Dulu, kami di Aceh masih bisa menikmati bioskop, setidaknya sampai awal tahun 2000-an.
Setelahnya, sejak kami semakin "relijiyes" untuk nonton bioskop pun mesti ke Medan.
Baik. Ku-share lagi kisah bioskop di daerah kami yg relijiyes sekali ini.
Dulu, setiap hari, kami bisa ngeliat dulu film apa yang akan tayang hari ini di kolom khusus iklan di koran Serambi Indonesia atau koran Waspada.
Jika tertarik, kami bisa ke bioskop² mana saja di Banda Aceh atau di bioskop kelas kecamatan yang sering kami sebut PHR.
Untuk film-film baru rilis, saat itu cuma bs dinikmati di Banda Aceh.
Sementara bioskop kelas kecamatan yg disebut PHR biasanya cm menayangkan film lama.
Di Banda Aceh, bioskop Gajah Theater dengan Pas21 terbilang sbg bioskop paling populer.
Film baru apa saja yang tayang di kota² besar luar Aceh, juga bisa dinikmati di bioskop² di Banda Aceh.
Artinya, urusan hiburan, terutama perfilman, Aceh saat itu tdk terlalu ketinggalan.
Terutama di Banda Aceh, bahkan ada sekitar lima bioskop saat itu.
Bioskop-bioskop ini bahkan dibuka sampai malam hari.
Di Banda Aceh, dalam satu hari bisa diputar beberapa film dan beberapa kali tayang utk film yg sedang hits.
Sementara utk bioskop kelas kecamatan, spt di kampungku, Jeuram, biasanya bioskop yg disebut PHR cuma muterin 2 film.
Di PHR ini juga biasanya baru diputar filmnya setelah Isya, sekitar pkl 21.00.
Beda dgn bioskop di Banda Aceh, film yg diputar di bioskop kelas kecamatan ini diiklanin lewat mobil bak terbuka, lengkap dgn TOA, keliling kampung demi kampung.
Di mobil bak terbuka ini sekaligus dipasang spanduk berisi lukisan film-film yang akan diputar nanti malam.
Biasanya, utk bioskop kelas kecamatan ini, mobil yg ngumumin film yg mau diputar itu sdh keliling sekitar habis ashar, sekitar jam lima sore.
Nggak cuma itu, poster film yang mau tayang juga ditempel di warung kopi tertentu.
Kenapa? Krn selain koran, warung kopi adalah tempat plg banyak didatangi orang².
Awal 1990-an, saat film Tjoet Nja' Dhien yang diperankan Christine Hakim dgn Piet Burnama lagi hits di Aceh, posternya sdh dipajang di warung² kopi sejak sepekan sblm tayang.
Ringkasnya, dulu bioskop di Aceh ada sampai ke kecamatan.
Scr fasilitas, bioskop di Banda Aceh doang yang lbh manusiawi, tdk kalah dr bioskop kota2 besar lainnya.
Beda dgn bioskop kelas kecamatan, bangku penonton pun cuma terbuat dari kayu, tanpa bantalan.
Bahkan di kampungku sendiri, Jeuram yg berjarak 300-an km dr Banda Aceh punya dua bioskop!
Belakangan, bioskop di Aceh bisa dibilang tamat sejak tsunami datang.
Awalnya saat darurat militer, sering ditutup krn alasan keamanan.
Setelah tsunami, tdk bangkit lagi krn bioskop ditentang lantaran dianggap sumber maksiat!
Sejak itulah Aceh semakin relijiyes sampai sekarang. 😉
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Mau ku-share hasil nguping ide-ide dari aktor di balik perubahan Banyuwangi?
Kok bisa daerah yang dulu dianggap miskin dan bahkan diremehkan krn terkenal dgn santet bisa berubah?
Sejujurnya, tanda tanya itu yang bikin aku antusias untuk berkunjung ke Banyuwangi.
Terlebih buatku, kata "perubahan" menjadi satu kata memikat. Kabupaten ini skrg bisa dibilang sbg daerah yang identik dengan kata tsb.
Terlebih lagi, dari laporan beberapa media, pemerintah setempat kabarnya sukses menaikkan pendapatan per kapita masyarakat Banyuwangi hingga 99 persen...