Apa yang akan langsung terpikir bila kita mendengar Papua?
Cendrawasih, suku-suku eksotis di pedalaman, hutan-hutannya yang masih perawan, Raja Ampat, emas bahkan keinginan pisah dari NKRI?
Saya lebih senang berbicara tentang mereka sebagai saudara. Saudaraku yang tertinggal dalam banyak sisi hingga jarak tak terpikirkan. Terlalu jauh, bahkan bila bumi dan langit kita jadikan rujukan.
"Lebay?"
Pernah mendengar Korupun? Dijamin 99,99% anda yang sering mampir ke lapak saya tak pernah, apalagi mengenalnya.
Namun kalau saya tanya Bandara Nop Goliat Dekai, tentu akan ada sebagian dari anda akan ingat salah satu pernyataan Presiden Jokowi tentang BBM satu harga.
Disana, di tahun 2018 Presiden pertama kali mengungkapkan keresahan dan tekadnya untuk membuat harga BBM sama di semua SPBU pemerintah dimanapun juga, saat beliau meresmikan bandara tersebut.
Korupun adalah salah satu distrik atau kecamatan di pegunungan tengah Papua dan sebelum dipisah menjadi Kabupaten Yahukimo, dahulu sebagai bagian dari Kabupaten Jayawijaya.
Setiap tahun, setiap tahun ajaran baru, ada sekitar dua puluh sampai tiga puluh anak-anak berusia antara 13 hingga 15 tahun, anak-anak suku Kimyal melakukan perjalan panjang sejauh kurang lebih 100 km dari Korupun ke Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya.
Jangan membayangkan anda berjalan kaki dari Jakarta menuju ke Sukabumi misalnya, jauh dan sangat jauh berbeda. 100 km anda akan tempuh kurang dari dua hari.
Korupun terletak pada ketinggian 2000 meter diatas permukaan laut. Pegunungan tengah Jayawijaya adalah daerah ekstrim. Daerah dengan kontur tanah berbukit-bukit dengan jurang dan tebing yang tak pernah anda bayangkan.
Jarak antara Korupsi dan Wamena adalah tentang perjalanan menembus hutan, mendaki tebing, dan menuruni jurang. Jarak kurang lebih 100 km itu ditempuh selama tujuh hari berjalan kaki dan lima malam harus menginap di tengah hutan yang kebanyakan kita tak pernah menyaksikannya.
Jarak itu kini ditempuh oleh dua puluh hingga tiga puluh anak-anak berusia lulusan SD demi melanjutkan sekolah setara dengan SMP di Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya.
Demi keinginan dasar yakni sekolah, mereka telah mempertaruhkan nyawa & berpisah dengan orang tua mereka.
Jangan berpikir mereka akan mampu pulang setahun sekali, tidak..! Paling cepat, mereka baru akan pulang tiga tahun kemudian setelah lulus SMP. Dan itu bukan jaminan, kadang, bahkan teramat sering,
anak-anak yang sudah keluar tersebut baru akan pulang enam tahun kemudian saat telah lulus SMA.
.
.
"Bagaimana bila orang tua mereka sakit atau bahkan meninggal?"
Sampai hari ini tak ada sinyal telepon sampai di Korupun. Radio single sideband (SSB) masih jadi andalan sejak 30 tahun yang lalu.
Mereka hanya akan mendengar kabar itu melalui radio SSBtersebut, namun berharap dapat pulang dan kemudian mengucapkan kata-kata perpisahan kepada mama dan bapak, itu adalah kemewahan tak masuk akal. Itu mustahil, kecuali pesawat perintis.
Dan itu hanya akan dinikmati oleh mereka yang memiliki uang. Anak-anak tersebut, mustahil!! Orang tua mereka kebanyakan adalah petani ubi.
Dua puluh hingga tiga puluh anak-anak yang seharusnya masih dalam pengawasan orang tua mereka, kini harus merelakan kemewahan itu terbuang.
