Kita awali dari satu hadist, hadist mauquf dari jalan periwayatan Ibnu Abbas ra dibawah ini menjadi dalil Ihtisan (sesuatu yang baik meski oleh yang lain diangap tidak)
Dalam madzhab Hanafiyah :
ما رآه المسلمون حسنا : فهو عند اللهِ حسن، وما رآه المسلمون سيئا فهو عند الله سيئ
“Apa saja yg dipandang kaum muslimin merupakan kebaikan maka ia di sisi Allah juga merupakan kebaikan.
Dan apa saja yang dipandang kaum muslimin merupakan keburukan maka ia di sisi Allah juga merupakan keburukan”
(Hr Abu Hanifah, disahihkan imam Ahmad dalam musnadnya).
Fenomena beragama saat ini memang semarak. Terlihat dari semangat masyarakat muslim belajar agama dengan mengikuti majelis ilmu. Tidak hanya di dunia nyata, media sosial pun begitu ramai dengan konten agama.
Dari status, artikel, opini, berita, dan video yg diposting di akun-akun sosial media tersebar di jagat maya. Semangat belajar agama masyarakat muslim di negeri ini sungguh luar biasa.
Ada yang mengatakan, kepenatan dalam sibuknya bekerja dan minimnya pengetahuan agama membuat semangat itu berkobar membara.
Ada yang mengatakan, kaum milenial saat ini haus akan ilmu agama. Seiring dengan kondisi ini, syi’ar dan dakwah Islam seolah hidup di tanah ibu pertiwi.
Namun demikian, semangat dan haus akan ilmu agama membuat mereka kebablasan. Mereka tidak mengerti bahkan tidak tau diri dalam beragama. Mereka memposisikan diri layaknya seorang mujtahid.
Menurut pemahaman dangkal mereka, melakukan suatu amaliyah harus berdasarkan (mengetahui) dalil, katanya. Jika tidak ada dalilnya maka tidak boleh dilakukan. Semua perbuatan dalam beragama wajib ada dalilnya.
Demikianlah argumen yang disampaikan oleh mereka yang seolah mengerti bagaimana mengambil keputusan hukum dari dalil.
Pertanyaannya, apakah orang yang suka meminta dalil atau yang ngotot harus ada dalilnya, sudah paham dengan apa yang dimaksud dengan dalil?
Lebih parahnya lagi, ada yg sangat ngotot agar dalilnya harus dari al qur’an dan Sunah, seolah org seperti ini bisa membaca rujukan berbahasa Arab. Padahal ketika disodorkan satu kitab hadits saja, pasti tdk bisa membacanya. Atau, jangan2 membaca al Qur’an tdk bisa baca dgn benar
Tapi meski demikian, dengan pede-nya orang seperti ini maksa minta teks dalil al Qur’an dan Hadits. Alasannya, tidak mantap melakukan amaliyah jika tidak mengetahui dalilnya dan harus dari Alquran atau hadits sahih.
Mereka yang baru belajar agama ingin langsung naik level layaknya seorang muhaqiq (ulama peneliti). Mereka bertanya persoalan agama sekaligus ngotot ada dalinya. Seolah, setelah mereka tahu dalilnya akan melakukan istinbath (pengalian hukum).
Disini menunjukkan ketidak fahaman terhadap ushul fiqih akan adanya kaidah-kaidah ibadah yg memang sudah di tauqif (dibatasi) oleh Rasulullah dgn nash Hadits. Seperti Shalat, Rasul sudah mentauqif perkara shalat dgn hadits "Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat".
Hadits ini sudah jelas tidak bisa di tafsirkan lagi dan maknanya sudah jelas shalat yang kita kerjakan rukun-rukunnya harus sesuai dengan yang Rasul lakukan rukun-rukunnya. Tidak boleh rukun yang lain. Demikian pula dengan wudhu, haji, puasa ramadhan, dll..
Dalam ushul fiqih ibadah seperti tersebut di sebut ibadah MAHDHAH, yaitu Ibadah yg sudah di tauqif (ditetapkan) oleh Rasulullah, dan para Ulama Fiqih pun sudah menentukan rukun-rukunnya yg tidak boleh ditinggalkan salah satunya.
Lain lagi jenisnya dengan Ibadah seperti dzikir, shalawat, dakwah, syiar agama, silaturrahim, membaca Qur'an, sedekah, ceramah, dll. Ini tidak termasuk ibadah MAHDHOH, tetapi termasuk kedalam ibadah GHAIRU MAHDAH.
Apa itu ibadah "Ghairu Mahdah"? Adalah ibadah-ibadah yg tidak di-tauqif oleh Rasulullah, para ulama pun tidak pernah menuliskan rukun-rukunnya.
