Apa sih yg di maksud dgn
Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaaan asing?
Ngaji sebelum tidur
Biasa dongeng sebelum tidur 🤣
🤪☕️🌹
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Hadis keterasingan Islam tertuang dalam Shahih Muslim dari Abi Hurairah yg berbunyi:
إنّ الإسلام بدأ غريبا وسيعود غريبا كما بدأ، فطوبى للغرباء
“Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang asing”.
Merujuk pada sejarah Islam awal, keadaan asing yang dimaksud cukup beralasan.
Nabi diutus dengan ajaran tauhid di tengah masyarakat yang mayoritas menyembah banyak berhala. Islam datang dengan ajaran yang sebagian besarnya asing di telinga masyarakat. Keadaan asing yang dimiliki oleh Islam awal ini cocok di gambarkan dengan hadits di atas.
Lantas bagaimana dengan keadaan Islam di masa depan?
Apakah akan betul-betul asing seperti awal kehadirannya?
Pertama, perlu kita kompromikan hadits tersebut dengan ayat 33 dari at-Taubah :
هو الذي أرسل رسوله بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله ولو كره المشركون
"Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai".
Ayat di atas berbicara mengenai janji Allah yang akan memenangkan Islam atas kelompok lain. “Menang” di sini tentu masih butuh banyak penafsiran. Namun tetap saja, menang dan asing adalah dua hal yang bertolak belakang.
Pemenang biasanya akan dikenal, atau yang dikenal biasanya adalah yang menang. Bagaimana mungkin Islam dalam keadaan asing, tapi menjadi pemenang?
Atau bagaimana mungkin Islam menang tapi tetap terasing?.
Ada banyak tawaran untuk memaknai arti “asing” pada hadits tersebut. Salah satunya dengan mencerna riwayat Sahl bin Sa’d al Sa’idi. Berdasar riwayat tersebut, ada penambahan kalimat tanya yang berbunyi, “siapakah mereka yang asing itu?”
Rasul menjawab: “orang2 yg mengadakan perbaikan di tengah manusia yg berbuat kerusakan”
Dengan mengambil tawaran makna ini, bisa kita ajukan pertanyaan. Apakah sekian banyak manusia di indonesia, misalnya, sedang berbuat kerusakan, sehingga perlu “diperbaiki” dgn ajakan hijrah ?
Atau bukankah justru pelaku tabdi (membid'ahkan amaliah bukan golonganya) itu sedang melakukan kerusakan ?.
Pertanyaan yang mestinya tidak terlalu sulit dijawab. Alternatif pemaknaan yang kedua adalah dari riwayat Amr bin ‘Ash :
"Ketika Rasulullah ditanya perihal orang asing yang beruntung tersebut, Rasulullah menjawab :
"Mereka (orang asing) adalah orang-orang salih di tengah-tengah mayoritas masyarakat yang buruk. Yang membangkang orang-orang shalih, lebih banyak dari yang menaatinya”.
Dalam kerangka ini, maka perlu dibuat kategori asing: 1. Asing dalam kebenaran di tengah masyarakat yang batil.
2. Asing dalam kebatilan di tengah masyarakat yang benar.
Jadi, tidak serta merta keterasingan dimaknai sebagai sesuatu yang Islami.
Salah besar jika ada anggapan “semakin asing seseorang, semakin ia dekat dengan Islam”. Bukan begitu!
Yang juga menarik adalah jika memaknai “orang asing” sebagaimana riwayat Imam Baihaqi yang mengisahkan dialog antara Umar bin Khattab dan Mu’adz bin Jabal :
Mu’adz menceritakan pada Umar satu hadits dari Rasulullah yang berbunyi :
“Allah mencintai orang-orang yang tersembunyi, takwa, dan suci. Ketika mereka tidak ada, masyarakat tidak merasa kehilangan ketika mereka ada, masyarakat tidak menyadari. (Namun demikian) Hati mereka (seperti) lampu-lampu hidayah, mereka keluar (menjauh) dari fitnah”.
