Ga tau maksudnya apa Panglima tanya-tanya sama bang sniper. Setahuku bahasa Indonesianya adalah penembak runduk.
Dalam samaran sempurna, dia bisa berada di mana saja tanpa seorangpun tahu posisinya. Pokoknya, tiba-tiba "dorr..!!" matek sudah orang yang dibidiknya tanpa pernah tahu siapa yang cabut nyawa dari raganya.
*
"Kaliber berapa snipermu?" tanya Hadi.
"Siap 12,7!" jawab prajurit tersebut lantang.
"Kamu sudah nembak siang dan malam?" tanya Hadi.
"Siap sudah!" jawab prajurit tersebut.
"Jarak berapa?" tanya Hadi.
"Siap untuk siang 1.200!" jawab prajurit.
"Malam?" tanya Hadi lagi.
"Siap. Malam 600!" jawab prajurit.
"Terkenanya?" tanya Hadi.
Siap. Jarak 1.200 untuk 12,7 bidik kepala, kena kepala!" jawab prajurit.
"Yakin?" tanya Hadi lagi.
"Siap!" jawab prajurit."
*
Kaboooorr...!!
.
.
.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Fadli Zon itu dibayar terus dianugerahi bintang Mahaputra, tak terlalu berlebihan adalah untuk menjadi oposisi pemerintah. Hal baik dan benar agar selalu ada pagar bagi pemerintah.
Bahwa soal kualitas kritiknya sering asbun, itu masalah yang berbeda. Masalah kapasitas ruang kepala dan pengalaman hidupnya. Teks dan konteks sering tak nyambung. Dangkal, mungkin istilah paling tepat dapat kita gunakan.
Berharap dapat feedback bermutu dan lalu ada debat positif atas celotehnya, wasalam dah. Ga usah terlalu berharap. Baru kita mulai gali, langsung ketemu dasarnya.
Setelah terbentuk Pam Swakarsa, Wiranto terlibat pertemuan yang mengkoordinasikan pergerakan pasukan milisi itu.
Pada 9 November 1998, sekitar pukul 09.00-10.00, dilakukan rapat di rumah dinas Wiranto di Kompleks Menteri, Jalan Denpasar Raya, Jakarta.
Hadir dalam pertemuan itu antara lain: Pangab Jenderal Wiranto, Pangdam Jaya Mayjen Djadja Suparman, Kapolda Metro Jaya Mayjen Noegroho Djajoesman, dan Mayjen Kivlan Zen.
Dulu, becanda soal agama, sepertinya bukan hal tabu. Berbicara dan bahkan kritik adalah hal lumrah. Yang penting, bukan menghina apalagi menista.
Menjadi sulit ketika tiba-tiba kaum fanatik muncul menguasai publik dan kita bingung mana batasan kritik dan menghina. Yang jelas, banyak sudah korban dipenjara gegara ngomong masalah agama.
Dulu, mengkritik pemerintah, negara, hmm..., besok hilang atau paling tidak gak akan bisa tidur nyenyak, apalagi berbicara mengganti dasar negara. Makar dan Nusa kambangan menanti dengan awal bonyok-bonyok.
KEMANA MEREKA YANG SEHARUSNYA BERSAMA PRESIDEN?
.
.
.
.
.
Nggumunan" (mudah dibuat kagum) itulah penyakit kita.
Kita mudah dibuat kagum dengan apa yang kita lihat, apa yg kita dengar. Lebih parah lagi, kita melihat dan mendengar hanya yang kita ingin.
📁Artsy
Brizieeq pulang (diusir), bukan esensi logis kepulangannnya karena faktor harus, kita berpikir. Kita lebih senang dengan memaknainya dengan teori konspirasi di belakangnya, dan maka penyambutan pada kepulangannya luar biasa besar.
Bukankah ketika tak ada lagi tempat dapat dituju, rumah adalah satu-satunya tempat pulang? Maka persepsi jujur media Australia yang bingung, seharusnya menyadarkan kita.
S A K I T ATAU P E S A K I T A N
.
.
.
Ehhh, ntar dulu DUL
.
.
.
Entah bodoh atau kebelet pingin ribut, tapi caranya justru semakin menjauhkannya dari umat. Umat dipastikan akan mengambil jarak dan tak lagi menengok.
Lon*e sebagai tema kotbah sudah sangat melukai, kini umat dibawa pada kesan bahwa penggal kepala adalah bagian normal dari agama.
Ancaman penggal kepala saja sudah sangat brutal dan jauh lebih dari cukup menggeretnya pada pidana.
Menyebut peristiwa Perancis sebagai rujukan (hal bagus), sama dengan menyetujui kebrutalan yang terjadi di Perancis dan ini tentang kredibilitas negara.