My Authors
Read all threads
DENDAM
- Sebuah Saksi Pembalasan -

[ Horror(t)hread ]

"Tidak pernah benar-benar berakhir. Kesakitan, Penyiksaan adalah dendam masa lalu yang menyedihkan."

----------

@bacahorror @ceritaht @IDN_Horor

#bacahorror #bacahoror #ceritahoror #ceritahorror #horrorstory
Hallo! Selamat malam, sebelumnya mohon maaf karna cukup lama rehat dan terimakasih untuk aa-aa dan kakak-kakak yang selalu bertanya kapan judul baru saya ceritakan. Akhirnya waktunya tiba, dan “Dendam” saya persembahkan untuk kalian
Kebetulan cerita kali ini Narsum adalah Paman dari teman saya sendiri, setelah pertemuan di awal tahun dengan Narsum dan beberapa pertimbangan akhirnya “Dendam” siap saya bagikan.
Seperti biasa, jika dalam cerita ini ada beberapa pihak yang tersingung saya mohon maaf, karna saya percaya tiap cerita pasti bertemu dengan tuan dan puanya sendiri dan tidak ada maksud saya untuk menyingung dengan sengaja.
Ini adalah cerita masa lalu, “setiap misteri bukan sengaja harus dicari kebenaranya, melainkan selalu ada maksud tertentu dan orang yang merasa terpilih adalah aku. Walaupun setiap pilihan selalu ada pertangungjawabanya”

Bismillahirrahmanirrahim, selamat menikmati.
DENDAM

-Sudut pandang Purnama-

Sebuah Saksi Pembalasan
Aku adalah anak terakhir dari keluarga kecil, aku tinggal di kampung yang jauh dari hiruk pikuk kota. Selsai Sekolah Dasar pada tahun 1998, dimana keadaan negara waktu itu seperti apa yang pernah Bah Sura (kakek) ceritakan, keadaan sedang kacau karna krisis moneter.
Sehingga banyak sekali yang menjadi korban untuk tidak bisa melanjutkan sekolah ke tahap selanjutnya, termasuk aku. Bahkan, keadaan ekonomi keluarga juga sangat-sangat menghawatirkan hanya sekedar untuk bertahan hidup.
Sejak tahun itu selsai sekolah SD, aku ikut berkerja sebagai kuli angkut di salah satu toko sembako yang jaraknya lumayan cukup jauh dari rumah.
itu juga atas kenalan Bah Sura, karna Abah terkenal dikampungku sebagai yang dituakan dan kabar beredar Abah sering menyembuhkan orang sakit, karna hal-hal yang aneh.
Karna memang rumah Abah yang bersebelahan denganku, tidak jarang sesekali bahkan ada tamu yang datang dari jauh sekedar untuk berobat, sementara aku belum dan tidak mengerti hal-hal seperti itu.
Dari tahun 1998 sampai 2004 aku menghabiskan masa bermainku untuk berkerja, karna tidak ada pilihan lain, hanya itu untuk meringankan beban keluarga, dan pada saat itu dua kakaku juga berkerja sebagai kuli bangunan di luar kota.
Berangkat dari rumah menuju toko mengunakan sepeda pemberian Abah tidak membuat aku harus bersedih, karna nasehat dari Ayah dan Ibu juga yang memberitau bahwa keadaan ekonomi keluarga benar-benar sedang sulit. Dan aku benar-benar merasakanya juga.
3 tahun berlalu, seiring berjalannya waktu, aku sudah sangat terbiasa bahkan menikmati sekali pekerjaanku sampai Pak Mamad yang punya toko memberikan aku sepeda motor untuk sekedar dipakai dari rumah menuju tokonya saja.
Karna kerajinan dan kegigihan aku, aku juga mulai diajarkan teman satu kerjaanku untuk belajar mengemudi mobil bak, yang biasanya digunakan untuk belanja dan mengantar pesanan jika jaraknya lumayan jauh.
3 tahun selanjutnya tahun 2004, aku bahkan sudah menjadi supir Toko saja, karna Pak Mamad sangat percaya padaku dan kebaikan beliau memang tidak bisa benar-benar aku lupakan sangat berjasa sekali dalam hidupku.
Lambat laun setelah 6 tahun lebih aku berkerja di toko itu, keadaan keluarga mulai membaik walau dengan waktu yang cukup lama, tapi aku sangat menikmati apa itu perjuangan yang selalu Abah ajarkan padaku.
Tiba pada suatu malam di bulan ke sembilan tahun ini 2004, ketika aku pulang dan sampai dirumah aku melihat rumah tidak biasanya, terlihat ada mang Karta sodara dari Ibu.
Yang aku tau sebelumnya mang Karta kerja sebagai Supir di kota disalah satu majikanya orang kaya, Ibu pernah bercerita padaku ingat sekali.
“asalamualaaikum…” ucapku sambil masuk ke dalam rumah

“walaikumsalam, nah ini Purnama baru pulang Kar, mending obrolkan saja langsung pada anaknya Kar…” ucap Bapak
“alhamdulilah kebetulan sekali saya berarti kang… udah gede sekali sekarang kamu Pur, lama sekali amang tidak ketemu dengan kamu.” Sahut mang Karta sambil tersenyum
Aku melihat ibu juga tersenyum, karna memang dari ukuran fisik aku terbilang di umuran sekarang besar. Maklum mungkin karna pekerjaan tukang angkut barang dari kecil jadi pertumbuhanku terbilang tidak sama dengan anak seumuranku.
“iyah mang udah lama sekali, lagi libur mang pulang kampung?” tanyaku sambil duduk disamping Ibu

“begini Pur, kondisi istri amang yang semakin hari semakin menurun, barusan bahkan amang abis dari Bah Sura. Amang mau tidak mau, harus ada dulu setiap hari di rumah...
...masalahnya kerjaan amang jadi supir di Kota di rumah majikan amang tidak bisa dilepas begitu saja, malah amang yang suruh cari ganti dulu sementara, karna amang udah tahun ke 4 kan sekarang kerja sama majikan amang” ucap mang Karta menjelaskan
“ibu terserah kamu Purnama, kalau kamu mau silahkan ambil, biar nanti urusan Abah kamu bilang sama juragan itu, lagian itung-itung kamu belajar jugakan” sahut Ibu menjelaskan dengan pelan

“tidak apa-apa tidak usah terburu-buru juga Pur, ini amang minta tolong sekali...
...karna Cuma kamu ini yang amang percaya, apalagi dengar langsung dari istri amang langsung, lagian juga masih sodara masa nawarin ke yang lain. Masih ada 2 hari lagi Pur amang tunggu keputusanya.” Ucap mang Karta
Setelah mengobrol masalah pekerjan dengan detail, lebih kepada mengurus 2 mobil di rumah majikan mang Karta dan mengurus kebun bagian delakang saja, sisanya nunggu intruksi saja majikan. Begitu mang Karta menjelaskan.
Selsai obrolan itu mang Karta lanjut pulang, kemudian memang ibu juga menjelaskan sakitnya istri mang Karta yang semakin menurun, mang Karta adalah adik dari Ibu aku sendiri, jadi Ibu tau betul mang Karta orangnya seperti apa.
“tidak ada salahnya Pur kamu coba dulu, lagian bilangnya sementara juga. Kang Mamad majikan kamu di toko pasti mengerti lagian kamu pernah bilang sama Bapak, sesekali pengen nyoba kerja di Kota bukan? Ini kesempatan kalau kamu mau.” Ucap Bapak menjelaskan
“iyah pak, nanti aku obrolkan dulu dengan Abah bagiamana bagusnya, malam ini juga, lagian mendengar istri mang Karta sakit seperti itu kasian, aku juga menghargai sekali tawaran mang Karta percaya padaku pak” jawabku dengan pelan mencoba memahi
Ibu tersenyum mendarkan jawabanku dengan mengusap-usap kepalaku, walaupun aku tidak mengenyam pendidikan tapi aku banyak belajar dari Abah, bagaimana ilmu yang sesungguhnya berasal dari hati yang terlebih dahulu.
Maka dari itu pertimbanganku selanjutnya terserah bagaiamana Abah soal tawaran pekerjaan itu. Selsai makan dan istirahat setelah solat Isya, segera aku berjalan ke rumah Abah, rumah Abah hanya disebelah rumahku jadi hanya tinggal melangkah saja.
Abah dengan segala kebiasanya yang tidak berubah, di jam-jam seperti ini, pasti menghabiskan waktu sekedar membaca buku-buku lawasnya yang entah sudah berapa kali Abah tamatkan bacaanya itu
Terlihat sambil menghabiskan beberapa batang rokok, memang terlihat betapa kesepianya seorang lelaki tua yang sudah 5 tahun ditinggal Nenek, karna menghadap panggilan illahi terlebih dahulu
“Bah...” ucapku sambil duduk disamping abah

“eh Pur, lupa abah kapan ketemu kang Mamad itu majikan kamu katanya makasih bgt kamu kerjanya bisa diandalkan terus, begitu” ucap Abah masih fokus matanya pada buku yang Abah penggang
“oiyah Bah, alhamdulilah... Bah barusan mang Karta adiknya Ibu ke rumah, nawarin kerja di majikanya yang di kota, karna istrinya sakit dia sementara mau tinggal dulu di kampung, gimana yah bah kalau kata Abah?” tanyaku perlahan
Abah langsung menatapku, sambil melepaskan kaca mata yang prame sebelahnya sudah tidak ada itu

“udah ngobrol langsung kamu? Sebelumnya siang barusan Karta sama Istrinya kesini ke Abah datang, tapikan Abah bukan dokter Pur...
...Abah cuman tau ramuan-ramuan dari herbal saja yang sudah lama abah pelajari dan meminta pada gusti Allah aja untuk kesembuhannya.” Ucap Abah menjelaskan dengan tenang
Rokok ditangan Abah hampir abis, lalu Abah meminun sedikit kopinya dengan tenang sekali, menatap ke arahku, Aku tau tatapan ini bukan sekali saja karna ini adalah kasih yang Abah berikan untuk cucu yang bisa terbilang paling dekat dengan Abah
“Ambil tawaran itu, tanpa kamu tau jawaban dari Abah apa, hati kamu bukan orang yang bisa menolak untuk membantu orang lain, apalagi ini sodara kita sendirikan Pur...
...Abah juga tau kamu perlu pengalaman baru, urusan ke kang Mamad itu urusan Abah, nanti Abah yang Izin.” Ucap Abah sambil menepuk pundakku

“Bah tapi inikan beda Purnama akan datang ke kota yang dari kampung ini saja pasti lebih dari 3 jam menuju ke kerjaan kang Karta itu...
...Purnama masih takut Bah..” jawabku dengan seadanya karna memang masih ada perasaan takut entah dari mana tiba-tiba saja datangnya perasaan itu

“ketakutan itu wajar Pur, kamu pertama kali akan pergi meninggalkan kampung, Bapak, Ibu dan Abah...
...dua kakak kamu sebelumnya juga begitu waktu awal-awal pergi kerja keluar kota. Keberanian yang sesungguhnya datang dari rasa takut yang harus dikalahkan Pur...” ucap Abah dengan tegas
Aku tau, Abah pasti sudah tau keinginanku apalagi tentang bosan pernah aku bicarakan sebelumnya pada Abah tentang kerjaan yang sekarang. Aku masih melamun binggung. Kadang begitu manusia meminta saran setelah mendapatkan jawaban masih saja bingung, ucapku dalam hati
“Jujur dan bertanggungjawab pesan Abah hanya itu, biarin Bapak dan Ibu kamu masih ada Abah yang jaga.” Ucap Abah

“kebalik harusnya Ibu, Bapak dan Aku yang jagain Abah hehe” jawabku sambil becanda
Setelah obrolan malam itu, aku tidur di sofa rumah Abah, menemani Abah membaca dan sesekali menanggapi apa yang Abah bicarakan padaku, karna memang sering sekali aku tidur di rumah Abah ini.
Dan sudah tidak ada obrolan lagi tentang penawaran pekerjaan dari mang Karta itu, lagian benar kata Abah, aku harus mencobanya, apalagi ini hanya sementara, pikirku.
“Bah apa besok saja aku temui mang Karta yah, kasian kalau dia nunggu-nunggu keputusan dari aku?” ucapku

“yaudah besok kamu berangkat ke toko kang Mamad abah ikut sekalian, memang disuruh mampir ke tokonya juga” jawab Abah sambil berjalan menuju kamar tidurnya
Karna malam semakin larut, waktu istirahat juga telah tiba jauh dipikirkan aku bukan tentang nantinya aku akan dapat manjikan baru, menjadi supir yang tidak tau jalan dll atau apapun itu
Lebih kepada rasa tidak enak kepada majikan aku sekarang 6 tahun bukan waktu yang sebentar dari mulai aku masih kecil sampai sekarang kang Mamad sangat berjasa, dan besok dengan mendadak aku akan pamit.
Masih belum terbanyangkan, walaupun aku tau majjkanku pasti akan mengerti, apalagi Abah yang Izin langsungnya dan bakalan dijelaskan juga oleh Abah alasanya juga keadaannya seperti apa.

***
Pagi sebelum aku berangkat kerja ke toko ternyata mang Karta kebetulan sedang ngobrol dengan Bapak, langsung saja aku iyahkan penawaran nya itu dan terlihat mang Karta lega mendengar perkataan aku itu
Dan aku berjanji sehabis pulang kerja akan berkunjung ke rumah mang Karta sekalian menjenguk bi Enah istri mang Karta, karna memang sudah lama tidak melihat bi Enah main ke rumah
Abah dan aku segera berangkat menuju toko, disepanjang perjalanan Abah bercerita kagumnya padaku, dulu jalan inilah yang memang aku lalui hanya mengunakan sepeda saja, sementara sekarang sudah mengunakan motor.
Sampai di toko pagi sekali, aku langsung berkerja seperti biasanya sebelum aku mengantarkan ke beberapa alamat mengunakan mobil bak yang sudah tidak muda lagi ini,
Abah langsung berjalan menuju rumah kang Mamad majikanku yg kebetulan rumahnya dibelakang, jdi tidak terlalu jauh
Sedang asyik-asyiknya memuat barang tiba-tiba kang Mamad memanggil aku, aku melihat Abah juga ada disamping kang Mamad

“Purnama, Abah sudah ceritakan semuanya, memang sulit sebenarnya saya harus mencari lagi orang seperti kamu, bagaimanapun ada orang yang lebih membutuhkan...
...apalagi itu sodara kamu sendiri, selsai dari kota sana kalau kamu mau kerja disni lagi, selalu terbuka untuk kamu. Lagian sudah seperti anak saya sendiri Purnama ini Bah...” ucap kang Mamad

“terimakasih pak, aku mengikuti saja gimana bagusnya kata Bapak...” ucapku pelan
“yasudah kamu selsaikan pekerjaan hari ini, biarkan abah saya yang mengantar pulang, sekalian silaturahmi sama Ibu dan Bapak kamu yah, sekalian juga masih banyak yang perlu diobrolkan dengan Abah” Jawab kang Mamad
Segera aku melanjutkan pekerjaanku, lega rasanya mendengar apa yang sebelumnya memang aku juga sudah mengira majikanku sangatlah baik sekali, langsung aku menyelsaikan hari ini sebaik mungkin. Bukan tanda sebagai perpisahan karna memang ini adalah pekerjaanku.
Siang dan sore hari ini berakhir dengan cepat, bahkan beberapa teman kerjaku tidak ada yang tau tentang ini adalah hari terakhir disini, sampai pada aku mau pamit pulang seperti biasanya aku lakukan.
“Pur, ini bawa ada sedikit bingkisan buat keluarga di rumah, dan ini ada sedikit bekal termasuk gajih kamu bulan ini juga” ucap kang Mamad

Segera aku terima dengan senyum yang sebenarnya aku ingin menangis dalam hati, mau bagaimanapun tempat inilah dan keluarga
kang Mamad yang membuat keluargaku dan aku terus membaik, isi dalam amplop tidak aku lihat sama sekali, tidak sopan saja, pikirku.

“terimakasih banyak Pak, nanti juga aku bakalan kesini lagi, kalau urusan kang Karta sudah selsai, mudah-mudahan istrinya cepat sembuh” ucapku
“iyah Bapak sudah tau cerita semuanya, bahkan tadi pagi juga udah ngobrol langsung sama Karta dan melihat langsung kondisi bi Enah, memang kasian sih Pur. Bapak senang kamu bisa diandalkan, kamu orang yang tepat. Bapak pesan satu saja, yang jujur yah Pur disana…” ucap kang Mamad
“baik Pak, Purnama akan selalu ingat pesan bapak, terimakasih pak sekali lagi” jawabku

“itu motor bawa saja dulu biar besok atau lusa bapak suruh orang untuk ambilnya, lumayan buat dipakai sama yang lain yah.” Ucap kang Mamad
Di perjalanan pulang, jujur baru kali ini aku mulai merasakan apa itu perpisahan. Hanya tentang kenangan-kenangan kebaikan saja yang aku ingat, lamanya waktu dan setiap perkembangan dalam hidupnya hampir setengahnya tumbuh dan berawal dari ini dan disini.
Tapi bagaimana, ada sodara yang benar-benar membutuhkan aku sekarang, walau secara nurani sulit untuk anak kampung seperti aku harus ke kota, tapi ini juga sebagian dari keinginanku yang teraminkan begitu saja oleh keadaan.
Sampai di rumah sore ini, aku langsung kasih bingkisan dari kang Mamad kepada Ibu, Ibu terlihat senang sekali, apalagi aku cerita aku punya bekal untuk awal-awal betahan nantinya disana sebagai tabunganku.
Kagetnya, ketika aku buka amplop dari kang Mamad nominal yg kang Mamad berikan 3x lipat dari gajihku biasanya, aku kasih setengahnya kepada Ibu untuk bekal disini, karna Bapak kerjanya bila mana padi mulai panen, baru memiliki keuntungan, itu juga padi dari sawah orang lain.
“Pur, terimakasih, semoga rezeki kamu disana tetap lancar dan Ibu do’akan selalu kebaikan selalu bersama kamu yah” ucap Ibu sambil meneteskan air mata

“iyah Bu doakan yah…” jawabku
Sebelum tidur malam ini, aku siapkan baju-baju dan segalanya yang perlu aku bawa, karna kata mang Karta barusan ke rumah sore dimana sebelum aku pulang, disuruh istirahat saja, diluar dugaan besok pagi aku harus berangkat langsung ke kota.

***
Pagi yang tidak biasanya aku tunggu datang lebih cepat, sinar cahayanya adalah semangat baru untuk sesuatu yang nantinya juga semuanya baru, kalau kata Abah aku “tantangan terbesar mengalahkan rasa takutmu, biar keberanian itu benar-benar aku dapatkan dan aku rasakan”
Mang Karta pagi buta sekali ternyata sudah ada didepan rumahku, setelah mendapatkan nasihat dari Ibu dan juga bapak, hanya tentang “jujur” yang selalu mereka ucapkan.
Segera aku pamit begitu juga kepada Abah, Abah hanya menepuk pundaku dan tersenyum. Ini tidak biasanya abah menunjukan hal yang seperti barusan, pikirku.
Setelah dua ojeg yang kebetulan masih temang mang Karta tiba, segera aku dan mang Karta pergi dengan ojeg yang berbeda, saling mengikuti.

Perlahan aku meninggalkan rumah dan kampung halaman, tapi aku pasti tau bagaiamana caranya nanti untuk kembali,
kembali membawa sebuah pengalaman baru yang jauh dari keegoisan diriku memang sangat membutuhkanya.

Turun dari Ojeg setelah melewati tiga kampung halaman, karna memang rumahku adalah paling ujung lumayan cukup lama dengan jalan yang sangat jauh dari kata bagus,
akhirnya sampai dimana jalan utama, untuk segera menaiki angkutan umum.

Aku cukup hapal jalanan sampai sini saja, karna bekas pekerjaan aku yang sebelumnya mengantarkan sembako-sembako ke warung-warung, mang Karta masih belum berbicara apapun,
hanya saja aku melihat seperti ada beban, terlihat dari caranya mengisap rokok yang sangat-sangat tidak tenang sama sekali.
Setelah perjalanan memakai angkutan umum sekitar 45 menit lebih, akhirnya aku dan mang Karta sudah ada didalam Bus, untuk menuju ke kota K dimana kata mang Karta kota itulah pusat industri berada.
“Dari awal obrolan amang belum cerita apapun mang, mengenai pekerjaan disana?” tanyaku tiba-tiba begitu saja ketika sudah duduk didalam bus

“iyah Pur, nanti saja amang jelaskan semuanya di rumah majikan saja sambil amang kasih tau semuanya yah.” Ucap mang Karta
Tapi kenapa raut dan wajahnya seperti menyimpan sesuatu, berbeda sekali dari biasanya. Tidak seperti barusan ketika di angkutan umum, banyak cerita soal lokasi rumah dan kota industri itu.
“oiyah baik mang...” jawabku memahami mungkin biar sekalian
Mang Karta terlihat sangat lelah, dan perlahan memejamkan matanya sambil bersandar di kursi penumpang.
Disepanjang perjalanan aku banyak melihat sesuatu yang baru, orang-orang baru yang satu bus denganku, tapi perasaan tidak enak ada sedikit dalam hati, namun entah apa dan kenapa tidak bisa aku pahami sama sekali
Hanya melihat ke bagian sebelah kaca bus, satu persatu pemandang berubah “bismillah saja ini pengalaman baru” ucapku dalam hati, untuk menguatkan dan melawan rasa yang aneh itu saja
Hampir 3 jam dan sekarang jam 10 pagi, aku dan mang Karta baru saja turun dari bus, mang Karta belum sama sekali membicarakan apapun, aku mengikuti langkah mang Karta dan langsung menaiki angkutan umum lagi.
“mang ini kotanya...?” tanyaku

“iyah Pur, maaf amang di jalan barusan benar-benar lelah kurang istirahat, ini kota nya Pur kamu hapalkan saja angkutan ini sama Bus jurusan tadi lagian gampangkan yah” jawab mang Karta
“iyah mang sudah hapal aku, oiyah masih jauh mang dari sini?” tanyaku

Segera angkutan umum yang aku dan mang Karta tumpangi berjalan dengan pelan, sambil menaikan penumpang lainya juga.

“20 menitan paling Pur kalau pagi begini biasanya suka macet” jawab mang Karta singkat
Aku terpesona dengan orang-orang disini yang begitu sibuk dengan dirinya sendiri, berbalik sekali dengan dikampung “bertegur sapa” adalah kebiasaan dan disini tidak, maklum tidak semuanya mengenal, pikirku
“disini adaptasi dengan kebiasaan di kota harus cepet Pur, semua punya kesibukan masing-masing jadi bakalan acuh semuanya hehe” bisik mang Karta

“iyah mang suasana baru buatku, mudah-mudahan aku bisa mang dan cepat terbiasa” jawabku
Tidak lama angkut berhenti, setelah mang Karta bilang “kiri”

“ayo turun Pur...” ucap mang Karta
Langsung aku kembali mengikuti langkah mang Karta dan mang Karta
membayar ongkos angkutan umum itu.

“nah ini dia perumahanya Pur...” ucap mang Karta sambil berjalan
“ini gerbangnya mang?” tanyaku terkesima melihat besar sekali, atau mungkin baru pertama saja

“iyah, ayo jalan kaki lumayan ke dalam bahkan paling ujung rumah tempat amang kerja” sahut mang Karta
Semakin berjalan mendekat ke arah pos Security, lalu mang Karta menegur pak Anton dan pak Rudi sekalian memperkenalkan aku selanjutnya aku yang menjadi supir mengantikan mang Karta
Setelah basa-basi sebentar aku dan mang Karta siang dan terik matahari yang semakin panas, berjalan melewati beberapa rumah di perumahan ini.
Rumahnya besar-besar, mewah saling berdekatan, bahkan aku tidak mengerti kenapa orang-orang harus buat rumah sebesar ini, ucapku dalam hati.
“nah di ujung sana Pur, rumah majikan amang setelah lapangan buat olahraga itu” ucap mang Karta sambil jalan

“yang warna putih tua itu mang?” tanyaku

“benar, ayo sebentar lagi, maaf yah kalau cape Pur” ucap mang Karta
Tidak lama setelah jalan sekitar 20 menitan sampai di depan rumah majikan mang Karta, sama besarnya dengan rumah-rumah yang barusan aku lewati, 2 lantai dan gerbangnya besar sekali hampir tiga meter lebih, mungkin.
Aku masih terkesima, melihat kanan dan ke kiri diluar gerbang saja besar sekali, pasti isi rumahnya banyak orang.

