa bukan.

Malam itu aku aku sadar bahwa kehidupan kita memang benar-benar beriringan dengan dunia lain. Aku KKN selama 45 hari, tiada hari tanpa diganggu. Rika juga pernah bilang padaku, setiap kali aku
pergi “mekera” pasti langsung menyerang. “mereka” hanya takut/sungkan kepada yang menjagaku, makanya ketika aku di Posko makhluk-makhluk itu menjauh dan hanya melihat dari kejauhan. Rika juga pernah bilang sama aku kalau aku dan dia ini 1 frekuensi, ingat? Karena aku
dan dia sebenarnya sama-sama sensitive, hanya saja Rika bisa berkomunikasi sedangkan aku tidak malah lebih acuh kepada hal gaib. Jadi itu alasannya dia selalu bercerita padaku, bukan kepada yang lain.

Paginya kita sudah siap untuk pulang ke rumah masing-masing. Perasaan sedih,
bahagia bercampur aduk didalam hati. Ada pertemuan pasti ada perpisahan, banyak hikmah yang bisa aku ambil dari KKN ini. Terimakasih untuk semua yang pernah mengisi hari-hariku di tempat KKN, seburuk apapun yang terjadi disini tidak membuatku kapok untuk datang kembali
mengunjungi Dhusun Jebehan kidul. Sampai saat kita semua berpamitan kepada Pak Bambang

“Pak, kula maliki kanca-kanca ngaturaken agunging panuwun dhumateng Bapak kaliyan Ibu sampun kersa nampi kula sakanca. Kula ugi nyuwun pangapunten mbok bilih anggen kula sakanca wonten
mriki kathah kalepatan saha damel kuciwaning manah Bapak saha Ibu. Kula sakanca nywun pamit Pak” (Pak, saya mewakili teman-teman mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak dan Ibu karena sudah mau menerima kami. Saya juga minta maaf apabila kami disini banyak berbuat salah
dan membuat kecewa Bapak dan Ibu. Kami pamit Pak) ucapku kepada Pak Bambang dan Bu Bambang.

“Bapak karo Ibu gur isa nyangoni slamet ya le/ndhuk, mugiya isa dadi bocah sing wasis, prigel bab apa wae. Pesene Bapak mung siji, “KUDU EMPAN PAPAN”. Salam dinggo Bapak Ibu
ning ndalem ya, sing ngati-ati.” (Bapak dan Ibu cuma bisa memberi doa ya nak, semoga bisa menjadi anak yang serba bisa. Pesan bapak cuma satu, harus tau tempat/kondisi dimana kalian berada. Salam untuk Bapak Ibu di rumah ya, hati-hati) pesan Pak Bambang kepada kami
“inggih pak” (iya pak) jawabku

Kami semua saling bersalaman dan berpelukan, mungkin ini menjadi salam perpisahan yang terakhir sebelum kembali kerutinitas kuliah. Bakalan rindu sama teman-teman yang pagi melihat muka
mereka, mau tidur yang dilihat juga muka mereka. Sebelum pulang aku berpesan kepada teman-temanku

“rasah dipikirke ya apa sing wis dialami awakdhewe ning kene, dieling-eling apike wae” (gausah dipikirkan ya apa yang kita alami disini, diingat yang baij saja) ucapku
Kami semua tersenyum, saling memandang. Kami pulang dengan bahagia, kami pulang dengan hidup yang lebih baik lagi, terimakasih Tuhan telah memberikan kami keselamatan selama KKN.

(BASED ON TRUE STORY)

-TAMAT-
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Keep Current with UPILSKY

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!