EFPEI LAPORKAN INDONESIA PADA PENGADILAN INTERNASIONAL DEN HAAG BELANDA
.
.
.
Tim advokasi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia melaporkan kasus penembakan enam anggota laskar efpei ke Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag, Belanda.
Mereka tak puas atas hasil rekomendasi Komnas HAM Indonesia. Kemarin, mereka berharap rekomendasi "boom", yakni terjadi pelanggaran berat oleh aparat negara. Itu adalah Kepolisian Republik Indonesia dibawah pemerintahan Presiden Jokowi.
"Apakah terkait adanya perasaan sia-sia sudah muncul peluang dengan telah terjadinya korban tapi tetap tak mampu mengusik Presiden?"
Tendensius itu namanya. Ga baik, Tuhan tidak senang dengan pikiran-pikiran seperti itu.🙄
Mungkin benar adanya tentang agenda lain ingin mereka capai terhadap harapan putusan yang mereka nanti atas rekomendasi Komnas HAM, namun "ujug-ujug" selalu berujung ke Jokowi, suudzon itu namanya
Apa daya putusan berbicara lain. Mereka sekarang ingin bercerita ke Belanda, ke Mahkamah Internasional yang ada di Den Haag.
Tidak hanya itu, tim advokasi ini pun juga telah melaporkan kejadian itu ke Committe Against Torture (CAT) yang bermarkas di Jenewa, Swiss,
Itu adalah hak mereka. Bahkan bila mereka pingin cerita ke Menhan Amerika pun, tak ada yang boleh melarang.
Pelaporan terhadap kasus ini ke Mahkamah Internasional oleh Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) atas tewasnya enam laskar FPI akan dipimpin oleh Amien Rais.
TP3 merupakan bentukan Amien Rais yang juga sebagai Ketua Partai Ummat, bersama para koleganya.
"Haruskah kita khawatir?"
Indonesia bukan negara anggota Mahkamah Internasional. Sampai hari ini Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma.
Statuta Roma adalah, sebuah perjanjian untuk membentuk Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court).
ICC dibentuk pada Tanggal 17 Juli 1998, dalam konferensi Diplomatik Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).
Ingat nelayan China yg selalu ngeyel dan merasa benar meski mereka sedang nyolong ikan di perairan kita? Bahkan melawan ketika Bakamla kita mengusir mereka dari perairan Natuna?
Padahal, PBB dibawah Konvensi Hukum Laut atau UNCLOS (United Nations Convention for the Law of the Sea) 1982, telah menyatakan bahwa Natuna merupakan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Pada saat penandatanganan keputusan tersebut, delegasi China hadir.
Hal ini dapat diartikan bahwa mereka menerima apa yang telah menjadi keputusan UNCLOS.
"Apakah kemudian China meratifikasi UU ini?"
Ternyata banyak negara belum meratifikasi aturan ini termasuk didalamnya China dan Amerika Serikat, dua negara yang sering memanfaatkan laut tersebut sebagai ZEE resmi kita.
Ratifikasi adalah proses adopsi perjanjian internasional, kedalam UU Nasional negara bersangkutan.
China tidak pernah mengadopsi UU tersebut dan maka China sulit untuk dapat dianggap bersalah atas pelanggaran tersebut. Paling tidak, nelayan dari China itu tidak pernah dapat dihukum di China karena tidak pernah melanggar hukum di negaranya.
Untuk ICC pada Statuta Roma, sama dengan China pada UNCLOS, Indonesia tidak pernah mengapdosi UU itu menjadi UU yang berlaku di negara kita.
Penegak hukum yang bertugas pada cerita 6 militan efpei tak mungkin dapat diadili apalagi dianggap bersalah pada aturan yang kita tak punya. Itu logika paling dasar.
Pada sisi yang lain, Mahkamah Internasional pun bukan peradilan pengganti atas sistem peradilan nasional suatu negara.
Mahkamah Internasional hanya akan bekerja pada saat negara anggota Statuta Roma tersebut bermasalah.
Itu pun bila negara-negara tersebut dianggap mengalami kondisi tidak mampu (unable) dan ga punya niat (unwilling).
Mahkamah Internasional juga tidak dirancang untuk menggantikan peradilan nasional dari anggotanya.
Mahkamah Internasional hanya akan bertindak sebagai jaring pengaman apabila sistem peradilan nasional megara anggota "collapsed" atau secara politis terjadi kompromi dengan kejahatan sehingga tidak bisa dipercaya.
Bagaimana dengan kondisi HAM Indonesia?
Yang jelas, Indonesia bukan anggota Statuta Roma. Jauh panggang dari api.
Kesia-siaan akan mereka tuai. Tapi, namanya juga usaha, masa harus kita cela?
.
.
.
