Haruskah kita masih denial terhadap pengaruh radikalisme agama yang melahirkan tindak terorisme dan menjadikan sebagian dari saudara kita terjerumus?
Masihkah kita ragu bahwa 3 saudara kita yang kemarin melakukan tindakan pengecut itu adalah juga bagian dari kesalahan kolektif kita sebagai bangsa?
Lama sudah kita tak lagi terbiasa dengan suka bertanya pada nurani kita. Terlalu lama kita tak lagi senang menengok ke dalam sebelum kita bicara. Entahlah... kita bahkan sudah terperosok sejauh itu dan namun kita pun masih tak juga mengerti.
Benderang selalu ingin kita tunggu sebagai jawab. Bukan tanda-tanda, bukan pula logis sebuah sebab dan kita berhati-hati. Kita ingin semua terlihat nyata di depan kita.
Orang lain boleh langsung menghindar ketika kejadian tembak menembak terjadi disekitar mereka. Ada logis peristiwa bahwa peluru nyasar harus menjadi ketakutan. Tidak dengan kita.
Peristiwa bom Thamrin 2016 tak dimaknai dengan cara kita menjauh.
Abang mie ayam justru menggelar dagangannya di sana. Lebih gila lagi, saudara kita memesannya.
Duduk dan makan pada bangku panjang yang disediakan si abang itu sambil menyaksikan peristiwa tembak menembak secara "live".
Tak ada terpikir bahwa itu berbahaya. Bagi kita, Itu lebih seperti sebuah pertunjukan langka dan terlalu sayang bila diabaikan. Tak ada sedikit pun rasa takut pantas kita jadikan rujukan. Kita tak yakin bahwa pelaku teror akan menyerang kita.
Dan bila benar ada peluru nyasar, "sudah nasib" adalah jawaban sederhana kita. Itulah makna benderang selalu menjadi rujukan.
Orang lain tak akan menyentuh sesuatu barang di mana ada peringatan "awas panas..!!" Kita justru penasaran.
Kita masih harus butuh bukti bahwa itu benar panas adanya, dan maka kita pegang meski dengan hati-hati.
Maka, kalimat yang sama kita dengar dari para koruptor kita yakni, "lagi sial" demikian sering kita dengar ketika seseorang terkena OTT KPK padahal sudah berkali- kali diberi peringatan dia sedang menjadi target.
Berkali-kali sudah BNPT atau BIN atau lembaga asing memperingatkan Indonesia tentang bahaya radikalisme.
Peringatan seperti itu sudah terlalu sering mereka sampaikan sejak kita toleran pada kelompok radikal terkait ISIS, Wahabi, hingga hetei dan kita aelalu abai. Kita tak yakin itu akan terjadi pada kita.
Bahkan hingga hari ini, saat ini pun kita masih tidak yakin bahwa generasi muda kita sudah banyak yang terpapar paham radikal itu. Meski bukti teror Makasar dan Mabes Polri menjadi rujukan sekali pun.
"Kenapa?"
Hmmm.....🤔🤔🤔
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Ketegasan mutlak harus datang dari negara dan pemerintah. Tak boleh lagi ada tawar menawar apalagi sekedar retorika.
Sudah 3 orang tewas dengan usia yang relatif masih sangat muda karena teracuni paham radikal dan itu hanya dalam rentang waktu 2 hari saja.
Jangan melihat hanya dari sisi mereka adalah ter*ris. Mereka sekaligus adalah korban atas lalai negara terlalu lama membiarkan paham gila itu beredar di negeri ini. Tak bijak kita berdebat hanya karena mereka salah guru,ada peran negara membiarkan guru semacam itu bebas mengajar.
Melihat videonya, perempuan itu memang tampak sekali ingin mati. Tak ada tampak rasa takut dan maka dia tak terlihat sedikit pun berstrategi demi banyak korban ingin diperoleh.
Dia berada di tengah para profesional yang biasa menangani tindak kejahatan. Tentu ada banyak jago tembak di tempat itu apalagi si perempuan juga kabarnya hanya menggunakan airsoft gun.
Tembak pada bagian melumpuhkan sehingga tak tewas dan kemudian dapat diminta keterangan, sepertinya lebih pantas. Bukankah mati adalah keinginannya?
Acung jempol pada Polisi atas cepat reaksi mereka pada kejadian atau peristiwa bom gereja Katedral di Makasar. Pelaku sudah teridentifikasi.
Sungguh disayangkan pelaku ini masih sangat muda, masih golongan milenial. Dia lahir tahun 1995 dan baru menikah 7 bulan.
Istrinya pun dikabarkan terlibat atau ikut pada pengeboman ini. Keduanya meninggal saat itu juga.
Informasi dari mana bom itu berasal, kabarnya dirakit sendiri. Dibuat secara online dengan instruktur yang mendampinginya. Bagaimana bahan-bahan didapatkan, tidak secara rinci kepolisian menyebut.
Siapa tak malu ketika tubuhnya panuan? Itu tentang eksistensi kita. Itu tentang bagaimana orang lain juga akan menilai jorok dan bersih keseharian kita.
Atau, kita justru takut pada perasaan akan dijauhi teman kalau itu terlihat? Takut akan dianggap sebagai si penular?
Pertama-tama, jamur dalam panggilan panu memang hanya akan tampak seperti bercak-bercak putih dan tipis, membulat dan tersamar.
Tumbuh dan kemudian berkembang pada tempat tersembunyi dan lembab pada lipatan-lipatan kulit tubuh kita, dan maka sulit terlihat. Dan maka kita tak sadar itu ada.
Dia hidup dalam senyap pada tempat tersembunyi. Dia tumbuh karena ada dan tersedianya media yang cocok baginya.