Siapa tak malu ketika tubuhnya panuan? Itu tentang eksistensi kita. Itu tentang bagaimana orang lain juga akan menilai jorok dan bersih keseharian kita.
Atau, kita justru takut pada perasaan akan dijauhi teman kalau itu terlihat? Takut akan dianggap sebagai si penular?
Pertama-tama, jamur dalam panggilan panu memang hanya akan tampak seperti bercak-bercak putih dan tipis, membulat dan tersamar.
Tumbuh dan kemudian berkembang pada tempat tersembunyi dan lembab pada lipatan-lipatan kulit tubuh kita, dan maka sulit terlihat. Dan maka kita tak sadar itu ada.
Dia hidup dalam senyap pada tempat tersembunyi. Dia tumbuh karena ada dan tersedianya media yang cocok baginya.
Lembab dan gelap. Dia memiliki kesempatan untuk berkembang. Di sana, nutrisi dibutuhkan untuk hidup dan tumbuh tersedia dalam jumlah melimpah.
Panu pada tubuh kita memang memalukan dan membuat cemar nama kita.
Atas alasan itu pula, kita memiliki rasa benar ketika harus menyembunyikan keadaan itu.
Tak jujur dan tak mau bercerita pada dokter kulit karena malu, jelas bukan cara bijak sebagai pilihan. Apalagi jika malah ada usaha menutupinya, itu membuat bagian tubuh yang sudah lembab semakin lembab.
Itu justru seperti memberi makan dan memberi kesempatan bagi jamur untuk tumbuh makin perkasa dan kemudian beranak pinak dalam jumlah massif.
Hanya masalah waktu saja hingga kulit pada seluruh tubuh kita tertutup dan wajah asli kita tak lagi sama seperti dulu.
Wajah kita terlihat asing. Tak lagi mudah dikenal.
Sama dengan jamur sebagai entitas alamiah semesta, radikalisme adalah keniscayaan pada cara berpikir manusia.
Sama seperti jamur yang tak selalu berbahaya dan buruk, demikian pula radikal cara berpikir kita kadang adalah apa yang kita butuhkan.
Namun, radikalisme dalam beragama dan kemudian menghasilkan tindakan teror, jelas bukan apa itu jamur sebagai entitas baik yang semesta
berikan pada kita. Itu seperti jamur sebagai panu yang membuat cemar dan malu kita bersama, dan kita ingin berbicara.
.
.
Bila makna jamur kita sematkan pada radikal cara kita berpikir, maka panu sebagai wujud terlihat adalah terorisme itu sendiri dan tubuh kita adalah agama.
Sama seperti jamur ada dan hadir pada tubuh setiap orang tanpa hak eksklusif, radikalisme ada dan hidup dalam setiap agama. Agama apa pun. Bukan eksklusif sebagai kepemilikan agama tertentu.
Dia hadir dalam gelap dan tersembunyi. Dia dibicarakan dengan berbisik di lorong-lorong sunyi kotor jiwa kita. Terterima ketika dia tampak dalam wujud. Tiba-tiba ada dan hadir, dan kita malu.
Sebagai bercak tampak, radikalisme itu kita maknai layaknya noda tak pantas untuk kita ceritakan apalagi kita tunjukkan. Kita simpan, kita tutupi dalam rapat.
Di sanalah dia justru tumbuh semakin subur dan kemudian berbiak menjadi tindakan.
Di sanalah teror dalam tindakan tertampak dalam jelas. Semakin memalukan keadaan itu, akan semakin kuat pula usaha kita menutupinya.
Tindakan teror di Katedral Makassar langsung kita berteriak tak terkait dengan agama apapun,
sama dengan panu tak terkait dengan kulit tubuh atau badan siapa pun. Logiskah?
.
.
Itu tidak mengobati. Teror lebih besar dan dalam skala lebih massif di kemudian hari justru akan kita panen akibat sikap tak jujur kita.
Bukan malu kita kedepankan, datang ke dokter dan biarkan si ahli membuat cara tepat pengobatan.
Bukan kita tutupi panu itu, dia justru akan semakin membesar dalam gelap. Buka dan tunjukkan dalam benderang, sinar matahari akan membantu membunuhnya.
"Koq kamu lebih pintar dari MUI dan pak Jokowi sih?"
Ketika MUI berujar bahwa itu tak terkait agama kita marah dan protes. Anehnya, pada Presiden yang berbicara tak terlalu jauh berbeda dengan MUI, kita diam seribu bahasa. Itulah wajah kita hari ini.
Pernah dengar lirik lagu almarhum Gombloh "tai kucing rasa coklat"? Ketika kita jatuh cinta, tak ada sedikitpun cacat dapat kita temukan pada sosok yang membuat kita mabuk kepayang itu. Semua tampak indah dalam apa pun cara dia tampil.
Katakan benar bila itu benar, katakan salah bila hal itu memang benar-benar salah. Jujur ketika datang pada dokter bahwa kita "panuan" akan mencegah badan kita tertutup panu yang semakin ganas dan wajah kita tak lagi dapat dikenal.
