Dulu, becanda soal agama, sepertinya bukan hal tabu. Berbicara dan bahkan kritik adalah hal lumrah. Yang penting, bukan menghina apalagi menista.
Menjadi sulit ketika tiba-tiba kaum fanatik muncul menguasai publik dan kita bingung mana batasan kritik dan menghina. Yang jelas, banyak sudah korban dipenjara gegara ngomong masalah agama.
Dulu, mengkritik pemerintah, negara, hmm..., besok hilang atau paling tidak gak akan bisa tidur nyenyak, apalagi berbicara mengganti dasar negara. Makar dan Nusa kambangan menanti dengan awal bonyok-bonyok.
Hari ini, jangankan menghina, berteriak dengan bangga bahwa Indonesia thagut saja tak ada yang akan tangkap. Mereka bisa bersuara suka-suka tentang ide meruntuhkan Indonesia dengan mempermasalahkan Pancasila, UUD 45 hingga negara demokrasi yang tak sesuai dengan paham mereka.
Didepan khlalayak ramai, seorang ASN dapat dengan leluasa tak hormat pada bendera ketika upacara 17 Agustus.
Di tempat lain, bukan mereka mengibarkan merah putih, menjadikan alas dan merobek merah putih saat 17 Agustus, sudah berani mereka tampilkan di depan umum.
Tak ada rasa hormat, tak ada rasa bangga. Mereka seperti menantang, dan negara gamang bertindak.
Kesatuan kita sebagai bangsa dan negara sedang dalam posisi dasar. Kebanggan kita pada pertiwi sedang dihina dan dipermasalahkan.
Radikalisme beragama seolah tinggal setapak masuk pada era bangga pada kekerasan dan teror pada masyarakat, hanya masalah waktu.
"Negara takut?"
Keadaan seperti ini telah terlihat sejak 2014 ketika seorang Jokowi naik pada pucuk pimpinan negeri Pancasila ini.
Mereka tak suka dan tak sepakat dengan demokrasi yang dapat memunculkan pimpinan seperti Jokowi, seorang dari masyarakat biasa.
Mereka tak suka seorang tanpa kasta politik masuk dan apalagi mengacak-acak rasa tenang mereka selama ini.
Membuat rusak semua kenyamanan yang mereka miliki. Bukan pimpinan seperti ini seharusnya ada.
Dulu, negara tenang-tenang saja, tak ada banyak gejolak sebelum Jokowi. Menjadi presiden dan berdamai dengan korupsi birokrasi sekaligus berteman dengan kapitalis, itulah hakekat Presiden seharusnya.
Menjadi pelayan dan sekaligus teman rakyat, pada banyak kondisi, bukan tentang pimpinan ideal sebuah negara. Tak sesuai norma nyata politik, tak sesuai permintaan pasar. Itu presiden yang harus dilawan dan dijatuhkan.
Mereka melawan! Mereka tahu senjata apa yang harus dipakai. agama! Trend dunia adalah alat itu, agama.
Negara dibawah Jokowi tidak takut!! Melawan musuh yang belum diketahuinya dan seberapa kuatnya dengan frontal, jelas kebodohan, dan Jokowi bukan tipe seperti itu.
Sungguh..., diapun sebenarnya menangis ketika seolah tampak abai terhadap penderitaan minoritas yang selalu disasar demi marah dan kemudian salah strategi. Dia tidak abai, dia menunggu saat yang tepat.
"Tapi kapan??? OMDO...!! Sudah banyak yang mulai tak sabar dan berkesimpulan Jokowi memang penakut! Jokowi cuma sibuk membangun fisik tapi mengabaikan manusia!"
Memastikan perut tidak kosong dan bila perlu memberi makan sebelum meminta para pekerja melakukan tugasnya, adalah bentuk tanggung jawab seorang mandor.
Memberi keyakinan bahwa pekerjaan ini bermasa depan dengan bukti bukan janji, dan kemudian mendapatkan sumberdaya manusia bermutu adalah dimana seorang pengusaha menarik para militan turut membesarkan perusahaannya.
Demikianlah pembangunan infrastruktur masif dan usaha keras agar ekonomi rakyat bergerak, adalah bentuk bagaimana Presiden berlaku seolah dia adalah sebagai mandor sekaligus pengusaha. Rakyat harus yakin bahwa dia adalah orang yang tepat.
Empat tahun dia lakukan itu. Empat tahun dia buat semuanya menjadi terlihat siap.
.
.
Empat tahun setelah dia memerintah, inisiasi adanya perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, adalah tentang kesimpulan apa tindakan terbaik yg akan dia lakukan.
.
.
Melibatkan militer dalam menanggulangi & memerangi kejahatan terorisme adalah tentang bagaimana memanfaatkan keunggulan negara yg selama ini seolah dibiarkan sia-sia.
Banyak perdebatan dan apalagi perlawanan dari banyak lembaga dan komponen masyarakat. Hal biasa dalam bernegara.
Komnas HAM dan banyak lembaga sejenis bersuara keras. Mereka menentang dan takut akibat negatifnya lebih besar dibanding keuntungannya.
Mereka takut seolah negara akan memberi cek kosong kepada militer.
Ya tanggal 21 Juni 2018 perubahan atas UU itu disahkan menjadi undang undang oleh DPR.
"Lah sudah lama disahkan, kenapa belum memiliki efek sama sekali?"
Lha kerja aja belum koq efektif? Semua tentang strategi hati-hati dan matang yang harus di persiapkan. Perpres dibutuhkan sebagai landasan gerak mereka.