Gambaran di atas sangat identik dengan laku para sufi. Low profile, tidak menonjolkan diri, hidup damai, dan tentram. Jauh dari hingar-bingar kehidupan duniawi.
Apa pun yang digunakan untuk memaknai “orang asing”, tidak ada satupun yang bisa menjadi pembenar untuk pelaku tabdi dan takfir apalagi aksi terorisme. Hadits tersebut juga sama sekali tidak berisi perintah untuk mengasingkan diri. Untuk jauh dari kerumunan.
Di banyak kesempatan justru sebaliknya, kita diminta untuk ambil peran dalam kehidupan masyarakat. Umat Islam diminta menjadi ummatan-wasathan.
Secara literal berarti umat yang berada di tengah. Namun, secara kontekstual adalah umat yang senantiasa mengambil peran.
Dalam sebuah hadits dari sahabat Anas bin Malik ra , Rasulullah bersabda :
"إِن أمتي لن تجتمع على ضلالة، فإذا رأيتم الاختِلاف فعليكم بالسواد الأعظم"
“Sesungguhnya umatku tidak akan berkumpul pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kamu melihat terjadinya perselisihan, maka ikutilah golongan mayoritas.”
(Hr Ibnu Majah)
Berdasarkan pesan hadist, bahwa apabila umat Islam melakukan kesepakatan, maka kesepakatan tersebut dijamin dan dipastikan benar. Sehingga kesepakatan tersebut sifatnya mengikat dan wajib diikuti oleh seluruh umat Islam.
Akan tetapi, apabila banyak terjadi perbedaan pendapat, maka umat Islam wajib mengikuti golongan mayoritas. Ketika para ulama berbeda pendapat, maka mengikuti mayoritas ulama. Dan ketika umat Islam berbeda pendapat, maka mengikuti mayoritas umat Islam.
Hadits tersebut juga mengisyaratkan, bahwa ketika terjadi perbedaan pendapat dalam masalah fiqhiyah atau furu’iyah, maka dianjurkan mengikuti mazhab jumhur atau mayoritas ulama. Tetapi ketika terjadi perbedaan dalam persoalan akidah atau ushuliyah,
seperti perbedaan antara Ahlussunnah Wal-Jamaah, Khawarij, Wahbiyah (rustumiyah), Mu’tazilah, Bahaiyah, Syiah, Qadariyah, Ahmadiyah, Jabarriyah, Wahabiyah / maka umat Islam wajib mengikuti golongan mayoritas, yaitu Ahlussunnah Waljamaah.
إن أهل الكتابين افترقوا فى دينهم على ثنتين وسبعين ملة وإن هذه الأمة ستفترق على ثلاث وسبعين ملة وكلها فى النار إلا واحدة وهى الجماعة
“Dua golongan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) telah terpecah dalam agama mereka menjadi 72 (aliran), dan sungguh umat ini akan terpecah menjadi 73 aliran, semuanya masuk neraka kecuali satu, yaitu (yg berpegangteguh pada) jama’ah.”
(Hr Ahmad, Thobroni, al-Hakim)
Maksud dari 72 golongan atau sekte yang disebutkan dalam hadis ini adalah sekte atau aliran yang muncul karena faktor perbedaan pokok-pokok aqidah dan keimanan yg menyelisihi Ahli Sunnah wal Jama’ah, seperti yg disebutkan diatas.
(Fathul Bari)
والله اعلم
Semoga bermanfaat🙏🏿🌹
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Pernahkah mendengar hadis Nabi SAW yg mengancam mau bakar rumah orang yg tidak sholat berjamaah?
Dan membunuh siapa yg lewat di depan kita lagi shalat?
Ini Hadis sahih loh, tapi apa Nabi pernah melakukannya?
Seduh kopi, kita ngaji bareng
☕️
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Hadis ini Shahih riwayat Al-Bukhari dari jalur Abu Hurairah. tidak diragukan lagi, dan matan yang senada cukup banyak jalur perawinya
لقَدْ هَمَمْتُ أنْ آمُرَ بالصَّلاةِ فَتُقامَ، ثُمَّ أُخالِفَ إلى مَنازِلِ قَوْمٍ لا يَشْهَدُونَ الصَّلاةَ، فَأُحَرِّقَ عليهم.
