Orang yg bilang amaliah teror itu settingan tdk empati kepada korban, dan jg tidak hormat kepada peneliti dan pekerja kemanusiaan. Adik saya,
Syafiq Syeirozi, kerja di NGO. Kerja utamanya menyembuhkan luka batin penyintas.
Terapinya, antara lain, mempertemukan dengan pelaku. Kerjaannya tiap hari masuk dari satu penjara ke penjara, menemui napiter, mempertemukannya dengan korban. Setelah penyintas meluapkan amarahnya, ada sesi haru biru ketika pelaku meminta maaf, dan korban memaafkan.
Ada juga pelaku yang tidak mau meminta maaf karena menganggap aksinya jihad. Perlu beberapa kali sesi lagi untuk sampai pada adegan pelaku minta maaf. Dari proses ini secara simultan berlangsung deradikalisasi.
Pelaku yg masih punya nurani merasa bersalah karena korbannya ternyata tdk berdosa. Mereka harus menanggung derita—cacat fisik dan trauma batin—akibat dari perbuatannya.
Napiter itu nyata, berdarah daging, punya ideologi dan keyakinan. Mereka bukan produk rekayasa dan settingan.
Kalau pun mau dianggap demikian, mereka adalah produk rekayasa dari ideologi kematian.
Dalam konteks Islam, ideologi itu berumur setua sejarah Islam, ada pada diri seorang lelaki pemrotes Nabi bernama Dzul Khuwaisirah At-Tamimi, pada penikam Ali RA bernama Ibn Muljam, pada fatwa Ilyasik Ibn Taimiyah,
dan buku-buku jihad Sayyid Qutb, Mawdudi, Abdus Salam Farag, Said Hawwa, Abdullah Azzam, Muhammad al-Maqdisi, Abu Abdullah al-Muhajir, dan para tokoh salafi jihadi lain.
Bahwa kemunculan mereka di era modern dipicu oleh faktor lain, misalnya klaim kezaliman dan ketidakadilan atau operasi intelijen, itu bisa saja terjadi.
Dulu Dzul Khuwaisirah juga memprotes Nabi atas dasar klaim ketidakadilan. Level-nya Nabi saja diprotes, orang paling mulia yang diangkat oleh Allah, apalagi cuma Presiden Indonesia yang dipilih rakyat.
Saya ingin mengatakan ada faktor endogen dalam idelogi kematian, tanpa atau dengan adanya faktor eksogen. Jadi, saya tidak setuju dengan pandangan seorang tokoh, mantan pimpinan KPK,
yang perspektifnya soal terorisme terus dibayang-bayangi oleh temuan riset disertasinya soal Komando Jihad. Komando Jihad dirancang oleh para veteran NII pada 1974, ditunggangi oleh intelijen negara yang bernama BAKIN, kemudian ditumpas pada 1977.
Beliau berkeyakinan, Komando Jihad itu produk dari rekayasa intelijen, dibina untuk untuk mendukung Golkar, dan kemudian dibinasakan setelah nyata menjadi ancaman. Temuan ini masuk akal karena riset lain juga menemukan temuan serupa.
Pendekatan Orba terhadap ekstremis Islam adalah pendekatan intelijen, tarik ulur, dikasih umpan terus dimakan. Kesalahannnya, tokoh ini menganggap pendekatan terhadap terorisme saat ini dalam langgam yang sama.
Teoris-teroris yang ditumpas Densus 88 adalah rekayasa aparat keamanan untuk menjatuhkan citra buruk terhadap Islam. Dia sama sekali mengabaikan fakta bahwa ada 200 orang Alumni Afghanistan dan ratusan alumni Kamp Hudaibiyah Mindanao yang terlatih.
Mereka bukan orang-orang bodoh yang mudah diperalat orang kalau tidak klop dengan keyakinannya. Mereka adalah generasi kedua radikalisme Islam setelah NII. Mereka cakap, terafiliasi dengan al-Qaeda, banyak yang bisa baca kitab sekaligus mampu merakit bom.
Produk amaliahnya dahsyat: bom Bali (2002), bom Marriot (2003), bom Kedubes Australia (2004), bom Bali II (2005), dan bom Marriot-Ritz Carlton (2009).
Setelah itu mereka ditangkap,banyak yang dieksekusi, ada juga yang taubat dan membantu polisi seperti Nasir Abbas, Abu Tholut, dan Ali Fauzi.
Generasi ketiga teroris ini lebih ‘ecek-ecek,’ Banyak sekali yang awam dalam ilmu agama, kemampuan teknisnya juga terbatas. Mereka terafiliasi dengan ISIS. Tokoh sentralnya Aman Abdurrahman, pengagum Muhammad al-Maqdisi, ideolog ISIS. Mereka membentuk JAD.