Homer: "Look at me, I'm reading The Economist..! Did you know Indonesia is at a crossroads?"
Marge: "No..!"
Homer: "It is..!"
Sepenggal percakapan antara emak dan bapaknya Simpsons saat sedang bepergian menggunakan pesawat first class dalam episode The Simpsons berjudul "Catch 'Em If You Can".
Apa yang menarik?
Bukankah serial ini sering membuat orang terkagum bahkan melabelinya dengan sebuah fenomena time travel?
Aah...mbuh...!! Gw bukan orang yang terlalu intens dengan hal seperti itu.
Ambroncius Nababan tumbang dan namun Pigai tertawa. Ambroncius tertunduk lesu, Pigai berjaya. Seperti pada sebuah permainan, keduanya adalah aktor. Politik adalah panggung mereka.
Pintar yang satu dan lengah yang lain hanya soal waktu saja. Pigai menang hari ini bukan berarti dia tidak pernah salah.
Ini bukan cerita tentang yang satu orang baik dan yang lain orang jahat maka yang jahat harus dihukum.
Ini hanya soal yang satu kalah strategi dan kalah mental sehingga jempol kebablasan, sedangkan yang lain terbukti lebih pintar memanfaatkan peluang.
Oportunis, mungkin adalah istilah paling teoat membuat gambaran.
PRESIDEN IMITASI
.
.
.
Sangat ga apple to apple membandingkan Anis dan Jokowi. Namun bukan salah apel yang satu ingin meniru dan menempatkan diri menjadi apel yang lain.
Meniru, mungkin tidak terlalu tepat bila karena dia bukan subyek. Ditirukan..!! Ditirukan adalah obyek.
Ditirukan dan kemudian ditempatkan pada posisi itu menjadikan Anis dobel obyek. Dia bukan melakukan atau berkehendak, tapi terkena akibat atas tindakan dari pihak lain.
Contoh sukses Jokowi ditiru. Menjadi Gubernur DKI kemudian lompat jadi Presiden, itulah gambar besarnya.
Hebat bila proses meniru itu berasal dari dirinya. Ada kecerdasan positif (paling tidak ada effort untuk menjadi) siap digelar demi langkah sangat sulit seorang Jokowi sampai pada titik tertinggi di negeri ini. Anis tampak bukan person seperti itu.
PRAMBANAN NAN ANGGUN
.
.
.
Dia akan bersenandung saat hati kita benar-benar bersih.
Dia mungkin akan bercerita melalui angin yang berhembus
dan semburat pucat sinar rembulan di malam hari.
~Nita~
Abhiseka adalah upacara pensucian dan peringatan diresmikannya Candi Prambanan oleh Rakai Pikatan Dyah Seladu pada Wualung Gunung Sang Wiku (856 M) untuk menandai puncak kekuasaan kerajaan Mataram Kuna.
Ritual yang sama, beberapa saat yang lalu digelar. Baru sekali dan untuk pertama kalinya sejak Candi Prambanan berdiri 1.163 tahun lalu atau tepatnya di tahun 856 masehi.
Ribuan tahun sudah tradisi, budaya dan agama yang demikian agung telah menjadi bagian sejarah kita.
Ketika sebagian saudara kita menghina atas tak pantas bangsa ini pernah mampu membangun Candi Borobudur, mereka berteriak sebagai peninggalan Nabi Sulaiman. Ramai mereka berkunjung dan berteriak dengan segala dalilnya.
Tak pantas bangsa primitif tidak kenal Tuhan dan penyembah berhala batu dan pohon besar memiliki karunia sebesar itu. Mampu membuat bangunan sehebat candi Borobudur. Hanya bangsa terpilih dengan para nabinya berasal saja itu boleh.
Ratusan tahun sudah dia tersembunyi dalam tebal lumpur pasir akibat gunung Merapi dan bisikannya justru didengar si asing yang kita panggil sebagai penjajah. Raffles, Gubernur Jendral Inggris di Jawa mendapat karunia itu.
Ketika sikap toleran menjauh dari cara kita hidup, radikal sebagai akibat cara kita berpikir mendekat dalam dekat jangkauan menggoda. Selalu bertaut dalam gerak seirama. Di sana ada korelasi tak dapat dihindar.
Rasa tak suka-ku, menuntut tindakan kongkrit. Bukan sekedar alenia dalam kalimat dan narasi sebagai tanda.
Hantam! Pukul! Musnahkan! Dan lalu chaos terjadi sebagai akibat.
Dalam kekacauan, pikiran jernih bukan pilihan. Refleks sebagai reaksi, jauh lebih mudah terjadi & nalar kita tak bertanya lagi tentang pantas atau tidak.
Dalam kacau kita bersama, selalu tercipta peluang bagi "liyan" (pihak ke 3).