“Aku sangat kuat berkeinginan untuk memerintahkan orang shalat berjamaah, namun aku datangi mereka yang tidak ikut berjamaah untuk aku bakar rumah mereka.”
Dari Ibnu Umar r.a berkata: Rasulullah saw menyebutkan : “Ya Allah berilah keberkatan kepada negeri Syam kami, berilah keberkatan kepada negeri Yaman kami.
Berkata mereka : ”Pada Najd kami Ya Rasulullah?”
Berkata Rasulullah: “Ya Allah berilah keberkatan kepada negeri Syam kami, berilah keberkatan kepada negeri Yaman kami.”
Ulama Wahabi berpandangan bahwa menempelkan mata kaki dengan mata kaki temannya ketika shalat berjamaah (kaki ngangkang) adalah keharusan. Acuannya adalah hadis Nabi dari An Nu’man bin Basyir berkata :
“Rasulullah menghadap kepada manusia, lalu berkata: Luruskanlah shaf-shaf kalian!; tiga kali. Demi Allah, luruskan shaf kalian, atau Allah akan membuat perselisihan diantara hati kalian.
Lalu An-Nu’man bin Basyir berkata: Saya melihat seorang laki-laki menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya, dengkul dengan dengkul temannya dan bahu dengan bahu temannya.”
Ada sebagian orang yang begitu ruwetnya memahami ibadah. Pokoknya semuanya harus sesuai dengan apa yang Rasulullah contohkan, dan kita harus konsisten mengikuti ajaran Rasulullah.
Baginya, hanya ada satu kebenaran, yaitu yang sesuai dengan contoh dari Nabi.
Saya tanya: “Apa yang harus kita baca di saat kita ruku’ dan sujud dalam sholat?”
Sebelum orang itu menjawab, saya sodorkan perbedaan bacaan yang dilakukan oleh Nabi dari Hudzaifah ra :
Hadis pertama menceritakan bahwa Nabi membaca : “Subhana Rabbiyal A’zim” ketika ruku’ dan “Subhana Rabbiyal A’la” ketika sujud
Hr an Nasa’i
Akan tetapi Aisyah ra meriwayatkan hadis lain dalam riwayat Muslim, Abi Dawud, Nasa’i. Dalam hadis ini, diriwayatkan bahwa Rasul membaca :
Ngaji Maljum, mblo boleh juga nyimak buat nanti kalau udah halal🤪🤣☕️
بسم الله الرحمن الرحيم
Mereka yang gemar membicarakan atau menceritakan soal persenggamaan dengan suami atau istri tidak mengetahui tentang hukumnya
Dianggapnya hal tersebut biasa-biasa saja, bahkan mendatangkan kebanggaan tersendiri ketika dirinya dianggap hebat dalam urusan jima’ seperti itu.
Pentingnya pembahasan hukum menceritakan hubungan suami istri ini, hampir setiap kitab fiqh yang berbicara tentang pernikahan dan keluarga tak lupa pula membahasnya. Bahkan ada yang menempatkannya dalam sub bab tersendiri seperti pada Fikih Sunnah.
Kita awali dari satu hadist, hadist mauquf dari jalan periwayatan Ibnu Abbas ra dibawah ini menjadi dalil Ihtisan (sesuatu yang baik meski oleh yang lain diangap tidak)
Dalam madzhab Hanafiyah :
ما رآه المسلمون حسنا : فهو عند اللهِ حسن، وما رآه المسلمون سيئا فهو عند الله سيئ
“Apa saja yg dipandang kaum muslimin merupakan kebaikan maka ia di sisi Allah juga merupakan kebaikan.
Dan apa saja yang dipandang kaum muslimin merupakan keburukan maka ia di sisi Allah juga merupakan keburukan”
(Hr Abu Hanifah, disahihkan imam Ahmad dalam musnadnya).