Bukankah mudah kita terbawa senyum ketika semua orang di sekitar kita tertawa?
Demikian pula, mata kita pun cepat berkaca-kaca saat orang di sekitar kita menangis.
Itulah ekspresi jujur. Itu kejujuran alamiah kita tanpa harus sedikit pun usaha kita berikan ketika menghadirkannya. Keluar begitu saja dari dalam diri kita tanpa perencanaan. Sifat itu ada dalam diri kita tanpa terkecuali.
Tak terikat pada gelap kulit kita dan biru mata dia. Tak terkait apa suku kita apalagi agama. Kita sama.
Ketika bencana alam menghantam kita, seluruh dunia pun dengan cepat membantu. Skala rasa peduli sebagai sesama memancar sedemikian hebat karena penderitaan dan tangis.
Kita menangis dan dunia bergandeng tangan demi kemudian tertawa kita sebagai sesama.
Solider. Itulah kita manusia. Seperti itulah kita sering menjadi dalam keseharian kita dan namun dalam sadar justru sering kita lupa.
Dalam sadar kita justru sering abai pada hakikat melekat kita sebagai manusia. Buas dan tak kenal kasih kita bangun bak menara menjulang setinggi langit dan kita terbahak dalam arogan.
Keji sorot matanya dan sinis mulut berbau amis itu melenggang ditengah kita. Sosok tak pantas menyebut dirinya manusia apalagi "ber-aku" layaknya perintah Tuhannya.
Terbahak mereka dalam derita sesama, menangis dia dalam kebahagiaan orang lain & angkara menemukan tahta dalam murka.
Manusia kehilangan kemanusiaannya.
Solider dalam perspektif Kristen, pengikut Kristus, adalah ketika Tuhan pun, karena kasih kepada umatNya, Dia merelakan diriNya menjadi sama seperti manusia. Kecuali dalam dosa.
Dia lahir dan mati. Dia merasakan sakit, duka, gembira, malang, untung sebagai bagian melekat manusia. Dia merelakan keesaanNya terpenjara dalam raga lemah, badan yang terdiri atas daging dan tulang yang tak lekang dari rasa.
DIA solider.
Natal sebagai pengingat akan hari kelahiran Yesus, adalah tentang makna bagaimana umat Nya harus solider seperti Dia pernah.
Maka, bila terjadi kebencian, kenapa aku bukan jadi pembawa cinta? Bila terjadi penghinaan, kenapa aku bukan menjadi si pembawa pengampunan? Bila terjadi perselisihan kenapa bukan aku pembawa kerukunan? Bila terjadi kebimbangan, kenapa bukan aku pembawa kepastian?
Bila terjadi keputus-asaan, biarkanlah aku menjadi pembawa harapan. Dan bila terjadi kesedihan, seharusnyalah aku jadi pembawa sukacita. Bukankah dengan memberi kita menerima? Dengan mengampuni kita diampuni?
Demkianlah seharusnya mereka yang mengenal Allah bersaksi. Hidupnya adalah tentang bukti dia mengenalNya.
Bagaimana bila amuk dan marah masih hadir pada cara kita bermasyarakat? Maafin saya yak kalau di TL masih kotor mulutku dan jempol masih asal pencet.😈
.
.
.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Kami adalah keluarga kaya, bahkan amat, amat kaya sekali. Bukan lebay tapi beneran super kaya. Kekayaan yang akan membuat kami bisa menjadi apa saja yang kami mau.
Kurang lebih 70 tahun yang lalu, leluhur kami telah meninggalkan warisan dengan jumlah amat sangat besar.
Saya adalah generasi ke 3, yang dalam fase memberikan kesempatan generasi berikutnya yakni ke 4 mengambil alih peran.
Kakek meninggalkan warisan dalam bentuk dana abadi.
Dana yang akan terus bergulung dengan nilai sangat fantastis dimana siapapun tak mungkin akan menyaingi kekeyaan keluarga kami.
Kami, penerima waris hanya perlu rukun satu sama lain. Jangan pernah ribut satu dengan yang lain
Beberapa kali saya menulis bagaimana FPI bisa bubar, hanya ketika Pangdam Jaya dan Kapolda Metro bersatu. Alasan sederhana rujukan adalah tahun 1999 cikal bakal FPI dibentuk oleh keduanya demi SI MPR 99.
Alasan saat pembubarannya adalah kepentingan yang sama pada saat usaha pendiriannya.
Sejak Presiden memberi sinyal pada para pemegang kekuasaan keamanan dengan dimutasinya 2 Kapolda, Pangdam jaya memaknainya dengan cara berbeda. Tegas layaknya militer jaman dulu kita kenal.
Kuasa tak langsungnya dalam teritorial sebagai Panglima Kodam di wilayah DKI digunakan dengan smart yakni berdiri di belakang Satpol PP. Pe-De para satpol PP, ternyata efektif menurunkan banyak baliho milik FPI yang diindikasikan telah melanggar banyak pasal.
JANGAN KONGO KAN INDONESIA
.
.
.
.
Indonesia tak boleh menjadi Kongo ke dua dalam konteks negara gagal gara-gara tak mampu membuat regulasi atas kekayaan alam yang dimilikinya.
Negara yang merdeka dari Belgia tahun 1960 ini dulu bernama Zaire. Kekayaan alam yang dimilikinya adalah berkah di satu sisi namun ternyata menjadi bencana di sisi lain.
Kobalt adalah salah satu hasil tambang mineral bumi yang dimiliki Kongo dan menjadi rebutan banyak pihak telah memancing para kapitalis asing. Perang saudara adalah apa yang diakibatkannya ketika persatuan rakyatnya kalah
.
.
GIBRAN VS TEMPO
.
.
.
Penjarakan Mereka Yang Pantas
.
.
.
Isu kental yang sengaja dihembuskan terhadap penangkapan Mensos Juliari Batubara adalah penggalangan dana bagi Pilkada 9 Desember yang lalu. Duit dalam jumlah besar, kabarnya dikumpulkan demi pemenangan PDIP.
Sama dengan rijik, salah satu alasan bagi kepulangannya dari Arab Saudi setelah sekian lama terdampar di sana, isu beredar adalah penggalangan dukungan dari kelompok yang sangat dekat dengannya. Sama-sama dalam konteks Pilkada.
Kalau alasan itu benar, keduanya sudah keburu lumpuh sebelum perang dijalaninya. Ibarat pertandingan, score adalah 1:1. Dua orang itu telah mendekam di penjara dengan alasan masing-masing.