Menerbitkan perpres dan kemudian menggerakkan pasukan itu hanya dalam waktu singkat, bukan pilihan bagus bagi Presiden.
Ini soal waktu yang terlalu singkat bila tahun 2019 beliau diganti.
Selama ini TNI sudah mempunyai satuan dan kemampuan intelijen, baik di tingkat Markas Besar TNI sampai di tingkat satuan teritorial.
Di sana ada Kodim, ada intel militer yang dahulu sangat akurat sehingga data intelijen itu bisa digunakan sebagai upaya penangkalan rencana terorisme.
Dalam hal pasukan elit, TNI punya Gultor Detasemen khusus penanggulangan teror.
TNI juga punya Komando Operasi Khusus pada ketiga angkatannya.
Selama ini mereka belum dilibatkan karena Presiden belum membuat Perpres yang mengatur tentang penindakan terhadap kejadian terorisme.
Disana naskah rancangan Perpres yang mengatur jenis-jenis serangan teror yang dapat diatasi TNI, sedang disusun.
Dengar-dengar, naskah rancangan Perpres Tugas TNI dalam mengatasi terorisme ini, kini sudah siap, sudah jadi. Dia terdiri atas 7 bab dan 15 pasal.
Naskah rancangan Perpres itu katanya sudah selesai dan tinggal menunggu penomoran resmi dalam lembaran berita negara.
"Berarti...?"
Ya...., sabar saja bagaimana bila militer terlibat. Yang pasti, kita jadi 100% yakin bahwa militer ada di belakang Jokowi.
Yang pasti, ga ada penjahat bisa cengar cengir apalagi ngeyel ketika militer yang bertindak.
Yang pasti, begitu perpres itu selesai di nomori, tak ada lagi ruang bagi radikal itu sok jagoan dan pamer keangkuhan.
Siapa-siapa yang akan menjadi target, sudah tercatat dalam memori para pasukan yang lama menunggu lampu hijau menyala.
Daftar itu sudah disusun sejak Perubahan UU No 5 tahun 2018 disahkan yakni 21 Juni 2018 dan itu bukan waktu pendek.
Berapa banyak dan siapa saja yang telah memenuhi syarat penetapan target itu, hanya para prajurit dan Tuhan yang tahu.
~ 24 Agustus 2020 ~
.
.
.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Fadli Zon itu dibayar terus dianugerahi bintang Mahaputra, tak terlalu berlebihan adalah untuk menjadi oposisi pemerintah. Hal baik dan benar agar selalu ada pagar bagi pemerintah.
Bahwa soal kualitas kritiknya sering asbun, itu masalah yang berbeda. Masalah kapasitas ruang kepala dan pengalaman hidupnya. Teks dan konteks sering tak nyambung. Dangkal, mungkin istilah paling tepat dapat kita gunakan.
Berharap dapat feedback bermutu dan lalu ada debat positif atas celotehnya, wasalam dah. Ga usah terlalu berharap. Baru kita mulai gali, langsung ketemu dasarnya.
Setelah terbentuk Pam Swakarsa, Wiranto terlibat pertemuan yang mengkoordinasikan pergerakan pasukan milisi itu.
Pada 9 November 1998, sekitar pukul 09.00-10.00, dilakukan rapat di rumah dinas Wiranto di Kompleks Menteri, Jalan Denpasar Raya, Jakarta.
Hadir dalam pertemuan itu antara lain: Pangab Jenderal Wiranto, Pangdam Jaya Mayjen Djadja Suparman, Kapolda Metro Jaya Mayjen Noegroho Djajoesman, dan Mayjen Kivlan Zen.
Ga tau maksudnya apa Panglima tanya-tanya sama bang sniper. Setahuku bahasa Indonesianya adalah penembak runduk.
Dalam samaran sempurna, dia bisa berada di mana saja tanpa seorangpun tahu posisinya. Pokoknya, tiba-tiba "dorr..!!" matek sudah orang yang dibidiknya tanpa pernah tahu siapa yang cabut nyawa dari raganya.
KEMANA MEREKA YANG SEHARUSNYA BERSAMA PRESIDEN?
.
.
.
.
.
Nggumunan" (mudah dibuat kagum) itulah penyakit kita.
Kita mudah dibuat kagum dengan apa yang kita lihat, apa yg kita dengar. Lebih parah lagi, kita melihat dan mendengar hanya yang kita ingin.
📁Artsy
Brizieeq pulang (diusir), bukan esensi logis kepulangannnya karena faktor harus, kita berpikir. Kita lebih senang dengan memaknainya dengan teori konspirasi di belakangnya, dan maka penyambutan pada kepulangannya luar biasa besar.
Bukankah ketika tak ada lagi tempat dapat dituju, rumah adalah satu-satunya tempat pulang? Maka persepsi jujur media Australia yang bingung, seharusnya menyadarkan kita.
S A K I T ATAU P E S A K I T A N
.
.
.
Ehhh, ntar dulu DUL
.
.
.
Entah bodoh atau kebelet pingin ribut, tapi caranya justru semakin menjauhkannya dari umat. Umat dipastikan akan mengambil jarak dan tak lagi menengok.
Lon*e sebagai tema kotbah sudah sangat melukai, kini umat dibawa pada kesan bahwa penggal kepala adalah bagian normal dari agama.
Ancaman penggal kepala saja sudah sangat brutal dan jauh lebih dari cukup menggeretnya pada pidana.
Menyebut peristiwa Perancis sebagai rujukan (hal bagus), sama dengan menyetujui kebrutalan yang terjadi di Perancis dan ini tentang kredibilitas negara.