T R I R I S M A H A R I N I
.
.
.
Seorang Ibu Yang Menteri
.
.
Dia galak. Setarikan dengan garis lurus sifat galak sebagai takdir, lembut hatinya dan sikap solider berdiam dalam dirinya. Dia seperti kebanyakan seorang ibu asli Indonesia.
Dia marah,(ngeri ngeliatnya) dan intonasi suara yang sangat khas itu akan terdengar hingga kampung sebelah ketika keterlaluan tak lagi dapat dikompromikan.
Kedua tangannya sangat cepat memeluk ketika duka dan ketidak adilan terjadi.
Ibu ini ingin orang lain tahu bahwa mereka tidak sendirian.
Ketika marah dan tangis terdengar dalam satu cangkang, ini cerita lain. Ini keterlaluan diatas segala keterlaluan yang tak lagi dapat diterima atas alasan apapun.
Biasanya, ini terjadi pada peristiwa yang sudah sungguh-sungguh sangat kebangetan. Di luar batas nalar wajar manusia normal yang seharusnya. Guoblook..banget, kira-kira seperti itu.
Fenomena menarik ini sudah menjadi cerita wajar bagi warga Kota Surabaya.
Seorang ibu yang Walikota dalam arti yang sebenarnya.
Perempuan berpredikat Wali Kota dengan sifat keibuan melekat pada dirinya, dan anehnya, tak seorang pun warga Kota Surabaya yang marah dan tersinggung ketika dia dimarahi.
Dia memang diterima layaknya ibu dan bukti bahwa tak ada orang tersinggung ketika ibu itu marah, adalah penjelasan logis.
Bukankah marah seorang ibu adalah bukti beliau peduli? Sayang? Mereka yang pernah dimarahi, merasakan kehadiran seorang ibu.
DIA SANGAT DICINTAI WARGA SURABAYA.
.
.
Gatal kakinya bila tak blusukan demi solider sikap melekat miliknya dianggap pencitraan oleh banyak pejabat DKI. Gubernur, Wagub, Walikota, anggota DPR super nyinyir hobby film 18 detik hingga orang tua berumur 80 tahun
yang katanya paling sangat Jakarta dan bahkan lebih Jakarta dari siapapun warga Jakarta sepanjang segala masa.
.
.
Mereka bilang ibu ini cari sensasi. Gila pencitraan dan gangguan jiwa.
Ibu yang Menteri ini pernah pamit atau minta ijin pada bawahannya.
Mohon maaf kalau cara datangnya ke kantor sangat mungkin akan selalu lebih pagi dibanding semua stafnya.
Dia senang dan terbiasa hadir saat matahari pun masih enggan nongol.
Bukan perintah pada para stafnya ikut cara dia datang sangat pagi, meminta ijin sekaligus memberi info agar tak terjadi ewuh pekewuh layaknya orang timur, Indonesia dengan tata krama aslinya.
Ketika tanpa sengaja si ibu menengok ke jendela, dimana batas jarak ruangan ber AC di kantornya yang dingin dan sejuk dan sangat membuat banyak orang lupa betapa panas udara luar di Jakarta, tatapan matanya terhenti pada sosok gelandangan,
manusia dalam rupa seperti dirinya. Mereka hidup jauh dari kata layak.
Rasa keibuannya langsung mendesak keluar dalam benak sakit dan perih di dada. Tergopoh sang ajudan dibuat ikut lari persis di belakang langkah kecil dan gesit si ibu menuju kolong jembatan
di mana tatapan matanya tadi sempat terhenti.
.
.
Disapanya orang itu dengan bahasa yang dia tahu, bahasa seorang ibu.
Keesokan harinya, kolong jembatan itu langsung steril. Perintah PLT Wali Kota sangat clear, jadikan tempat itu bersih.
Disaat yang sama, sang punggawa Ibu Kota langsung sembuh dari inveksi yang dipahami dunia hanya punya umur 14 hari namun hingga duapuluh sekian hari sang punggawa dikabarkan masih terinveksi.
Hari berikutnya, di Jalan Thamrin, sekali lagi si ibu terlihat ngobrol dengan dia yang terindikasi tunawisma.
Perintah keras tiba-tiba datang langsung dari sang punggawa Ibu Kota, "cari tahu siapa gelandangan itu."
Si orang tua, si lebih Jakarta dari siapa pun warga Jakarta berteriak garang "saya lebih dari 80 tahun tinggal di Jakarta, ga ada gelandangan di Thamrin", demikian dia berujar marah.
Pencitraan, sakit jiwa hingga hadirnya aktor berperan sebagai gelandangan langsung disebar para esjewe. Kepedulian seorang ibu pada sesamanya dilawan dengan cuitan tandingan corong pekaes, kolong jembatan di Surabaya yang tak pernah ibu itu singgahi.
Ternyata, dia yang dicurigai oleh sang punggawa sebagai aktor dan kader partai XYZ, demi drama meraih popularitas si ibu, adalah tunawisma sebenarnya.
Ternyata, kolong jembatan di Surabaya yang dimaksud oleh si pekaes itu sudah dikunjungi Wakil Wali Kota Surabaya, Whisnu Sakti Buana yang kini menjabat Plt Wali Kota Surabaya.
Namun, bukan itu poin utama layak dibuat debat.
Tak penting apa itu hal baik dan buruk menjadi sarana debat.
Baik adalah ketika sesama sedang sakit dan kita solider dan menjadi bagian dari dirinya. Buruk adalah ketika sesama sedang sakit, kita hanya sibuk berpolemik dengan narasi.
