-A HORROR THREAD-
saya @ayuningtyaspr mempersembahkan #KKNdesatengahalas
@bacahorror
@bagihorror
@horrornesia
@ceritaht
#bacahorror
#bacahoror
#threadhoror
#threadhorror
Namasumber : sebut saja Andika
KKN, momen yang menguras tenaga bahkan menguras kantong mahasiswa semester (hampir) akhir. Mengabdi kepada masyarakat, membuat Program Kerja (Proker) untuk sedikit mengedukasi dan memberikan secuil kenangan dimana aku pernah
Informasi tempat dan nama-nama teman kelompok KKNku keluar, aku melihat ditempatkan di Kota T, Propinsi Jawa Tengah. Setelah aku mulai melihat nama teman-temanku, ternyata hanya ada 3 laki-
“sepi banget lanange gur telu, masalah udud we rame mesti” (sepi banget laki-lakinya Cuma 3, Cuma masalah rokok aja pasti bakal rame) gerutuku waktu mengetahui aku sebagai kaum minoritas dikelompok KKN ini.
“adoh nek karo nggonaku Ndik, ngopo?” (jauh kalau dari rumahku, kenapa?) jawab Uzi
“kowe entuk KKN nengndi? Aku ning Kecamatan kuwi” (kamu dapat
“aku ning Gunung Kidul Ndik, adoh men kowe cuk tekan nggonaku, padahal omahmu pucuk pinggir segara kidul, hahaha” (aku di Gunung Kidul, jauh sekali kamu sampai daerahku, padahal rumahmu ujung pinggir Pantai Selatan, hahaha)
“sakngertiku Kecamatan Nyamping ki ana 2, sing siji ning pegunungan perbatasan karo Kabupaten K nah sing sijine ning tengah Kota cuk. Penak nek kowe entuk kono”
Kami sekelompok menunggu dan terus menunggu kabar dari kampus perihal nama Kelurahannya supaya kita bisa lebih mempersiapkan segalanya dan segera observasi. Dan h-2 minggu baru keluar
“jane sida KKN apa ora iki ki” (sebenarnya jadi
Perkenalkan nama kelompok kami adalah KKN 69 dengan nama anggota aku(Andika), Malik, Ivan, Rika, Asti, Miya, Tia, Iva, Laras, dan Putri. Setelah berdiskusi dan kami memutuskan di hari senin
“siang, iya boleh. KKN di Desa ini? Kok saya belum mendapat surat langsung dari kampus anda ya mas?” Jawab Pak Lurah heran
“iya Pak maaf sebelumnya ini kami kesini juga tidak membawa surat,
“sebentar sebentar mas, selama ini jarang ada KKN disini mas. Apa benar disini?” pertanyaan Pak Lurah yang menaruh curiga
“nah ini mas, anda salah Kecamatannya. Disini memang Kelurahan Tekuk tapi ini Kecamatan Subal” sahut Pak Lurah
“aduh maaf sekali pak, kami yang kurang teliti membaca alamatnya”
Setelah percakapan itu teman-temanku mencari lagi Kecamatan Timang dan memang nyasarnya ga tanggung-tanggung, hampir 2 jam jaraknya dengan Kecamatan yang seharusnya. Kata Rika Kecamatan Subal masih sangat singup, pohon-pohon yang tinggi dan jalanan yang masih
Akhirnya mereka sampai juga di Kecamatan Timang dan bertemu dengan Bapak Camat dan langsung diarahkan menuju Kelurahan. Bapak Lurah ternyata tidak mau menerima kedatangan kelompok kami
Selang beberapa hari surat pemberitahuan turun dari kampus, Rika dan Malik beserta perwakilan
-PELEPASAN KKN-
Setelah selesai pelepasan KKN di Aula Universitas aku dan teman KKNku berkumpul di foodcourt untuk mengenal satu sama lain. Karena pada tahun itu gencar sekali Theadhoror KKN di Desa Penari
“ning kene ana sing nduwe penyakit non medis?” (disini ada yang punya penyakit non medis?) tanyaku
Semua menjawab satu persatu dari ada yang punya asma, alergi dingin sama pantangan permakanannya. Selesai menjawab sampailah kepada