Mang Karta langsung memencet bel yang sudah tertempel disamping pagar, beberapa kali, tidak lama ada suara orang yang membuka gerbang
terlihat tidak muda lagi hampir seumuran dengan Ibuku di rumah.

“eh kirain siapa, tumben Kar hari ini kirain mau besok, gimana kondisi istri kamu di kampung ayo masuk...”
“alhamdulillah gitu-gitu aja Nah, doanya yah. Ini yang pernah aku ceritakan yang akan mengantikan aku disini sementara itu, namanya Purnama” ucap mang Karta sambil memperkenalkan aku
Segera aku bersalaman dengan bi Inah, bi Inah ternyata Asisten Rumah Tangga di rumah ini bareng dengan mang Karta sebelumnya, bi Inah bahkan sudah hampir 8 th tinggal di rumah ini begitu bi Inah memperkenal diri padaku.
Aku di buat sangat terkejut dengan bagunan rumah ini, masih seperti rumah belanda modern pada jaman sekarang, bagunannya sangat rapih dan mempersona, aku langsung masuk tidak melewati pintu utama, karna begitu mewah dan megah
Bi Inah dan Mang Karta juga aku masuk melewati pintu garasi, dan sudah ada 3 mobil yang masih tertutup oleh sarungnya itu, “mobil-mobil yang nantinya akan aku rawat mungkin ini” ucapku dalam hati
Setelah melewati gerbang langsung saja aku masuk ke dalam halaman dapur dan banyak sekali bunga-bunga indah disni dan yang bikin takjubnya lagi ada pohon yang tidak terlalu besar di halaman dapur.
“pantas saja siang hari yang begitu panas disini sangat nyaman, karna bagian atap yang sengaja dibuka mungkin yah mang” tanyaku sambil duduk di belakang dapur menunggu bi Inah membawakan minum
“iyah Pur, disini biasanya amang kalau malam merokok sambil ngopi sebelum tidur, nanti kamar itu yang akan kamu gunakan, kamar bekas amang” sambil menunjuk kamar yang disebelahnya ada mushola
Tidak lama bi Inah datang membawakan minuman dingin yang sangat segar sekali

“kemarin Ibu nanyain kamu, katanya tiga hari lagi, engga tau bapak duluan yang datang kesini pulang atau ibu, sudah pengen ada yang jemput di rumah sodaranya...
...bibi bilang saja besok juga datang, untung hari ini kamu sudah kesini sama Purnama ini” ucap bi Inah sambil duduk

“nanti Purnama saja yang jemput, Pur bi Inah ini selama kamu disini anggap saja adalah ibu kamu yah...
...kerja disini Purnama hanya pagi setelah mengurus bunga punya Ibu, panasin mobil, tinggal tunggu nanti perintah Ibu saja yah, karna bapak biasanya suka diantar jemput supir perusahaanya, sesekali kalau ada tamu dll buka tutup gerbang juga.” Ucap mang Karta menjelaskan
Dan buatku tidak sulit, itu pekerjaan yang biasa aku kerjakan di kampung, lagian sudah lama juga tidak mengurusi bunga, terakhir waktu kecil sekali, sebelum nenek meninggal.
“di rumah ini hanya bapak dan Ibu saja mang?” tanyaku karna penasaran rumah sebesar ini hanya untuk berdua saja

Tiba-tiba bi Inah terkejut dengan pertanyaan aku, entah kenapa tatapanya langsung mengarah ke arah mang Karta, aku merasa bersalah dengan apa yang aku tanyakan.
“makanya dari kampung amang belum bisa jelaskan, biar disni aja langsung dengan bi Inah yah lebih enakkan, tidak apa-apa bi, jelaskan saja semuanya, Purnama sudah cukup dewasa dan aku sangat percaya pada dia.” Ucap mang Karta dengan sangat santai
Aku merasa tidak ada yang aneh dengan pertanyaanku, kenapa mang Karta dan bi Inah jadi sedikit canggung seperti ada yang tidak enak untuk dijelaskan
“kirain aku kamu udah bilang sama kamu Purnama, jadi begini Pur, ruangan kita hanya disni saja, dapur, dan garasi juga halaman depan, selebihnya jangan masuk ke dalam yah, rumah ini 2 lantai, lantai bawah ada 4 kamar dan lantai atas ada 3 kamar...
...karna bibi percaya kamu dari cerita mamang Kamu, kamu orangnya seperti apa, silahkan saja kalau mau lihat atau sesekali masuk ke dalam, tapi saran bibi janganlah yah.” Ucap bi Inah menjelaskan dengan perlahan
“baik bi aku mengikuti saja bagaiamana bagusnya menurut bibi dan amang aku ini, lagian tujuan aku disini untuk berkerja jadi aku tau pasti ada aturan yg harus aku ikuti bi, sebelumnya juga aku berkerja di orang lain seperti itu, jadi bibi tenang aku bisa di atur bi hehe” ucapku
Mang karta hanya tersenyum mendengarkan apa yang aku bicarakan pada bi Inah

“alhamdulillah, bibi jadi tenang. Dan satu lagi ini yang lebih penting dari aturan pertama tadi, di atas ada Nek Raras yang sedang sakit, ibunya dari Ibu Sekar yaitu majikan perempuan...
...hanya bibi saja yang biasa mengantarkan obat dan makan di jam-jam terntentu, sisanya tidak diperbolehan oleh Ibu dan Bapak hanya sekedar menemani sajapun, Purnama tidak perlu bertanya kenapa...
...karna bibi hampir 8 tahun disni juga tiap bertanya pasti Ibu selalu langsung beranjank pergi dan bibi sudah tidak mau lagi bertanya soal itu” ucap Bibi menjelaskan, dengan perlahan agar mungkin aku memahami dengan benar-benar
Mang Karta hanya tertunduk, entah kenapa mendengar penjelasan dari bi Inah kepadaku mang Karta jadi berbeda, seketika wajahnya kembali terangkat dengan pelan dan berlinang di matanya terlihat dengan jelas, sambil mukanya memerah.
Aku sama sekali tidak berani bertanya kepadanya, karna ini baru pertama kali juga aku melihatnya, terlalu sensitif.
"baik bi aku paham dan mengerti, aku akan mengikuti bagaiaman baiknya saja lagian akukan disini mengangtikan mang Karta saja, sementara dengan harapan istri mang Karta cepat membaik dan keadaanya juga sama” ucapku dengan pelan
“sudah Kar, ini semua diluar nalar kita sudah...” ucap bi Inah sambil bergeser mengusap pundak mang Karta
Bahkan aku tidak mengerti hal apa yang membuat mang Karta menjadi seperti itu
apalagi dengan ucapan bi Inah sebelumnya “Diluar nalar” maksudnya apa, dan aku tidak berani lagi bertanya hal apapun setelah bi Inah menjelaskan semuanya barusan itu.
“huhh... sudah bi aku mau jelasin semua mobil kepada Purnama dan pekerjaannya apa saja, dan suruh dia mecoba semua mobilnya dulu biar tidak terlalu kaget nantinya yah” ucap mang Karta mengalihkan apa yang diucapkan bi Inah
Aku tidak bisa menebak bahkan bertanya apapun pada mang Karta, jadi lebih tidak enak, karna mungkin itu hal yang berat bagi mang Karta.
Karna bagiku batasan-batasan dalam kehidupan mempunyai prisnsip masing-masing tidak semua orang akan menjawab semua pertanyaan yang ingin kita ketahui.
Langsung mang Karta sebelum kembali ke garasi, mengambil dan menjelaskan tempat penyimpanan kunci mobil dan bagian mana saja kalau malam harus dipastikan sudah dikunci, walau keamanan di komplek ini sangat terjaga tapi berhati-hati tetap harus dilakukan, ucap mang Karta
Tidak begitu lama aku sudah paham, karna memang awalnya disiplin yang diajarkan Abah Karta sejak aku pertama kerja di kang Mamad juragan sembako sudah menjadi bekal utama, untuk kerja disini.
Mang karta dan aku lalu memanaskan semua mesin di mobil, mang karta menjelaskan perbedaan mesin europa dan jepang karna ada satu mobil yang sangat mewah yang dibuat oleh pabrikan Germany itu, yang kata mang Karta hanya sesekali saja dipakai.
Karna dengan mobil aku sudah tahun ke 3 tidak lama juga untuk aku paham dari apa yang sudah mang Karta jelaskan semuanya mudah dimengerti, hampir 20 menitan ada didalam garasi. Mang karna membuka gerbang dan mengeluarkan satu mobil yang biasa dipakai untuk keperluan ibu.
Langsung saja aku dan mang Karta mencobanya, langsung juga aku yang menyetir, dan hanya butuh 10 menit lebih 1 kali keliling perumahan aku sudah terbiasa, apalagi mobil ini jauh lebih nyaman dibanding mobil yang biasanya aku gunakan di kampung.
Hari semakin sore berganti, setelah selasai solat asar dan mencoba parkir dll tentang mesin mobil dll nya juga, aku segera ditunjukan kamar mang Karta sebelumnya, yang sudah rapih sekali.
“Bi aku malam ini juga harus pulang ke kampung lagi, tidak apa-apa Purnama cepat menegerti soal mobil dan jalur disni nanti kalau mau jemput Ibu bibi kasih tau saja patokanya biar dia pasti cari sendiri dan kasih tau juga salam dari aku buat Ibu” ucap mang Karta
“hah... amang tidak istirahat dulu mang, pikir aku mau menginap dulu satu malam disini.” Sahutku kaget

“tidak apa-apa Purnama, ada bibi ini tenang kamu juga bakalan bibi anggap seperti anak bibi sendiri yah Kar” jawab bi Inah
Karna waktu adzan magrib akan segera berkumandang setelah solat berjamaah dengan mang Karta, mang Karta lalu izin pamit kepada bi Inah dan menyuruh aku untuk ikut mengantarkan kedepan gerbang. Karna bi Inah langsung memasak untuk makan Mak Raras.
“ini nomor telpon mang Dadang, tetangga amang itu, kamu pasti tau amang juga sudah bilang mau dikasih untuk kamu, biar kalau ada apa-apa kamu bisa pinjam telpon...
...yang didapur dan langsung mengabari ke mang Dadang yah” ucap mang Karta sambil memberikan nomor yang sudah tertulis di kertas kecil yang aku langsung simpan didompet
“mang Nek Sekar itu sudah lama sakitnya maaf aku nanya ini karna bukan penasaran sekdar pengen tau aja” tanyaku dengan terpaksa

“lama sekali Pur, kata bi Inah jauh sebelum bi Inah pertama kali kerja disni Nek Sekar sudah sakit seperti itu, hanya terbaring di kamarnya saja...
...nanti setiap hari Rabu dan Minggu pasti ada Dokter yang datang kesini, kamu jangan tanyakan apapun sudah cukup tau saja yah Pur...” jawab mang Karta menjelaskan kepadaku
Malam semakin cepat datang dan berganti, cuaca yg sangat gerah di kota K ini wajar sekali krn memang kota industri berada disni pabrik-pabrik besar juga apalagi. Ucapan “terimakasih” dari mang Karta mengawali perpisahan malam ini, dan pengalaman baru dimulai disini, ditempat baru
Segera aku kembali mengunci gerbang seperti apa yang mang Karta katakan, setelah berbalik kenapa ada perasaan yang terlintas yang tidak enak ketika melihat suasana rumah rumah ini. Yang otomatis membuat aku melamun sesaat.
“pur...” teriak bi Inah dari arah garasi

“iyah Bi...” segera aku berjalan cepat mendekat pada bi Inah

“malah melamun kamu, bibi lupa bilang kalau sudah jam 8 malam nanti, hidupkan air mancur yang didepan yah, sebentar lagi hidupkan...
...Tombol nya ada didinding nenmpel sudah ada tulisanya, sama lampunya juga” Ucap Bi Inah

“air mancur yang mana Bi?” tanyaku, karna memang aku tidak melihat air mancur di halaman depan rumah ini
“itu Pur, di samping bangunan ini kamu jalan kedepan, tar kesamping itu ada kolam ikan air mancurnya suka dihidupkan pas jam 8 saja” jawab bi Inah

Setelah itu aku langsung berjalan ke arah dimana bi Inah sudah menjelaskan barusan,
karna memang melihat jam d garasi tinggal 5 menit lagi menuju jam 8, dan bi Inah bilang akan mengantarkan makan untuk Nek Raras.

Berjalan sambil masih belum percaya dengan bentuk bagunan yang megah seperti mempertahankan bagunan jaman belanda bagian depan rumah ini
memang sangat dan benar-benar mewah. Benar saja ada bagian yang masih belum aku ketahui, ternyata iyah ada kolam ikan dengan lumayan luas dengan air mancur yang lumayan tinggi juga ternyata.

Benar saja sudah ada dua tombol yang sebelumnya bi Inah bilang,
satu tombol air dan satunya tombol untuk lampu, karna pikirku, sudah tepat jam 8 aku nyalakan saja, benar-benar indah suara gemericik air dengan lampu yang berwarna kuning tua, apalgi ikan-ikan berwarna itu semakin keliatan.
“pasti di kursi-kursi itu tempat Bapak dan Ibu menghabiskan banyak waktu, bakalan tenang sekali, dasar niat sekali hanya untuk membuat kolam seperti ini juga.” Ucapku dalam hati
Tiba-tiba jendela paling depan rumah di lantai 2 terbuka, lumayan membuat aku kaget, aku melihatnya sama seperti tidak ada orang, tapi aku abaikan
“mana mungkin tidak ada orang, palingan juga itu kamar Nek Raras, sambil makan malam memang enak pasti melihat dari lantai 2” pikirku dan segera meninggalkan tempat ini.
Berjalan membelakangi air mancur kolam itu, entah kenapa tiba-tiba bulu pundaku berdiri begitu saja, bahkan seperti ada yang memperhatikan dari belakang, segera aku berbalik dengan depat memutarkan badan
“jadi gak enak gini, perasaan tadi nyaman sekali disana, dan ketika aku melihat ke arah enam kursi di ujung dekat dinding air mancur itu menjadi seperti menakutkan sekali.
Padahal suara dan warna dari air mancur itu masih saja sama tidak ada yang berbeda sama sekali, beberapa detik memperhatikan dengan teliti tiba-tiba “kok jadi dingin sekali ditempat ini” ucapku dalam hati.
Segera aku berjalan cepat menuju depan halaman rumah ini lagi, karna benar-benar semakin bulu pundaku berdiri begitu saja, tanpa sebab. Masuk kedalam garasi melihat jam sudah hampir 15 menit barusan aku disana padahal rasanya sangat cepat sekali.
Aku langsung solat Isya yang sudah sangat tertinggal lama dari waktunya, selsai rokaat aku masih duduk dimushola, terdengar suara didapur, pikirku cepat juga bi Inah memberi makan Nek Raras.
Segera aku bangun menuju dapur, dan tidak ada siapa-siapa sama sekali! aku masih mematung teridam seolah tidak percaya dengan apa yang aku lihat.
aku masih mematung teridam seolah tidak percaya dengan apa yang aku lihat.

Tidak lama bi Inah keluar dari pintu yang terhubung antara dapur dan rumah utama.

“baru selsai bibi pur...” ucap bi Inah, sambil langsung menuju tempat cuci piring
Baru selsai, barusan yg berisik disini siapa? Tanyaku dalam hati

“oiyah bi, lumayan lama yah Nek Raras makanya.” Ucapku dengan spontan

Tiba-tiba bi Inah menatap padaku dengan tajam, seperti ingin marah, bahkan aku juga dibuat kaget dengan sikap bi Inah yg jadi seperti itu
“Karta belum cerita padamu!?” ucap bi Inah dengan nada tinggi

“hah maksudnya bi? Maafkan kalau aku salah bicara aku tidak paham maksudnya barusan hanya bertanya saja, lagian aku pikir Nek Raras makan malam barusan sambil melihat ke arah kolam...
...yang aku nyalakan air dan lampunya, karna jendela paling awal itu terbuka, itu kamar Nek Raras bi?” ucapku perlahan dengan penuh rasa bersalah

“Nek Raras sudah tidak bisa bangun, dia hanya berbaring Pur... sensitif sekali membahas Nek Raras tidak baik...
...tapi karna kamu belum tau dan yakin Karta belum cerita sama sekali, Nek Raras sakit... sejak bibi kesini bibilah orang pertama yang mengurusnya sampai sekarang, jendela terbuka itu adalah bagian dari kebiasaan dan Ibu yang suruh...
...bahkan bibi juga tidak tau apa maksudnya, sama seperti hal-hal lainya Ibu tidak pernah cerita, ibu selalu bilang; tugasmu disini adalah kerja bukan bertanya saya tidak membayar kamu untuk bertanya...
...setelah itu bibi sudah tidak berani lagi untuk bertanya apapun selain menuruti saja apa kata Ibu, jangan sampai kamu bertanya masalah yang membuat kamu penasaran Pur pada Ibu, bibi kasih tau saja dari awal” jawab Bi Inah sambil duduk
Aku hanya menganguk, bukan berarti paham. Malah dengan cerita seperti itu membuat aku semakin penasaran, pikiranku berkata seperti itu. Tapi hatiku berkata lain,
mungkin iyah setiap orang memiliki aturan-aturan yang perlu aku ikuti, karna aku sadar aku disini benar apa yang dikatakan ibu pada bi Inah; tugasmu disni adalah kerja bukan bertanya.
“bibi tau ini hal yg aneh buat kamu, anak seusia kamu sama dengan anak bibi di kampung bedanya dua tahun dengan kamu, rasa penasaran pada hal-hal yang blm tentu itu malah menjadi sangat dan lebih penasran lagi, jadi bibi maklum, tapi tetap dengarkan saran bibi yah” jawab bi Inah
Lagi-lagi aku setuju dengan pengertian yang diberikan Bi Inah kepadaku, dan aku juga harus paham dengan keadaan dimana tempat baru ini
kalau kata Abah Sura “yang penting saja kamu pikirkan yang lainya tidak perlu, biar tidak ikut campur urusan orang, tidak semua orang suka dicampuri urusanya.”
Segera aku pamit pada bi Inah untuk istirahat duluan dan bi Inah juga mengerti apalagi katanya kamu sudah pasti lelah bekas perjalanan menuju kesini.
“apa keanehan barusan benar kata bi Inah aku yang terlalu kecapean” ucapku dalam hati tapi disisi lain aku masih percaya dengan apa yang sebelumnya aku alami
Aku sudah ada di kamar bekas mang Karta sebelumnya, jauh lebih nyaman dari pada kamarku di kampung, pasti malam ini aku akan tidur dengan nyenyak untuk beristirahat, baru saja aku memejamkan mata.
“Pur... sudah tidur belum” ucap bi Inah
“baru saja mau bi, tunggu sebentar...” ucapku sambil membuka pintu kamar

“ini alamat besok untuk kamu jemput ibu jam 10 pagi yah, barusan ibu tlp dan bibi sudah kasih tau Purnama yang akan jemput...
...ibu mengiyahkan katanya sekalian pengen ngobrol juga dengan kamu Pur...” ucap bi Inah, sambil kelihatan heran

“kenapa bi? Sepertinya bibi kebingungan, bi Ibu orangnya seperti apa aku takut salah bicara bi, seperti barusan aku pada bibi” tanyaku
“makanya bibi heran, ketika Ibu tanya Purnama umuran berapa sodaranya Karta itu, karna Karta pernah cerita harusnya kalau kamu sekolah baru lulus SMA bibi ceritakan saja apa yang bibi tau, benarkan?” tanya Bi Inah
“benar bi, masa iyah mang Karta berbohong bi, lalu bi?” tanyaku

“lalu ibu dan baru pertama kali dengan nada baik bilang; bilang sama Purnama Ibu besok pengen sekalian ngobrol, 8 tahun yang lalu bibi ingat nada baik seperti itu yang pernah bibi dengar Pur, makanya bibi heran...
...Ibu dengan orang yang sangat dingin tiba-tiba antusias sekali, tapi ada bagusnya, saran bibi jangan tanya hal apapun apalagi ke hal-hal yang pribadi yah Pur.” Ucap bi Inah
Aku merasa tenang dengan mendengar Ibu seperti itu, apalagi seperti yang bi Inah bilang 8 tahun yang lalu, bi Inah mendengar suara ibu baik walau aku tidak mengerti suara baik itu seperti apa,
lagian memang benar-benar ada orang bisa sedingin itu, mungkin ada hanya aku saja yang hidupnya di kampung jadi tidak berkenalan dan mengetahui banyak orang
Bi Inah kemudian setelah obrolan dadakan itu pergi kembali, mungkin sama dengaku istirahat, setelah membaca alamatnya, dan sudah ada patokanya aku gampang sekali besok untuk menjemput Ibu, tinggal bertanya saja.
Malam pertama setelah mengalami keanehan ada hal aneh namun berbeda soal Ibu, rumah ini dengan segala keanehanya adalah ucapan selamat datang kepadaku, ini baru tentang Nek Raras dan Ibu belum bapak, yang dari awal bi Inah sama sekali tidak memberitaunya kepadaku.
Jujur jika pertanyaan biasa saja bisa membuat seperti bi Inah yang tersingung, bagaimana aku bisa tahu tanpa bertanya, tapi ucapan ibu; kamu disini untuk kerja bukan untuk bertanya kepada bi Inah ada baiknya juga dan aku setuju.
Melihat jam di kamar sudah hampir jam 10 masih saja aku belum bisa berdamai dengan rumah ini, entah ada perasaan apa yang mengikuti aku sekarang, tempat kurang nyaman apa ini dengan kasur yang lembut, kamar yang rapih.
Semakin aku paksakan memejamkan mata semakin sulit juga, padahal badan susah sangat lelah, apa mungkin perasaan aku saja.