Mereka harus sudah berpisah, dan diawali dengan perjalanan yang sangat panjang, melelahkan dan bahkan dengan bertaruh nyawa.
Tak ada jaminan mereka tak mendapatkan kecelakaan di tengah jalan. Terperosok ke dalam jurang,
tergelincir saat mendaki tebing bahkan hingga ancaman binatang buas, anak-anak itu harus menanganinya sendiri.
Berbekal ubi dan keladi mentah dan kemudian dibakar setiap mereka menginap, mereka sudah sangat bersyukur memiliki bekal untuk dimakan.
Terkadang, mereka harus mampir dan meminta kepada petani dimana mereka melewatinya.
Mengambil tebu ditengah jalan dan kemudian dihukum dengan cara dipukul hanya karena mereka haus, bukan peristiwa yang jarang terjadi.
Mereka sudah harus mendapatkan ujian luar biasa berat pada umur yang tak seharusnya. Seharusnya, mereka masih berhak untuk mendapat peluk dan cium orang tua.
Saat ini, kita, warga premium, justru sedang sibuk menghamburkan milyaran bahkan triliunan rupiah untuk membiayai demo-demo hanya demi marah karena uang kita telah berkurang. Kita berteriak dizalimi karena harta digudang tak lagi teraliri. Kita tamak dan menjijikkan..!!
Dibulan Juli ini, dua puluh hingga tiga puluh anak-anak itu baru saja sampai di Wamena dengan sorot mata bahagia hanya karena mereka telah berhasil melihat dan meraba-raba dinding gedung sekolah.
Ada harapan besar disana. Ada cita-cita sederhana yang akan mulai mereka jalani, yakni sekolah.
Perjuangan mereka masih sangat panjang dan akan sangat melelahkan. Asrama yang jauh dan jalan kaki selama satu jam dari dan menuju sekolah,
dan mencari pekerjaan demi makan harian adalah tantangan.
.
.
Juram, Isimukla, Sohopna, Jabi dan Jokosam adalah lima tempat persinggahan dan bermalam di tengah hutan yang telah berhasil mereka lewati, kini mereka telah bersiap untuk bermalam
selama tiga bahkan enam tahun beralaskan kardus atau apapun demi julukan terpelajar yang mereka idamkan.
.
.
Haruskah kita masih akan sibuk dengan pertikaian atas nama agama, demokrasi, Nasionalisme hingga kemanusiaan dan kita tak malu?
Seharusnya malu...!!
Mari kita menengok saudara kita di Korupun, bukan hanya Korupun tempat dimana suku Kimyal tinggal saat ini, namun Korupun Korupun lain seperti tempat tinggal suku Tukuni, Obini, Obukain, Yalimek dan ratusan suku yang lain di Papua yang masih sangat tertinggal.
Mereka ingin kita sapa seperti kita menyapa saudara kita yang lain. Mereka ingin, agar kita sekali-sekali berbicara dengan Pemerintah dan bercerita tentang keadaan mereka.
Sama seperti ketika kita ngotot, marah dan kemudian protes karena anak-anak kita tak mendapat kelas akibat kebijakan pemerintah yang menurut kita tak berpihak.
Mereka ingin, kita meluangkan sejenak waktu kita untuk menegur dan mengingatkan pemerintah bahwa mereka ada.
Umpan telah dimakan dan kita larut dalam tegang drama tarik menarik tersebut.
Judul berita terbaca sangat tendensius telah muncul dan emosi kita diborong tuntas : "PDIP Persilahkan Ganjar Angkat Kaki Bila Dipinang Partai Lain di Pilpres 2024".
Hanya butuh waktu 4 hari hingga spekulasi seperti pada judul berita tersebut muncul. Butuh 4 hari menggoreng isu itu hingga emosi tercabik dan masyarakat larut di sana.