“aku Ndik. Maaf ya cah aku nduwe kekurangan isa ndelok koyo ngono, iso komunikasi juga dan iki ket cilik” (aku Ndik. Maaf ya teman-teman aku punya kekurangan bisa melihat hal seperti itu, bisa
“santai lo Rik rapopo. Eh wingi entuk apa pas kowe observasi ro Malik?” (santai Rik enggak papa. Eh kemarin kamu dapat apa ketika observasi sama Malik?) tanya Asti
“nggone piye Rik menurutmu?” (tempatnya gimana Rik menurutmu?) tanyaku langsung menuju hal yang aku khawatirkan
“hahaha piye Rik?” (hahaha gimana Rik?) lanjutku
“mengerikan” sahut Rika
-PENERJUNAN KKN-
Penerjunan ini dilakukan di lapangan Universitas, pihak kampus menyediakan bus untuk keberangkatan kami ke tempat KKN. Sekali lagi kami belum tau akan ditempatkan di Dhusun apa,
“enggak Rik, harusnya yang sana tadi” bantah Malik
“ora Lik aku yakin” (enggak Lik aku yakin) sahut Rika
Rika sangat yakin bahwa itu gang yang dilaluinya pada saat Observasi kemarin, tapi tidak sampai-sampai. Aturan 3 jam kita sudah sampai tapi ini hampir 4 jam
“nuwun sewu Pak badhe nyuwun pirsa, menawi badhe wonten Kelurahan Tekuk leres medal riki Pak?” (permisi Pak mau bertanya, kalau mau ke Kelurahan Tekuk benar lewat sini Pak?) tanya kepada bapak itu
Gambaran rumah Pak Bambang adalah sebuah rumah yang sudah bertembok tetapi ubinnya masih mester hitam
“aku KKN ning tengah alas tenan, paring slamet Gusti” (aku KKN ditengah hutan, berikan keselamatan Tuhan) ucapku
Mobil Asti datang dan kami semua menurunkan barang bawaan. Sembari kami menurunkan barang-barang aku melihat Pak Bayan dan Pak Bambang mengobrol sangat serius karena diraut mukanya seperti tidak santai. Ah mungkin ngobrol tentang kampungnya pikirku. Selesai
Hari pertama aku dan semua temanku berkeliling melihat-lihat Dhusun Jebehan Kidul ini, kira-kira bisa membuat proker apa karena memang masih sangat meraba, tau Dhusunnya aja baru pas penerjunan jadi ya serba dadakan. Sampai pada sebuah jalan yang sangat
“enggg cangkemen ra toto, ra ngono kuwi Van” (enggg mulutnya dikondisikan, jangan kaya gitu Van) kata sambil menepuk bibirnya Ivan
“wislah yo mlaku wae raono uwong
Kami meneruskan perjalanan untuk keliling-keliling dan menemukan lagi jalan tapi kali ini tidak
“rene yo, ana jalur iki sopo ngerti tekan dalan rusak kae mau. Ben
Kamipun melanjutkan perjalanan melewati jalan samping sendang itu.
“CANGKEMU i lo Van trocoh tenan e, ra waton nek omongan. Pisan meneh ngomong ngono tak keplak kowe!” (mulutmu itu lo Van dikondisikan,
“iya amit Ndik, karepku gur guyon” (iya maaf Ndik,ingin hati Cuma becanda) jawab Ivan yang syok melihatku tiba-tiba marah karena
“guyonmu ra lucu nyuk! wis ayo mlaku meneh, nek 5 menit awakdhewe ora nemu omah po uwong langsung puter balik” (becandamu ga lucu nyet! Udah ayo jalan lagi, kalau 5 menit kita enggak nemu rumah atau orang langsung puter balik) sahutku
“niki mbah badhe ningali kawontenan Dhusun, kula sakanca niki KKN ten Dhusun Jebehan Kidul
“saking ngalas ngger, golek pakan dinggo sapine simbah. pun dilajengaken mangga, ning aja adoh-adoh mlebu ngalas ya ngger ndak keblasuk” (dari hutan nak, cari makanan sapinya simbah. silahkan diteruskan, tapi jangan jauh-jauh masuk hutannya
“inggih mbah maturnuwun, ngatos-ngatos” (iya mbah terimakasih, hati hati) jawab Miya
Setelah berbincang-bincang kakek dan nenek itu berjalan menuju arah Dhusun. Menurutku jalannya mereka berdua sangat cepat dan menghilang begitu saja.