Baru saja terlelap, aku terbangun lagi, melihat jam baru jam 11 malam lewat, sebentar sekali pikirku barusan aku terlelap,
karna lupa dengan kebiasanku di kampung kalau tidur harus membawa air putih kedalam kamar, biar kalau susah tidur biasanya dengan minum akan segar kembali dan terlelap begitu saja. Tanpa pikir panjang, segera aku bangun dan berjalan ke arah dapur setelah melewati mushola.
Mengambil gelas di Rak, pintu menuju ruangan utama rumah terbuka sedikit, memang awal pertama aku datang pasti tertutup begitu, karna satu arah dengan kamar bi Inah juga yang sama, pikirku biar kalau ada apa-apa bi Inah bisa bangun, pikirku.
Baru saja gelas yang aku isi penuh, tiba-tiba pohon yang ada didekat dapur bergoyang begitu saja sangat pelan, karna pas sekali searah dengan tatapan mataku,
sangat pelan dan bahkan benar-benar pelan tiap daunya begoyang begitu saja, tanpa angin! Aku dibuat mematung diam sambil tangan memeganggi gelas yang benar-benar membuat aku kaget dan heran!
“aaaaa... aaaa... aaa..” suara teriakan seorang perempuan sangat keras sekali, benar -benar membuat aku terkejut, membuyarkan lamunanku melihat pohon yang masih saja bergerak dengan pelan itu
“ampunnnn.... aaaaa...” teriakan dengan suara perempuan yang benar-benar tidak muda lagi, aku dengar sangat jelas, dan aku yakin itu dari lantai 2 rumah ini, benar-benar sangat keras
“hah.. hah.. hah... itu Nek Raras kenapa” ucapku

Segera aku berjalan ke arah pintu yang sudah terbuka itu, baru saja baru mau membuka pintu itu,
suara teriakan itu ada lagi untuk ke tiga kalinya hanya terikan tanpa ucapan lainya, benar-benar aku bisa pastikan dan benar-benar sadar itu datang dari lantai 2 rumah in!!!
Aku bukakan pintu sedikit, baru sadar bahwa aku tidak boleh kalau tidak ada keperluan masuk rumah, seperti apa kata bi Inah, “uhhh untung aku ingat” segera aku mundur dari pintu itu. “lagian aku juga tidak tau kamar Nek Raras dimananya di atas itu” ucapku
Lagi-lagi bulu pundaku beridiri sama seperti ketika di kolam ikan air mancur depan itu, benar-benar beridiri begitu saja, tidak lama aku berjalan cepat ke kamar, sambil gelas berisi air minum itu aku gengam.
“huhhh... sakit apa Nek Raras itu, sampai teriak seperti itu, apa bi Inah tidak mendengar, kalau aku bangunkan pasti nanti jadi salah sangka lagi, binggung juga, tapi semoga baik-baik saja” ucapku sambil merebahkan kembali badan
Kenapa aku harus ada diposisi seperti ini, sebelumnya ketakutan dan kebingungan tidak pernah aku alami, ini yang pertama, setelah tau keadaan rumah ini dan isinya seperti apa.
Tapi, aku juga yakin kembali pada niatku saja berkerja disini sudah cukup, walau perasaan takut bersama penasaran satu persatu sekarang mulai dekat dalam pikiranku.
Aku paksakan memejamkan mata, dengan pikiran besok aku harus berjumpa untuk pertama kali dengan Ibu, itu adalah hal yang lebih penting untuk aku persiapkan, agar tanggungjawab dan kepercayaan yang mang Karta berikan padaku tidak aku sia-siakan.
Dan awal kedatangan ke rumah ini akan menjadi hal yang panjang aku ceritakan menjadi sebuah pengalaman kepada Abah, pertanyaan besarku pada Karta, juga semakin bertambah. Tidak enak rasanya diikuti rasa takut seperti ini.

***
“subuh Pur...” suara bi Inah sambil mengetuk pintu kamarku

“iyah Bi ini sudah bangun” ucapku sambil membuka pintu, yang semalam lupa tidak aku kunci

Dan kenapa tiba-tiba aku ingat kejadian semalam, dengan suara itu dan kejadian pohon yang bergoyang
“malah ngelamun... cepat solat dulu lalu siram tanaman dan bunga-bunga Ibu, hanya itu tugas kamu selanjutnya, panasin mesin mobil biar nanti pas berangkat tidak repot-repot lagi, sarapanya di meja itu yah, bibi ke atas dulu” ucap Bi Inah sambil pergi
“oh jam segini Nek Raras kalau makan pagi” ucapku dalam hati, lalu aku melihat bi Inah hanya membawa makanan saja, “apa engga minum obat, katanya sakit” ucapku lagi sendirian, sambil mengelengkan kepala, karna mungkin bukan urusan aku soal itu
Setelah melihat beberapa alat siram bunga yang terbilang sangat lengkap didalam box, bahkan ada beberapa yang belum aku paham pungsinya, memang terniat sekali ini.
Segera aku memulai hari pertama kerja di rumah ini dengan menyiram satu persatu bunga, dan tidak lupa juga membersihkan pot-pot yang sangat cantik yang sudah tersusun sebagaimana mestinya ini.
Sambil menyiram dengan sangat hati-hati, aku kembali melihat pohon dimana semalam sangat menakutkan, tapi di pagi hari kenapa sangat membuat nyaman sekali berlama-lama disini, jauh berbeda ketika kejadian malam tadi.
Terus menyiram satu persatu bunga-bunga kemudian berpindah kepada beberapa tanaman, aku berpikir “apa sebaiknya aku ceritakan saja kejadian semalam pada bi Inah yah” ucapku dalam hati.
“heh... pagi-pagi udah melamun aja kamu pur...” ucap bi Inah sambil menepuk pundaku

“eh engga bi... ini masih mikirin jalan, buat nanti jemput Ibu” jawabku berbohong, karna kaget juga barus saja mikirin soal mau cerita ke bi Inah atau tidak
“bibi liat dari jauh juga melamun, oiyah kalau pagi-pagi kamu tidak usah mematikan air mancur sama lampu kolam udah sama bibi sekalian sebelum subuh bibi menyapu bagian depan rumah Pur” ucap bi Inah kemudian mengajak aku untuk makan
Segera aku makan bersama bi Inah, bi Inah tidak berbicara apapun padaku, hanya sesekali sambil melihatku aneh dia tersenyum padaku, “apa ada yang salah denganku lagi” ucapku dalam hati, yang merasa pasti ada sesuatu yang beda lagi.
Selsai makan bi Inah bilang, soal cuci pakaian dll biar sama bi Inah saja, karna merasa tidak enak, aku tolak. Namun bi Inah tetap memaksa dulu mang Karta juga sama seperti itu, pembelaan bi Inah.
Pagi semakin menunjukan dirinya dengan cahaya mentari yang lambat tapi pasti menunjukan sinar hangatnya, ketika aku membuka garasi mobil, pagi pertama yang tidak terlalu baik, karna kejadian semalam itu.
Sudah tidak aku ikuti sama sekali pikiran kesana, mungkin kebetulan, walau jika dipaksakan untuk tau lebih soal teriakan semalam itu hanya akan membuatku takut saja, percuma.
Mobil yg akan digunakan untuk menjemput Ibu sudah aku siapkan semuanya, mengecek semua kondisi, mengelapnya dan membersihkanya sudah menjadi pekerjaan baru aku tiap pagi disini. Tidak terasa sudah hampir satu jam lebih disini, di garasi. Aku melihat jam sudah jam 7:30 pagi.
Keringat mulai turun dibadanku, entah kenapa di pojokan garasi ini yang berukuran besar sekali bahkan bisa masuk 6 mobil kalau satu barisnya disimpan 3 mobil saja masih cukup. Ada satu kursi yg tersimpan di pojokan garasi, aku dekati sdah sangat kotor, bahkan sudah sngat berdebu.
“kirain masih bisa dipakai ini kursi, padahal bagus kursi tua mngkin kayu belanda pada jamamanya ini” ucapku sambil membersihkanya. Nanti aku tanyakan dulu saja sama bi Inah kalau masih bisa di pakai, enak buat kalau sudah cape gini duduk didepan garasi menikmati angin pagi.
Segera aku kembali memasuki dapur, terlihat bi Inah sedang ada di temapat cuci baju, aku mandi, kemudian sudah bersiap untuk menjemput Ibu jam 10, walau masih satu jam setengah lagi, bahkan aku sudah pamit pada bi Inah, akan segera jalan.
“karna ini pertama akan melewati jalanan kota, jadi aku harus punya waktu yang luang, biar saja nanti di lokasi kalau udah sampai nunggu saja” ucapku dalam hati,
yang kemudian mengeluarkan satu mobil yang biasa digunakan mengantar dan jemput Ibu. Setelah membuka Pagar aku langsung memasuki mobil
“bismillah...” ucapku masuk kedalam mobil

“apa itu Nek Raras yang melihatku di atas sana” ucapku, kembali turun dari mobil dan melihat kelantai 2 rumah, pada jendela utama lantai 2 yang besar itu, tapi tidak ada siapa-siapa,
“apa salah liat barusan, tapi aku lihat barusan jelas walau sesaat”

Segera aku masuk kembali kedalam mobil, setelah mobil keluar gerbang, ketika aku akan menutup gerbang, wanita yang sebelumnya aku lihat, berjalan sangat pelan,
terlihat dari samping, di lantai 2 “oh bi Inah, aku kira siapa” ucapku dalam hati, sambil menutup gerbang.

“bisa jalan gitu yah bi Inah, segala pelan-pelan sekali” ucapku masih heran, tidak terlalu aku ikuti dengan apa yang barusan aku lihat.
Segera aku menginjak gas, dengan alamat yang sebelumnya sudah ditulis oleh bi Inah.

Sampai di pos security, ternyata ada pak Anton yang jaga, segera aku turun bersalaman dengan sopan pada pak Anton dan bertanya alamat jalan yang akan aku tuju,
walau sebelumnya mang Karta tidak pernah menyarankan hal ini, tidak ada salahnya aku tanyakan.

“jadi ingat tiga tahun lalu, pertama kali Karta bertanya alamat begini ketika awal kerja dengan Ibu Sekar, sama percis sekali dengan kamu Purnama hehe bertanya alamat...
...tapi tidak apa-apa kita jadi lebih akrab, Karta juga pasti yah menyarankan seperti ini” ucap pak Anton sambil becanda

“iyah pak, aku juga di suruh mang Karta betanya saja sama Security” ucapku berbohong, untuk semakin akrab dengan pak Anton
Pak Anton ternyata adalah teman dekat mang Karta disini, dari cerita pak Anton tiga tahun lalu mang Karta kerja disni mengantikan Mang Uci kata pak Anton itu adalah temanya mang Karta di kampung,
aku sedikit kaget mendengar nama mang Uci, “semoga bukan almarhum mang Uci yang aku kenal” ucapku dalam hati.

Bahkan pak Anton juga mengetahui tentang sedang sakitnya bi Enah istri mang Karta di rumah, aku semakin percaya dengan apa yang dikatakan pak Anton,
karna bisa sedekat itu. Setelah berbasa-basi dan aku diberi patokan beberapa jalan agar sampai di lokasi itu, ternyata masih di kota K yang sama hanya saja lebih ke arah timur, berbatasan dengan kota lainya.

Melihat jam di mobil masih banyak sekali waktu,
jadi aku bisa sangat berhati-hati mengedarai mobil ini, dan sambil beradaptasi saja, maklum dari mobil tua yang biasa aku gunakan berganti langsung ke mobi yang mewah hal yang baru aku alami pertama kali dalam hidupku saat ini.
Dan aku namakan ini adalah pengalaman baru, yang selama ini pernah aku benar-benar inginkan.

Kota dengan segala kesibukanya adalah kesan pertama yang menyapaku dijalanan, dengan mungkin segala tujuan mereka masing-masing,
kendaraan dan jalanan tidak pernah benar-benar kosong sama sekali, pemandangan yang jauh berbeda dan aku mencoba untuk terbiasa dan nantinya juga suasana seperti ini yang akan terus aku rasakan.
Setelah melewati beberapa patokan yang sebelumnya dikasih tau pak Anton, sudah hampir 1 jam lebih aku sudah didepan perumahan yang di alamat itu tertulis, “benar-benar jauh dari waktu yang sudah aku prediksi sebelumnya, jalananya sangat padat”
Bertanya kepada security perumahan, tentang nomor rumah yang aku tuju, benar saja salah satu security itu menunjukan arah kemana dan posisi nomor rumah itu, tidak lama mobil yang aku kendarai sudah berhenti di rumah yang jauh dan sangat lebih besar dari pada rumah Ibu.
“selamat pagi, silahkan pak masukan saja mobilnya langsung ke dalam” ucap seseorang yang memakai seragam hitam-hitam
“baik Pak terimakasih” ucapku, sampai ada penjaga rumahnya pasti bukan orang sembarangan ini yang punya rumah, walau aku sudah mengetahui dari bi Inah ini adalah rumah adiknya Ibu Sekar.
Segera aku mendekat pada satu pos dimana orang yang barusan membukakan gerbang besar rumah ini, setelah berkenalan ternyata benar dia adalah Rusdi penjaga rumah ini.
Umurnya tidak terlalu jauh tebakanku dengan mang Karta, dan Rusdi juga ternyata sudah tau aku Purnama, yang mengantikan mang Karta.

“masih ada 20 menit lagi, hebat sama dengan karta selalu datang jauh sebelum Ibu keluar rumah” ucap mang Rusdi
Aku hanya tersenyum dan banyak mengobrol tentang pekerjaan mang Rusdi disini dan mang Rusdi tidak jarang sangat penasaran dengan penyakit bi Enah istri mang Karta. Aku tidak bisa menjawab banyak hal, karna aku sendiri tidak mengetahui benar, takutnya salah.
“itu Ibu... itu Ibu sekar dan anak yang paling kecilnya De Sita” ucap mang Rusdi

“baik mang aku kesana dulu, terimaksih obrolanya hehe” ucapku, langsung menemui Ibu sekar
Ibu sekar dari depan rumah yang sangat mewah itu, sudah tersenyum melihatku yang sedang berjalan terburu-buru untuk mengampirinya.
“asalamualaikum, ibu perkenalkan saya Purnama, sodara dari mang Karta, yang di percaya mengantikan mang Karta sementara untuk berkerja di rumah ibu” ucapku sangat pelan
“iyah Purnama, aku sudah mendengar soal kamu dari Karta dan Inah, awal ucapan kamu dan nada omongan kamu sudah tidak saya ragukan lagi, benar yang Karta ceritakan” ucap Ibu Sekar dengan pelan dan hangat
“ini De sita anaku paling kecil Purnama, De hey salaman dulu sama om Purnama cepet suka malu-malu gitu” ucap Ibu sekar pada De Sita
Anak umur yang aku tebak palingan baru kelas 4 sekolah dasar,
yang sangat lucu dan cantik apalagi bagian rambutnya berponi, untuk aku yang tidak mempunyai adik, De Sita dengan senyumanya membuat aku kagum. “sepertinya keturunan dua negara ini anak, terlihat dari matanya” ucapku dalam hati.
“mami... mami... jangan lama lagi nanti mami kesini lagi loh” ucap De Sita

Setelah melewati gerbang dan pamit kepada mang Rusdi, aku dan Ibu sudah ada didalam mobil, Ibu duduk di kursi belakang dengan santai. Dan buatku tidak cukup tegang dari sapaan petama yang ibu ucapkan.
Ibu lebih banyak diam dan hanya melihat telepon gengam yang tidak pernah lepas dari tatapanya, setelah melewati pos security kembali dan meberikan klakson, aku bertanya kepada ibu.
“langsung pulang menuju rumah, atau ada keperluan lain lagi Ibu...” ucapku sambil melihat ke spion tengah mobil yang terarah untuk melihat kebelakang
“langsung saja pulang Purnama, oiyah ibu panggil kamu apa Pur atau Nama? Kalau Karta sering ibu panggil Kar lebih enak dan pendek saja.” Tanya Ibu

“bagaiamana enaknya Ibu saja, biasanya cukup Pur saja bu” ucapku dengan sopan
Aku kembali menyetir dan fokus pada jalanan saja, memberikan kenyaman pada ibu dengan cara mengemudiku adalah tujuan pertama dalam pekerjaanku, tidak ada obrolan apapun,
ibu sesekali hanya membuka beberapa dokumen saja dan terlihat sangat sibuk, apalagi aku selalu ingat dengan pesan bi Inah, jadi aku urungkan untuk membuka obrolan.

Memang pekerjaanku mengemudi bukan untuk mengobrol, ucapku dalam hati.
Setelah melewati kembali beberapa patokan yang sebelumnya aku lewati, hampir sudah 30 menit aku dan Ibu dijalan benar-benar tidak ada obrolan apapun.

Tadinya aku ingin tau Ibu punya berapa anak, kenapa De Sita tidak ikut, pekerjaan Ibu dan Bapak apa dan masih banyak lagi,
tapi itu kebiasan aku di kampung harus akrab dan berteman dengan siapa saja disini tidak bisa hal itu dilakukan jauh berbeda sama sekali.

“bagaiamana semalam dan hari pertama kamu kerja Pur, baik-baik saja bukan tentang rumah Ibu?” tanya bu Sekar
Lumayan membuat aku kaget, bukan dengan pertanyaan ibu yang tiba-tiba, tapi dengan kalimat baik-baik saja bukan tentang rumah ibu.

“baik bu alhamdulillah, rumah yang sangat nyaman apalagi bi Inah mengajrkan banyak hal tentang apa saja yang harus aku kerjakan di rumah” jawabku
Mencoba seaman mungkin untuk menutupi segala keanehan tentang rumah yang barusan malam saja aku alami

“syukurlah, walau ibu tau kamu tidak bisa bersembunyi dalam rasa takutmu itu Pur” ucap bu Sekar

“maksudnya bu...” tanyaku perlahan
“tidak apa-apa sudah kamu pokus menyetir saja, aku bukan orang biasa banyak omong bahkan banyak orang beranggapan aku dingin.” Jawab Ibu sekar

“baik bu...” ucapku, kemudian kembali fokus menyetir
Pernyataan ibu cukup membuat aku kaget sekali “apa ibu bisa mengetahui apa yang sebelumnya aku alami” cukup dan sangat terkejut sekali.

Tidak lama aku sudah kembali memasuki perumahan dan sampai di rumah jauh lebih lama dari pada perjalanan berangkat.
Segera aku membukaan pintu mobil untuk Ibu.

“saya nyaman dengan cara menyetir kamu Pur, begitu saja tidak usah buru-buru kecuali saya yang meminta.” Jawab Ibu, kemudian masuk lewat garasi dan bareng dengan bi Inah membawakan tas dan berkas-berkas ibu
“kenapa ibu tidak masuk lewat pintu depan” ucapku yang masih heran. Segera aku turun dari mobil, syukurlah kalau ibu merasa nyaman dengan cara menyetirku, tapi aku sedikit setuju dengan apa yang dikatakan bi Inah, soal sikap Ibu yang dingin itu.
Setelah menjemput ibu hari ini aku hanya menghabiskan waktu dengan sesekali membantu bi Inah menyiapkan untuk makan malam nanti buat ibu dan Nek Raras, membantu apa yang aku bisa saja.

Ketika sore hari bi Inah menyuruhku mengambil stock bahan-bahan dapur,
di salah satu toko sembako langganan ibu yang tidak jauh dari perumahan, setelah di jelaskan dan membawa uang untuk membayarnya, aku segera kembali mengunakan mobil menuju toko tersebut
Hari semakin sore, jalanan sore di kota K ini benar-benar macet sekali, para pegawai industri lalu lalang, karna wajar mungkin jam pulang kerja.

Sampai di toko yang di tuju segera aku memasukan semua belanja dapur, ke belakang mobil, karna memang sudah dipisahkan.
Membayarnya, kemudian kembali menuju rumah. Benar saja saat adzan Magrib berkumandang aku masih di jalan, tidak lama aku sudah sampai di rumah dan memasukan mobil ke dalam garasi.
Ketika menurunkan satu persatu belanjaan, entah kenapa aku merasa kursi yang pagi tadi aku sentuh seperti menarik sekali perhatianku. “kenapa jadi tidak enak lagi gini perasaanku”
aku lanjutkan kembali menurunkan belanjaan. Benar-benar seperti ada yang memperhatikan aku dari arah sudut garasi itu.

Aku masih pokus menurunkan dan setelah selsai aku memindahkan belanjaan seperti beras, minyak dll itu ke dapur.
Ketika yang terakhir aku mengangkat beras, “sssttt...” tiba-tiba ada suara yang jelas seperti itu. Lantas aku turunkan kembali beras yang sudah aku angkat dan memperhatikan ke arah pojok garasi yang dimana ada kursi tua itu berada.
Tiba-tiba lampu garasi yang lupa aku nyalakan, menyala begitu saja.

“malah melamun... ayo setelah itu solat dan makan Pur...” ucap bi Inah, benar-benar membuat aku kaget bukan main

“duh! Bibi kaget aku” ucapku
“ya kamu, garasi bukanya di nyalakan lampunya, gelap gini” jawab bi Inah

“kan masih terang sama lampu luar bi, lagian aku lupa barusan, oiyah barang belanjaan sudah lengkap sudah aku simpan disana” ucapku, sambil menunjuk ke arah dapur
Segera aku menutup garasi, mengunci pintu gerbang, dan kembali lagi ke dalam garasi. Berjalan pelan, tidak tau kenapa tatapanku lagi-lagi ke arah kursi pojokan itu,
dan tiba-tiba juga bulu pundaku berdiri begitu saja. Aku berjalan cepat “kok jadi takut begini sih di garasi apalagi kursi itu” ucapku

Selsai solat Magrib di Mushola, walau waktunya hampir berakhir. Benar saja bi Inah sudah tidak ada, mungkin menyipakan makan untuk ibu dan nenek
“bibi sudah makan? Tidak apa-apa aku makan duluan bi?” ucapku, ketika bi Inah keluar dari arah pintu yg menuju rumah

“sudah Pur, sok habisin aja, itu ayamnya sengaja, kasian pasti lelah hari ini” ucap bi Inah, yg kemudian masuk kembali kedalam rumah sambil membawa buah-buahan
Selsai makan aku hanya berjongkok sambil memperhatikan bunga-bunga yang pagi tadi sudah aku siram, cukup lama hanya untuk menunggu jam delapan menyelsaikan tugasku hari ini, menyalakan lampu dan air mancur kolam saja.
Segera aku berjalan menuju kolam hanya tinggal lima menit lagi menuju jam delapan, sampai di kolam ternyata lampu sudah menyala dan air mancur sudah hidup.
“oh ternyata di nyalakan oleh ibu, pasti keluar lewat pintu sana” memang ada pintu yang menghubungkan antara rumah dan kolam itu.

Aku melihat ibu duduk sambil sesekali tanganya mengasih makan ikan-ikan itu dengan duduk santai di kursi, yang tidak sama sekali melihat keredaan aku
Segera aku kembali dan melewati garasi kembali, suasananya masih saja menakutkan, entah pikiranku saja atau memang ada sesuatu yang berbeda.

“ada apa sebenarnya dengan rumah ini” ucapku dalam hati.
“pur, tidak apa-apa selama ada ibu biasanya sudah ibu sendiri yang menyalakan kolam, sana kamu istirahat saja, bibi juga sudah beres, ini mau nyimpan sampah ke depan” ucap bibi berjalan melewati aku
Dibagian keranjang sampah terdapat banyak sekali tisu-tisu yang sudah ada bercak darah yang banyak sekali, seperti bekas membersihkan darah tisu-tisu itu. Aku melihatnya dengan jelas. Mau aku tayakan, tapi lagi-lagi bukan urusanku, disini aku berkerja bukan untuk bertanya.
Walau kalimat itu tidak selamanya membuat aku tenang, dengan segala apa yang sudah aku alami disni yang belum lebih dari satu minggu. Apalagi ini dengan darah yang sebegitu banyaknya, hanya dengan tisu. Benar-benar pasti ada sesuatu yang aneh disini.
Tidak mungkin ibu sakit mendadak seperti itu, tidak lain adalah Nek Raras. Bukanya aku mengikuti rasa penasaran, dengan aku yang seperti ini, kepedulian menurutku bisa berjalan diatas segalanya, apalagi dengan apa yang sudah aku alami dan aku lihat.
“sakitnya benar-benar parah berarti” ucapku

Tidak cukup soal darah dan lamunan aku jadi kacau kemana-mana menebak aturan rumah yang aneh dan gangguan perasaan takut yang aku ikuti jiwa egoisku mungkin itu saja.
Segera masuk ke dalam kamar, “hari kerja yang benar-benar melelahkan” ucapku, bahkan niat untuk solat Isya aku urungkan, nanti saja kalau bangun malam, ucapku.
Benar-benar soal nek Raras menggangu sekali pikiranku dan segala ketakutan yang sekarang terus datang membuat aku tidak benar-benar tenang sama sekali.
“ampunnn nek ampunnn...”

“ampunnn sakit...”

Tiba-tiba ada suara kencang, segera aku bangun dan duduk di kasur untuk memastikan suara itu datangnya dari mana.

“aaaaaa... sakittt...”
Segera aku bangun, dan lari ke arah suara itu berasal, suara itu di dapur, aku sangat yakin sekali benar-benar yakin! Aku melihat nenek memegang gunting yang di arahkan ke bi Inah yang sudah duduk terpojok ke arah pojokan dapur.
“bibi...” teriaku sangat kencang, sambil berjalan mendekati bi Inah yang rambutnya sudah di jambak oleh Nenek itu

“Diam! Diam kamu! Diam disana... Diam!!!” teriak Nenek tua, ketika berbalik arah Nenek itu ke arahku, aku bi buat kaget, benar-benar kaget dengan apa yg aku lihat
Bagian mukanya sangat menyeramkan dengan goresan luka dibagian pipinya yang masih ada darah mengalir, benar-benar mengerikan dengan muka yang seperti itu.

