Spill teh kali ini saya rujuk dari tulisan milik Gani A. Jaelani, Ph.D (2019), pengajar di Departemen Sejarah dan Filologi Universitas Padjajaran.
Disini beliau berbicara ttg seksualitas dan moralitas di Hindia Belanda awal abad XX.
Yuk dinikmati sambil makan siang. 👀
Pada praktiknya, kolonialisme Eropa mencoba membawa semangat peradaban baru.
Yg dapat dimaknai sebagai upaya untuk menerapkan standar dan nilai2 Eropa kepada penduduk lokal.
Penduduk dari negeri jajahan dianggap bodoh & terbelakang krna tidak bisa mengikuti cara kerja mereka.
Namun, semangat peradaban nilai orang2 Eropa ini seringkali bertentangan dengan kepentingan ekonomi.
Dalam hal ini, banyak perdebatan mengenai masalah pernikahan bagi para pegawai kolonial.
Pernikahan dianggap terlalu mahal dan rawan membuat pegawai2 ini korupsi nantinya.
Oleh karna itu, disarankan bagi mereka untuk mengambil perempuan pribumi sbg gundik.
Dari sini saja, terlihat kontras apa yang jadi semangat moral peradaban baru pernikahan ala orang2 Eropa dan kepentingan ekonomi/kolonialisme itu sendiri.
J.P. Coen, Gubernur Jenderal kedua VOC saat itu, pernah mengirim surat pada Heeren XVII, direktur VOC.
Dalam suratnya, J.P. Coen mengusulkan agar didatangkan perempuan baik-baik dari negeri Eropa untuk dijadikan pasangan pegawai kolonial.
Namun, usulan ini ditolak Heeren XVII.
Ada setidaknya tiga alasan kenapa usulan itu ditolak :
1. Pasangan yg didatangkan ke Hindia dikhawatirkan hanya bertujuan untuk memperkaya diri sendiri.
Bukan rahasia umum saat itu, Hindia menjadi tempat pelarian pengusaha yg bangkrut di Eropa. Ini merupakan ancaman bagi VOC.
2. Pengiriman wanita lajang ke Hindia butuh biaya yg gak sedikit. Gak sebanding dengan keuntungannya.
3. Suami istri belanda di Hindia banyak yg mandul. Keguguran dan kematian jg lazim terjadi. Anak yg lahir fisiknya lemah. Perbedaan iklim Asia dan Eropa jd sebab alasannya.
Dengan alasan tersebut, kemudian Heeren XVII lebih menganjurkan praktik pergundikan, dengan harapan lebih memudahkan proses akulturasi.
Pejabat kompeni diharapkan bisa belajar adat istiadat, kebiasaan, dan bahasa kaum pribumi. Lagi2 demi memaksimalkan aktivitas ekonomi.
Selain itu, anak2 kelahiran Eropa-Asia ini dianggap mempunyai fisik yg lebih kuat. Dimana mereka kelak diprospek melanjutkan bisnis perusahaan.
Dengan beragam alasan politis dan ekonomi tersebut, maka praktik pergundikan dianggap lumrah terjadi.
Praktek pergundikan ini hanya bertahan 200 tahun. Terlebih saat keturunan campuran Eropa-Asia atau yg disebut Indo ini mulai meningkat.
Terjadi pergeseran nilai dlm melihat praktek pergundikan. Yg dulunya dianggap melahirkan anak berfisik kuat, sekarang dianggap sbg ancaman.
Bagi mereka, kelahiran keturunan Indo dianggap sbg makhluk bertubuh Eropa tapi bermoral pribumi. Mereka dianggap sbg makhluk yg merugikan dan mengancam superioritas ras Eropa.
Selain itu, hidup sama gundik itu sama kyk pemborosan. Krna pria Eropa yg harus menghidupi mereka.
Tapi gimanapun juga, kebutuhan seksual laki2 harus terpenuhi. Ketika praktek pergundikan dilarang, pria2 sagapung ini bisa rentan mengganggu perempuan baik2. Yg malah bikin masalah baru bagi pemerintah kolonial.
Muncul lah pengaturan terkait prostitusi.
Pelacuran atau prostitusi dianggap media yg paling efektif bagi para lelaki Eropa, terutama tentara, untuk menyalurkan hasrat seksualnya.
Namun krna berpotensi menulari penyakit berbahaya, para pelacur mendapat pengawasan ketat dan pemerikasaan rutin oleh dokter.
Menjaga kesehatan dan kebugaran para serdadu militer kompeni. Krna keberhasilan penjajahan itu sendiri ndak lepas dari peran militer.
Sehingga pengawasan dan pengaturan tempat pelacuran harus benar2 dilakukan dgn ketat.
Lagi2 semuanya dilakukan untuk kepentingan kolonialisme.
Namun dalam prakteknya, kadang pengaturan ini gak bisa efektif. Dokter pun seringkali kelolosan kasus pelacur yg berpenyakit. Sehingga malah menulari serdadu yg make jasanya.
Dari sini kemudian muncul kritik agar pemerintah kolonial kembali ke praktek pergundikan. Lebih safe.
Kritik terhadap praktek prostitusi tersebut semakin tajam.
Disebutkan pemerintah malah melegalkan kemaksiatan yang bertentangan dengan semangat peradaban awal yg pengen membawa nilai2 agung Eropa ke tanah jajahan.
Setelah mengalami perdebatan yg cukup panjang, mulai dari isu kesehatan, kebutuhan biologis, hingga moralitas.
Endingnya nih, pada 1 September 1913, pemerintah kolonial akhirnya melarang praktik pelacuran dan menghukum setiap orang yg terlibat di dalamnya.
Jadi... Sikap pemerintah kolonial terhadap praktik seksualitas tak lepas dari faktor ekonomi dan politik.
Pokoknya harus menguntungkan pemerintah. Kalo mulai dianggap mengancam, ya kebijakannya diganti.
Gak peduli meski bertabrakan sama isu moralitas dan peradaban Eropa.
😝😝
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
September gak kerasa tinggal seminggu lagi. Berarti tuntas masa kuartal III ekonomi kita.
Bu Sri Mulyani sudah warning sejak beberapa waktu lalu kalo kita udah diambang bahaya resesi.
Yuk dibahas sambil makan siang..
Secara singkat, resesi ekonomi dipahami sbg turunnya aktivitas ekonomi secara signifikan.
Patokan umum yg dijadikan standar untuk menentukan apakah sebuah negara mengalami resesi atau ndak, adalah dengan melihat GDP yg growth nya minus selama dua kuartal berturut-turut.
National Bureau of Economic Research (NBER), berpendapat bahwa gak perlu liat GDP untuk nentukan suatu negara resesi.
Pokoknya aktivitas ekonomi keliatan drop sampai beberapa bulan. Yg bs dilihat dari real income, angka pengangguran, produksi manufaktur, dan penjualan retail.
Krna ini lewat TL ku dan bahas soal marketing, aku jd tergelitik buat nanggepin.
BTS diundang untuk bicara ttg Global Health Security, dimana mereka fokus sama struggle yg dialami anak muda. Justru menurutku itu udah revelan sama brand self love yg mereka bawa.