Benarkah judul itu sama dengan isinya? Kita tidak tahu. Pertanyaan wartawan adalah bila Ganjar dipinang oleh partai lain dan Bambang Pacul dengan diplomatis menjawab siapa pun berhak.
Entah bagaimana caranya, konflik Palestina dengan Israel sedikit banyak telah membuat stigma itu teralihkan.
Isu Jokowi sebagai pihak anti Islam, PKI, dan antek China tiba-tiba meredup. Ini terkait semua pihak sedang sepakat dan bersama berdiri di belakang Palestina.
Apakah dengan ini masa depan anti China di Indonesia akan membaik?
Sepertinya tidak. Isu TKA China akan tetap langgeng dan abadi selama persaingan AS dan China masih tetap terjadi.
Butuh pemahaman dan usaha yang kuat demi memahami sejarah konflik barat dan timur atau pada masa kini persaingan antara AS dan China.
Kekhususan makna tongkat estafet atas pemerintahan Jokowi dalam cara pandang PDIP tentu berbeda dengan banyak partai peserta pemilu 2024 nanti.
Nawacita dan Revolusi mental mendapat titik tumpu dan bagaimana Indonesia pada 2024-2029 nanti harus tersambung erat dengan apa yang sudah Jokowi lakukan selama 10 tahun.
Ada sesuatu yang agak janggal pada peristiwa Semarang kemarin. Seorang Ganjar yang notabene adalah Gubernur Jawa Tengah sekaligus kader PDIP justru tak tampak hadir. Kabar kita terima, dia memang tak diundang.
Kita terhenyak dalam kaget ketika seorang Hidayat Nur Waahid yang nota bene adalah wakil ketua MPR dan bahkan pernah menjadi ketua MPR RI berujar "zionis Nusantara".
Zionis Nusantara sengaja dia lekatkan sebagai predikat bagi sebagian atau sekelompok masyarakat kita yang dalam konflik Hamas dan Israel baru-baru ini dia anggap berpihak pada Israel.
Padahal, sebagai wakil ketua MPR RI, seharusnya dia tak perlu larut dalam saling menyudutkan salah satu pihak apalagi menggeneralisir sebuah predikat.
Mencoba menalar apa yang ada di kepala seorang Hidayat atas frase yang dia pakai, ada beberapa hal perlu kita cermati.
Paradoks kita dalam bernegara tampak saat sebagian warga Poso minta pada pemerintah untuk dipersenjatai. Dalam frustasi karena hak mereka untuk mendapat perlindungan negara tak terpenuhi, mereka minta dilatih
agar dapat turut membasmi terorisme yang terjadi di halaman rumahnya. Atau paling tidak hanya untuk sekedar bela diri ketika negara tak mampu membelanya.
.
.
Seharusnya mereka adalah subyek hukum. Tak pantas negara abai. Apa yang terjadi bukan copet atau maling yang akan masuk dalam rumah mereka tapi gerombolan bersenjata di mana parang atau golok yang warga miliki bukan lawan seimbang.
ADA SESUATU YANG BERBEDA.... Tak asing telinga ini mendengar lantunan dalam gempita lebih dari 1000 orang bernyanyi bersama. Semua orang berdiri dalam khidmat & getar nada menyelusup jauh hingga lorong - lorong sempit di pasar tersebut
yang mengingatkan kita pada suatu saat dulu lagu itu demikian berarti bagi setiap insan Indonesia.
.
.
Lama sudah rasa seperti ini hilang tertelan jaman. Dia seperti tak lagi memiliki makna hingga tersimpan dalam jauh sudut memori tak terjangkau. Lenyap dan terlupakan.
Ada rasa gembira, sekaligus haru. Dalam makna, dalam setiap baris kalimat, di sana tersimpan sejarah panjang bangsa besar ini pernah berjuang. TANAH TUMPAH DARAHKU, TANAH AIRKU, DISANA AKU BERDIRI.
Dulu, bernyanyi seperti itu sering kita lakukan saat masih sekolah.