Kali ini, kembali Indonesia berhasil memberi pelajaran dan menjadi guru dalam arti sebenarnya pada kepada Amerika yang katanya super power.
Ga percaya? Masih ingatkah peristiwa di Jalan KS Tubun Tanah Abang saat sidang Bawaslu atas gugatan Pilpres pada 22 Mei 2019 yang lalu?
Rusuh besar melanda Jakarta dan halaman depan Kantor Bawaslu adalah tempat paling sexy dijadikan panggung.
Mereka memberi sinyal bahwa siapapun tak boleh memimpin negeri ini selain dia yang mereka pilih.
Sebelumnya, aksi klaim menang telah dilakukan. Massif mereka berteriak agar cerita yang lain tenggelam. Mereka ingin menguasai opini dengan narasi mereka bangun.
Calon Presidennya harus menang, kalau kalah, pasti curang.
Bukan hanya klaim. Tuhan pun dilibatkan dan dipaksa. Tak akan ada lagi yang menyembah Nya bila mereka kalah.
Kini, cerita itu kembali diulang di Amerika Serikat. Di Washington DC tepatnya.
Sempat terpikir masalah sudah selesai hanya pada rebutan klaim menang dan doa paksaan saat awal penghitungan suara. Ternyata cerita lanjutan yang sama, yakni di depan Bawaslu juga terjadi di sana.
Di Capitol Hill.
Benar, dulu Trump memulainya dengan aksi klaim sama persis dengan cara kita berdemokrasi. Demikian pula doa juga di rebut dalam aksi memaksa. Pokoknya, sama persis hingga titik koma.
Aksi unjuk rasa yg berujung kekerasan pun kini terjadi di Gedung Kongres di Capitol hill Amerika Serikat . Para pendukung Presiden Donald Trump ingin menguasai gedung Capitol demi mencegah Biden berkuasa setelah yg bersangkutan dinyatakan memenangkan perhitungan suara di Pilpres.
Pada Rabu (6/1/2020), Kongres AS memang menggelar sesi gabungan untuk mengkonfirmasi sertifikat kemenangan Biden.
Pendukung Trump yang terprovokasi atas hoax media sosial ngamuk.
Petugas dari Kepolisian Capitol yang berjumlah 2.000 personel tidak kuasa membendung massa yang marah. Mereka memecahkan kaca dan merangsek masuk.
Pasukan bantuan harus dikerahkan dari wilayah tetangga seperti Montgomery County, Maryland, demi memadamkan kekacauan di ibu kota.
Sejak dinyatakan kalah dalam Pilpres AS, tanggal 3 November, Trump selalu mengklaim bahwa terjadi kecurangan dalam penghitungan.
Dia bahkan menyerukan dalam berbagai kondisi agar pendukungnya bergerak ke Washington, dan menghentikan proses pengesahan di Kongres.
Bagaimana? Kita guru, dan mereka murid yang baik?
Akhir cerita kita, massa radikal sebagai garda terdepan rusuh telah dibuat bubar organisasinya.
"Apakah Joe Biden sebagai pemenang harus belajar dari Jokowi?"
Seharusnya "From Jakarta with Love" lebih menarik dibanding "From Fetamburan to Mamarika" to??
.
.
.
T R I R I S M A H A R I N I
.
.
.
Seorang Ibu Yang Menteri
.
.
Dia galak. Setarikan dengan garis lurus sifat galak sebagai takdir, lembut hatinya dan sikap solider berdiam dalam dirinya. Dia seperti kebanyakan seorang ibu asli Indonesia.
Dia marah,(ngeri ngeliatnya) dan intonasi suara yang sangat khas itu akan terdengar hingga kampung sebelah ketika keterlaluan tak lagi dapat dikompromikan.
Kedua tangannya sangat cepat memeluk ketika duka dan ketidak adilan terjadi.
Ibu ini ingin orang lain tahu bahwa mereka tidak sendirian.