“hah... hah... hah...” ucapku
“asataghfirullah...” aku bagun dengan keringat yang mengucur deras dibadanku, siapa nenek barusan yang ada didalam mimpiku, kenapa mengarahkan gunting ke arah bi Inah seperti mau mengabisi bagian muka bi Inah dan Nenek itu sudah berambut putih, bahkan badanya sudah sangat tua.
Segera aku bangun, dan meminum air yang sebelumnya sudah aku bawa. Aku melihat jam sudah hampir jam dua dini hari, keluar kamar dan melihat langsung ke arah bi Inah masih tertidur, bahkan kelihatan sangat lelap.
Walau aku masih saja belum tenang, apalagi ketika melihat ke arah dapur sama sekali dan bahkan percis dengan mimpi aku barusan. Setelah mengambil wudhu, aku sedikit tenang dan langsung masuk ke dalam mushola sebelah kamarku.
Setelah tiap rokaat dalam solat aku lakukan, pada tahiyat terakhir aku mendengar suara langkah kaki yang sangat jelas, tiga bahkan lebih seperti mundar-mundir dibelakang aku, atau didepan bagian mushola.
Membuat aku tidak konsen sama sekali, ketika dua kali salam terkahir dalam solat, “tiba-tiba ada suara “sssttttt...” dekat sekali pada telingaku, dekat sekali. Saking kagetnya kepalaku repleks bergerak begitu saja.
Segera aku melihat ke bagian belakang, tidak ada siapa-siapa sama sekali. Aku hanya mengekas nafas sangat dalam “ya allah apa lagi ini” aku berdoa untuk kesalamatan diriku ini, yang baru saja mengalami hal-hal yang sebelumnya sama sekali belum pernah aku alami.
Segera aku kembali ke kamar, dan melanjutkan tidurku, walau tidak mudah aku paksakan. Setidaknya mungkin dengan tidur kenyataan akan berdamai dalam mimpiku tidak seperti mimpi sebelumnya.
“apa itu pertanda... kejadian dalam mimpi itu” ucapku tiba-tiba, sambil menatap kosong atap kamar ini.

***
Pagi datang sebagaimana mestinya, padahal aku sangat dan masih saja butuh istirahat, heranya sangat lelah sekali padahal pekerjaanku sebelumnya jauh lebih memelahkan dari pada disini.
Selsai solat subuh yang kepagian, aku menyiram bunga-bunga dan bi Inah seperti biasanya sibuk menyiapkan apapun yang perlu disiapkan.

Selsai menyiram, aku makan bersama bi Inah.
“Pur, boleh bibi bertanya, bibi tidak akan marah kalau kamu jujur” ucap bi Inah, ketika makan sudah selsai dan masih duduk di meja makan dapur

“boleh bi, apa itu?” jawabku dengan tenang
“malam pertama kamu disini, bibi terbangun seperti biasa sebelum waktu subuh, ada yang beda dengan posisi pintu itu” ucap bi Inah sambil menunjuk ke arah pintu

“aneh bagaimana bi...” ucapku, yang sudah tidak enak, karna baru semalam mengalami hal-hal yang jauh dari nalarku
“pintu itu, memang tidak bisa di tutup rapat, pintu itu memang seperti itu, tapi bibi selalu tutup dimana sampai pintu itu sampai mentok, ketika bibi bangun, bibi kaget melihat pintu yang sudah berbeda... kamu masuk ke dalam rumah?” tanya bi Inah
Deg! Aku sangat kaget dengan pertanyaan bi Inah

“tidak apa-apa jujur saja bibi tidak akan marah dan sebelumnya juga bibi sudah bilang tidak apa-apa kamu masuk hanya untuk melihat, tapi tidak mungkin juga kamu melihat ke dalam rumah di waktu semalam itu...” ucap bi Inah
“sebentar bi, sebelum bibi menyangka ke arah yang tidak-tidak aku bisa jelaskan, tapi mohon maaf sekali, tidak ada maksud aku untuk apapun. Kejadian nya malam itu, aku biasa membawa air putih kalau tidur...
...malam itu aku terbangun dan mengambil minum disana, tidak lama pohon itu bergerak dan aku mendengar suara teriakan kencang, aku kira itu dari lantai 2, begitu bi...” jawabku sambil menjelaskan dengan perlahan
Bi Inah tiba-tiba diam, aku merasa tidak ada yg salah dengan apa yg aku bicarakan tadi

“aku sudah membuka pintu itu sedikit, niatnya mau masuk kedalam, tapi aku ingat omongan bi Inah dan aku urungkan niat itu, aku mengikuti saja aturan yang ada disini bi” ucapku dengan pelan
Bi Inah hanya mengangukan kepala, mungkin itu tanda dia percaya atau sebaliknya. Aku dan bi Inah diam beberapa detik. Aku melihat dari raut muka bi Inah seperti ada keraguan untuk menyapaikan sesuatu dan aku menunggu apa lagi yang akan bi Inah sampaikan.
“yasudah, lupakan saja, maaf juga bibi bertanya dan menyangka kamu yang tidak-tidak Pur, makasih sudah mau nurut sama bibi” ucap bi Inah kemduian pamit untuk melanjutkan pekerjaan
Padahal aku menunggu jawaban lain, agar semuanya bisa jelas, tapi mungkin juga hal dengan jawaban itu yang paling pantas untuk bi Inah sampaikan kepadaku. Anak yang tidak harus tau apapun yang terjadi.
Padahal aku sendiri dihantui rasa ketakutan yang sangat aku rasakan begitu tidak biasa, tapi memaksa orang untuk percaya bukan hal yang baik, bukankah kepercayaan terbaik lahirnya dari nurani yang tulus.
Segera aku membersihkan mobil bekas kemarin, apalagi bi Inah bilang, kalau ibu akan istirahat lama di rumah sampai satu minggu, yang otomatis pekerjaan aku hanya ini-ini saja.
“semoga saja bi Inah percaya dengan apa yang sudah aku jelaskan, dan bodohnya aku kenapa tidak menutup pintu seperti semula, sehingga bi Inah tidak curiga” ucapku sambil mengelap bagian mobil
Andai saja ketakutan itu bisa diatasi dengan tenang mungkin tidak akan menjadi seperti ini, tapi sudahlah mungkin harus seperti ini jadinya, lagian aku benar dan jujur seperti apa yang keluargaku bilang “kejujuran”
Hari ini berjalan dengan banyak membantu bi Inah saja, membantu apa saja yang bisa sekiranya aku kerjakan. Dari siang sampai sore aku lebih sibuk merawat dua mobil lainya sambil belajar sendiri soal mesin-mesin mobil.
Malam ini juga berakhir dengan cepat, tidak ada lagi gangguan dan rasa takut yang hadir, benar saja karna ini adalah hari rabu bi Inah bilang ada dokter yang akan datang malam ini.
Aku hanya mengangguk tidak menanyakan hal lainya kepada dia, karna itu bukan urusanku juga. Padahal rasa ingin tau masih dan ada dalam pikiranku saat ini, tentang semuanya bahkan.
Hari berganti dengan cepat sudah hampir satu minggu aku berada dan berkerja di rumah ini, aktivitasku itu-itu saja tidak ada yang berubah, yang membuat aku semakin heran sudah tidak melihat Ibu sama sekali, entah apa yang ibu kerjakan.
Dan bahkan tentang bapak apalagi, sama sekali aku belum berjumpa dengan beliau.

“Pur antarkan Ibu malam ini ke rumah sodaranya itu, mau menjenguk De Sita katanya sakit, kata ibu kamu juga udah bertemu bukan?” ucap bi Inah
“malam ini jam berapa bi inikan sudah jam 10 malam” jawabku sambil melihat jam didinding dapur

“iyah sekarang, kadang ibu seperti itu suka dadakan barusan ketika bibi ngasih makan Nek Raras bilang, nanti bibi saja yang menutup pintu garasi sama gerbang” ucap bi Inah
Segera aku menyipkan mobil, benar saja tidak lama ibu keluar dari pintu garasi dan untungnya semua sudah siap.

“ayo Pur jalan saja sekarang langsung” ucap Ibu, sambil memasuki mobil

“baik bu...” jawabku
Segera mobil yang aku kendarai keluar rumah, dan menuju rumah sodara Ibu, untungnya aku sudah hapal jalan. Aku melihat yang jaga di Pos satpam adalah pak Rudi. “mungkin pak Anton sedang libur” ucapku dalam hati
Karna jalanan malam sudah sangat kosong tidak sepadat pagi atau sore hari, perjalanan jadi lebih nyaman. Ibu masih saja diam, melamun bahkan sesekali aku lirik mengunakan spion tengah mobil.
“sudah hampir satu minggu bu" Jawabku pelan

“pakai saja telepon yang di dapur itu, kabari keluarga kamu di kampung, pasti rindu sekali dengan anaknya, sama seperti saya semua orang tua itu” ucap Ibu
“baik besok aku telpon orang disana bu, untuk mengabari, sepertinya ibu tidak enak badan...” tanyaku pada Ibu

Dan tidak ada sama sekali jawaban dari Ibu, “bodoh sekali aku harus bilang seperti barusan” ucapku dalam hati.
Hampir 20 menit tetap tidak ada jawaban dari Ibu, tidak tau apa yang ibu pikirkan apa, tatapanya kosong.

Tidak lama aku sudah memasuki perumahan, dimana rumah sodara ibu yang di tuju. Dan tidak lama, mang Rusdi kembali membukan gerbang dan tersenyum ke arahku.
“kamu langsung pulang saja lagi Pur, nanti kalau Ibu pulang, ibu telpon bi Inah” ucap ibu yang kemudian turun dari mobil setelah aku bukakan bagian ke dua pintu mobil

Karna memang sudah sangat malam juga, segera aku parkirkan mobil dan pamit juga pada mang Rusdi.
“buru-buru sekali, tidak ngopi dulu Pur...” ucap mang Rusdi

“lain kali yah mang, Ibu langsung menyuruh aku pulang” jawabku sambil bersalaman pada mang Rusdi
Diperjalanan aku jadi khwatir dengan kondisi ibu yang seperti itu, apa karna De Sita sakit mungkin, tidak lama karna jalanan kosong dan aku sedikit menambah kecepatan tidak seperti perjalanan berangkat, aku sudah melewati pos security perumahan.
Dan aku turun, menekan bel gerbang. Tidak lama juga bi Inah membukakan kunci dan aku bukakan gerbang.

“cepat sekali Pur, kalau mau makan udah ada Pur, bibi gak kuat baru saja mejam barusan mau tidur lagi” ucap bi Inah
“iyah bi tidak apa-apa nanti saja kalau mau aku makan, biar aku saja yang beresin garasi” jawabku

Segera aku masukan mobil kedalam garasi, memastikan gerbang sudah dikunci dan memngunci garasi, ketika aku melihat ke arah belakang mobil.
Seperti ada kotor debu yang sangat kental, pikirku mungkin barusan dijalan.

Langsung aku lap-lap. Tiba-tiba lampu garasi mati begitu saja, membuat aku kaget bukan main. “tumben” pikirku.
Aku nyalakan lagi. Ketika tatapanku mengarah kepojokan garasi pada kursi tua itu, “kenapa jadi berubah posisinya” segera aku benarkan kursi itu.

Bisa berubah begitu, apa bi Inah yang membenarkan, ucapku dalam hati. Selsai mengelap bagian belakang mobil,
segera aku rapihkan semuanya. Baru saja melangkah masuk kedalam tiba-tiba lampu garasi kembali mati.

“apa ada yang koslet listrik nya ini” aku berjalan kembali ke arah on/off listrik. Aku tekan-tekan tidak hidup masih gelap, sekali aku tekan, menyala,
dan aku percaya dan tidak percaya dengan apa yang aku lihat pada kursi dipojokan garasi yang sebelumnya aku benarkan posisinya itu.

Segera aku berjalan cepat meninggalkan garasi, berjalan sangat cepat!
“apa benar yang aku lihat barusan” ucapku dalam hati, sambil minum air putih. “siapa sosok itu, rambutnya menutupi bagian kepala dan mengunakan baju putih yang sudah sangat kotor dengan tanah” tiba-tiba tanpa ada angin pohon itu bergerak kembali dengan perlahan,
ini kali kedua aku melihatnya. Bulu pundaku kembali berdiri dan ini rasa takut yang benar-benar paling takut.

Apalagi posisinya duduk, di kursi yang sebelumnya aku punya niatan untuk aku bersihkan. Karna masih takut, segera aku masuk kamar, melihat jam sudah dini hari.
Baru saja aku menganti salin untuk tidur, aku mendengar tangisan perempuan, aku segera membuka kembali pintu. Dan ini kali kedua aku melihat sosok perempuan itu duduk di kursi meja makan membelakangi aku. Aku tutup kembali pintu.
“apalagi ini, benar-benar itu siapa dan kalau itu adalah mahluk lain kenapa harus kepadaku menunjukan wujdunya” ucapku sambil duduk di kasur, suara tangisan itu masih saja aku dengar bahkan mungkin kalau bi Inah bangun pasti mendengarnya.
Suaranya semakin pelan, dan tiba-tiba menghilang, membuat aku sedikit tenang bahkan niat untuk mengambil minumpun aku urungkan dan segera aku paksakan tidur malam ini, dengan ketakutan yang bukan lagi menghampirku tapi sekarang ketakutan itu bersamaku.

***
Aku dibagunkan oleh bi Inah yang sampai harus masuk pada kamarku, dan cukup khawatir dengan keadaanku yang terbangun dengan keringat yang sangat banyak.
Karna memang baju yang aku gunakan saja, sampai ada bekas basahnya. Bi Inah khawatir aku sakit, aku jelaskan aku baik-baik saja. Setelah itu aku mandi pagi hari dan sudah terlewat waktu solat subuhku.
“kenapa setiap mengalami hal-hal aneh seperti itu tidurku jadi seperti ini, apalagi barusan keringatku sangat banyak” ucapku sambil makan pagi, setelah itu aku melnjutkan aktivitas biasanya. Saat sedang mnyiram bunga. Aku teringat omongan ibu untk mengabari keluargaku di kampung.
Setelah izin sama bi Inah dan dikasih tau caranya mengunakan telepon rumah, aku menegerti dan bi Inah juga memberikan saran yang sama padaku. Aku ke kamar untuk mengambil nomor yang sebelumnya mang Karta berikan padaku, pada saat itu sebelum mang Karta pulang ke kampung.
Segera aku pijit satu persatu nomor yang ada dalam secarik kertas yang aku pengang, satu persatu nomor selsai, dan benar saja telpon itu langsung terhubung.

“asalamualikum mang Dadang, ini Purnama...” ucapku
“eh Pur, apa kabar, udah ada dua hari Bah Sura menanyakan sudah ada tlp belum dari kamu, karna memang sebelumnya Karta bilang sudah kasih nomor amang ke kamu” jawab mang Dadang
“baik mang alhamdulillah, oiyah Abah sampai gitu mang, duh maaf mang baru bisa tlp sekarang purnama, kapan yah bisa ngobrol sama abah” tanyaku
“begini saja 20 menitan lagi kamu tlp amang mau ke rumah Abah nanti Abah kesini, gimana?” tanya mang Dadang

“baik mang 20 menit lagi aku tlp lagi yah” jawabku, sambil tlp tiba-tiba mati.
Aku tidak menyangka Abah sampai segitunya, menunggu kabar dari aku, untung saja Ibu dan bi Inah menginzinkan aku mengunakan tlp rumah ini.
Tidak lama aku sambil membereskan garasi, dan kembali melihat ke arah kursi yang membuat aku malam kemaren ketakutan, jika siang seperti ini kesan menyeramkan sama sekali tidak aku rasakan.
“kenapa malam itu disini sangat seram sekali” ucapku sambil mengecek dan menyala matikan kembali lampu garasi, sekedar memastikan.

“sudah Pur, tlp orang di kampungnya, kenapa lampu garasi kamu hidup matikan begitu” tanya bi Inah heran
“tidak apa-apa semalam mati soalnya bi, belum bi skerang baru mau bicara sama Abahnya” ucapku sambil langsung kembali ke arah telpon dapur

Sudah satu kali aku hubungi tidak diangkat, aku coba sekali lagi. Baru terangkat.
“asalamulaikum...” ucapku

“walaikumsalam...” benar-benar suara yang aku kenal sekali, dari serak-seraknya dan dari nadanya aku tau ini adalah Abah
“abah maafkan Purnama baru kasih kabar dan tlp, maafkan yah bah, Abah sehat? Ibu, bapa dan mang keluarga mang karta gimana bah?” ucapku sambil menahan air mata karna benar-benar merasa berdosa

“alhamdulillah sehat, istri karta juga sehat sekarang sudah mulai membaik walau...
...menuju sembuh masih cukup lama Pur, Abah tidak enak hati sudah tiga malam terakhir mimpi kamu di ikuti terus sama perempuan cantik, tapi sayangnya perempuan itu bukan di alam kita” ucap Abah

“bah! Aku sudah tidak kuat, aku pengen cerita di rumah ini aneh...
...ada nek Raras namanya sedang sakit, aku tidak tau sakit apa, aturanya aku sama sekali tidak boleh masuk rumah utama hanya dapur, mushola, kamar dan garasi saja bah!” ucapku Pelan karna takut terdengar omonganku oleh bi Inah
“Karta sudah cerita, semuanya tentang rumah itu, bagaiama karta bisa kuat lama disitu karna kebutuhan, iyah Nek Raras sakit bukan sakit biasa Pur, tapi sayangnya anak-anak hanya percaya kepada medis saja, padahal ada bagian lain yang sudah jatahnya selain medis...
...Abah yakin kamu, bakalan merasakan kejanggalan. Kalau kamu buka tas disitu ada tasbih yang sudah Abah simpan dan ada bacaan yang harus kamu baca setelah solat. Kasian wanita itu.” Ucap Abah yang sangat khawtir padaku
“wanita itu siapa bah?” tanyaku penasaran dan mulai berat sekali punggungku seperti ada yang meduduki

Aku bahkan tidak menyangka Abah akan langsung percaya dengan apa yang aku omongkan,
karna sebelumnya aku tidak pernah sama sekali mengalami hal seperti ini dan mebahasnya dengan abah, walau banyak yang bilang abah adalah orang yang bisa kepada hal-hal seperti itu.
“yang ada didalam mimpi kamu, yang pernah kamu lihat. Jangan takut, doakan dia minta di daoakan Purnama, kasihan. Keluarga majikan kamu cuci tangan” ucap Abah

Kemudian tiba-tiba telpon terputus begitu saja, segera aku hubungi kembali dan tersambung
“cuci tangan seperti apa bah?” tanyaku yang masih yakin abah yg angkat telpon aku

“abah disni berdoa utuk keselamatan kamu, jangan ikuti rasa penasaran kamu, jika jatah kamu di rumah itu adalah untk membuka semua luka lama yang pernah keluarga majikan kamu lakukan, lakukan!...
...Menolong dan mendoakan tidak selalu untuk orang yang masih hidup, sudah dulu, 5 hari lagi kamu hubungi mang Dadang dan abah nanti ada yang mau dibicarakan lagi...
...Abah tau dari cerita Karta dan sakitnya Istri karta tidak masuk akal sama, kamu baik-baik bacakan (wirid) apa yang ada dalam tas kamu itu, dan doakan perempuan itu, kasian.” Ucap Abah dengan perlahan
“baik bah, doakan aku juga, salamkan sama ibu dan bapak juga mang Karta, maksih bilang sama mang Dadang bah” ucapku terbata-bata sambil meneteskan air mata
Aku langsung duduk dan melamun di meja makan, dengan air mata yang terus mengalir. Mungkin iyah ini adalah jatahku, segala apa yang Abah bicarakan aku sangat percaya walau sangat singkat, penjelas itu membuat aku paham seperti jawaban yang selama ini menganggu pikiranku,
Cuci tangan yang abah bilang, walau tidak jelas dan mimpi yang sebelumnya aku alami serta kejadian menakutkan yang sudah aku lewati, atas izin dan kehendak yang kuasa tidak akan terjadi dan pasti ada tujuan walau harus di uji dengan hal-hal seperti ini.

***
“kenapa jadi melamun gitu Pur, sudah tlp orang di kampung nya...” ucap Bibi sambil menepuk pundaku

“eh bibi kaget aku, sudah bi alhmadulillah pada sehat, dan Abah juga senang dapat kabar dari aku...” ucapku masih saja memikirkan apa yang sebelumnya abah ucapkan
Tiba-tiba bi Inah duduk di kursi dekatku, dengan tatapan yg antusias

“denger cerita dari Karta, katanya abah Purnama bisa nyembuhin orang sakit gitu yah, pake cara-cara tradisional, katanya juga abah Purnama bisa gitu sama hal-hal gaib, bener itu Pur?” tanya bi Inah tiba-tiba
Bahkan aku kaget dengan pertayaan bi Inah. Kemudian, aku juga mewajarkan karna mungkin itu yang di ketahui mang Karta.

“jujur bi walau aku cucu yang paling dekat dengan Abah, malah aku tidak terlalu tau walau benar suka banyak orang yang datang ke rumah Abah...
...Tapi soal yang kedua ke hal-hal gaib malah aku sama sekali tidak tau, abah hanya yang paling di tuakan saja di kampung (sesepuh) bi... kenapa memang nya?” tanyaku pada bi Inah

Bi inah kemudian terdiam, dan langsung mengelengkan kepala saja.
Sama seperti obrolan sebelumnya beberapa detik aku dan bi Inah tidak ada lagi ucapan lain, selain diam.

“tidak apa-apa Pur, lagian bukan urusan kita, bibi hanya merasa kasian saja dengan sakitnya nenenk, bibi sudah 8 tahun disini dan sudah bibi bilang sama kamu...
...selama itu juga kondisi nenek tidak pernah membaik, sudah beberapa tenaga medis bahkan terus melalukan pengobatan dll, tapi sayang kondisinya tetap sama.” Ucap bi Inah dengan perlahan
“sakit apa memang bi, mohon maaf sebelumnya aku bertanya seperti ini, bibi tidak usah marah, aku orang yang cukup mengerti dan tidak selalu mencampuri urusan orang lain bi?” ucapku memberikan pengertian pada bi Inah dengan tenang
“bibi tidak tau dan tidak dikasih tau sama Ibu, bibi hanya memberikan obat yang di suruh ibu saja Pur, makanya ketika bibi dapat cerita soal Abah kamu dan Kamu yang mengantikan Karta bibi senang dan berharap bisa Abah kamu yang mengobatinya dengan cara lain...
...soalnya bibi sudah sering sekali mendapatkan gangguan yang aneh...” ucap bi Inah

Aku langsung terdiam! “apa bibi sama denganku gangguan yang sama” ucapku dalam hati
“walau itu hanya sesekali, semenjak bibi disini apalagi awal-awal kesini pertama kali merawat nenek 8th kebelakang itu, dan ketika itu awal gangguan yang benar-benar terjadi, walau tidak sering hanya sesekali saja.” Ucap bi Inah menjelaskan dan benar-benar seperti orang ketakutan
“sampai seperti ibu bi? Kenapa bibi berani bercerita seperti ini kepada aku bi?” tanyaku dengan tidak enak

“karna bibi tau betul, kejadian malam pertama kamu disini ketika kamu sejujur itu menjelaskan kepada bibi...
...bibi percaya dan itu yang sering bibi dengar juga juga kejadian pohon itu, bibi sudah sangat sering sekali.” Ucap bi Inah sambil menunjuk pohon itu

“maaf Purnama, awalnya bibi mengira hal lain kepadamu dan tidak terlalu percaya Karta, tentang kamu yang memang sangat baik...
...dan bisa di atur, seminggu ke belakang bibi juga tau kejadian lampu garasi, itu karna bukan kamu mengecek listrik saja karna memang ada hal yang aneh saja” ucap bi Inah, mengelas nafas dalam-dalam
Tiba-tiba suasana siang ini di meja makan dapur yang aku rasakan jadi sangat tidak enak, bukan apa yang sedang aku obrolkan lebih kepada suasananya menjadi mencekam sekali, apalagi ini siang hari.

