Sendirinya kudet, bukannya berusaha apdet, malah kalah dengan rasa keder.
Ngaku intelek, pengen keliatan lebih mulia daripada bajer, tapi kok lebih keliatan spt orang minder.
Bawa-bawa publik, seolah publik nggak berdaya di depan tren yang mereka sebut bojar-bajer.
Sendirinya lemah, kok ngira semua orang sama lemah.
Kerja di ranah informasi, tetapi ketakutan dgn perkembangan dunia informasi.
Ini kok lebih mirip orang belajar silat, tetapi malah takut bertarung.
Ngehina mereka yg kalian sebut bajer sbg orang² bayaran, tanpa mau ngeliat bahwa banyak dr mereka utk pulsa pun dr kantong sendiri.
Sedangkan yg ngaku lbh mulia di ranah media, makan duit negara tanpa rasa berdosa. Kalian ini makhluk apa?
Ranah informasi ini tidak mengikuti kepala sempitmu. Ia mengikuti perkembangan teknologi dan zaman.
Elu yg kelimpungan ngehadapin perubahan, bukannya membuka mata lebih jernih, malah sibuk bergunjing ke sana kemari.
Mampus aja lu. Kata satu teman yang masih ngejomblo.
Gini. Di ranah digital, di dunia internet, jangan pernah merasa kitalah yang punya misi paling suci dlm memperjuangkan sesuatu.
Ingat, di perut Anda masing-masing tetap ada satu tempat utk tahi bertempat. Tubuh Anda berminyak wangi, di sana tetap takkan wangi.
Artinya, jangan merasa guelah yang punya profesi paling direstui oleh ilahi. Ini elunya cuma bermasturbasi. Cuma memuaskan diri sendiri, tanpa melihat realita sebenarnya dgn mata yg beneran terbuka.
Koran elu, media elu, hampir mampus bukan karena kesalahan dunia luar. Itu murni karena elu menghadapi perubahan saja nggak becus.
Elu sibuk dgn kebanggaan semu; "Gue kan jurnalis, bagian dari pilar keempat demokrasi!"
Media elu lebih banyak bikin ribut, menyesatkan pembaca, dan membohongi publik. Masih merasa lebih mulia?
Elu ngira konsumen media sama gobloknya dgn jurnalis yang elu rekrut asal-asalan dgn gaji di bawah UMR?
Nggak. Pembaca sekarang cerdas. Krn jengkel dgn kegoblokan bbrp media, pembaca mencari opsi-opsi lain yg terbuka di era digital.
Elunya buka mata dong!
Jangan merasa sudah kaya pengalaman di ranah media masa lalu, terus merasa tdk perlu membuka mata dgn kecenderungan hari ini.
Pikiran elu masih terbelakang krn hanya berkiblat ke belakang dlm hal perkembangan teknologi informasi, kesalahannya di otak elu.
Kenapa pula elu sibuk menyalahkan perubahan akibat teknologi informasi?
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Mau ku-share hasil nguping ide-ide dari aktor di balik perubahan Banyuwangi?
Kok bisa daerah yang dulu dianggap miskin dan bahkan diremehkan krn terkenal dgn santet bisa berubah?
Sejujurnya, tanda tanya itu yang bikin aku antusias untuk berkunjung ke Banyuwangi.
Terlebih buatku, kata "perubahan" menjadi satu kata memikat. Kabupaten ini skrg bisa dibilang sbg daerah yang identik dengan kata tsb.
Terlebih lagi, dari laporan beberapa media, pemerintah setempat kabarnya sukses menaikkan pendapatan per kapita masyarakat Banyuwangi hingga 99 persen...