Dik, kuduga kamu gk tahu banyak ya ttg Hermeneutika. Muasal Hermenutika emang seprofan itu, dr Schleimacher, Dilthey, hingga Heidegger, Gadamer, dan Paul Ricoeur.
But, fyi, tlh banyak cendekiawan muslim menghadirkan paradigma Hermeneutika Qur'ani. Msl Pak Faiz, dia tokoh besar
Plis jgn bilang saya liberal, lho. Pada banyak bidang tekstualitas al-Qur'an dan hadis, saya cenderung konservatis, tp saya tahu batas personal dan sosial.
Msl, saya wajibin anak istri jilbaban, beda ma @adeirra Tp saya paham kok scr paradigmatik n sosial pd adanya pendapat itu.
Jadi, mari take it easy aja, lalu mari terus belajar dan belajar. Adab lbh utama daripada ilmu; ikhtilaf banyak yg emang afdhalnya di-mauquf aja agar kita tk terseret kecaman Ali Imran 105; makin luas ilmu n pengalaman kita insya Allah kita akan makin wudda dan haunan. Amin, ya.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Kita diajarkan untuk bersyiar mencegah kemungkaran. Tp Allah Swt jg tlh menakdirkan dunia ini beragam, termasuk adanya kalangan yg mungkar². Ketika kita diperintahNya bersyiar cegah mungkar, sgt jelas bhw segala ikhtiar kita takkan kuasa mengubah takdirNya atas kemajemukan tadi.
Maka, sikap rohani yg tepat buat kita kiranya adalah semata menerima dan mengamalkan ajaranNya, perintahNya, tanpa perlu memasang target² ekspektasi bg keberhasilannya.
Yg kan berhasil, biar diputuskanNya; yg tidak, ya biar diaturNya saja.
Adanya praktik² kemungkaran sepanjang zaman masuk akal tuk kita pahami sebagai "keperluan pembuktian" bagi betapa agungnya kebaikan², kemaslahatan², yang diserukanNya.
Sebab krn berhadapan dgn yg mungkar, laku yg haq jadi makin bersinar cemerlang pesonanya buat hati kita.
Kanjeng Nabi Saw adalah "kartu tol" bagi keselamatan, kesuksesan, kebahagiaan kita, dunia n akhirat.
Mari renungkan.
Beliau Saw adalah sebab teragung bagi segala ciptaan Allah Swt. Ya surga neraka, para malaikat, jin, alam raya ini, jelas pula kita semua, dr awal penciptaan hingga akhir kelak.
"Jika bukan karenamu (Kanjeng Muhammad Saw), tak Kuciptakan alam raya...." Hadis qudsi sgt terkenal.
Tatkala Nabi Adam As diturunkan ke bumi, bertobat panjang dgn doa "Rabbana zalamna anfusana....." di ujung doa beliau memungkasi:
اللهم إني أسألك بحق محمد
"Ya Allah, aku memohon (ampunanMu) dgn Muhammad yang hakiki."
Ayat 11 surat Muhammad ternyata mengandung keterangan yg mendalam.
"Dan orang² yg telah diberi pertunjuk (hidayah), maka Allah Swt akan menambahkan hidayah (ilmu, amal) baginya dan mengaruniakan ketakwaan (yg lebih dalam) baginya."
Ayat ini tdk sesederhana bunyinya yg mengesankan "siapa yg dpt hidayah, maka akan terus bertambah takwanya". Tidak. Di dalamnya, mengandung sunnatuLlah yg memberikan ruang keterlibatan kita dgn sangt besar. Tegese, hidayah itu beriring amal kita; makin ngamal makin ditambahi.
Clue pertamanya: amalkan ilmu, pengetahuan, yg tlh diketahui --pengetahuan atas keimanan, ketakwaan, kesalehan, dlm kadar apa pun, termsuk dlm karunia hidayahNya. Msl, tahu fadhilah shalawatan. Itu hidayahNya.
Islam adalah agama kasih sayang. Ini kita ketahui dgn sgt luas dan kondang.
وما ارسلناك الا رحمة للعلمين
"Dan Kami tidak mengutus Engkau (Nabi Muhammad Saw) kecuali sebagai pembawa/penebat rahmat bagi alam raya ini."
Rahmat adalah ekspresi kasih sayang. Yg dimaksud dlm Islam ialah kasih sayang yg bersumber dr keimanan kpdNya, ketakwaan, dgn ejawantah akhlak karimah.
Jd bkn skdar akhlak etik baik, tnpa fondasi iman dan takwa.
Surat al-Bayyinah ayat 5 bertutur ttg menyembah Allah Swt (keimanan), lalu shalat, zakat, dst (ketakwaan: menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya).
Ayat 7 ttg menegaskan "sebaik² manusia ialah yg beriman dan beramal saleh (ritual-sosial).
Ada orang yg saking dalamnya rasa cinta di hatinya, ia mendahulukan orang lain dr dirinya. Pokoknya ia selalu menempatkan orang lain first, baru dirinya.
Ada pula orang yg mendudukkan orang lain sejajar dgn dirinya. Dirinya dan orang lain dibuat sejalan, bersamaan, beriringan.
Ada lagi orang yg mendahulukan dirinya dibanding orang lain, tanpa merugikan, merendahkan, atau menzalimi orang lain.
Inilah nasihat Sayyidina Ali bin Abi Thalib kepada gubernur Mesir-nya, Malik bin Harits al-Asytar:
"Perlakukanlah orang lain bagai timbangan. Lakukanlah kepadanya apa yang ingin orang lain lakukan padamu; jgn lakukan kepadanya apa yg kau tak ingin orang lain lakukan padamu."
Brrikut beberapa turunan nasihat sejenis:
"Bukanlah nasihat dilakukan di tempat umum terbuka; nasihat bukanlah mempermalukan; nasihat adalah welas asih."
"Jangan pernah membuka aib orang karena setiap kalian punya aib yang serapatnya kalian simpan. Sekali kamu membuka aib orang, maka aibmu akan dibukaNya. Tiada yang bisa mencegahNya siapa pun engkau."