“bi kursi yang digarasi itu?” tanyaku sambil menunjuk ke arah garasi
“kursi itu...” ucap bi Inah terputus dan kembali menarik nafas dalam-dalam

“iyah kursi itu, semenjak bibi kesini sudah tersimpan disitu Pur, bibi bahkan tidak tau sama sekali, tapi pernah satu waktu amang kamu mau membuang kursi itu...
...tiba-tiba maaf tidak tau kenapa mudah-mudahan bukan hal yang bersangkutan, tiba-tiba istri amang kamu sakit tidak wajar di kampung itu” ucap bi Inah sambil menteskan air mata
Pantas saja, gangguan itu berawal dari rasa ingin tauku soal nenek, dan soal ketertarikan pada kursi itu, sehingga kejadian selanjutnya menakutkan.

“maaf sekali Bi, bibi awal bisa kerja disini bagaimana?” tanyaku
“tidak apa-apa bibi sekarang terbuka saja, Bibi dulunya bukan kerja dsini bibi waktu muda ikut kerja dengan Ibu bibi di rumah Nek Raras di kota S, dulunya Ibu bibi yang bersama Nek Raras dengan Suaminya, tidak lama Nek Raras sakit-sakitan 15th kebelakang itu...
...dan Ibu bibi meninggal setelah mengurus Nek Raras sakit selama 7th Pur, selanjutnya bibi lah yang mengurusnya dan setelah Ibu bibi meninggal, Nek Raras dipindahkan kesini dengan Ibu Sekar anak paling besarnya.” Ucap bi Inah, menjelaskan.
“nenek sudah sakit dari tahun 1988 berati yah bi?” ucapku dengan gemeteran, setelah mengitung mundur dari tahun ini

“iyah Pur, karna tahun 1997 Ibu bibi meninggal masih ingat dengan tahunnya, dan di tahun itu juga Nek Raras pidah kesini... .
...waktu itu rumah ini masih pembangunan akhir bibi ingat sekali...” jawab bi Inah, kembali meneteskan air mata perlahan

“baiknya sekarang gimana yah bi? Sudah lama sekali ternyata yah bi, maaf aku baru tau bi dan seharusnya mungkin aku tidak tau” ucapku, penuh rasa tidak enak
“tidak apa-apa bibi sudah terlanjur cerita Purnama, dan bibi sedikit lega hanya Karta dan Kamu yang mnegetahui hal ini, tapi ingat jangan karna kamu tau semuanya tentang hal ini kamu jadi merasa di tumbalkan oleh Karta kerja disini, dan masuk kedalam kondisi ini...
...Karta orang baik sama denganmu kasian istirnya tidak tau apa-apa, soal kursi itu semoga istri karta bukan karna hal itu sakitnya yah Pur...” ucap bi Inah dengan perlahan

Aku langsung terdiam, apa secepat ini aku mengetahui hal ingin aku ketahui tanpa harus bertanya,
benar apa kata Abah di tlp. Jika jatahku, yang harus tau tentang ini kenapa tidak jika tujuannya memang baik.

Kemudian bi Inah tatap meteskan air matanya, aku tidak kuat melihat orang tua seperti bi Inah yang sudah seperti ibuku sendiri ini.
Segera aku menengkan dan semoga kejadian-kejadian yang bi Inah lalui adalah berkah karna semoga juga itu adalah bagian dari pada ibadah bi Inah merawat Nek Raras yang sakit.

Lama sekali obrolanku hari ini dengan bi Inah dan ini pertama kali obrolan itu terjadi dengan hangatnya,
walau masih menyimpan pertanyaan lain setelah mengetahui hal baru tentang apa yang abah ucapkan, cerita dari bi Inah soal waktu nenek sakit.

Segera aku ke kamar, untuk memastikan apa yang sebelumnya Abah katakan soal Tasbih yang sebelumnya sudah Abah simpan di Tas
yang aku pakai membawa salin dari kampung ke rumah ini. Benar saja ada, dan benar juga ada beberapa tulisan Al-Quran, yang akan aku bacakan untuk mendoakan yang kata Abah soal wanita itu.

***
Hari-hari selanjutnya tidak ada sama sekali gangguan dan rasa ketakutan itu datang lagi kepadaku. Karna aku sangat percaya kepada Abah surah yang abah tulis serta tasbih yang abah berikan kepadaku terus aku gunakan,
“kapan abah simpen di tas aku yah tasbih ini” ucapku yang teringat waktu keberangkatan, malam itu abah tidak benar-benar ke kamarku.
Bahkan Ibu sudah tidak ada di rumah semenjak aku mengantarkan ke rumah sodaranya itu, terhitung sudah 5 hari. Memang membuat aku jenuh berkeja ini-ini saja, hanya memanaskan mesin mobil, menyiram bunga dan menyalakan air mancur berserta lampunya saja.
Siang ini waktu aku sedang membersihkan ranting-ranting pohon yang didapur itu, karna memang aku sedikit memanjat. Tiba-tiba bi inah berteriak.

“turun dulu Pur... ini ada tlp dari kang Dadang, katanya sodara kamu dari kampung” teriak bi Inah
Segera aku turun dan menghampiri bi Inah dengan cepat.

“mana bi...” ucapku

“sebentar lagi tlp lagi, tunggu aja disini, bibi mau nyapu bagian dalam rumah” ucap bi Inah
Terbayang sekali rumah yang sebegitu besarnya di sapu sama bi Inah, pikirku. Walau selama ini aku belum mengetahui isi rumah itu dan tidak ada sama sekali niatanku untuk masuk. Akhirnya tlp yang aku tunggu berbunyi.

“asalamualaikum...” ucapku
“walaikumsalam Purnama, gimana kamu lupa apa, kata abah kan 5 hari lagi kamu tlp, mang Dadang nungguin kasian karna udah janji” ucap Abah

“ya Allah, maaf bah lupa aku, iyah yah sekarang sudah 5 hari, maaf bah, gimana-gimana bah?” tanyaku
“Pur kalau wanita itu hadir dalam mimpi kamu, tidak usah takut sama sekali yah ikuti saja, lagian abah bantu juga disini, alhmadulillah istiri Karta semakin membaik, kalau kamu tau penyebabnya pasti kamu bakalan terkejut. Ini soal Dendam Pur...
...takutnya Abah juga salah namanya juga sama manusia, makanya kamu minta agar di lindungi dari segala bahaya.” Ucap Abah

“Dendam bagaimana bah maksudnya?” tanyaku

“sepertinya ada luka lama Pur, luka kesakitan, luka penyiksaan. Tapi abah tidak mau suudzon...
...itu hanya hasil usaha Abah berodoa dan meminta sama yang kuasa, walau kata orang-orang abah bisa sama hal-hal seperti itu, itu karna kelebihan yang di berikan Allah saja, begini terus saja doakan wirid yang abah kasih setelah solat...
...kemudian tambah dengan solat malam di waktu yang kamu bisa saja.” Ucap Abah menjelaskan

“iyah bah, darri teriakan yang pernah aku dengar, terus ada mimpi dengan sosok bi Inah yang mau entah bagaiamana sosok nenek tua itu membawa gunting, mukanya menyeramkan sekali...
...masih ada goresan darah yang bercucuran, Purnama ingat sekali bah.” Jawabku, masih mengingat sekali kejadian mimpi itu

Tiba-tiba abah terdiam, tidak ada suara sama sekali.

“Bah... Bah...” ucapku
“iyah Pur, benar itu mimpi kamu, semoga sama dengan yang di mimpi Abah, kamu ingat-ingat ini hapalkan pendek sekali surahnya, setelah tlp ini nanti mati, kamu tulis takutnya lupa, bacakan ketika solat malam itu yah. Insaallah baik-baik saja kamu disitu...
...Karta cerita banyak soal bi Inah juga. Sudah jangan suka diatur oleh nafsu, kalau sudah jatahnya apapun juga untuk kamu, pasti untuk kamu, lakukan yang seharusnya kamu lakukan saja. Abah hanya benar-benar khawatir saja dengan keadaan kamu disitu makanya seperti ini...
...Sisanya ada apa-apa jangan lama-lama tlp lagi mang Dadang yah” ucap Abah menjelaskan

Aku hanya setuju dan mengingat surah yang abah berikan, setelah itu abah bercerita juga soal ibu dan bapak aku yang baik-baik saja bahkan tidak tau persoalan ini.
Karna untuk supaya tidak khawatir saja dengan keadaan aku disini.

Selsai tlp dari Abah aku langsung ke kamar dan menuliskan surah yang abah berikan, di kamar aku berpikir tentang Dendam yang Abah bicarakan, apa memang ada luka lama, seperti apa Dendam tersebut.
Hari ini berjalan dengan cepat, kembali membantu bi Inah saja, tanpa ada pekerjaan lain, di waktu-waktu biasanya bi Inah kembali mengantarkan makan ke dalam, ke kamar Nek Raras.
Sementara aku benar-benar di buat jenuh. Apalagi rumah sebesar ini hanya aku, bi Inah dan Nek Raras saja yang mengisinya.

Sampai sudah empat hari dari tlp Abah itu, benar-benar tidak ada kerjaan sama sekali,
hanya beberapa kali aku melihat dokter datang dan langsung bersama bi Inah. Bahkan bi Inah tidak berbicara banyak tentang dokter itu sama sekali.

Solat malam terus aku lakukan walau tidak pernah pada jam yang sama, karna memang istirahat yang aku lakukan benar-benar cukup.
Sampai pada hari ini di pagi hari setelah selsai seperti biasa pekerjaanku, aku berpikir dari cerita awal kesini bi Inah dan dari awalnya meninggalnya ibu bi Inah dan juga sakitnya Nek Raras yang bertahun-tahun itu
“apa ada kaitanya dengan omongan Abah; luka kesakitan, luka penyiksaan dengan sekali mimpi yang aku alami” ucapku dalam hati.
Ketika ketakutan yang terbesar adalah dihantui rasa penasaran oleh pikiran aku sendiri, itu yang sangat melelahkan, bagaiamana bisa, untuk anak ukuran seperti aku, menarik benang kusut ke belakang dengan waktu yang bukan sebentar ini.
Sedang duduk di meja makan, selsai makan pagi ini, tlp berbunyi dan segera bi Inah mengangkat tlp itu, dari kejauhan aku melihat bi Inah hanya menganguk-nganguk saja. Tidak lama bi Inah mendekati aku.
“barusan ibu tlp Pur, kata ibu siang ini bapak pulang ke rumah, kamu pertama kalikan ketemu bapak, bapak orangnya sangat baik, tapi samakan saja pada ibu jangan bertanya soal nek Raras...
...karna sama dengan ibu bapak tidak pernah membahas apapun soal nek Raras kepada bibi sekalipun, apalagi bapak jarang ada di rumah.” Ucap bi Inah sambil duduk didekat aku

“bapak emang jarang di rumah yah bi hampir mau satu bulan aku disini baru bertemu dengan bapak?” tanyaku
“bapak punya perusahan tambang gitu Pur, diluar pulau, makanya sekalinya berangkat lama, tapi sayang, anak-anaknya...” ucap bi Inah langsung terdiam

“kenapa bi?” tanyaku semakin penasaran
“ibu dan bapak punya anak 2 Pur, anak pertamanya, 4 tahun kebelakang kecelakaan tidak wajar di jalan, anak ganteng sekali, percis seperti De Sita, terbayangkan sama kamu, semenjak luka kepergian anak laki-lakinya itu, ibu lebih sibuk kerja dan bapak juga sama...
...sementara kamu tau adiknya Ibu menjadi rumah baru De Sita, karna disini De sita selalu melihat sosok-sosok yang sama pernah bibi lihat” ucap bi Inah dengan tatapan kosong

“inallilahi, aku benar-benar baru tau bi, mang Karta tidak pernah cerita sampai sedalam ini.” Ucapku
“tidak apa-apa biar kamu semakin tau semuanya, lagian sudah lama juga kamu disini dan harus tau juga” ucap bi Inah perlahan

Aku benar-benar tidak menyangka sampai anaknya Ibu sekar sampai harus meninggal, walau aku percaya itu takdir.
Tapi sebenarnya apa dan kenapa ini, semakin tinggi rasa penasaranku, semakin tidak aku ikuti semakin menghampiri rasa penasaran itu.
Kemudian bi Inah masuk ke dalam rumah, dan menyuruhku untuk membersihkan area bagian kolam ikan, karna sama dengan ibu kolam itu tempat kesukaan bapak menghabiskan banyak waktu di rumah. Aku segera membersihkan bagian kolam, walau memang masih bersih, aku rapihkan kursi dan meja.
Yang membuat aku kaget di siang bolong seperti ini, aku melihat segumpalan rambut di bawah meja, walau memang beberapa hari ke belakang walau waktunya sangat jauh Ibu sama pernah duduk disini.
Apa mungkin bi Inah setiap membersihkan bagian ini tidak melihat gumpalan rambut sebanyak ini, ucapku dalam hati.

Segera aku masukan kedalam tong sampah, tidak lama terdengar gerbang terbuka, dan suara klakson mobil. Itu pasti bapak.
Segera aku berjalan cepat, menghampiri mobil yang cukup mewah itu sudah terparkir di halaman depan garasi.

“Purnama... ibu cerita banyak soal kamu, Sujoni panggil saja saya Joni. Bi kalau anak lelaki aku masih ada mungkin sudah sebesar dia yah?” ucap pak Joni
Aku hanya diam dan tersenyum saja.

“iyah pak Purnama ini masih muda baru keluar sekolah kemarin SMA nya, kalau saja sekolah tapi lebih memilih kerja karna kondisi keluarga pak, sama dengan aku di kampung namanya juga pak hehe” ucap bi Inah
Berbalik dengan sosok ibu, bapak sangat bersahabat dengan gaya bicaranya dan sangat hangat juga dengan cara menyapaku, tidak lama bapak langsung makan di dalam rumah dengan supirnya perusahaannya itu. Tidak lama selsai makan supir itu kembali pergi, dan aku yg menutup gerbang itu
Setelah itu bapak sudah tidak terlihat lagi, mungkin istirahat. Tidak lama di malam hari setelah semuanya beres termasuk bi Inah, karna seperti biasa juga lampu dan air mancur pasti bapak yang menghidupkan. Baru saja masuk kamar, bi Inah memanggilku.
“barusan bapak, tanya-tanya soal kamu, bibi jelaskan semua bibi kasih tau juga semuanya, dan bapak pengen ngobrol katanya, ditunggu sama bapak di kolam Pur...” ucap bi Inah bicara di depan kamarku
Aku sedikit kaget, apa yang bi Inah bicarakan, aku langsung menuju kolam lewat depan rumah.

“hei Pur sini, kenapa lewat situ, engga lewat dalam saja” ucap Pak Joni
Aku hanya terseyum, tanpa menjawab, karna aku tidak mau membicarakan aturan di rumah ini, yg diucapkan bi Inah. Bapak begitu hangat banyak obrolan tentang pekerjaan bapak dan merasa kesepian ketka pulang, bahkan bapak juga rencanya besok pagi ingin diantar olehku, menemui De sita
Aku mengiyahkan karna itu adalah pekerjaan aku, malam semakin larut, bahkan sudah mengobrol kemana-mana dengan bapak, jauh sekali dengan sikap diam ibu. Dan tidak jarang bapak penasaran dengan aku, perjuanganku juga sakitnya istri mang karta.
“maaf yah Purnama, kalau di rumah ini, kamu tidak nyaman, pasti kamu juga sudah tau soal sakitnya mertua saya itu. Andai ibu bisa di ajak kompromi untuk tidak selalu mengandalkan medis, mungkin harusnya beberapa tahun ke belakang, sudah selsai” ucap pak Joni
“maksudnya pak aku tidak paham?” ucapku pelan

“sudah berkali-kali bapak sarankan untuk ke orang bisa selain medis, tapi ibu selalu bersikukuh semuanya baik-baik saja. Kenyataanya sudah banyak yang bapak temui, nenek dihantui rasa bersalahnya sendiri...
...kesalahan masa lalunya sendiri, dan kesalahan keluarga besarnya sendiri. Bapak tau bahkan dari cerita almarhum ibunya bi Inah, dulu lama sekali, bapak pikir itu hanya cerita saja disana di kampung Ibu, di rumah nenek dulu, ternyata sampai hari ini...
...seperti itu nenek tidak bisa apa-apa hanya terbaring dan dengan luka yang tidak pernah sembuh” ucap bapak sangat perlahan

Aku sangat kaget dengan tau kondisi nek Raras, bahkan entah kenapa tiba-tiba suasana jadi menyeramkan, suasana yang sebelumnya pernah aku alami.
Dan entah kenapa mimpi soal nenek tua itu dan sosok perempuan yang pernah aku lihat menjadi teringat kembali.

“cerita almarhun Ibunya bi Inah seperti apa pak maaf, karna Abah di kampung juga sama, bilang ada Dendam luka lama, dan kesakitan pak...
...maaf sekali lagi Purnama bilang seperti ini, tidak ada maksud tertentu” ucapku dengan rasa tidak enak

Bapak terdiam, kembali tatapanya kosong, tidak seperti sebelumnya yg begitu sangat asik ketika bercerita banyak, keluarganya dan tentang sosok anaknya yang sudah almarhum itu
“tidak apa-apa, bi Inah juga sudah cerita soal Abah kamu, apalagi karta sama denganmu sama juga sering ngobrol dengan saya ketika saya pulang seperti ini, begitulah Purnama, Ibunya bi Inah sayangnya mungkin hanya bercerita kepada saya saja...
...Sehingga ibu selalu tidak percaya, dan menganggap kejadian itu adalah sebuah kecelakaan saja.” Ucap pak Joni, dengan terlihat matanya mulai berlinang

Aku masih diam, tidak berani lagi bertanya kepad pak Joni, karna dari ucapnya sangat dalam.
Dan anehnya angin malam ini tidak seperti biasanya, sangat menusuk dingin ke badanku, kalau dibandingkan dengan cuaca kota ini yang selalu panas. Tidak lama pundaku tiba-tiba berat dan napasku mulai sesak.
“Anjani Ayu, anak muda yang tidak berdosa, perlakuan ibu dan bapaknya Nek Raras dan juga Nek Raraslah yang menyebabkan kematianya tidak wajar. Penyiksaan sebagai Pembantu pada waktu sangat tidak wajar (lama), entah melakukan kesalahan apa...
...sebelas tahun kebelakang dari awal nenek sakit tahun 1988 itu, Ibu dan Bapaknya nek Raras, meninggal juga dengan sakit saling bergantian dan tidak wajar bahkan saya masih ingat tahunnya sebelas tahun ke belakang, tahun 1976 dan Ayu meninggal tahun 1885...
*tahun 1985 (ralat)

...tiga tahun sebelum nenek sakit parah seperti sekarang. Bukan waktu yang sebentarkan? tapi saya selalu percaya pasti ada kesalahan atas semua ketidakwajaran dari semua hal ini, kamu percaya Pur?...
...Saya berani lagi bicara seperti ini setelah lama dan hanya kepada istri saya dan kamu saja saya bicaran hal ini” ucap pak Joni melihat ke arahku
Aku terdiam dengan cerita pak Joni yang bahkan sangat ingat dengan tahunnya itu, mungkin hal itu juga yang bakalan tersimpan baik dalam ingatan pak Joni. Sebuah nama Anjani Ayu, aku merasakan juga kesakitan itu,
tidak tau kenapa aku tiba-tiba meneteskan air mata. Apalagi dengan cerita yang sangat sudah lama itu, tidak terbayang tahun itu jika Ayu benar-benar seperti apa yang di ceritakan pak Joni.
Anehnya angin yang menusuk badanku semakin dingin malam ini, dan semakin berat juga pundaku entah karna apa.

“iyah pak, itu sangat lama dan memang sesuai bi Inah juga bercerita tahun 1997 itu ibunya meninggal dan bi Inah ikut pindah kesini untuk merawat nek Raras...
...terimaksih pak sudah percaya sama Purnama untuk menceritakan kembali, mungkin itu sebuah luka lama, tapi pertangungjawaban (maaf) akan selalu mengikuti apa lagi soal rasa dan kejadian bersalah, Abah pernah berbicara seperti itu pak...
...dan mohon maaf lagi pak, Abah juga sudah mengetahui hal soal sakit nek Raras, dari cerita Karta” ucapku penuh rasa ketidakenakan

“tidak apa-apa Pur tidak selalu kamu minta maaf kepada saya, lagian tidak tau kenapa juga biasanya saya tidak mau mengingat hal ini kembali...
...tapi malam ini rasanya mengalir saja dengan kamu, alhmadulillah kalau Abah kamu juga sudah tau, dan kamu tidak perlu menceritakanya kepada siapa lagi, kecuali abah kamu, saya percaya sama kamu tidak tau kenapa mengikuti perasaan saja” ucap pak Joni, perlahan
Bahkan aku merasa diberikan amanah atas kejadian masa lalu yang baru saja aku ketahui, penasaranku yang besar kepada keluarga dan rumah ini bisa terjawab begitu besarnya, iyah mungkin ini bagian aku untuk mengetahuinya dan
selalu meminta kepada pencipta untuk selalu diberikan jalan terbaik untuk kondisi seperti ini, dan benar saja untuk urusan apapun sangat mudah baginya yang maha untuk mempermudah keadaan di dunia yang atas ciptaanya juga.
Malam ini dengan pak Joni berkahir dengan janji besok akan berkunjung menemui ibu, aku segera berjalan kembali lewat pintu garasi, walapun pak Joni memaksa untuk lewat dalam saja, tetapi aku tolak dengan alasan garasi belum aku kunci.
Memasuki garasi malam ini perasaan menakutkan semakin menjadi, bahkan ketika mengunci garasi posisiku membelakngi mobil, seperti benar-benar ada yang memperhatikan.
“apa karna obrolan soal Ayu itu dan obrolan yang sangat dalam dengan pak Joni, suasanya jadi seperti ini” ucapku sambil terburu-buru masuk ke dalam dapur. Melihat jam sudah hampir tengah malam. Lalu aku mendengar suara seperti orang yang menahan sakit, menggigil.
Aku melihat ke arah suara itu, dari kamar bi Inah segera aku membukakan kamar bi Inah dan benar saja bi Inah sedang mengigil dengan badan yang menyamping.

“bi ini purnama... bi...” ucapku membangunkan bi Inah
“iyah pur. Badan bibi sakit sekali rasanya, tolong ambilkan obat dan air minum, obatnya di laci bibi, bibi lemas pur...” ucap bi Inah

Segera aku dengan cepat mengabil air minum dan obat, tidak lama bi inah meminumnya dan kembali tertidur,
“kecapean pasti bibi sudah istirahat saja yah” ucapku dengan perlahan.