Belum pernah ditemukan ada hadits yg berbunyi seperti : "Dzikirlah kalian sebagaimana kalian melihat aku dzikir"
"Ceramahlah kalian sebagaimana kalian melihat aku ceramah"
"Mengajilah kalian seperti mana kalian melihat aku mengaji"
Tentu tidak ada, itu artinya ibadah tersebut tidak di tauqif oleh Rasulullah. Dan para Ulama pun tidak pernah membuat rukun dzikir, rukun ceramah, rukun ngaji, rukun sedekah, rukun silaturrahim.
Ada kaidah : “Asal semua ibadah adalah haram, sampai ada dalil yg menghalalkannya ”.
Nah dari kaidah ini sesuatu yaanh diangap ibadah selalu muncul pertanyaan “mana dalilnya?” karena sifat dari ibadah yang tauqif.
Permasalahnya adalah untuk ibadah apakah kaidah di atas ?. Kaidah tersebut merujuk bahwa yang dinamakan ibadah sifatnya tauqif adalah sudah ditetapkan dan tidak boleh ditambah atau dikurangi atau mendahulukan atau melebihkan atau apapun itu.
Dan ini beda dengan "muamalah" yg asalnya boleh sampai ada dalil yg melarangnya.
Kita lihat apa sebenarnya ibadah tauqif yaitu sifat ibadah yg tidak boleh untuk menambah dan megurangi, seperti sujud sebelum ruku', atau duduk sebelum sujud, atau duduk tasyahud tidak pada tempatnya
Oleh karena itu, yang namanya ibadah itu tauqifi dinuqil dari syari' (الله).
Jadi yang dimaksud ibadah dalam kaidah “Asal semua ibadah adalah haram, sampai ada dalil yang menghalalkannya atau menyuruhnya”, adalah ibadah yg sifatnya "mahdoh" saja, bukan semua ibadah.
Nah untuk bisa membedakannya ibadah harus dilihat wasail (perantara) dan maqoshidnya (tujuan). Untuk ibadah yang sifatnya mahdhoh Cuma ada maqoshid, sedangkan untuk goiru mahdoh ada maqoshid ada wasail.
Sholat, sudah jelas karena ibadah yang dzatnya adalah ibadah, maka yang ada Cuma maqoshid (tujuan) tidak ada wasail.
Begitu juga dengan maulid, maulid adalah wasail (sarana), maqoshidnya adalah mengenal Rasul mengagungkannya.
Bagaimanakah hukum awal dari Maulid? Jawabannya adalah mubah, boleh dilakukan dan boleh tidak dilakukan.
Tapi kenapa menjadi sunah.? Menjadi sunah dikarenakan hukum maqoshidnya adalah sunah (mengagungkan Rasul adalah Sunah)
karena yg namanya hukum wasail itu mengikuti hukum maqoshid (Lil Wasail hukmul Maoshid). ini adalah kaidah ushul fiqh
Apakah maulid bisa menjadi sesuatu yg bid’ah (dholalah)?
bisa, jika anda menganggap maulid adalah sebuah ibadah yg "Dzat"nya adalah ibadah seperti sholat wajib.
Perlu kita garis bawahi pertanyaan-pertanyaan seperti, apakah dasar merayakan maulid ?.
Ini pertayaan yang salah. Sebab tidak ada ceritanya namanya "wasail ada dalil qothi-nya".
Contoh lagi : anda main Twitter, ini adalah wasail, maqosid (maksud) anda untuk berdakwah tetapi karena berdakwah itu berpahala dan sunnah maka anda main Twitter pun menjadi sunnah karena ada maqosid sunnahnya.
Dalilnya adalah dalil menyebarkan kebaikan, saling menasehati, dll.
Adakah dalil shahih dan sharih yang menyuruh anda main Twitter? Tentu tdk ada, karena ini hanya wasail/sarana, tetapi kok bisa menjadi sunnah ?
ya itu tadi karena Maqosid-nya sunnah..
Begitu pula dengan maulid, kalau anda tanya dalil maqoshid (maksud) nya yaitu tentang mengenal dan mengagungkan Rasul ya pasti ada. Didalam Maulid ada silaturrahim, ceramah, syi'ar, sholawat, pengajian, berdoa bersama.
Dalilnya sangat banyak. Tapi jika tanya dalil wasailnya, yaitu perayaan Maulid?. Jelas tidak ada, karena ini adalah wasail (sarana).
Yang justru mengherankan sekarang banyak "orang-orang”yang belum belum faham ushul fiqh sibuk menanya “mana dalilnya"?