Ketika marah dan tangis terdengar dalam satu cangkang, ini cerita lain. Ini keterlaluan diatas segala keterlaluan yang tak lagi dapat diterima atas alasan apapun.
Ketika aparat Kepolisian tak lagi mampu menghandel sendirian, militer adalah solusinya. Tidak selalu harus diterjemahkan dengan militeristik karena melibatkan peran tentara, ada aturan hukum yang melandasinya.
Sama dengan di Indonesia, di bawah komando Kepolisian sebagai pemilik wilayah hukum militer diperbantukan.
Tiga matra darat, laut dan udara pun dilibatkan. Tiga Pasukan Khusus dari masing-masing angkatan diterjunkan.
Bukan kekhususannya adalah "nggebuk" demonstran, efek gentar seringkali adalah apa yang diharapkan. Itu apa yang sering kita saksikan bila kejadiannya di Indonesia.
Tak jauh dari petilasan Ario Penangsang, di desa Jipang, Cepu, Kabupten Blora, seluruh keturunan kakek dari kakeknya Hardjo adalah penganut kejawen. Mereka hidup dengan tenang dan damai.
Dalam mengekpresikan budaya dan agamanya, sebagai orang Jawa, kakek Hardjo sangat menghormati pola hubungan yang seimbang.
Hal itu selalu dilakukan pada sesama individu, alam dan Tuhan dimana adalah sebagai pusat segala kehidupan dunia.
Keseimbangan adalah tentang melihat kedalam, (introspeksi) bukan menunjuk siapa yang bersalah. Bukan pula tentang bonus surga dan denda neraka, ini adalah tentang membuat dirinya semakin hari semakin baik dalam seluruh perjalanan hidupnya hingga keseimbangan terwujud.
Memaknai keterpilihan dan menang demi suara terbanyak, itulah entitas demokrasi kita kenal. Paling tidak, itulah cerita selalu kita dengar setiap pemilu, di mana pun juga.
Prabowo jadi Presiden, jelas adalah target awal Pilpres 2019 lalu. Target berikutnya yang mungkin lebih besar dari target awal itu tak pernah kita dengar. Dia layu sebelum mekar, tenggelam sebelum sempat berlayar. Lainnya, silahkan tambahin sendiri.🤔
"Apa yang tak pernah kita dengar sebagai target selanjutnya?"
Namanya juga hasrat, bisa apa saja. Yang jelas, semua pihak yang tak suka Jokowi berkumpul di sana. Apa agenda ingin agar Jokowi tak terpilih kembali, itulah makna hasrat menjadi relevan.
“Le.. Tuhanmu tak akan marah bila kamu meminta kepadaNYA, tapi sering-seringlah menyapaNYA daripada kau meminta, karena temanmu akan lebih suka kau menyapanya daripada kau sering meminta, walaupun Tuhan, tidak sama dan sebanding dengan temanmu.”
Demikian seorang yang saya kenal melalui akunnya pernah mendapat nasehat dari almarhum ayahnya 30 tahun yang lalu.
Di sela kesibukkannya menjadi diri sendiri lewat cuitan-cuitan yang mengajak kita untuk menempatkan manusia di atas agama. Kadang ia menyelipkan cerita tentang bagaimana keluarganya hidup dalam ke Bhinnekaan.
Sulit kita mencoba paham dengan ekspresi muka "mbecetut"-nya. Lebih sulit lagi kita memahami bunyi yang sering dihasilkan oleh mulutnya.
Selalu saja ada nada tak harmonis dan telinga ini menjadi obyek penderita sebagai akibatnya. Menderita dalam arti sesungguhnya.
Sampah, itu ketika mata menjadi juri. Noise, masih terdengar lebih enak bila telinga adalah alat penilai.
Entahlah... dia benar punya mulut, tapi seolah berkodrat tak baik. Bukan suara dengan makna harafiah kita dengar keluar dari mulutnya, bunyi-bunyian, itu lebih tepat.