Tidak lama aku langsung saja solat malam, dan tidak lupa mendoakan Ayu seperti apa yang dibicarakan pak Joni, benar-benar ketika sedang bersila di mushola,
seperti ada angin yang tertiup pelan ke arah pundaku. Sangat dingin sekali. Semakin doa-doa aku panjatkan seperti apa yang Abah bilang, angin itu dan rasa dingin lambat laun menghilang.
Segera aku ke kamar, dengan isi pikiranku yang masih soal kejadian dan kekejaman jika memang benar dilakukan oleh kedua bapak dan ibu nek Raras juga Nek Raras sendiri, itu benar-benar diluar pikiranku,
sampai sosoknya bisa mempunyai Dendam sampai sebegitunya, pasti bukan perlakuan yang biasa. “kasian sekali...” ucapku
Mata yang biasanya sudah dalam keadaan tertidur lagi jam segini, ini sama sekali belum mau tertidur, dan sekarang selain ketakutan datang lagi kenyataan dari cerita pak Joni yang kembali ada dalam pikiranku.
Baru saja mau tertidur ada suara barang jatuh yang sangat keras di luar kamarku, yang membuat aku terkejut sangat terkejut kaget. Segera aku keluar untuk memastikan,
dan anehnya tidak ada apapun, kamar sengaja aku buka dan aku melihat ke arah pintu kamarku sama dengan bi Inah, pikirku takut saja bi Inah perlu apa-apa jadi aku bisa mendengarnya

***
Bagun pagi ini menuju solat subuh aku melihat bi Inah masih tidur, aku tidak berani membangunkanya, karna pas kau lihat kondisinya pucat sekali. “kasian bi Inah benar-benar sakit” ucapku sambil kembali merapihkan selimutnya.
Tiba-tiba bi Inah memanggilku, ketika aku mau berganti pakaian ke arah kamarku, segera aku temui bi Inah.

“Pur, bikinkan sarapan bubur untuk Raras, itu bahan-bahanya sudah ada dekat kompor, kamu pasti bisa mudah kok, bibi tidak kuat...
...setelah itu antarkan ke kamar nek Raras dan kamu suapi nek Raras, tunggu sebentr lalu minumkan obatnya yah, bibi lemas sekali” ucap bi Inah dengan perlahan

“tidak apa-apa aku yang buat buburnya bi dan aku yang mengantarkanya?” ucapku kaget
“tidak, sekalian kamu sudah cukup lama disini, dan bibi juga sudah cerita sedikit kalau purnama sodara karta yg mengantikan, karta juga sesekali suka melihat nek Raras Pur, bibi melarang kamu karna takut kamu kenpa-kenapa sama dengan mang Karta itu, maafkan bibi yah” ucap bi Inah
“iyah bi tidak apa-apa lagian aku juga paham sekarang, dan itu wajar bi. Nanti siangan sebantr pulang mengantarkan bapak, kita ke berobat yah bi” ucapku
Segera aku memasak bubur, dan untungnya aku benar-benar bisa memasak ini, karna sering di kampung bikin, jadi tidak terlalu khawatir,
yang membuat aku khawatir adalah pertemuan pertama dengan Nek Raras apalagi dengan sakit yang sudah cukup lama dan cerita yang sebelumnya pak Joni ceritakan kepadaku,
Bagaiamana tidak membuat aku kaget, semua yang membuat aku penasaran dan rasa ketakutan juga hal-hal tentang sosok nek Raras,
pagi ini aku yang akan mengantarkan makan pagi dan langsung melihat kondisi nek Raras. Benar, akan selalu ada kemudahan untuk niatan yang baik, lagian kondisinya saja ini yang menyeretku secara paksa.

***
Lamunan tentang bagaimana sosok Nek Raras yang akan aku temui, masih saja membuat aku semakin penasaran, bukan karna apa-apa, karna sakit dengan jangka waktu yang sangat panjang itu.
Seolah memang keadaan pagi ini sengaja mengaminkan apa yang ingin aku ketahui, atau mungkin ini sebagian dari pada jawaban dari doa-doa.
Selsai membuat makanan untuk nek Raras dan sudah tersimpan rapih di wadah yang biasa bi Inah gunakan, segera aku menemui bi Inah ke kamarnya.
Dan memang sengaja membuatkan makanan juga buat bi Inah

“bi sudah siap makananya, aku buatkan juga buat bibi ini kalau tidak enak maaf yah bi” ucapku, sambil menyimpan di meja kamar bi Inah
“Pur... kamar nek Raras, kedua setelah melewati kamar bekas De sita dari arah tangga, jangan aneh melihat isi rumah yah Pur, di bawah hanya ada kamar Ibu dan Bapak saja, sisanya kamar untuk tamu menginap dan Mushola saja yang dekat pintu menuju kolam” ucap bi Inah menjelaskan
“baik bi, tidak apa-apa, obat untuk nek Raras dimana bi?” ucapku, karna memang mengerti bi Inah menjelaskan takutnya aku gimana-gimana, mungkin.

“obatnya ada di dekat meja kamar nek Raras sudah rapih apa yang ada di meja itu ambil satu-satu pur yah...
...Kalau ada darahnya kamu bersihkan dengan tisu yg ada di meja juga yah” Ucap bi Inah dengan perlahan

Aku kaget dengan darah yg diucapkan bi Inah. Segera aku berjalan keluar kamar bi Inah, dan untuk pertama kalinya setelah satu bulan hanya krg beberapa hari saja di rumah ini
Sudah ada didepan pintu yang menghubungkan antara dapur dan rumah.

“bismillahirohmanirohim...” ucapku yang segera membuka pintu dan langkah pertamaku masuk langsung disuguhkan dengan keindahan isi rumah yang begitu mewah
sambil melangkah melihat kanan dan kiri isi rumah, ada Televisi yang sangat besar yang baru pertama kali aku lihat, tidak jarang beberapa benda koleksian Bapak dan Ibu yang antik-antik dan guci-guci besar juga ada didalam isi rumah ini
Sebelum menaiki tangga yang sangat indah dengan goresan kayu ini, banyak sekali foto-foto keluarga Ibu dan Bapak, aku berhenti sebentar, kenapa mataku terarah dan memaksa memperhatikan foto tua dengan bingkai coklat itu,
“oh mungkin ini foto kelurga dari nek Raras, sangat tua sekali fotonya. Apa masih ada keturnan belanda?” ucapku perlahan, sambil memperhatikan dengan detail sekali. “iyah masih ada keuturunan belanda” karna terlihat beda dari muka dan cara berpakaian
Segera aku melangkah kaki kembali, dengan dua tangan yang memegangi baki makanan untuk nek Raras, perlahan aku injakan satu persatu pada anak tangga ini.
Tidak tau kenapa semakin dengan dengan ujung tangga (akhir) perasaanku ingin sekali berbalik ke arah belakang. Seperti ada yang memperhatikan aku dengan tajam karna memang terasa.
Sampai di lantai dua rumah ini, aku melihat benar ada bekas kamar De Sita dengan ukiran pintu yang lucu, dan aku yakin sebelahnya adalah kamar nek Raras. Lantai dua rumah hanya ada 4 kamar yang menurutku sangat mewah terlihat sama dari ukiran pintunya yang indah.
Anehnya, lantai dua benar-benar banyak benda-benda seperti topi-topi untuk perempuan belanda yang pernah aku lihat dibeberapa buku sejarah Abah di rumah (kampung), dan tempat bersantai nya benar-benar sangat indah dan banyak ukiran-ukiran dari kayu yang cukup besar.
Tapi entah hanya perasaan aku saja, lantai dua rumah ini kesanya sangat tidak nyaman, padahal ini baru saja pagi sekali, dan beberapa gorden masih tertutup.
“benar-benar mewah” ucapku didepan pintu kamar nek Raras melihat ke seluruh isi ruangan lantai dua rumah ini.

Langsung aku membuka pintu kamar “asalamualaikum...” ucapku sambil masuk, dan melihat isi kamar nek Raras.
Tidak ada jawaban sama sekali, di ranjang tempat tidur terlihat wanita tua yang masih terpejam matanya. Aku menutup kembali pintu dengan perlahan karna tidak mau menganggu nek Raras yang masih tertidur itu.
Cermin besar, lemari tua antik dan beberapa pajangan yang berada dalam satu rak yang sama tuanya dengan lemari itu, mataku sangat cepat memeperhatikan ruangan ini. Baru saja melangkah beberapa kali.
“krekeetttt...” suara pintu yang baru saja aku tutup tiba-tiba terbuka sendiri dan membuat aku kaget bukan main!

Segera mataku melihat ke arah pintu dan berbalik badan “tidak ada siapa-siapa tidak ada angin juga” ucapku dalam hati yang kemudian menutup kembali.
Segera aku berlajan kembali ke arah nek Raras dan melihat kondisi nek Raras yang sedang terbaring di kasur itu.

“inalillahi, ya Allah...” ucapku pelan sambil melihat kondisi nek Raras dengan bagian muka yang sudah tidak utuh normal.
Ada beberapa luka seperti goresan yang tidak tau kenapa aku cukup dibuat kasian. Dan baru pertama kali melihat.

Apalagi dibagian pipinya yang sudah tidak kencang lagi kulitnya itu, ada darah dari goresan luka yang keluar, masih sangat segar.
"pasti perih itu” ucapku sambil duduk di kursi yang memang sebelumnya sudah ada disamping ranjang tempat tidur.

Melihat pakaian yang dipakai nek Raras masih terbilang rapih, belum selsai aku dibuat kaget lagi,
ketika melihat bagian lengan kanan nek Raras yang sama dengan bagian muka terdapat luka yang cukup (maaf) menjijikan, lebih parah dengan bagian mukanya itu. “jika sakitnya hanya urusan luka saja kenapa bisa bertahun-tahun lamanya” ucapku dalam hati karna merasa kasian.
Makanan yang masih aku pegang dengan kedua tanganku, aku simpan di ranjang tempat tidur disebelah nek Raras. “asalamualaikum nek, bangun, makan dulu” ucapku sambil memengangi tangan nek Raras.
Tidak ada jawaban sama sekali, aku ucapkan lagi untuk kedua kalianya dan nek Raras tiba-tiba melotot ke arahku! dan tersenyum manis! Itu yang membuatku kaget bukan main!
Tatapanya masih saja melotot ke arahku, benar-benar membuat bulu pundaku berdiri begitu saja dengan cepat, apalagi lampu kamar yang belum aku matikan ini berwarna kuning tua, dan gorden kamar belum aku buka sama sekali.
“nek aku purnama, sodaranya mang Karta dari kampung, bi Inah tidak bisa menantarkan makan pagi ini jadinya aku yang mengantar kesini, ayo nenek makan dulu” ucapku dengan gemetaran, karna senyuman dan mata yang melotot itu masih saja menatapku tanpa jawaban sama sekali.
Aku di buat bingung dengan sikap nenek yang tiba-tiba terbangun dan tersenyum menakutkan ini. Dalam hatiku berdoa tidak henti-hentinya membacakan (wirid) yang sebelumnya Abah berikan kepadaku itu.
“hahahaha... hahaha... hahaha...” tiba-tiba nek Raras tertawa dengan sangat keras sambil mulut yang terbuka sangat lebar dari awalnya yang tersenyum itu, aku hanya memperhatikan dengan sangat takut!
karna tawanya itu membuat bagian luka dekat mulutnya yang sudah hampir kering itu kembali mengularkan darah.

Tidak hentinya-hentinya meminta pertolongan dari yang kuasa, sambil melihat tidak lepas dari suara ketawa nek Raras yang semakin mereda dan tiba-tiba juga,
matanya kembali terpejam.

“alhamdulilah” ucapku dengan napas yang sudah tidak tenang.

Bahkan beberapa menit yang sudah aku lewati di kamar nek Raras ini sama sekali tidak membuatku paham dengan apa yang sudah terjadi.
Segera aku kembali membangunkan nek Raras “asalamualikum nek, ini Purnama, bangun makan dulu.” Ucapku sambil mengerakan bagian tangan nek Raras dengan perlahan.

Tidak lama setelah ucapnku itu, nek Raras membukan mata dengan perlahan. Dan melihat ke arahku.
juga sama dengan kejadian barusan, langsung tersenyum namun senyum nek Raras sekarang berbeda dengan barusan, senyumannya biasa saja, hanya sedikit. Kemudian aku balas juga dengan senyuman.
“aku Purnama nek, di suruh bi Inah yang sedang tidak enak badan, aku sodara mang Karta yang sebelumnya kerja disini.” Ucapku sambil salam ke arah nek Raras dan menudukan badan
“iyah bi inah sudah cerita lama, makasih sudah mau mengatarkan makan kesini Purnama” ucap nenek sangat pelan dengan suara yang sesuai dengan umurnya.
Bagiamana barusan nek Raras bisa tertawa begitu keras dan sebelumnya aku mendengarkan suara teriakan yang begitu kencang, dengan suara yang aku dengan didepan aku ini sangat pelan bahkan sangat lemah.
“iyah nek sama-sama, ayo makan dulu, takut keburu dingin” ucapku sambil menyodorkan air putih dan langsung menyuapi makanan yang sudah aku buat secara perlahan.
“nenek sudah tidak bisa bangun, badan nenek lemas sekali, dan luka-luka ini sangat perih sekali Purnama...” ucap Nek Raras sambil meneteskan air matanya

“iyah nek, nanti selsai makan, aku bersihkan kemudian nenek minum obatnya yah” sahutku pelan mengimbangi suara dari nek Raras
Hampir selsai makanan yang aku suapi kepada nek Raras, tidak tau kenapa sesekali nenek menatap ke arah cermin yang sangat besar itu dan memalingkan tatapanya dengan cepat,
bahkan berkali-kali aku melihat matanya mencoba lagi melihat ke arah yang sama dan kembali memalingkan tatapanya kembali.

Tangan yang sudah tua dan hanya tersisa daging sedikit karna bagian tulang-tulang yang hampir kelihatan itu tiba-tiba terangkat dengan pelan,
bahkan aku memperhatikanya dengan pelan sekali, sangat pelan. Menunjuk ke arah bagian cermin dengan mata yang melihat ke arahku.

“itu purnama, itu...” ucap nek Raras dengan perlahan
“bagiamana nek” jawabku sambil mendekatkan sedikit kepala ke arah nek Raras, karna suaranya sangat pelan dan tidak terdengar dengan jelas

“itu... lihat di cermin...” ucap nek Raras sangat pelan
Segera aku melihat ke arah cermin yang memang membelakangi aku karna searah dengan posisi nek Raras tertidur. Tidak ada apa-apa hanya ada pantulan aku yang sedang duduk di kursi dan nek Raras yang sedang terbaring.
“tidak ada apa-apa nek, ada apa emangnya” ucapku yang sudah mulai merasakan suasana yang sebelumnya pernah dan sering aku rasakan

“ituuu... lihat lagi...” ucap nek Raras dengan suara yang sama seperti barusan
Segera aku berbalik sedikit dan melihat ke arah cermin! Ada sosok wanita yang sebelumnya aku pernah aku lihat dengan bagian muka yang tertutup oleh rambut, masih dengan pakaian putih yang sudah kotor itu!
Deg! Aku melihat di arah cermin ada disebelahku, dekat dengan bagian wajah nek Raras!

Segera aku balikan badan kembali ke arah belakangku dimana dari arah cermin terlihat sosok wanita itu, ketika berbalik melihat disampingku tidak ada siapa-siapa!
“sudah habis makanya nek aku bersihkan luka nya yah” ucapku untuk menenangkan suasa, karna nek Raras hanya menunduk saja dan hanya ada anggukan kepala sekali

Aku berdiri dan berjalan ke arah meja yang sudah banyak tersimpan onat-obatan juga tulisan tanggal dokter,
yang tidak aku tau itu apa karna tidak aku baca dengan detail. Sesekali melihat ke arah cermin yang besar itu sama sekali tidak ada lagi sosok wanita itu.

“sepagi ini kejadian semakin aneh telah aku lihat” ucapku dalam hati sambil mengambil satu persatu obat
yang akan diminumkan kepada nek Raras, ada 6 butir obat yang sama sekali tidak aku mengerti obat ini kegunaanya untuk apa, aku hanya menuruti perintah dari bi Inah saja.
Segera aku bersihkan darah dari luka nek Raras, lukanya seperti orang yang baru saja terekena musibah kecelakan walaupun ada satu goresan luka dibagian pipinya seperti bekas goresan benda tajam, yang sama sekali tidak aku mnegerti.
Darah yang berada diluka bagian muka perlahan sudah bersih, sesekali nafas dari nek Raras terdengar seperti menahan perih, dan aku yakin itu pasti sangat sakit, dengan luka seperti ini.
Lanjut kebagian tangan kanan nek Raras, sama sekali tidak bisa membuat daya pikirku berjalan normal untuk memikirkan luka dan darah seperti ini bisa terjadi.
Cukup lumayan lama aku membersihkan darah dari luka-luka yang ada di wajah dan tangan nek Raras, segera aku minumkan satu persatu obat.

“semua saja purnama minumnya nenek” ucap nenek dengan sedikit jelas ucapanya kali ini
Segera obat yang tersisa 4 butir itu saku arahkan ke mulut nek Raras dan kemudian memberikan air minum, baru saja aku merasa lega dengan tugasku. Aku melihat lagi darah-darah dari wajah dan tangan kanan nek Raras kembali seperti semula.
“baru saja... barusan bersih” ucapku dalam hati

Kemudian aku bersihkan kembali dengan perlahan dan nel Raras kembali meneteskan air matanya lebih banyak dari sebelumnya. Mungkin menahan rasa perih, pikirku.
Baru saja pindah kebagian tangan, bagian wajah sudah kembali lagi darah itu perlahan muncul dari luka-luka itu.

Kembali aku bersihkan hampir sudah empat kali aku bulak-balik membersihkan darah. Baru semuanya benar-benar berhenti seketika.
“eh Purnama, bapak kira bi Inah, tumben pintu nya terbuka” ucap pak Joni berdiri didepan pintu kamar nek Raras

“iyah pak, bi Inah lagi engga enak badan jadinya aku yang memberi makan dan juga obat buat nek Raras...” ucapku, masih kaget kapan pintu itu kembali terbuka!
padahal jelas-jelas sebelumnya sudah aku tutup rapat sekali.

Setelah itu kemudian aku bicara kepada nek Raras untuk pamit, dan Nek Raras minta untuk dibukakan goden kamarnya dan menyuruh aku jangan mematikan lampu kamarnya.
Bapak masih saja berdiri dan menatap kosong ke arah nek Raras yang terbaring di ranjang tempat tidurnya.

Segera aku keluar dan bapak yang menutupkan pintu.

“kasian... banyangkan sudah dengan waktu yang cukup lama nek Raras terbaring dengan sakitnya itu, sesekali bangun...
...hanya duduk menatap jendela itu juga harus dibantu sama bi Inah” ucap pak Joni, sambil berjalan menuruni tangga denganku

Aku tidak menjawab hanya mengangukan kepala saja,
karna perasaan yang sama untuk sebuah kepedulian yang sudah aku lihat, benar-benar selama ini rasa penasaran itu perlahan terjawab oleh keadaan

“ini keluarga dari nek Raras, ini ayahnya ini ibunya nek Raras, anak satu-satunya Nek Raras itu...
...dan kemudian ini kakeknya De sita dari Ibu Sekar istri saya yang meninggal muda Pur” ucap pak Joni

“masih ada seperti keturunan belanda yah De sita juga pak, apalagi ibu juga mirip dengan Nek Raras” ucapku sambil memeperhatikan foto yang sebelumnya sudah aku lihat,
ketika mau mengantarkan makanan ke kamar nek Raras.

“iyah jelas Pur, bapaknya nek Raras itu belanda keturanan seperti itu, dan soal cerita yang semalam saya ceritakan dijamanan inilah Ayu meninggal...
...ketika sedang berkerja untuk nek Raras yang sebelumnya berkerja untuk bapak dan Ibunya nek Raras yang ini” ucap pak Joni menunjukan ke arah foto yang sebelumnya memang menarik perhatianku
“jadi Ayu itu dari muda kerja dengan bapak dan ibunya nek Raras, kemudian setelah meninggal dua-duanya karna tidak wajar, kemudian Ayu kerja dengan Nek Raras bareng dengan Ibunya bi Inah sebagai tukang cuci sementara Ayu tukang memasak...
...dan ibunya bi Inah lah saksi bagaimana perlakuan tidak wajar kepada Ayu, apalagi suaminya nek Raras yang sama kejamnya, itu yang terakhir bapak dengar” ucap pak Joni sambil menjelaskan menunjuk satu persatu orang yang pak Joni bicarakan.
Aku hanya mengangukan kepala, tanda mengerti. Dan memang bukan waktu yang sebentar apalagi jika saksi yang bapak dapat adalah ibunya bi Inah yang sudah sama meninggal, benang merahnya sangat kusut, pikirku sambil berpikir.
Dan tidak tau kenapa memang benar-benar membuat aku sedih, walau hanya cerita yang belum sama sekali jelas “apa ada kaitanya dengan sakitnya nenek” masih saja pikiran anehku berkata seperti itu dan itu jelas tidak boleh karna berperasangka buruk kepada nek Raras,
walau gangguan dan sosok wanita yang sama sudah aku lihat. Dan omongan dari Abah soal Dendam.

“kenapa kamu jadi melamun Pur, sudah bilang saja sama bi Inah jangan buatkan makan untuk saya, nanti saja saya makan diluar sambil mau berjumpa dengan kawan...
...Kamu siapkan mobil yang biasa saya gunakan disini, kasian mobil itu jarang dipakai. Eh itu bekas darah yang kamu bersihkan dari luka Nenek?” tanya pak Joni, terlihat heran yg memang tisu2 yg akan aku buang berada di atas bekas baki, yg sudah aku lapisi lagi dengan tisu bersih
“iyah pak baik, iyah pak bekas darah dari luka nenek” ucapku sama heranya dengan pak Joni

Tidak ada jawaban apapun lagi dari bapak, hanya mengelangkan kepala berkali-kali.
kemudian aku ke berjalan ke arah dapur melewati ruang tengah rumah dengan masih sama kekagumanku terhadap rumah ini.

Aku melihat bi Inah sudah bangun dan duduk di meja makan, hanya melamun dengan tatapan kosong. “bi aku baru saja selsai” ucapku langsung duduk dihadapan bi Inah.
Tanpa ada jawaban sama sekali dari bi Inah dan aku juga masih saja diam, bingung dengan sikap bi Inah dan lebih bingungnya lagi dengan lamunan bi Inah yang seperti ini.

“bibi kenapa jadi melamun begitu” tanyaku
“semalam bibi mimpi di jambak sama nek Raras kemudian bagian muka bibi di gores sama gunting dan bibi menangis sejadi-jadinya” ucap bi Inah sambil menatap kosong

“lalu bi...” tanyaku karna sepertinya bi Inah akan berbicara hal lainnya

“lalu entah kenapa Ibu bibi almarhum...
...yang menyelamatkan bibi, kemudian sisanya aneh, bibi jadi ingat sama almarhum ibu bibi Pur” ucap bi Inah langsung melihat ke arahku

“sudahlah bi, ibu bi inah mungkin minta di doakan saja sama bibi...” ucapku menenangkan suasana
“iyah Pur, sepertinya begitu... itu darah dari bekas luka Nek Raras? Banyak sekali baru kali ini bahkan bibi melihatnya...” ucap bi Inah kaget melihat ke arah tisu-tisu yang sudah menumpuk

Lalu aku menjelaskan, membersihkan lukanya berkali-kali,
tidak tau kenapa dari yang asalnya sudah bersih kemudian tiba-tiba ada lagi, terus menerus begitu saja. Dan aku bilang juga jangan masak karna bapak mau makan di luar kepada bi Inah.

Tidak lama aku buang bekas tisu-tisu yang penuh dengan darah itu ke tong sampah depan rumah,
sekalian membuka garasi mobil. Aku masih heran, masa iyah ini adalah darah paling banyak yang pernah bi Inah lihat, sementara dia mengurus nenek sudah dengan waktu yang tidak sebentar.

Segera aku siapkan mobil yang akan digunakan bapak hari ini,
posisi mobil dalam garasi memang bagian ujung, dibelakang mobil terdapat kursi yang sebelumnya sudah membuat aku ketakutan dengan segala kejadian aneh yang sudah aku alami.

“bagiamanapun kursi ini, mungkin beberapa benda yang pernah jadi saksi...” ucapku
sepagi ini tidak pernah sama suasananya jika dibandingkan dengan malam sangat berdeda.