Demikian pula radikalisme sebagai jamur dan teror dalam wujud tindakan sebagai entitas tertampak atas bercak putih yang kita sebut dengan panu, itu adalah ancaman atas wajah agama.
Kita bongkar, kita nyatakan dan kita perangi dalam benderang. Di sana perlawanan dalam usaha membuat bersih wajah kita menjadi tolok ukur siapa kita sebagai umat dalam membela wajah luhur agama yang selayaknya harus mulia.
Bukan kotoran dan bau harus kita simpan demi eksistensi namun pahitnya sebuah kejujuran pasti akan selalu lebih baik. Agak panjang dan melelahkan, namun bukankah demikian apa itu makna hidup?
Menjaga tubuh kita tetap kering dan bersih akan mencegah jamur dan panu menguasai kita. Membuat agama tetap bersih dari paham radikal akan pula menghilangkan wajah teror pada agama yang seharusnya luhur.
.
.
.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Acung jempol pada Polisi atas cepat reaksi mereka pada kejadian atau peristiwa bom gereja Katedral di Makasar. Pelaku sudah teridentifikasi.
Sungguh disayangkan pelaku ini masih sangat muda, masih golongan milenial. Dia lahir tahun 1995 dan baru menikah 7 bulan.
Istrinya pun dikabarkan terlibat atau ikut pada pengeboman ini. Keduanya meninggal saat itu juga.
Informasi dari mana bom itu berasal, kabarnya dirakit sendiri. Dibuat secara online dengan instruktur yang mendampinginya. Bagaimana bahan-bahan didapatkan, tidak secara rinci kepolisian menyebut.
Stunting yakni kurangnya asupan gizi pada anak akan mengakibatkan banyak hal tak baik. Pertumbuhan fisik terganggu demikian juga kemampuan otak. Bila dalam satu negara angka stunting tinggi, masa depan negara tersebut menjadi taruhan.
Indonesia telah berumur 75 tahun. Dibanding Singapore dan Malaysia yang lebih muda, kita justru tertinggal bila perkapita adalah apa yang menjadi acuannya. Memakai tolok ukur yang sama, 1 orang Singapore dapat dikatakan mampu menghasilkan setara dengan hampir 14 orang kita.
Satu orang Malaysia, kita juga harus mengeroyoknya dengan 3 orang.
Stunting kita sebagai bangsa terkait erat dengan faktor sengaja. Bukan karena kita miskin & maka tak mampu memberi gizi baik pada rakyatnya, kita sengaja dibuat dlm kondisi stunting agar kita tak menjadi ancaman.
Siapa pengganti presiden Jokowi bila Pilpres dilakukan pada Maret ini, percaya atau tidak itu adalah Anies. Anies Baswedan mendapat nilai tertinggi diantara 17 nama.
Lembaga Indikator Politik Indonesia merilis temuan survei nasional suara anak muda bila dikaitkan pada isu-isu sosial, politik dan bangsa, itu ada dan ditemukan pada sosok Gubernur DKI saat ini.
"Serius survey itu ga curang?"
Bila subyektivitas adalah apa yang kita kedepankan dalam cara berpikir, maka kata curang dengan mudah kita pilih. Kata "curang" langsung mewakili pendapat subyektif kita berdasar "rasan-rasan" (rasa benar) yang selalu kita gunakan.
Sekilas lalu, bangunan tua itu tampak besar dan megah. Ada aura kebesaran sebuah jiwa pernah ingin dilahirkan di sana.
Terlihat seram terasa bukan karena tak ada jiwa, dia menjadi tempat segala hal jahat mendapatkan rumahnya. Hambalang menyimpan misteri dendam jiwa yang marah.
Hambalang pernah digunakan srbagai tempat bagi dimulai, hambalang pula akan dijadikan cara menutup dalam berpanggung.
Secara historis, sebenarnya proyek Hambalang sudah digagas sejak 2003 ketika Kementerian Pemuda dan Olahraga masih berbentuk Direktorat Jenderal Olahraga di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Jika ditotal, akan ada 271 daerah yang akan dipimpin oleh Plt kepala daerah mulai tahun depan. Sebanyak 101 kepala daerah pada 2022, dan 170 kepala daerah pada 2023.
Itu setara dengan 53% dari seluruh jumlah Kabupaten & Kotamadya yang ada di Indonesia.
Khusus untuk gubernur, bakal ada 24 jabatan Gubernur yang akan habis masa jabatannya pada 2022 & 17 lagi di 2023. Dan itu setara dengan 70% dari jumlah seluruh Provinsi yang ada di Indonesia.
Aturan yg berlaku, Plt Bupati & Walikota akan dipilih oleh Mendagri dan Plt Gubernur oleh Presiden.
Namun ketika terkait dgn kebijakan yang ada, bukankah dalam penentuan kabinet 2019 yang lalu pak Jokowi juga pernah membuat pernyataan tak boleh ada kebijakan menteri