“Ndik bener to sing tak omongke, kandani kok” (Ndik benarkan yang ku bilang, dibilangin kok) celetuk Ivan
Karena tidak mau ambil resiko akhirnya kami memutuskan untuk mengakhiri perjalanan hari ini dan kembali ke posko tanpa mendapat informasi apapun.
Hari kedua aku dan beberapa temanku datang ke Kelurahan untuk sekedar basa basi, barangkali ada yang bisa dibantu atau saling membantu.
“duite sopo nek ora nggo kayu!” (uangnya siapa kalau tidak pakai kayu!) gerutuku kesal
“gampang banget dia ngomong
“haaaa gawea dhewe nek arep nggo wesi!” (yaaa buat aja sendiri kalau pake besi!) sambung Ivan
“do ngopo to ya, wong gur usul tok Pak Carik ki. Jenenge usul oleh ditampa oleh ora” (pada ngapain sih ini,
“diiih usul apaan itu tadi, dia enggak usul Put, dia itu nyuruh kita” bantah Malik
“yaudah sih lakuin aja, tapi ya harus mikirin kas
“yaudah oke lah, besok ya. Tiati yang pulang
Semingguan ditempat KKN khususnya dirumah Pak Bambang kami selalu mendengar suara-suara brisik ketika malam hari, tak kuhiraukan karena bisa saja kucing atau binatang lain. Kalaupun hantu,
Rutinitas dipagi hari adalah ketika subuh Rika bangun bersama Miya untuk sholat sedangkan yang lainnya masih tertidur pulas. Sekitar pukul 7 pagi aku bangun, cuci muka dan menuju dapur untuk membuat kopi.
“mau isuk aku tindihen, aku bener-bener raiso omongan” (tadi pagi aku tindihan, aku benar-benar tidak bisa berbicara) bisik Rika padaku membuyarkan
“terus?” sahutku dengan cepat
“sing nindihi aku cah cilik Ndik” (yang menindihiku anak kecil Ndik) jawab Rika yang masih berbisik kepadaku takut yang lain dengar
“le nindihi nengndi?” (menindihimu dimana?) jawabku dengan nada yang sedikit kupelankan
“tenan Ndik, cah cilik” (beneran Ndik, anak kecil) tambah Rika yang sepertinya sangat syok dengan keadaan ini
“terus lehmu iso omongan piye?” (terus gimana kamu bisa berbicara lagi?) tanyaku
“wis omong Miya ro Asti?” (udah bilang Miya sama Asti?) tanyaku memperjelas
“ra wani omong sapa-sapa aku ndak
“yowis rapopo, anggep wae bunga tidur Rik, yoh mangan ngelih aku hehe” (yaudah gapapa,
Hari selanjutnya rutinitas yang masih sama, kembali Rika menemuiku diruang tamu dengan keadaan cemas. Rika bilang jika Asti baru saja bercerita padanya.
“iya Ndik, jelas banget seka kene” (iya Ndik, jelas banget dari sini) sahut Rika yang sepertinya dia juga tau maksudku
“aku isih kepikiran mau isuk” (aku masih kepikiran tadi pagi) jawab Asti lirih
“kowe ngopo?” (kamu kenapa?) tanyaku
Akhirnya Rika menceritakan tentang ketindihannya kemarin sebelum Asti mengalaminya.
“ndik kowe kamar mandi sing kono, aku kene!” (Ndik kamu kamar mandi sana, aku sini!) teriak Rika sambil memegangi pintu
“kadung mlebu kene, kowe kono Rik!” (terlanjur masuk sini, kamu sana Rik!) tolaku karena sangat
“raurusan, pokoke aku kene. Ndang metu selak pengen adus aku!” (gamau tau, pokoknya aku sini. Cepetan keluar aku pengen mandi!) Rika memarahiku
“celeng!! Yo sek sabar, andukku ndes! Kon ra andukan po piye!” (babi! Iya bentar sabar, handuku
“iyik!” (brisik) sentak Rika
Aku menaruh curiga kepada Rika kenapa ia takmau mandi dikamar mandi 1, padahal dikamar mandi 1 ruangannya lebih luas dan lebih bagus sedangkan dikamar mandi 2 lebih kecil dan sedikit kotor.
Setelah adzan isya kami semua akan kerumah Pak Bayan untuk menghadiri rapat RT/RW sekalian sosialisasi dan pengenalan KKN.