Setelah selsai meyiapkan mobil dengan segalanya, aku kembali beristirahat dan mulai melihat bi Inah melakukan aktivitasnya, walau sangat jelas badanya masih lemas sekali.
“bi nanti bapak pergi, kita ke dokter berobat aku yang antar” ucapku sambil mendekat pada bi Inah

“tidak usah Pur, nanti nenek sendiri... tidak apa-apa siangan dikit juga bibi sembuh” ucap bi Inah kemudian duduk di meja makan
“yasudah kalau masih belum membaik aku belikan saja obat yah bi...” ucapku perlahan

Tiba-tiba muka bi Inah semakin pucat, tidak tau kenapa, tatapanya masih saja kosong seperti memikirkan sesuatu
“sudah taukan sekarang kondisi nek Raras seperti apa Pur?” tanya bi Inah

“iyah bi tau, kasian sekali nek Raras harus mengalami sakit seperti itu” jawabku

“entah kenapa bibi masih kepikiran soal mimpi itu, tidak seperti biasanya” ucap bi Inah dengan tatapan kosong
Tiba-tiba aku teringat mimpi yang sama dengan bi Inah di awal kedatangku ke rumah ini, yang awalnya aku anggap mimpi itu hal yang biasa, kemudian Abah dan sekarang bi Inah.

“apa gara-gara mimpi itu bibi jadi sakit seperti ini juga yah pur...” tanya bi Inah
“enggalah bi, memang bibi kecapean aja kali, butuh istirahat bi sudah jangan mikir kemana-mana yah bi yang tenang bibinya” ucapku menangkan bi Inah
Bagiamana bisa aku menyuruh bi Inah supaya tenang jangan mikir kemana-mana malah sekarang aku yang berpikir kemana-mana soal mimpi-mimpi itu. Tidak lama bi Inah berdiri.
“iyah Pur, kayanya bibi perlu istirahat saja ini yah... bibi ke kamar lagi dulu aja yah, kalau mau makan kamu buat sendiri yah” ucap bi Inah kemudian berjalan menuju kamar
Kemudian aku memasak untuk makan aku sendiri, tidak lama bapak menyapku menanyakan soal mobil, bapak berangkat lebih awal katanya ada keperluan mendadak terlebih dahulu, dan bapak juga berpesan kalau malam ini bakalan pulang dengan ibu.
“bilang ke bi Inah jangan paksakan kalau sakit, nanti bapak sama ibu makan diluar saja tidak apa-apa yah...” ucap bapak

Kemudian aku tinggalkan masakanku, untuk mengeluarkan mobil bapak terlebih dahulu,
sampai di garasi dengan bapak, aku melihat bapak menatap hal yang sama kepada kursi yang terdapat dipojokan garasi itu.

“sudah tau soal kursi itu Pur?” ucap pak Joni yang masih mematung melihat ke arah kursi itu

“belum pak kenapa memangnya” jawabku
Memang aku tidak benar-benar tau soal kursi itu, hanya kata bi Inah dulunya itu di kamar nek Raras, hanya sampai itu ketauanku soal kursi itu.

“dulunya, kursi itu dari rumah nek Raras kemudian pindah kesini dibawa, itu kesayangan kursi ibunya nek Raras dulu...
...kemudian jadi kursi yang sering digunakan nek Raras sebelum sakit, tapi...” ucap pak Joni kemudian berhenti

“tapi kenapa pak?” tanyaku semakin penasaran

“setelah sakitnya menginjak 6 bulan di rumah ini, nek Raras sering teriak-teriak sambil menunjuk kursi itu...
...kemudian dipindahkanlah dan disimpan disini, saya selalu yakin ada hal lain soal segalanya tentang nek Raras, tapi kuasa tetap ada di istri saya itu ibunya, bukan ibu saya Pur, selalu jadi pertengkaran hebat saya dan istri saya ketika membahas soal nek Raras” ucap pak Joni
Aku masih diam sama memantungnya dengan bapak, melihat ke arah yang sama pada kursi itu, dan setuju dengan apa yang diucapkan bapak.
Tapi untuk sebuah urusan rumah tangga antara suami dan istri aku benar-benar belum memahami sampai sejauh itu. “pantas saja aku mengalami keanehan di garasi ini jika cerita yang sebenarnya seperti itu” ucapku dalam hati
“ayo keluarkan mobilnya Pur...” ucap pak Joni

Segera aku membukakan semua pintu garasi, dan mengeluarkan mobil bapak, membukakan gerbang, dan tidak lama juga bapak pergi
segera aku kembali terdiam didepan garasi rumah ini, segala yang ingin aku ketahui atas nama penasaran benar-benar perlahan semuanya aku ketahui.

walau aku juga tidak benar-benar mengerti maksud dari apa yang aku alami ini untuk apa dan kenapa aku.

***
Mengetahui tentang Nek Raras dengan segala sakit dengan luka yang aneh, aku pikir akan membuat semua ini berakhir, kenyataanya tidak. Pertanyaan lainya muncul, rasa penasaran yang semakin menjadi sekarang diam dalam sistem pikiranku
Apalagi setelah mendengarkan cerita mimpi yang sama dari bi Inah, silsilah keluarga yang detail dari bapak. Bahkan tentang Ayu dengan segala kejadian masa lalunya, adalah keadaan dimana yang sekarang aku rasakan
Walau bukan dengan waktu yang lama, setelah segala kejadian gangguan, segala yang sudah aku alami dan aku lihat sendiri, sekarang semua pertanyaan itu berkumpul di kepalaku.
Lamunan di meja makan, setelah melanjutkan kembali memasak dan penjelasan cerita tentang kursi di garasi yang bapak jelaskan tentu saja menambah lagi apa yang ingin aku ketahui. Di tambah dengan sakitnya bi Inah hari ini yang tentu menjadi beban untukku.
Bahkan setelah makan pagi ini aku hanya menghabiskan waktu mengurus bunga-bunga ibu saja, saking tidak ada lagi yang aku kerjakan. Tidak lama ada teriakan dari suara bi Inah yang meninta air minum, segera aku ambilkan.

Bi Inah sudah duduk di kasur kamarnya.
“alhamdulillah bibi sedikit baikan Pur… tidak apa-apa bibi lagi nanti yang antarkan makan untuk nek Raras, makasih yah pagi ini udah bantu bibi.” Ucap bi Inah, sambil kemudian menimum semua air putih yang aku bawa
“alhamdulillah, kata bapak bibi tidak usah masak nanti bapak sama ibu makan diluar; pesan bapak begitu bi” ucapku

Kemudian perlahan bi Inah berjalan pelan denganku, keluar dari kamarnya dan aku membantu apapun yang akan bi Inah kerjakan hari ini.
“Pur, bibi tau kamu banyak mengalami hal aneh dirumah ini, waktu Karta dulu menceritakan nama kamu, sebelum kamu kesini sudah bibi sarankan jangan...
...karna takutnya yah seperti ini apalagi di usia kamu mungkin belum bisa menerima segala keanehan yang sudah kamu alami” ucap bi Inah, dengan penuh tidak enak

“tidak apa-apa bi niatku, membantu mang Karta adiknya ibu aku di kampung makanya aku insallah ikhlas...
...sisanya pelajaran bi buatku, pengalaman baru” ucapku perlahan, walau dalam hati berkata “pengalaman pertama dan tidak begitu menyenangkan”
“syukurlah kamu berpikirnya seperti itu, oiyah sudah liat foto-foto yang ada didinding tangga? Bibi selalu ingat ibu kalau melihat keluarga dari nek Raras…”
ucap bi Inah
“iyah bahkan bapak kebetulan menjelaskan itu siapa aja bi dan yah cerita-cerita, lagian bapak orang nya selalu pengen ngobrol yah bi” jawabku

Bibi tersenyum dengan kelihatan bahagia dan tidak tau kenapa padahal apa yang aku ucapkan biasa saja
“lewat foto-foto itu bibi bisa mengenang ibu bibi Pur, karna diakhir hidupnya berbakti sama keluarga nek Raras… iyah dengan Karta juga begitu, bapak memang selalu begitu” ucap bi Inah

Cukup membuatku mengangukan kepala,
cara mengenangnya melihat foto keluarga yang dulunya majikan, benar-benar kadang sikap manusia mempunyai cara tersendiri untuk mengenang seseorang.

Siang ini bi Inah yang kembali melakukan aktivitas seperti biasanya,
Jam 8 malam ini aku kembali melakukan aktivitas biasa menyalakan lampu kolam dan air mancurnya, tidak ada yang berbeda semua berjalan normal-normal saja. Bahkan ketika aku membereskan garasi sama sekali tidak ada yang aneh dan menakutkan seperti sebelumnya kejadian di tempat ini.
Selsai melakukan tugas seblum istirahat itu, aku masih jongkok memperhatika bunga-bunga, tidak tau kenapa semenjak setiap pagi mengurus bunga ada ketertarikan lebih pada tiap-tiap warnanya dan segala keindahan dari bunga-bunga ini.
“pur sini, makan dulu ayo...” ucap bi Inah yang baru saja selsai kembali dari kamar nek Raras seperti biasa mengantarkan makan malam

Segera aku menuju meja makan dan seperti biasanya makan hanya berdua saja dengan bi Inah, yang sudah aku anggap seperti ibuku sendiri ini.
Satu bulan disini, dengan kondisi makan yang seperti ini juga, tiba-tiba aku teringat bapak dan ibu di kampung juga Abah yang sudah lama aku tidak memberi kabar.

“kondisi nek Raras semakin tidak baik Pur... bahkan barusan sudah kembali tidak mau meminum obat...
...makanya bibi lamakan barusan, sama sekali menolak, bahkan darah dari luka-lukanya semakin banyak, hampir sama seperti pagi yang bibi lihat pas kamu yang antar makanan ke kamar nek Raras, tuh di keresek bibi simpan...” ucap bi Inah, sambil menunjuk ke arah keresek
Iyah banyak sama seperti aku, ucapku dalam hati.

“aku berkali-kali bi, bulak balik dari wajah ke tangan begitu saja, makanya banyak, kapan dokter itu datang lagi bi?” tanyaku pada bi Inah
“sama bibi juga, bahkan barusan nek Raras, setelah melihat ke arah cermin besar di kamarnya itu, kamu taukan?” tanya bi Inah

Deg! Tiba-tiba aku teringat pada kejadian pagi tadi soal sosok wanita yang aku lihat di cermin
“iyah bi tau, yang mengarah langsung ke tempat tidur nek Raras, kenapa memangnya bi?” tanyaku

“tidak tau kenapa, barusan hanya menunduk, dan berkali-kali menunjuk ke arah cermin, bibi lihat tidak ada apa-apa sama sekali” ucap bi Inah menjelaskan dengan penuh keheranan
Bagaimana bisa aku melihatnya sosok perempuan itu, ketika nek Raras sama percis dengan sebelumnya aku alami dan bi Inah juga alami

“kenapa kamu jadi melamun Pur...” ucap bi Inah sambil menepuk lengan aku
“hah engga bi, iyah aku juga kepikiran dengan sakitnya dan sudah aku lihat langsung kondisinya bi...” jawabku, berbohong.

Padahal bukan itu yang aku pikirkan malah sosok perempuan yang sudah beberapa kali aku lihat Tidak lama telepon dapur berbunyi dan bi Inah langsung berdiri
dan mengangkat telepon tersebut, hanya “iyah” dan “baik” yang keluar dari mulut bi Inah, kemudian tidak lama telepon tersebut ditutup kembali.

“ibu barusan Pur, katanya malam ini pulang ke rumah, baru sebentar lagi akan berangkat dari rumah sodaranya, bareng bapak” ucap bi Inah
“ibu sekalinya engga ada di rumah lama yah bi, lebih sering di rumah sodaranya yah...” jawabku dengan perlahan

“iyah Pur memang begitu, apalagikan De Sita memang sudah hampir 2 th tinggal dirumah sodara ibu jadi kebanyakan ibu disana...
...kasian sudah lama sekali bahkan Ibu tidak pernah lagi melihat kondisinya nek Raras, padahal itu ibunya sendiri, hanya dan selalu percaya sama hal medis saja, mendatangkan dokter dll saja Pur...” ucap bi Inah
Bahkan aku kaget setelah sesuatu yang baru lagi aku ketahui tentang ibu, yang barusan bi Inah ucapkan.

“apalahi 2th kebelakang setelah De sita hampir bisa dikatakan sering melihat hal-hal yang tidak masuk akal, bahkan pernah sakit parah yang tidak masuk akal dulu...
...mamang kamu Karta sendiri dulu yang merawat De Sita, bulak balik Rumah Sakit. Dan akhirnya dipindahkan ke rumah sodara ibu, begitu Pur...” ucap bi Inah

Bi Inah benar-benar mengetahui jelas dan detail soal keluarga ini, masuk akal karna hampir 8th lebih juga,
pasti setiap kejadian yang berkaitan dengan keluarga Pak Joni dan Ibu Sekar ini benar-benar bi Inah menjadi saksinya, dan perjalanya. Bahkan sebelumnya Ibu nya bi Inah sendirilah (almarhum) yang menjadi saksi dari Ibu nek Raras,
benar-benar lintas waktu yang bukan sebentar sekali.

Bi Inah menyuruh aku istirahat duluan saja, karna mungkin kondisinya bi Inah sudah semakin membaik bahkan sudah istirahat lebih lama jadinya bi Inah masih sangat segar.
“nanti kalau ada apa-apa bibi bangunkan kamu Pur... takutnya bapak atau ibu ada urusan sama kamu yah... biasanya juga mobil bapak kalau bekas dipakai bapak suka dimasukan sendiri ke dalam garasi, mobil kesayanganya, maklum...” ucap bi Inah
Segera aku berjalan menuju kamar, memang setalah tidak ada lagi tugas menyetir mobil bahkan hanya membantu bi Inah saja, jam tidurku belakang ini cepat sekali mengantuk.
Terbaring melihat atap kamar, beberapa pikiran tenang apapun dirumah ini satu persatu silih bergantian hadir dalam otaku, apalagi tentang ibu yang sudah lama tidak melihat nek Raras, ibunya sendiri.
Melihat jam di dinding kamar, sudah hampir jam 10 malam. Aku coba pejamkan mata yang memang sepertinya perlahan berdamai dengan pikiranku, tidak seperti biasanya dan tidak seperti awal kedatangan kesini, setiap hal-hal aneh dan rasa penasaran tiba pasti saja susah untuk terlelap.
Perlahan mata semakin berat dan aku ikuti saja untuk terpejam dengan segala keanehan keluarga ini dan rumah ini juga.

“Purnama... bantu-bantu barang bawaan bapak dan ibu di garasi...” ucap bi Inah

“baik bibi...” ucapku
Kenapa bi Inah tidak bicara yang lainya juga, aku segera ke garasi, bapak dan ibu sedang mengangkat satu persatu barangnya dibagian belakang mobil

“biar Purnama saja pak, bu yang angkatin...” ucapku
Tidak ada jawaban sama sekali, bahkan muka-muka mereka terlihat sangat kelelahan terkesan pucat, heranya bapak yang biasanya selalu menyapaku hanya melihat dengan tatapan kelopak mata yang sudah sayu, begitu juga dengan ibu sama halnya dengan bapak.
Tiba-tiba keluarlah wanita dari pintu kedua mobil, dari samping. Memantung hanya melihatku wajahnya sangat dan benar-benar cantik apalagi bagian rambutnya yang sangat indah. Benar-benar wanita yang pertama kali pernah aku lihat dengan kecantikan yang seperti ini.
Rambutnya panjang lurus dan indah dan bagian-bagian dari badanya sangat-sangat membuat aku hanya bisa menelan ludahku saja.

“sodaranya ibu... atau sodaranya bapak mungkin” ucapku dalam hati

Bapak dan Ibu berjalan perlahan, dari jalannya bapak tidak seperti biasanya,
pelan sekali, benar-benar gambaran orang yang sangat lelah dan sudah sangat cape sekali. Kemudian perempuan yang masih saja mentapku hanya terseyum dengan manis, ketika aku melihat wajahnya sama dengan bapak dan ibu,
keindahan matanya baru aku sadari sangat sayu dan jauh lebih pucat, sangat pucat. Aku hanya membalasnya kemudian dengan senyum kembali.

“kelelahan pasti...” ucapku dalam hati

Ibu dan bapak melangkah di ikuti dengan perempuan cantik itu dibelakangnya
dan kemudian aku, yang dua tanganku membawakan barang-barang yang tidak tau isinya apa ini. Sampai di dapur bi Inah hanya berdiri mematung, menunduk.

“bi ini kemanakan... simpan dimana?” tanyaku pada bi Inah
Tanpa jawaban sama sekali hanya menunjuk ke arah pintu yang terhubung dengan ruangan utama rumah ini, tidak lagi aku bertanya, aku menuruti saja, walau banyak kenahenan dari sikap yang tidak biasanya dari bi Inah.
Tidak lama ibu dan bapak hanya duduk di kursi yang berhadapan dengan Televisi yang besar itu, sama dengan perempuan cantik itu, duduk juga disebelah bapak, bertiga dengan wajah yang tertunduk semuanya, bahkan aku tidak mengerti kenapa ini
“maaf pak, bu ini barangnya simpan dimana?” tanyaku

Bapak dan ibu juga perempuan itu tidak menjawab sama sekali, aku masih saja berdiri mematung dengan masih bingung juga.
“ibu... bapak... maaf ini barang bawaanya Purnama simpan dimana yah...” ucapku kedua kalinya bertanya, dengan gemeteran karna takut sekali dengan tatapan dari pada Ibu Sekar.
Tanpa omongan sama sekali dari Ibu, Ibu hanya menunjuk ke arah bagian Guci yang sangat besar, segera aku melangkah membelakangi mereka bertiga dan menyimpan barang bawaan bapak dan ibu
“ada yang bisa Purnama bantu lagi Ibu...” ucapku semakin ketakutan, karna melihat wajah-wajah mereka yang sedang duduk semakin pucat, apalagi tatapan kosong dengan kepala tagak tanpa bergerak sedikitpun dari mereka bertiga. Bahkan posisi duduknya sama.
Tanpa jawaban sama sekali pertanyaanku, kemudian aku izin untuk pamit.

“Purnama izin pamit kebelakang bu...” ucapku kemudian berjalan kembali ke dapur Dari arah dapur, dengan pintu yang terbuka aku duduk di meja makan,
dengan bi Inah yang juga duduk di meja yang sama, bi Inah hanya tertunduk.

“kenapa yah bi ibu bapak begitu dan bibi tau siapa perempuan itu” tanyaku
Beberapa menit aku menunggu bi Inah bicara,
sama sekali bi Inah tidak menjawab apa yang aku katakan sebelumnya. Masih saja dengan posisi yang sama.

“bibi... heh bi...” ucapku sambil menepuk-nepuk bagian lengan bi Inah
Bi Inah tidak menjawab sama sekali, bahkan aku dengan (maaf) tidak sopan sampai harus menudukan kepalaku lebih bawah untuk melihat wajah bi Inah.
Bukan main kagetnya! Aku melihat mata bi Inah hanya melotot saja tanpa berkedip sama sekali, hal itu yang membuat ketakutanku bertambah, awalnya dengan mungkin bertanya dan mengobrol dengan bi Inah rasa takutku sedikit berkurang, kenyataanya bertambah!
Tiba-tiba ada suara teriakan dari dalam ruangan tengah...

“ampunnn... jangannn... ampunn...” suara itu sangat keras, segera aku palingkan tatapan dari bi Inah ke arah suara itu berasal,
dan benar saja di ruang rumah utama yang barusan aku mengantarkan barang bawaan bapak dan ibu, aku melihat perempuan cantik yang sebelumnya aku kagumi itu sedang menjambak dan menarik nek Raras dengan paksa ke hadapan bapak dan ibu!
Aku tidak bisa diam baru saja aku berdiri, tangan bi Inah menahanku dengan sangat keras

“jangan sudah diam...” dengan suara yang berbeda, tidak seperti biasanya bi Inah bicara, lebih sedikit berat dn serak

Aku tidak bisa melawan kuatnya tangan bi Inah, yg menanhan lenganku.
“bi itu nek Raras kasian, lepasin bi...” ucapku

“sudah diam jangannnn!” ucap bi Inah membentaku dengan keras!

Aku kaget dengan bentakan bi Inah yang baru pertama dengan kerasnya suara yang bi Inah ucapkan, di ruang tengah rumah aku melihat nek Raras posisinya dibawah
dengan tubuh yang sudah sangat tua itu terlihat terduduk dan hanya menangis dengan keras... semantara rambutnya masih saja tidak lepas dari tangan perempuan cantik itu. Tidak lama perempuan cantik itu beridiri...
aku melihatnya masih sangat jelas, karna jarak pandang dengan pintu yang terbuka tidak terlalu jauh

Tiba-tiba keluarlah gunting dari tangan perempuan itu memotong rambut nek Raras, “ampuunnn... sudahhh... ampunnn...” teriakan nek Raras yang sangat keras,
dengan isakan tangisan yang tidak berhenti dan dengan secara tiba-tiba gunting bagian ujungnya terarahkan dengan cepat kebagian muka dan tangan nek Raras

“jangannnn... hentikan...” teriaku dengan sangat keras!
Perempuan cantik itu sama sekali tidak melihat ke arahku, padahal suaraku benar-benar keras, bahkan keras sekali, dan yang membuat aku kesal, bapak dan ibu hanya duduk di kursi tanpa bergerak sedikitpun, padahal kejadian itu didepan wajah mereka, didekat mereka!
“lepaskan bi... lepaskannn...” teriaku!

Dengan sekuat tenaga melawan tangan bi Inah yang memengang lengaku
Tiba-tiba bi Inah melepaskan! Dan aku berlari dengan kecang menuju perempuan cantik yang sedang berdiri itu

“hentikannn.... jangannn....” ucapku sangat kecang!
Dari kejauhan, aku melihat wajah dan lengan nek Raras udah berlumur darah sangat banyak, banyak sekali dan perempuan cantik yang tidak aku ketahui itu siapa hanya tertawa dengan sama kerasnya dengan suaraku

“hahaha... hahahaha... hahahahaha...” berkali-kali
“hentikan tolong... hentikannn...” ucapku sambil menangis melihat ke arah nek Raras yang sedang menahan sakit
“Purnama... Purnama...”

“hah.. hah.. hah...” ucapku sambil melihat ke atap kamarku

“heh ini bapak, istigfar Pur... ini bapak ini” ucap pak Joni

Segera aku melihat ke arah bapak dengan nafas yang masih tidak tenang, aku melihat juga sudah ada Ibu dan bi Inah
“tarik nafas dulu Pur, pelan-pelan” ucap Ibu dan bi Inah memberikan aku air putih

“kamu kenapa, mimpi apa kamu sambil teriak begitu kecang, sampai bapak dan ibu sedang duduk di ruang tengah juga terdengar kecang sekali” ucap pak Joni
Aku masih terdiam dan tidak percaya dengan apa yang sudah aku alami barusan, masih mencoba menenangkan diriku, bi Inah kembali memberikan aku minum. Bapak, Ibu dan bi Inah menghadap ke arahku yang dimana kasur pada kamar ini berdekatan dengan tembok kamar,
di lawan arahnya adalah pintu, baru saja aku melihat ke arah pintu yang terbuka diantara celah antara berdirinya bapak dan Ibu, aku melihat perempuan cantik yang sebelumnya masih aku ingat dalam mimpi itu sosoknya.

* bagian paling males saya ketik maaf, serem! *
Tatapanku langsung aku buang ke arah tembok kamar, otomatis Bapak, Ibu dan bi Inah melihat ke arah pintu karna melihat gelagat aneh dari pada tatapanku.

“siapa Pur, kamu lihat siapa sepertinya ketakutan begitu” tanya pak Joni
“tidak pak...” ucapku dengan gemeteran dan wajah penuh dengan keringat

“yasudah Inah kamu temani dulu Purnama, kalau ada apa-apa kasih tau saya dan bapak” ucap Ibu dan kemudian dengan bapak juga meninggalkan kamarku
Tidak tau kenapa wajah perempuan cantik itu masih saja terbayang dalam pikiranku saat ini, bi Inah berdiri dan memberikan baju salin untuku.