Ibu itu senang memberi makan mereka yang dijumpainya sedang kelaparan, sementara para pengkritiknya justru sibuk memotret cara si ibu memberi makan. Mereka senang berpolemik dengan hasil potretannya.
Makanan adalah obat manjur bagi perut lapar, sementara, janji adalah cara politikus memberi kenyang hasrat, bukan esensi.
Tetaplah jadi ibu bagi banyak orang daripada borpelemik dengan manusia politik macam itu bu.
Marahlah, ngomel lah, kami kangen dengan marah dan omelan seorang ibu. Marahlah demi kami makin baik dan terarah.
Serius, Ibu sangat cocok menjadi Menteri Sosial di mana banyak warga negara ini rindu hadirnya sosok ibu. Sosok yang tak segan ngomel demi peduli dan peluk demi solider.
.
.
.
Ketika aparat Kepolisian tak lagi mampu menghandel sendirian, militer adalah solusinya. Tidak selalu harus diterjemahkan dengan militeristik karena melibatkan peran tentara, ada aturan hukum yang melandasinya.
Sama dengan di Indonesia, di bawah komando Kepolisian sebagai pemilik wilayah hukum militer diperbantukan.
Tiga matra darat, laut dan udara pun dilibatkan. Tiga Pasukan Khusus dari masing-masing angkatan diterjunkan.
Bukan kekhususannya adalah "nggebuk" demonstran, efek gentar seringkali adalah apa yang diharapkan. Itu apa yang sering kita saksikan bila kejadiannya di Indonesia.
Kali ini, kembali Indonesia berhasil memberi pelajaran dan menjadi guru dalam arti sebenarnya pada kepada Amerika yang katanya super power.
Ga percaya? Masih ingatkah peristiwa di Jalan KS Tubun Tanah Abang saat sidang Bawaslu atas gugatan Pilpres pada 22 Mei 2019 yang lalu?
Rusuh besar melanda Jakarta dan halaman depan Kantor Bawaslu adalah tempat paling sexy dijadikan panggung.
Mereka memberi sinyal bahwa siapapun tak boleh memimpin negeri ini selain dia yang mereka pilih.
Sebelumnya, aksi klaim menang telah dilakukan. Massif mereka berteriak agar cerita yang lain tenggelam. Mereka ingin menguasai opini dengan narasi mereka bangun.
Tak jauh dari petilasan Ario Penangsang, di desa Jipang, Cepu, Kabupten Blora, seluruh keturunan kakek dari kakeknya Hardjo adalah penganut kejawen. Mereka hidup dengan tenang dan damai.
Dalam mengekpresikan budaya dan agamanya, sebagai orang Jawa, kakek Hardjo sangat menghormati pola hubungan yang seimbang.
Hal itu selalu dilakukan pada sesama individu, alam dan Tuhan dimana adalah sebagai pusat segala kehidupan dunia.
Keseimbangan adalah tentang melihat kedalam, (introspeksi) bukan menunjuk siapa yang bersalah. Bukan pula tentang bonus surga dan denda neraka, ini adalah tentang membuat dirinya semakin hari semakin baik dalam seluruh perjalanan hidupnya hingga keseimbangan terwujud.
Memaknai keterpilihan dan menang demi suara terbanyak, itulah entitas demokrasi kita kenal. Paling tidak, itulah cerita selalu kita dengar setiap pemilu, di mana pun juga.
Prabowo jadi Presiden, jelas adalah target awal Pilpres 2019 lalu. Target berikutnya yang mungkin lebih besar dari target awal itu tak pernah kita dengar. Dia layu sebelum mekar, tenggelam sebelum sempat berlayar. Lainnya, silahkan tambahin sendiri.🤔
"Apa yang tak pernah kita dengar sebagai target selanjutnya?"
Namanya juga hasrat, bisa apa saja. Yang jelas, semua pihak yang tak suka Jokowi berkumpul di sana. Apa agenda ingin agar Jokowi tak terpilih kembali, itulah makna hasrat menjadi relevan.
“Le.. Tuhanmu tak akan marah bila kamu meminta kepadaNYA, tapi sering-seringlah menyapaNYA daripada kau meminta, karena temanmu akan lebih suka kau menyapanya daripada kau sering meminta, walaupun Tuhan, tidak sama dan sebanding dengan temanmu.”
Demikian seorang yang saya kenal melalui akunnya pernah mendapat nasehat dari almarhum ayahnya 30 tahun yang lalu.
Di sela kesibukkannya menjadi diri sendiri lewat cuitan-cuitan yang mengajak kita untuk menempatkan manusia di atas agama. Kadang ia menyelipkan cerita tentang bagaimana keluarganya hidup dalam ke Bhinnekaan.
Sulit kita mencoba paham dengan ekspresi muka "mbecetut"-nya. Lebih sulit lagi kita memahami bunyi yang sering dihasilkan oleh mulutnya.
Selalu saja ada nada tak harmonis dan telinga ini menjadi obyek penderita sebagai akibatnya. Menderita dalam arti sesungguhnya.
Sampah, itu ketika mata menjadi juri. Noise, masih terdengar lebih enak bila telinga adalah alat penilai.
Entahlah... dia benar punya mulut, tapi seolah berkodrat tak baik. Bukan suara dengan makna harafiah kita dengar keluar dari mulutnya, bunyi-bunyian, itu lebih tepat.