“Ndik pulang!” WA dari Rika
Tidak biasanya kalau aku pergi Rika nyuruh aku pulang. Pikirku karena memang sudah malam juga akhirnya aku berpamitan kepada Pak Bayan untuk pulang duluan. Malik dan Ivan juga ikut denganku
“ngopo Rik?kok do pucet ki” (kenapa Rik? Kok pada pucat) tanyaku penasaran
Hening. Tidak ada jawaban sama sekali… tipenya Rika adalah orang yang lumayan cerewet, asik diajak ngobrol dan dewasa pemikirannya. Asti adalah
“ana apa?” (ada apa?) tanyaku sekali lagi
“Miy, sing sareh. Dileremke sek atine lagi ngomong” (Miy, yang tenang. Ditenangin dulu hatinya baru berbicara) kataku menenangkan Miya
“aku ra ngerti Ndik aman opo ora, awakdhewe ketmau gur ndonga terus. Rawani mlebu omah, gur ning kene ketmau” (aku gatau aman apa enggak, kita dari tadi berdoa terus. Gaberani masuk rumah, disini aja daritadi) tambah Asti
“kenapa Rik? Bilang aja” balas Malik
“aku arep jujur, jane aku isa ngendaleke awaku bab kaya ngene makane aku trima meneng. Aku gur
“kalian kelingan pas kita keblasuk lewat Dhusun sing sepi banget kae? Dan akhire nemu warung?”
“DHUSUN JEBEHAN LOR” Ivan menyebutkan Dhusun itu dengan sangat jelas
“bener. Seumur-umur aku lagi nemoni iki, sumpah lagi ning kene, ning Dhusun kuwi. Kalian oleh percoyo opo ora terserah” (benar. Seumur-umur aku baru nemu ini, sumpah baru disini,
“lihat apa kamu?” tanya Miya
“Rik pake Bahasa Indonesia aja kenapa ceritanya, aku ga terlalu paham. Tau sendiri kan aku orang sunda. Paham sih dikit-dikit ehehe” pinta Malik
Rika tidak menjawab pertanyaanku, ia malah bertanya kepada kami semua apakah diantara kami membawa jimat/cekelan. Teman-temanku menjawab bahwa tidak satupun dari mereka membawa cekelan lalu mata Rika tertuju padaku. Dia memejamkan mata lalu
“kowe ana sing njaga Ndik?” (kamu ada yang menjaga Ndik?) sontak Rika bertanya hal itu kepadaku. Semua pandangan lansung tertuju kearahku
“ oke lanjut yo, pas awakdhewe Liwat Dhusun Jebehan Lor kae aku ndelok bener-bener kabeh omah
“SUMPAH?” sahut Miya
“iya Miy. Dan kalian ngerti? Pas awakdhewe liwat mereka minggir gur ndeloke seka tempat mereka ngadeg. Biasane kan nek ana wong anyar teko langsung diserang to, nek iki ora.
“apa merga kowe Rik?” (apa karena kamu Rik?) tanyaku
“udu, justru merga kowe Ndik” (bukan, justru karena kamu Ndik) balas Rika
“aku?” tanyaku kembali padanya
Gangguan-gangguan masih tetap ada setiap harinya, seperti suara anak kecil, orang berjalan tapi seperti kakinya diseret, orang menyapu dini hari dan masih banyak lagi.
Pagi hari aku dan Rika akan menemui Pak Carik di Kelurahan untuk membicarakan tentang proker Plang yang tidak boleh memakai kayu itu. Aku mengajak Rika karena dia sangat lihai dalam
“Ndik cepet!” suruh Rika
“ngopo?” (kenapa?) tanyaku
“rapopo, cepet” (gapapa, cepat) pinta Rika
“cah, aku tak omong ya” (teman-teman, akum au bicara ya) ucap Rika
“Rik, uda dibilang dari kemarin kalau mau ngomong ya tinggal ngomong aja. Jaaan bocaaaah!” sahut Malik
“iya Rik, kenapa?” tambah Malik
“nah ning ngarepe wit gedhe kuwi kan ana alas to, ning alas e kuwi ana kerajaan gaib,
“iya. Kono kae daerah wingit, nek lewat kudu tlakson yo kabeh wae pokoke aja waton” (iya. Disana daerah keramat, kalau lewat harus tlakson ya semuanya
“oke Rik” jawab Asti mewakili jawaban kami semua
Entah apa yang akan kami dapat selepas KKN, yang penuh dengan kemistisan tempat ini. Aku
Budaya KKN adalah mengunjungi Posko-posko teman yang lain, aku lumayan sering
“heee?” sahutku
“tapi ora separah nggone dhewe to?” (tapi enggak separah punya kita kan?) tanyaku
Yaaaa Namanya juga rumah, pasti saja ada “penghuninya”. Menurutku wajar sih mereka ingin menunjukkan eksistensinya, karena ya memang itu daerah mereka. Pikirku seperti itu
Sekitar pukul pukul 8 malam aku sampai di Posko dan Rika langsung menarikku ke teras. Dengan
“bocah cilik sing nindihi aku wis wani iseng” (anak kecil yang menindihiku sudah berani iseng) kata Rika
“ngopo dee?” (ngapain dia?) tanyaku
“berarti rapopo to saiki? Wis ditenangke sek Rik, aku wis ning kene” (berarti gapapa kan sekarang? Udah ditenangin dulu Rik, aku udah disini) kataku menenangkan Rika, yang sepertinya sudah mulai stres dengan keadaan yang semakin memburuk.
