Salah satu celah dalam pembahasan ini adalah bagaimana mendefinisikan orang pintar.
IMO, “pintar” yang dimaksud sebenarnya lebih merujuk ke kekayaan informasi yang dimiliki. Semakin punya banyak info (pintar), semakin banyak referensi untuk ngarang (bias).
Menurut Kegan, fase ultimate menjadi adult bukan tahu akan segala hal, tetapi intellectually humble :
Apa yang saya pahami sekarang adalah pengetahuan terbaik yang bisa saya upayakan untuk miliki, tapi selalu terbuka kemungkinan dialektika, dan sangat mungkin saya yang salah.
“Orang pintar” punya kecenderungan mencintai ide yang diyakininya, sampai ke tahap tak bisa bedakan antara “ide” dengan “identitas”.
Saat idenya dikritik, ia merasa identitasnya diserang.
Pada tahap ini, “orang pintar” punya kemampuan cocokologi untuk lindungi ego identitasnya.
Dalam jalan mencari kebenaran, ide boleh datang dan pergi. Justru dengan cara itu kita selalu bisa melangkah untuk mendekati kebenaran.
Hindari godaan mencintai ide berlebihan, terlebih mencampur dengan identitas, apalagi tergoda klaim sudah punya dan tahu kebenaran mutlak.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Kenapa “scientific revolution” bersemi di Eropa, bukan di Timur Tengah, China, atau India yang secara peradaban di Abad Pertengahan cenderung lebih maju?
Disclaimer : 1. Ini lebih ke topik sejarah science, dimana bias sangat mungkin terjadi dan terbuka untuk sanggahan 2. Science yang dimaksud adalah “modern science”, yang bersemi di abad 16 3. Sebelum abad 16, agar tak ambigu, kita gunakan istilah “natural philosopher”
Apabila anda hidup di abad ke-11 dan diminta untuk menebak dimana “modern science” akan tumbuh, kemungkinan besar anda akan menjawab Baghdad.
Sebelum runtuh akibat invasi Mongol, Baghdad adalah tempat berkumpulnya peradaban dunia baik sebagai perdagangan maupun pengetahuan.
Berhubung lagi nge trend menghubungkan bencana alam dengan dosa manusia, apa ada ya riset serius untuk buktikan korelasinya?
Klaim ini sebenarnya falsifiable dan bisa dibuktikan secara empiris loh. Datanya juga rasanya cukup tersedia.
Misalnya :
Analisis hubungan antara persebaran penduduk berdarkan “agama mayoritas” dan “moral masyarakat” (apapun definisinya) di suatu wilayah dengan frekuensi dan keparahan :
a) tsunami
b) gempa bumi
c) tornado
d) gunung meletus
e) etc
Nanti bisa dilihat, misalnya untuk daerah yang lebih sering gempa, mana korelasi yang terbukti kuat. Apakah :
1. Kedekatan dengan gunung aktif 2. Kedekatan dengan patahan (major / minor) 3. Kepercayaan mayoritas masyarakatnya 4. Angka kriminalitas penduduknya 5. Etc
Newton itu religius dalam konteks konvensional, sementara Einstein tidak (setidaknya di masa tuanya).
Tapi preferensi religiusitas (apabila itu dipadankan sebagai KEBAIKAN) antara keduanya sama sekali tidak berpengaruh terhadap nilai KEBENARAN ILMIAH atas teori yg mereka ajukan.
Ini yang penting dipahami :
Harun Yahya SALAH bukan karena dia ketahuan sebagai seseorang yang TIDAK BAIK akibat terjerat masalah hukum yang konyol,
tetapi karena sejak awal tulisan dan videonya itu PSEUDOSCIENCE, tak ada KEBENARAN ILMIAH di dalamnya.
1. Droplet kecil : ada di sirkulasi udara tertutup
2. Droplet besar : bersin / batuk, tidak jaga jarak, tidak pakai masker
3. Sentuhan langsung / tak langsung : pegang benda sembarang, tidak cuci tangan
Atas 3 poin tersebut, maka saya BODOH SEKALI kalau tak ingin tertular tapi melakukan hal berikut :
1. Ada di ruang tertutup dengan orang banyak dalam waktu lama (kantor, public transport, sekolah, apapun)
2. Tidak pakai masker (termasuk buka masker saat kumpul makan-makan)
3. Tidak rajin cuci tangan, apalagi habis sembarang pegang barang (uang misalnya) ngelap hidung, ngupil, ngucek mata, dan perbuatan ceroboh lain yang beri akses VIP untuk virus masuk ke tubuh
4. Kumpul-kumpul, tidak pakai masker, tidak jaga jarak, dan paket kebodohan lainnya