Rekrutmennya acak, banyak via online. Produk amaliahnya ‘ecek-ecek’ seperti bom Thamrin, bom panci Kampung Melayu, rusuh di Mako Brimob, bom bunuh diri di gereja Surabaya, dan terakhir penusukan terhadap Menkopolhukam Wiranto.
Sesama teroris beda aliran dan afiliasi. Mereka pecah dan saling kecam. Generasi kedua teroris mencela generasi ketiga teroris, menyebut mereka orang-orang yang tidak paham Islam.
Jadi, menurut saya, mengabaikan faktor endogen dan menganggap terorisme sebagai settingan dan rekayasa eksogen, dan karena itu menyampaikan opini dan advokasi terhadap teroris...
seolah-olah mereka korban dari produk rekayasa intelijen seperti yang terjadi pada Komando Jihad, adalah pandangan keliru dan menyesatkan.
Perspektif seperti ini tidak akan bisa membantu mencabut terorisme sampai ke akar-akarnya, yaitu ideologi kematian.
Sekretaris Umum PP ISNU
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Dulu, berhala itu berupa patung-patung. Islam sangat mengharamkan pemberhalaan. Pelakunya bahkan dihukum sebagai musyrik: dosanya tdk terampuni. Kenapa demikian? Apakah karena Allah merasa tersaingi oleh berhala? Apakah kekuasan Allah terkurangi oleh adanya pemberhalaan?
Tidak sama sekali! Seandainya seluruh manusia menyembah berhala, Allah tetap mahakuasa, mahakaya, maha sempurna dan maha-maha lainnya. Lantas kenapa Allah melarang keras pemberhalaan? Jawabnya sederhana: karena Allah ingin manusia pintar.
Allah ingin manusia cerdas dan bermartabat. Manusia tidak boleh menjatuhkan martabatnya dengan memuja sesuatu yang bersifat material. Hanya Allah yang pantas dipuja. Zat imaterial, yang memuja dan memikirkan-Nya justru membuat manusia menjadi cerdas dan bermartabat
Nabi Muhammad Saw. pernah bertanya kepada para sahabat tentang mati syahid. Para sahabat menjawab bahwa orang yang mati syahid adalah orang yang mati di medan perang di jalan Allah (fi sabilillah).
Nabi lantas menyatakan, “Kalau seperti itu, berarti sedikit sekali umatku yang mendapatkan status mati syahid.”
Nabi lalu bersabda:
الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ الْمَطْعُونُ وَالْمَبْطُونُ وَالْغَرِقُ وَصَاحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
"Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya tersesa t karena ia meninggalkan ilmu pengetahuan; dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutupan atas penglihatannya?
Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka, mengapa kalian tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jatsiyah: 23).
عن أبي سعيد قال اعتكف رسول الله صلى الله عليه وسلم في المسجد فسمعهم يجهرون بالقراءة فكشف الستر وقال ألا إن كلكم
مناج ربه فلا يؤذين بعضكم بعضا ولا يرفع بعضكم على بعض في القراءة أو قال في الصلاة
“Dari Abu Said Al-Khudri, ia bercerita bahwa Rasulullah SAW sedang itikaf di masjid. Di tengah itikaf ia mendengar mereka (jamaah) membaca Al-Quran dengan suara kencang.
Rasulullah kemudian menyingkap tirai dan berkata, ‘Ketahuilah, setiap kamu sedang bermunajat kepada Tuhan. Jangan sebagian kalian menyakiti sebagian yang lain.
Dalam semiologi (Ferdinand de Saussure) atau semiotika (Peirce) tanda dibagi menjadi tiga, yaitu ikon, indeks dan simbol. Pembagian ini pertama kali dipetakan oleh Charles Sanders Peirce (w. 1914), filsuf berkebangsaan Amerika.
Pembagian ini didasarkan pada obyek yang ditandai (signified, petanda) oleh penanda (signifier).
Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petanda terbentuk atas dasar kemiripan. Ikon merupakan tanda yang paling sederhana karena ikon hanya menampilkan kembali obyek yang ditandai. Contoh ikon yang paling mudah adalah poto wajah kita.
Rasulullah Saw. bersabda, “Ucapan terbaik adalah Kitab Allah. Petunjuk terbaik adalah petunjuk Muhammad. Perkara yang paling buruk adalah perkara yang diada-adakan.
Setiap perkara yang diada-adakan adalah bidah. Setiap bidah adalah sesat.
Dan setiap kesesatan tempatnya di neraka. (HR. Al-Nasa’i).
Secara pribadi saya sudah tidak tertarik dengan pembahasan tentang bid’ah. Bagi saya hal ini seharusnya sudah kita selesaikan sejak berabad-abad yang lalu hingga kita (umat Islam) lebih konsentrasi pada isu-isu kekinian yang lebih bermanfaat bagi masyarakat.