“mati listrik ndes!” (mati lampu ndes) jawabku
“Ndik Andika? Kowe o? ngopo we?” (Ndik Andika? Itu kamu? Ngapain?) tanya Miya
Aku masuk kamar lalu membuat kopi, setelah kopiku jadi aku duduk diruang tamu bersama teman-
“loh Ndik cepet men ndang tekan kene?” (lok Ndik cepat sekali sudah sampai sini?) tanya Miya padaku
“la aku ketmau wis ning kene Miy, ket bar njipuk gelas mau” (aku daritadi disini Miy, dari ambil gelas
“kowe maukan ngejak ngobrol aku to?” (kamu tadi mengajaku ngobrol kan?) tanya Miya seperti menaruh curiga padaku
“iya, nggojeki kowe njuk langsung lunga aku” (iya, bercandain kamu terus pergi aku) jawabku kembali
“ora Miy, sakelingku terakhir aku ngomong ki gur ngomong adus kok jam semene ngono, bar kuwi
“ora Ndik” (enggak Ndik) bantah Miya
“iya Miy, udah daritadi Andika disini” kata Malik
“terus sing tak ajak ngobrol mau sapa? Aaaaaaastaghfirullah yaAllah sapa yaAllah” (terus yang kuajak
Disini Miya sangat ketakutan sehingga membuat kita bingung harus bagaimana. Mungkin ini kali pertamanya mengalami hal seperti ini. Aku ke teras lalu menyulut
Gangguan-gangguan ini terus muncul, kali ini ditambah dengan suara ketukan pintu yang sangat keras, benda-benda berjatuhan tanpa tahu penyebabnya dan masih
Malampun tiba, kami ada rapat besar di rumah Pak Bayan. Aku tipe orang kalau di kamar mandi
*BRAAKKKKKKK*
Suaranya seperti pintu digebrak dengan sangat keras. Kali ini aku sendiri, tanpa teman satupun, saat itu juga aku tanpa pikir panjang langusng mengucapkan 1 kalimat.
Tanpa menoleh aku tetap melanjutkan perjalananku ke rumah Pak Bayan. Tak ada yang kuberi tau tentang hal ini, tidak penting juga untuk mereka
Berganti hari ketika aku mandi di kamar mandi 1 yang depannya ada sumur itu, ritual pertamaku
“RASAH SOK MEDEN-MEDENI AKU” (JANGAN COBA MENAKUT-NAKUTIKU) ucapku tegas kepada mereka semua
“kowe ngopo Ndik? Metu-metu kok nesu-nesu” (kamu kenapa Ndik? Baru saja keluar kok marah-marah) tanya Rika
“aku?” tanya Rika kembali
“Ndik, aku ketmau karo cah-cah ning ngarep tv dan aku ora ning pawon lo” (Ndik, aku daritadi sama anak-anak didepan tv dan aku enggak ke dapur lo) bantah Rika
Tak ada yang berani menjawab pertanyaanku ini. Teman-temanku hanya saling memandang satu sama lain lalu merapatkan pengangan mereka. Rika langsung mengalihkan
“maksudmu?” tanyaku penasaran
“sing senengane mlumpat-mlumpat opo?” (yang sukanya lompat-lompat apa?) tanya Rika padaku
“he? POO………” kataku
“rasah disebutke. Ngerti to?” (gausah disebutkan, tau kan?) Rika memotong omonganku
“astaghfirullah astaghfirullah asraghfirullah” sambungku
“awakdhewe ketmau ora obah, ning kene terus. Pas lagi nonton tv ana sing nyakar jendela seka njaba, awakdhewe langsung lungguh ning kene” (kita dari tadi enggak gerak, diam disini. Ketika baru
Aku tidak menjawab perkataan Rika barusan karena perutku sudah meronta-ronta. Ku tinggal mereka di ruang tamu dan aku berjalan menuju dapur.