“ganti dulu bajunya, biar enak lagi tidurnya, banyak sekali keringat kamu Pur...” ucap Bi Inah
Segera aku bangun, dan duduk diatas kasurku, benar saja bahkan badan aku sebelumnya belum pernah mengeluarkan keringat sebanyak ini, ini benar-benar basah semua badanku, terlihat jelas dari baju yang baru saja aku lepaskan.
“bibi kaget kamu teriak-teriak; jangan, ampun, hentikan, takutnya kenapa-kenapa apalagi suara kamu sangat keras, sampai bapak dan ibu juga langsung ke dapur dan bertanya kepada bibi...
...awalnya bibi juga ketiduran Pur nunggu bapak dan ibu sampai baru jam 1 dini hari barusan, tidak lama bibi baru saja mau ke kamar kamu sudah begitu dan bibi bangunkan tidak bagun-bangun” ucap bi Inah sambil meneteskan air matanya

“kenapa bibi menangis...” tanyaku tidak enak
“bibi takut, apa yang sebelumnya almarhum ibu bibi berpesan ternyata benar Pur...” ucap bi Inah masih saja air matanya menetes perlahan

Belum saja aku selsai dengan pikiran tentang kenapa mimpi itu, bi Inah kembali seperti ini ada hal yang bakalan aku ketahui kembali
“almarhum pernah bilang, dulu pernah berkerja dengan tukang masak yang sangat cantik terlaten tapi sayang bibi hanya mengetahui sampai hal itu saja, lalu ibu bibi bilang, bahwa dosa keluarga nek Raras tidak akan berhenti, memperlakukan manusia tidak wajar...
...dan bakalan ada Dendam yang tidak pernah berakhir karna rasa kesakitan dan penyiksaan itu Pur... tidak tau kenapa bibi setelah melihat kamu dan bibi sendiri mengalami hal aneh bertahun-tahun bahkan menjadi saksi dengan kamu bagiamana nek Raras sakit...
...awalanya bibi tidak sama sekali percaya dengan perkataan ibu bibi takutnya berperasangka tidak baik, tapi kenyataanya sekarang bibi tidak sendirian bersaksi atas apa yang mungkin sudah terjadi dan ada dosa lama yang belum termaafkan” ucap bi Inah menangis sejadi-jadinya.
Aku hanya terdiam mendengar perkataan bi Inah, bahakan aku juga tidak menyangka ucapan bi Inah cocok sekali dan tidak sama sekali meleset dengan apa yang sudah aku dengar ceritanya dari bapak, dan wanita yang tidak bi Inah ketahui itu adalah Ayu,
wanita yang bapak pernah ucapkan berkali-kali kepadaku. Karna aku sudah berjanji kepada bapak tentang hal itu, aku tidak bisa menceritakanya kembali pada bi Inah.
Bukankah kemewahan lelaki terletak kepada janji yang bisa ditepati dan omongan yang bisa dipertangungjawabkan; begitu Abah pernah berkata dan aku ingat selalu.
“iyah bi... bakalan ada maksud dan tujuan ketika almarhum ibu bibi berpesan seperti itu, mungkin saja pesan itu, adalah bentuk rasa kasih sayang kepada bibi dari ibu, agar pesan tersebut bibi bisa kembali dan terus ingat pada ibu bibi” ucapku dengan perlahan, menenangkan bi Inah
“iyah Purnama, terimakasih... kamu harus baik-baik saja, baca doa dulu yah sbelum tidur kembali kalau tidak enak badan tidak apa-apa besok bibi yang gantikan dulu tugas kamu di pagi hari yah...
...tidak apa-apa bibi tinggal, cerita bibi cukup kamu dan mang Karta yang tau apa yang barusan bibi katakan yah, bibi sedang ingat saja dengan ibu bibi” ucap bi Inah

Aku setuju dengan ucapan bi Inah, bahkan aku bukan orang yang bisa sembarangan mengesampingkan amanah
demi tujuan apapun. Kemudian bi Inah kembali meninggalkan kamarku. Aku kembali terbaring dan melihat jam sudah jam 02:00 dini hari.

“bagaiamana bisa perempuan yang ada dalam mimpiku, aku melihatnya langsung, berwujdu juga” ucapku dalam hati kembali memaksakan mata untuk terpejam
Dalam pejaman mata gelapku sebelum tertidur kembali, kejadian dua kali mimpi yang aku alami, selain kejadian aneh lainya dirumah ini benar-benar menjadikan aku pertanyaan besar.
Awlanya aku bermimpi bi Inah yang diperlakukan tidak wajar oleh nek Raras didapur, kemudian nek Raras yang diperlakukan seperti apa yang diperlakukan kepada bi Inah, oleh perempuan cantik yang aku tidak tau siapa itu.
Benar-benar segala kejadian yang tidak berkaitan dengan akal, mimpi dan kekejaman juga darah sekarang silih berganti hadir,
apalagi pesan dari ibunya bi inah kepada bi Inah, tentang Dendam menjadi pelengkap yang harus segera aku berdamai agar bisa beristirahat tidur dengan nyaman.

***
Pagi hari setelah kejadian dalam mimpi itu aku terbangun lumayan cukup siang jam 8 pagi, dan baru pertama kali mengalami hal ini, untungnya aku masih baik-baik saja dan tidak ada rasa sakit sedikitpun.
Dan hari ini juga, setelah melakukan tugas-tugasku aku menerima gajih pertama dari ibu ketika baru saja beres solat dzhur siang ini. Yang terbungkus dalam amplop coklat, ketika aku buka di kamar nominal benar-benar di luar dugaanku,
4x lipat dari gajih aku ketika aku kerja di pak Mamad jurangan sembako. Cukup mengobati rasa perjuanganku selama ini, walau tidak sebanding dengan apa saja yang sudah aku alami disini, di rumah ini.
Walau sebelumnya ibu juga berterimakasih aku sudah mau mengantikan mang Karta, mengerjakan segala tugas dengan baik, sesuai apa yang dilaporkan bi Inah. Dan hari ini juga tumben sekali dan baru pertama kali, bapak, ibu lengkap ada dirumah walau kurang tanpa kehadiran De Sita.
Aku segera izin kepada bi Inah untuk mengabari mang Dadang dikampung, setelah menentukan waktu dengan mang Dadang akhirnya sore ini aku akan berbicara dengan Abah di kampung.

Sore yang aku tunggu tidak lama hadir dengan cepat, diwaktu yang sudah ditentukan
segera aku telepon ke kampung halaman, benar saja teleponku langsung diangkat

“asalamualakum...” ucapku

“walaikumsalam Purnama...” jawab suara Abah yang khas dan aku kenal sekali
“bah alhamdulilah Purnama baru saja dapat gajih pertama, tapi kemaren apa yang pernah abah katakan sebelumnya sudah aku alamin bah soal mimpi dengan wanita itu, benar-benar hadir bah, apa maksudnya ini bah?” tanyaku
yang tidak tau kenapa tiba-tiba membicarakan hal itu, padahal awalnya sama sekali tidak pernah aku rencanakan

“alhamdulillah abah senang dengernya Pur, tapi yang tidak membuat abah senang dan selalu memubuat abah kepikiran adalah kamu disitu diluar semua pekerjaan kamu...
...iyah hal tentang bagiamana keluarga nek Raras itu. Makanya setiap kamu berdoa dan membacakan wirid yang abah berikan, untuk meminta pertolongan dari yang maha kuasa untuk diri kamu Purnama... tentang wanita itu memang bukan urusan kita, tapi kasian...
...setelah abah ikhtiar dari sini, informasi dari mang Karta juga, abah bisa membenarkan iyah itu ada kesalahan masa lalu dengan waktu yang bukan sebentar... apapun juga kamu ingat apa yang sudah kita lalukan di dunia ini semuanya berjalan di atas pertangung jawaban...
...tidak dibalas di dunia ingat selalu ada akhirat tempat pembalasan yang tidak bisa dihindari...” ucap Abah menjelaskan dengan pelan

“iyah bah segala yang ingin aku ketahui atas penasaran dalam diri aku, perlahan dibukakan begitu saja...
...seolah aku menjadi penampung informasi dari apa yang ingin aku tau bah, apalagi pak Joni majikan laki begitu terbuka kepadaku, cerita dulunya gimana juga aku tau begitu saja, bahkan pak Joni katanya heran kenapa begitu saja pengen cerita ke purnama bah...” ucapku
“alhamdulillah, syukur... karna penasaran itu juga semua kejadian aneh yang purnama alami awalnya dari itu, dan kebetulan kamu cucu Abah, masih satu darah dengan bapak kamu, jadi abah wajarkan. Namun itu, begini... biar jelas... sudah terlalu lama dengan waktu yang panjang...
...kesalahan yang keluarga nek Raras sembunyikan, sehingga perempuan yang menjadi korban atas apa yang sudah mereka lakukan, tidak tenang! Timbulah Dendam yang abah pernah bilang, kalau soal sakit, jangan jadi kufur tidak percaya sama gusti Allah...
...sakit dan sembuh atas kuasanya, saran abah kalau untuk nek Raras, cobalah meninta maaf kepada Gusti Allah bukankah segalanya mudah untuk yang maha kuasa itu, lagian anggap saja itu sebagai penebus dosa-dosa, kalau sadar ke hal itu...” ucap Abah menjelaskan
“dengan waktu yang lama bah?” tanyaku

“bukankah berodoa dan meminta harus selamanya Pur... maksud abah semoga cepat sembuh dan sadar ada kesalahan yasudah minta maaf dan siapa yang tau isi hati manusiakan Purnama... bisa saja karna waktu lama itu...
...memang kesalahanya juga sangat dalam, walau urusan dosa dan kesalahan siapa manusia yang hidup tidak mempunyai itukan... abah pesan kamu tetap berdoa untuk kesalamatan kamu dan segala kejadian itu bisa datang jawabanya dari suatu kejadian bahkan mimpi sekalipun...” ucap abah
Abah juga bercerita kondisi sakitnya bi Enah (istri mang Karta) semakin membaik, lalu kabar ibu yang selalu tidak tenang dengan kondisi aku disini. Dan abah selalu menyakinkan keluarga kalau aku baik-baik saja disni. “benar-benar kuat batin seorang ibu” ucapku dalam hati.
Kemudian abah juga berpesan ingatkan hal-hal yang baru saja abah sampaikan kepada kedua majikanku tentang cobalah untuk meminta maaf pada masa dan waktu yang sudah belalu, mungkin salah satu cara sembuhnya Nek Raras lewat hal itu.
Obrolan dengan abah berakhir dengan rasa tenang yang aku alami, setelah obrolan itu aku kembali berkeja dan sampai malam ini tiba, hanya pikiranku saja dan tentang mimpi itu masih aku simpan baik-baik
dan sesekali aku ingat karna aku percaya dengan apa yang di katakan abah “segala kejadian bisa jadi pertanda, sekalipun lewat mimpi”

***
Sudah satu minggu dari kejadian mimpi itu, sekarang waktu dimana kondisi nenek semakin drastis menurun, bahkan tidak jarang teriakan-teriakan itu hampir tiap malam aku dan bi Inah dengar dengan jelas, aku hanya merasa kasihan sekali.
Tapi mau bagaiamanapun itu adalah hak dari pada keluarga, dan belum ada kesempatan sama sekali untuk aku menyarankan hal yang abah pernah sarankan itu.

Bahkan bapak dan ibu masih ada dirumah tidak berpergian kemana-mana,
dan anehnya bi Inah berkata juga ibu sama sekali belum melihat kondisi nek Raras hanya bapak dan bi Inah yang didalam rumah sering berkali-kali melihat kondisi nek Raras.

Sampai hampir sudah satu bulan berlalu, berarti dua bulan keberadaan aku di rumah ini,
kondisi nek Raras makin menurun, bahkan ini adalah kondisi paling parahnya karna sudah tidak masuk makanan dan minum dua hari kebelakang, dan teriakan-teriakan itu berganti ketika perpindahan dari sore menuju waktu magrib.
Berkali-kali tenaga medis berdatangan ke rumah, bahkan aku belum dan sama sekali sudah lama hanya merawat mobil-mobil saja, karna ibu tidak berpergian kemana-mana lagi.
Aktivitasku hanya itu-itu saja sesekali mengobrol dengan bi Inah tidak menemukan jalan bagaiamana bisa memberikan saran kepada bapak.
“tidak enak Purnama kalau ikut campur, aplagi kondisinya sedang begini, bibi beberapa kali mendengar pertengkaran bapak dan ibu soal nek Raras, saran kamu bagus tapi bagaimana, bahkan ibu sudah tidak bicara lagi dengan bibi juga”
Aku kembali terdiam dan membuang jauh memberikan saran kepada keluarga ini, benar juga apa yang dikatakan bi Inah.

Sampai pada suatu pagi dimana aku sedang menyapu depan garasi karna angin-angin yang kencang,
membuat beberapa daun terkumpul didepan garasi, baru saja mau selsai, bapak sudah ada dibelakangku.

“kondisi nek Raras semakin drastis Pur, dan ibu tetap tidak mau mendengarkan omongan saya” ucap pak Joni
“iyah pak kasian, apalagi sering sekali nek Raras teriak-teriak” jawabku langsung diam disamping pak Joni

“iyah Purnama... ibu tetap tidak percaya, dan ini memang sakit... selalu begitu tidak jarang saya betengkar besar...
...apalagi ketika menyangkut kesalahan masa lalu dan ibu tetap menyangkal bukan karna hal itu” ucap pak Joni

Aku tidak bisa menjawab apapun hanya diam, dan memang mungkin pak Joni sudah paham tentang ada dosa-dosa masa lalu yang harus termaafkan
“jika nasibnya seperti ini saya cuma bisa pasrah, keadaan ini sebagai blasan saya yakin sekali” ucap pak Joni

“baginya tidak ada yang tidak mungkin pak, berdoa dan meninta pertolonganya adalah satu cara tidak ada cara lain, Abah berpesan seperti itu...
...meninta maaf kepada penciptanya saja, jika memang merasa yakin ada kesalahan dimasa lalu, tapi meminta maaf bukankh tidak perlu merasa salah saja” ucapku

Pak Joni hanya memandangku dan tersenyum
“saya coba bicarakan dengan ibu, kalau saya sudah melakukan hal itu, bagi ibu kemungkinanya tidak Pur, tapi tidak ada salahnya saya coba” ucap pak Joni

Setelah obrolan singkat itu, sama sekali aku tidak bertemu dengan pak Joni, mungkin banyak menghabiskan waktu didalam rumah
Sampai pada suatu malam di akhir bulan ini (bulan kedua aku berkerja) di rumah ini.

Terjadi pertengkaran hebat Bapak dengan Ibu sama masalahnya tentang nek Raras, yang semakin kondisinya mengenaskan (maaf).
Apalagi pertengkaran itu waktunya ketika bi Inah selsai mengecek nek Raras, walau kembali bisa makan dan minum tapi badan nek Raras semakin kurus dan bekas lukanya semakin parah, begitu informasi dari bi Inah.
Bahkan aku tidak pernah melihat kembali nek Raras, karna ketidakenakan dan takutnya mencampuri urusan keluarga lagi pula bukan tugas utamaku kerja di rumah ini.
Mendengar pertengkaran itu membuat aku dan bi Inah juga masuk ke kamar masing-masing karna merasa tidak enak harus mendengar apa yang meraka bicarakan, lebih kepada urusan keluarga.

***
Satu minggu setelah pertengkaran itu, tiba-tiba bi Inah bicara padaku pagi hari, dan benar-benar bapak dan ibu selama itu hanya diam di rumah, sesekali menerima tamu kawan bapak itu juga hanya mengobrol di kolam ikan saja, mungkin kepada urusan bisnis saja.
“Purnama maafkan bibi... benar-benar bibi minta maaf, tadi didalam bibi bicara sama ibu dan bapak, kerja kita selsai sampai sini, bibi akan pulang kampung dan kamu juga hrus pulang” ucap bi Inah sambil menteskan air mata

Ucapan bi Inah membuat aku kaget.
“kenapa memangnya bi?” tanyaku

“Kondisi nek Raras yang semakin parah dan setelah pertengakaran itu, nek Raras akan di pindahkan ke rumah adiknya ibu paling kecil, di kota J katakanya biar berobatnya lebih dekat disana lebih lengkap dan hanya itu yang bibi dengar” ucap bi Inah
“yaudah tidak apa-apa bi lagiankan sudah bukan urusan kita bi, hanya kasian saja” jawabku

“iyah besok malam nek Raras akan di jemput dan hari berikutnya kita udah tidak kerja lagi disni” ucap bi Inah
Hal yang membuat aku kaget dan bersyukur nek Raras akan berobat lebih serius, walau hal-hal yang aku yakini itu adalah sebab akibat, karna aku menyusun setiap mimipku menjadi jawaban yang utuh.
Hari yang diucapkan bi Inah datang dengan cepat, bahkan aku sudah mempersipakan kembali barang-barangku, tidak terasa waktu yang cukup lama dua bulan lebih disini, akan tetapi sangat lama dengan kejadian dan masa lalu keluarga ini yang begitu berpuluh tahun lamanya.
Malam itu benar saja, walau belum ada omongan dari bapak dan ibu sekitar dan 10 malam datang mobil yang akan menjemput nek Raras, segera aku membantu menurunkan nek Raras, bagian muka dan tanganya bahkan sudah tertutup oleh kain putih, apalagi tanganya.
Muka yang hanya tersisa sebelah yang masih terbuka, walau sudah tertutup oleh kain putih tidak bisa menyembunyikan darah yang kental tercetak begitu saja, perlahan nek Raras sudah berada didalam mobil dengan Ibu, lalu ibu kembali keluar untuk pamit kepadku dan bi Inah
Bi Inah mengangis karna bukan waktu sebentar berkerja kepada ibu menitipkan beberapa pesan, yang tidak jelas aku dengar. Dan ibu juga bersalaman denganku, mengucapkan banyak terimakasih dan juga pesan ucapan makasih kepada mang Karta.
Bapak hanya menyipakan beberapa yang akan dibawa, ketika ibu sudah kembali masuk ke dalam mobil. Ada hal yang aku lihat, aku melihat wanita cantik itu duduk disebelah Nek Raras, aku melihatnya dari samping luar karna aku sendiri yang menutupkan pintu mobil untuk ibu.
Terdengar dari nafas nek Raras yang tidak tenang, mungkin nek Raras juga merasakan kehadiran perempuan itu, segera aku tutup pintu mobil dengan pelan sambil tidak lepas tatapanku melihat ke arah perempuan itu.
Mobil yang membawa ibu dan Nek Raras perlahan keluar gerbang begitu saja, aku kembali membereskan semuanya.

Sampai di meja makan bapak dan bi Inah sudah duduk berdua menungguku.
“maafkan saya bi Inah, Purnama dan bilang juga sama Karta, selanjutnya rumah ini akan kosong, karna ibu tetap pengen pergi dari rumah ini karna merasa di rumah ini Ibunya nek Raras tidak kunjung membaik...
...ini untuk kamu bi Inah, ini untuk Purnama dan ini titipan untuk karta, mohon di terima” ucap pak Joni sambil menahan air matanya keluar

Aku dan bi Inah berterimakasih, kemudian bi Inah menyiapkan makan terakhir untuk bapak dan aku.
“boleh tanya satu hal Purnama sebelum besok pergi?” tanya bapak

“boleh pak apa itu?” jawbaku dengan tenang

“ceritakan mimpi kamu pada malam itu” ucap bapak dengan nada datar
Segera aku ceritakan dengan detail, lengkap sama sekali tidak ada yang terlewat sama sekali, bapak hanya diam memperhatikanku dan mendengarkan apa yang aku bicaran.
“itu saja pak lengkap, tidak ada yang aku kurangi atau aku lebihkan” ucapku dengan gemeteran karna kembali mengingat mimpi itu sangat menakutkan

Bapak hanya diam tidak ada sepatah katapun keluar dari mulut bapak, tiba-tiba bapak berdiri dan mengajku masuk kedalam rumahnya.
“disini...” ucap bapak

“iyah pak disini...” ucapku menunjukan kejadian dalam mimpiku itu

“iyah itu Ayu!” ucap pak Joni perlahan

“karna saya tau dan yakin itu balasan dendam dari Ayu, kamu tau saya bertengkar hebat minggu lalu...
...karna saya menyebut nama itu dan ibu tidak terima dan imbasnya begini, maafkan saya yah Purnama...” ucap pak Joni merasa bersalah

“tidak apa-apa pak mungkin aku hanya sebagai saksi itu juga lewat mimpi kalau bapak percaya terimakasih pak...
...dan bapak tau, semoga percaya, aku melihtanya didalam mobil juga, semoga bukan itu dan bukan Ayu” ucapku dengan perlahan

Bapak hanya mengangguk tanda setuju, mungkin percaya mungkin tidak. Tapi setidaknya aku sudah impas dengan bapak,
saling memberikan dan menjelaskan apa yang aku ketahui karna sebelumnya bapak juga memberikan jawaban yang ingin aku ketahui.

Malam terakhir di rumah ini, tidak ada gangguan apapun, terlebih tidak tau kenapa aku merasa sedih dan perlahan air mataku menetes begitu saja.
Pagi yang ditunggu tiba setelah pamit minta maaf pada bi Inah dan kepada bapak, juga mendegarkan pesan baik-baik dari bi Inah untuk mang Karta tentang doa untuk cepat pulih dan cepat mendapatkan pekerjaan lagi mang Karta.
Aku dan bi Inah berpisah karna beda jurusan untuk menaiki angkutan umum untuk menuju bis, dan kemudian sampai di kabupaten kampung halaman.

Untungnya aku masih ingat betul dan memang tidak susah menaiki bus jurusan kabupaten aku ini,
disepanjang perjalanan Abah, keluarga dan mang Karta pasti terkejut dengan kepulangan yang mendadak ini. Tapi tidak apa-apa aku akan kembali berkerja untuk kang Mamad.
Suasana dan pengalaman baru yang waktu itu ingin sekali aku alami, akhirnya teraminkan walau bukan pengalaman yang baik karna banyak kejadian yang jauh dari akal juga nalar, tapi setidaknya aku benar2 bisa bertangungjawab dengan apa yg aku inginkan dan bisa membantu keluargaku.
Benar, setiap kesalahan tidak mengenal waktu sebentar atau lama, semuanya mengikuti di waktu yang berjalan ini. Setiap kesalahan adalah pertangungjawaban bukan untuk mencari apa itu kebenaran tapi harus sadar untuk meminta maaf dan memaafkan.
Karna kesalahan diwaktu yang sudah berpuluh tahun bisa menjadi Dendam! Dendam yang benar-benar harus terbalaskan ada dan sudah tidak adanya jalan, tetaplah ingat bagi yang maha kuasa semuanya mudah.

- TAMAT -
---------

Terimakasih saya ucapkan kepada aa-aa dan kakak-kakak yang sudah menunggu dan membaca cerita ini sampai selsai, terimakasih juga supportnya membuat saya semangat sampai cerita ini selsai.
Kepada Narsum, terimakasih banyak! Tugas saya selsai! Dan semoga kita berjumpa langsung.

Banyak bagian yang tidak diperbolehkan oleh Narsum, tapi itu demi kebaikan jadi saya tidak bisa memaksa.
“percayalah cerita selalu punya makna, biarkan cerita itu dengan sendirinya memberikan makna masing-masing untuk kalian” salam!
Jika cerita ini bagus untuk dibagikan menurut kalian, tolong bagikan kepada teman, keluarga atau siapa saja. Karna seperti biasanya berbagi cerita salah satu cara yang menyenangkan. Akhir kata, sampai berjumpa di cerita selanjutnya!

---------
Follow @qwertyping
-----
Typing to give you story! Beware! They can be around you when you’re reading the story! Love you and enjoy.
------
@bacahorror @ceritaht @IDN_Horor

#bacahoror #bacahorror #ceritahorror #ceritahoror
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Keep Current with Horror(t)hread

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!