Sesungghnya, mereka yang ngotot harus ada dalil-nya Qur’an dan Sunah, karena mereka terprovokasi oleh kelompok yang hanya hafal satu dalil untuk semua "wasail". Sehingga, setiap apa saja yang ditanyakan oleh mereka yang awam, dalilnya hanya itu-itu saja, bahwa setiap bid'ah sesat
Padahal ayat tentang bid’ah itu panjang, tapi di potong di ambil ujungnya. Ya susah ngejelasin ga bakal ketemu kalau tidak utuh
Namanya juga dalil kunci inggrris. Orang awam yang bertanya dalil tidak paham, apakah dalilnya benar atau tidak bahwa setiap bid'ah sesat.
Akibatnya, ketika bertanya kepada seseorang yg memang merujuk pada pendapat ulama atau kitab2 orang awam tsb tdk mau percaya dan enggan mengikuti, krn dasar atau argumen yg disampaikan bukan dari al Qur’an dan Sunah mereka pikir ulama bikin kitab tidak berdasar al Qur'an & Sunnah
Kembali kepada hadist di atas (alinea awal), apakah perbuatan amaliah yang baik butuh dalil..?
Ketika perintah nya jelas apa yang Rasulullah sabdakan.
Mikiiir...!
Semoga bermanfaat 🙏🏿🌹
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Ada sebagian orang yang begitu ruwetnya memahami ibadah. Pokoknya semuanya harus sesuai dengan apa yang Rasulullah contohkan, dan kita harus konsisten mengikuti ajaran Rasulullah.
Baginya, hanya ada satu kebenaran, yaitu yang sesuai dengan contoh dari Nabi.
Saya tanya: “Apa yang harus kita baca di saat kita ruku’ dan sujud dalam sholat?”
Sebelum orang itu menjawab, saya sodorkan perbedaan bacaan yang dilakukan oleh Nabi dari Hudzaifah ra :
Hadis pertama menceritakan bahwa Nabi membaca : “Subhana Rabbiyal A’zim” ketika ruku’ dan “Subhana Rabbiyal A’la” ketika sujud
Hr an Nasa’i
Akan tetapi Aisyah ra meriwayatkan hadis lain dalam riwayat Muslim, Abi Dawud, Nasa’i. Dalam hadis ini, diriwayatkan bahwa Rasul membaca :
Ngaji Maljum, mblo boleh juga nyimak buat nanti kalau udah halal🤪🤣☕️
بسم الله الرحمن الرحيم
Mereka yang gemar membicarakan atau menceritakan soal persenggamaan dengan suami atau istri tidak mengetahui tentang hukumnya
Dianggapnya hal tersebut biasa-biasa saja, bahkan mendatangkan kebanggaan tersendiri ketika dirinya dianggap hebat dalam urusan jima’ seperti itu.
Pentingnya pembahasan hukum menceritakan hubungan suami istri ini, hampir setiap kitab fiqh yang berbicara tentang pernikahan dan keluarga tak lupa pula membahasnya. Bahkan ada yang menempatkannya dalam sub bab tersendiri seperti pada Fikih Sunnah.
Kisah Nabi Muhammad ﷺ
Mempersilakan Penganut Kristen Melakukan Kebaktian di Masjid Nabawi
Rasulullah ﷺ pernah mengizinkan para penganut Kristen untuk melakukan kebaktian di Masjid Nabawi.
Peristiwa tersebut tercatat dalam kitab sejarah seperti Târîkh al-Umam wa al-Muluk, Sîrah Ibn Hisyam, (Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, II/158) al-Sirah Ibn Ishaq.
قال ابن إسحاق: وحدثني محمد بن جعفر بن الزبير، قال: قدموا على رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة
فدخلوا عليه مسجده حين صلى العصر، عليهم ثياب الحبرات: جبب وأردية في جمال رجال بني الحارث بن كعب، قال: يقول بعض من رآهم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم: ما رأينا بعدهم وفداً مثلهم، وقد حانت صلاتهم، فقاموا في مسجد رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلون، فقال
Peristiwa Penumpasan Kaum Khawarij, (Cikal Bakal Teroris) Oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib
بسم الله الرحمن الرحيم
Dalam sebuah wasiatnya Rasulullah SAW bersabda : "Maka sungguh, siapa yang hidup di antara kalian akan menyaksikan perselisihan yang banyak,
maka wajib atas kalian mengikuti sunnahku dan sunnah al Khulafaur (4 khalifah) yang mendapat bimbingan dan petunjuk, pegang eratlah sunnah itu dan gigitlah dengan geraham-geraham kalian.”
(Hr Ibnu Majjah)
Nasihat ini ternyata tidak dihiraukan oleh orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya, kaum Khawarij misalnya. Meski mereka orang yang rajin ibadah, tekun berzikir bahkan jidat-jidat mereka hitam terluka karena banyaknya shalat malam,