“kowe ki wis dha gedhe ra mikir! Mejikom dibuka yo segane rapanas, ngentek-enteke listrik!” (kalian itu udah besar enggak mikir! Mejikom dibuka ya nasinya enggak panas,
“astaghfirullah, demi Allah rung ana sing mangan Ndik. Awakdhewe seka jam 8-11 lungguh ning kene” (astaghfirullah, demi Allah belum ada yang makan Ndik. Kita dari jam 8-11 duduk disini) jelas Asti
“aku mau arep mangan. Lagi tekan pawon urung sido njipuk apa-apa, ana sing ndodok cendela pawon terus aku mlayu melu cah-cah ndelok tv” (aku tadi mau makan. Baru sampai dapur belum jadi
Karena saking penasarannya kami ber 6 memutuskan untuk menengok dapur. Saat kami sampai dapir centong nasi berada diantara tutup mejikom dan badannya.
Kejadian di dapur ini membuat aku dan teman-temanku sekarang kalau makan selalu bersama, tidak boleh ada yang kelewatan pokonya makan bareng selesai juga harus bareng. Situasi dapur dan
Berganti hari sekitar siang menuju sore hari ada beberapa pemuda yang menyambangi Poskoku mengajak untuk melihat jathilan di beda Kelurahan. Aku mengajak Malik untuk ikut bersama para
“amit Rik, mau blas raono signal dan aku rareti dalan nek bali sek. Njaluk ngapura tenan aku” (maaf
“mau awakdhwe krungu suara ning garasi. Lawange garasi seka kayu to? Nah suarane cetha banget nek lawange kuwi dicakar-cakar. Bar kuwi langsung suara-suara liyane
“Miya?” tanyaku
“Miya maag ro asam lambunge kumat, dee semenjak mejikom buka dhewe kae dadi arang mangan
“oke terus aku kudu piye Rik saiki?” (oke terus aku harus bagaimana Rik sekarang?) sahutku
“aku rareti Ndik, pokoke anggere kowe lunga seko Posko
Aku dan Malik menemani Rika di Puskesmas sampai subuh. Karena kondisi badanku sudah sangat
Sebulan lebih kita di tempat KKN mengerikan ini, tak terasa sudah h-1 minggu
“mas wingi kancaku bar ana sing diweruhi” (mas kemarin temanku habis diliatin) ucap pemuda itu, sebut saja mas Gepeng
“sampeyan ngerti omah tingkat cerak warung sing lor e Dhusun Jebehan Lor kae mas? Ning kono kuwi” (kamu tau rumah tingkat dekat warung yang utaranya Dhusun Jebehan Lor itu mas? Disana
“ngerti mas, omah apik kae to?” (tau mas, rumah yang bagus itu kan?) sambungku
“iyo kuwi, omah tingkat kuwi dikontrake tapi ratau ana sing betah suwe ning kono mergo sing ngontrak kuwi kerep diweruhi demite kono. Kancaku wingi bar diweruhi Pocong
Dari mas Gepeng aku mendapat informasi jika yang paling angker didaerah sini adalah sendang dan rumah tingkat itu. Mungkin lebih ke wingit/keramat ya tempatnya itu. Sendang memang tempat
“mas? Mas? Mas Andika? Sampeyan rapopo ta?” (mas?mas?mas Andika? Kamu gapapa kan?) tanya mas Gepeng
“gakpapa mas” (gapapa mas) jawabku
“oh hooh mas, omah tingkat kuwi mbiyen dinggo bunuh diri dadi wong kene do wedi mas, makane do nyebut tempat kuwi wingit” (oh iya mas, rumah tingkat itu dulunya
Sejujurnya aku sangat ingin mengetahui asal usul Dhusun ini seperti apa, tapi dari Pak Bayan sampai pemuda tidak pernah menceritakan sedikitpun
“nek sing sok ngetutke ngono gur seka omah tingkat kae mas? (kalau yang sering ngikutin gitu cuma
“wo ora mas, sing kuburan jejer telu arah ratan gedhe kae yo sok ngetutke. Terus Ndabyah kae yo hooh mas, wong kene we trimo mubeng nek liwat, blas raono sing wani” (wo enggak mas, yang kuburan jejer 3 arah jalan raya itu
“Ndabyah?” sahutku penasaran, tempat apalagi ini
“iya mas, wit gedhe arah ning Dhusun Ronce jenenge Ndabyah”
Aku bisa simpulkan bahwa cerita mas Gepeng dengan apa yang diceritakan/dialami Rika 100% sama. Dari cerita kuburan yang ada Kuntilanaknya, Ndabyah, sendang dan tempat-tempat lainnya.
Keesokan harinya aku pergi ke Kota untuk membeli perlengkapan mandi, kali ini aku hanya pergi
“piye ngger? Sehat to?” (gimana nak? Sehatkan?) tanya Bapak padaku
“alhamdulillah Pak, mbok nyuwun tulung takoke simbah Pak bab KKN Andika niki, pun boten kuat
Telpon tiba-tiba terputus dengan sendirinya. Ah mungkin signalku yang jelek pikirku. Aku mulai menyulut
“le?” (nak?) suaranya bergetar
“iya,mburi omah sing tok nggoni saiki kuwi ana uwit gedhe ning le negor waton dadi ora nganggo sarat apa-apa. Omah sing tok nggo kuwi yoora ana pagere to? Mula seka kuwi omah iki ya dinggo
“inggih mbah, ngertos” (iya mbak, paham) jawabku
Aku belum menjelaskan rumah yang kutinggali selama KKN dengan bapak, aku hanya menceritakan gangguannya saja. tetapi kenapa simbah bisa mengetahui persis
*AAAARRRRGGGGGHHHHHHHH*
“innalillahi Pakdhe, inggih Andika mantuk Pak” (innalillahi Pakdhe, iya Andika pulang Pak) jawabku
“sing ngati-ati wis surup” (hati-hati ini sudah menjelang magrib)
Aku ijin kepada Malik untuk pulang karena Pakdhe meninggal, aku terpaksa tidak bisa ikut menghadiri undangan Pak Lurah. Aku packing sesegera mungkin dan langsung OTW sendirian. Jalan sudah sangat gelap, aku hanya mengandalkan lampu motor saja.
“Van kowe ki tak tlakson ra ngrungoke!” (Van kamu itu aku tlakson diem aja!) omel Rika dengan
“kowe ra nlakson Rik” (kamu enggak nlakson aku Rik) jawab Rika
Saat Rika memarahi Ivan terlihat mata Rika memerah, Rika marah dan langsung masuk kamar. Terjadilan salah paham antara Rika dan Ivan. Tak berapa lama Rika keluar dari kamar dan
“aku wis ora kuat” (aku udah gakuat) kata Rika dengan lemas dan tak bertenaga, ucapannya sontak membuat teman-teman kaget
“langopo? Kowe ki ora ngono kuwi, awakdhewe wis arep penarikan Rik” (kenapa?
Rika tiba-tiba langsung duduk dibawah dengan posisi bersila, kedua telapak tangannya diatas lutut persis Gupala, suaranya berumah menjadi suara laki-laki. Rika menjerit sangat keras
*RRRRRWAAAAAARRRRRR*
“bocah-bocah iki ora nduwe tata krama!” (anak-anak ini tidak punya tata krama) Suara garang yang keluar dari mulut Rika
“kowe ora perlu ngerti sapa aku. Sing baku bocah kabeh iki ora bakal isa metu seka kene HAHAHA” (kamu tidak perlu tau siapa aku.
Situasi menjadi sangat tidak kondusif, teman-temanku menangis mendengar perkataan itu. Pikiran mereka kala itu, pasti mati di Dhusun ini cepat atau lambat.
Anak KKN malah pada saling tuduh dan saling menyalahkan satu sama lain. Mereka ngebut karena
“aku ra krungu suara tlakson cah” (aku gadenger suara tlakson guys) jelas Ivan seperti orang ketakutan dan sangat panik
“udah dibilangin sama Andika jangan asal asalan kalo disini Van, kuping kau tu!!” tambah Malik
“nek arep yak-yakan i ora ning kene Van,
Ivan memojok disudut ruang meringkukkan badan dan menangis, ia tak tau harus
“uwis cah uwis, udu kabeh salahe Ivan. Saiki ngene, nek awakdhewe ora njaluk ngapura ning Ndabyah, awakdhewe ora bakal isa metu seka kene” (udah guys udah, semua bukan salah Ivan.
“tenan Rik aku orang krungu” (beneran Rik aku enggak denger) jelas Ivan dengan sesenggukan dan berlutut didepan Rika
Perwujudan yang digambarkan Rika mungkin penjaga Ndabyah yang terganggu saat mereka melintas tanpa permisi. Rika mengatakan bahwa yang ikut ke Posko saat sudah melewati Ndabyah banyak
“ssssaya minta maaf mbah, sssaya salah” ucap Ivan. Badannya gemetar, keringatnya mulai membasahi kaos yang dikenakannya
“HAHAHA bocah wingi sore, kowe bakal dadi anakku kabeh HAHAHA” (HAHAHA anak bau kencur,
“kula kaliyan bocah-bocah mriki badhe nyuwun pangapunten. Kula ngaku lepat Mbah, nyuwun pangapunten saestu ampun dipunpendhet bocah-bocah niki mbah” (saya dan anak-anak kesini mau
Pak Bambang melakukan komunikasi batin dengan mbah-mbah yang ada ditubuh Rika itu. Antara 5-10 menit Rika sadar dengan sendirinya. Lalu dia bilang
Mendengar ucapan Rika mereka ber lima dan Pak Bambang berpelukan, memeluk satu sama lain. Menangis bahagia karena sudah terbebas dari makhluk besar yang ada di Ndabyah. Akhirnya malam
Keesokan harinya di Posko 1 tempat Pak Bayan ada acara Jathilan, teman-temanku yang di Posko 2 membantu di Posko 1. Aku kembali ke Dhusun Jebehan kidul sekitar pukul 12 siang, sampai posko
“hesss kelebon. Ndang nek arep mlebu gek mlebu, nek ora lunga wae rasah ning kene” (hesss kemasukan. Kalau mau masuk ya masuk aja, kalau enggak pergi aja daripada disini) ucap Rika sambil menekan tengkuk Asti
“aku wingi diceritani Mas Gepeng, jare pas dee arep nemoni kowe gek kapan kae dee wis tekan
“la ngopo? Merga aku raeneng?” (kenapa? Karena aku gaada?) jawabku
Baru saja aku sampai Posko sudah dikejutkan dengan 2 cerita sangat menakutkan seperti ini. Aku juga punya rasa takut, tapi aku mengacuhkan itu semua.
Semakin hari semakin dekat dengan penarikan KKN, senang tentunya karena penderitaan ini akan segera berakhir. Kami membersihkan kamar, membuang barang-barang yang sudah tidak terpakai.
Sehari sebelum penarikan kita mengadakan perpisahan kecil-kecilan bersama pak Bambang, ya
“Pak, nek Dhusun Jebehan kidul kalih Jebehan lor nika beda to?” )Pak, kalau Dhusun Jebehan kidul sama Jebehan lor itu beda ya?) tanyaku pada Pak Bambang
Malam itu aku aku sadar bahwa kehidupan kita memang benar-benar beriringan dengan dunia lain. Aku KKN selama 45 hari, tiada hari tanpa diganggu. Rika juga pernah bilang padaku, setiap kali aku
Paginya kita sudah siap untuk pulang ke rumah masing-masing. Perasaan sedih,
“Pak, kula maliki kanca-kanca ngaturaken agunging panuwun dhumateng Bapak kaliyan Ibu sampun kersa nampi kula sakanca. Kula ugi nyuwun pangapunten mbok bilih anggen kula sakanca wonten
“Bapak karo Ibu gur isa nyangoni slamet ya le/ndhuk, mugiya isa dadi bocah sing wasis, prigel bab apa wae. Pesene Bapak mung siji, “KUDU EMPAN PAPAN”. Salam dinggo Bapak Ibu
Kami semua saling bersalaman dan berpelukan, mungkin ini menjadi salam perpisahan yang terakhir sebelum kembali kerutinitas kuliah. Bakalan rindu sama teman-teman yang pagi melihat muka
“rasah dipikirke ya apa sing wis dialami awakdhewe ning kene, dieling-eling apike wae” (gausah dipikirkan ya apa yang kita alami disini, diingat yang baij saja) ucapku
(BASED ON TRUE STORY)
-TAMAT-