Halo sedulur @cerita_setann
Cerita malam ini ditulis oleh Mbak Wien selaku author Komunitas Pena Hitam. Tentunya sudah mendapatkan ijin untuk saya bagikan di sini.
Jangan lupa RT & LIKE biar rame.
Jam 21:00 saya mulai.
Namaku Suryo, aku memiliki sebuah kisah mistis yang tak terlupakan seumur hidup. Kisah itu terjadi saat aku berusia dua puluh dua tahun.
Aku terlahir di tanah Jawa. Namun, aku menghabiskan masa kecil hingga pendidikan SMU di wilayah Sumatra.
Selepas SMU, aku memutuskan untuk melanjutkan jenjang pendidikan di tanah kelahiranku di wilayah Jawa, yaitu Solo. Walaupun aku memiliki darah asli suku Jawa, tetapi kenyataannya, aku tidak begitu memiliki pemahaman tentang budaya dan adat istiadat nenek moyangku.
Suatu hari, pakdeku yaitu kakak dari ibuku akan mengadakan hajatan ngunduh mantu anak tertuanya. Untuk keperluan itu, aku harus menginap di tempat saudara sepupu di wilayah Magetan, Jawa Timur. Hal biasa bagi kami, jika ada kerabat yang hendak mengadakan hajatan -
maka kami akan membantunya, mulai dari persiapan hingga acara usai. Sifat gotong royong begitu lekat mendarah daging merupakan warisan leluhur yang masih berlangsung hingga saat ini.
Awalnya aku berencana berangkat menuju ke wilayah Cemoro Sewu dengan mengendarai mobil bersama orang tua dan kerabat yg lain, sayangnya jam kuliah hari itu begitu padat, sehingga aku memutuskan untuk berangkat seorang diri menyusul rombongan lainnya yg terlebih dahulu berangkat.
Aku mengendarai sepeda motor seorang diri menyusuri jalan berbukit selama kurang lebih dua jam. Menjelang magrib aku tiba di Cemoro Sewu.
Konyolnya, mendekati gerbang pintu Cemoro Sewu, aku justru merasa ingin buang air kecil.
Akan tetapi, karena tidak menemukan kamar mandi aku pun terpaksa buang air kecil di tepi jalan, di balik pohon rindang yang tinggi. Setelah selesai melepaskan hajat, akhirnya aku melanjutkan lagi perjalanan.
Namun, entah apa yang terjadi, selama hampir satu jam berkendara,
aku seperti berputar-putar pada tempat yang sama. Kepanikan mulai melandaku karena hari mulai gelap dan di jalur ini tidak ada pengendara lain yang lalu lalang. Sepi, terasa mencekam. Dari ketinggian jalan yang kulewati,
aku bisa melihat kota lain yang diterangi lampu berkedip indah di bawah sana. Setelah berputar-putar beberapa kali, aku merasa lelah dan frustasi, kemudian memutuskan untuk berhenti di sebuah rumah kayu milik warga yang sudah tak berpenghuni sambil menunggu barangkali -
akan ada pengendara lain yang melintas.
Rasa letih dan lelah membuat kantuk menghinggapiku. Berbantal rasel dan jaket seadanya aku baringkan badan pada dipan bambu rumah kosong. Aku tak tahu berapa lama tertidur, tiba-tiba gendang telingaku mendengar suara bising orang-orang yang berseliweran.
Aku terbangun membuka mata, tempat ini begitu ramai bagai sebuah pasar.
Bocah-bocah kecil berlarian dan beberapa orang dewasa sibuk tawar menawar barang dagangan. Aku senang karena tak lagi kesepian. Aku bangkit dan berjalan mengelilingi pasar tradisional tersebut.
Aneka macam jajanan dan kebutuhan di jual disini.
Penciumanku mengendus aroma lezat sebuah masakan, aku berjalan terus mencari sumber bau yang membuat perutku mendadak lapar.
"Sate... sate... sate!"
Teriak perempuan separuh baya menawarkan dagangannya pada orang yang lalu lalang.
"Ngapunten, Budhe. Tumbas satene nggih. Dahar mriki," ucapku sambil duduk di dingklik yang tersedia di dekat jualannya.
( maaf, budhe. Beli satenya ya. Makan disini)
Aneh, perempuan penjual sate itu seolah acuh. dia terus berteriak lantang menawarkan satenya. Sepertinya dia mengalami masalah pada pendengaran, aku coba sekali lagi sambil mencolek bahunya.
Suasana tiba-tiba menjadi hening, suasana yang tadinya riuh mendadak senyap. Mereka sejenak tak beraktivitas, semua mata menatap ke arahku. Kebingungan melandaku, apa ada denganku? Apa aku salah dalam berkata-kata?
Tak membutuhkan waktu yang lama, keadaan keadaan kembali seperti semula ramai dan riuh selayaknya sebuah pasar.
"Le, yen liwat kene ki kudu uluk salam. Ndang niki di maem rasah mbayar, yen durung tekan panggonanmu ojo noleh mburi yo."
( Nak, kalau lewat daerah ini harus salam. Sudah ini di makan dulu, gak usah bayar, kalau belum sampai tujuanmu, jangan noleh ke belakang ya) kata perempuan penjual sate tadi sambil memberikan sebungkus sate untuk aku makan.
Anehnya perempuan itu juga menolak lembaran uang yang aku berikan sebagai mahar sate yang aku terima. Merasa sudah mendapat apa yang aku inginkan, aku segera pergi dari tempat itu dan mulai melahap sate itu.
Setelah selesai makan aku beranjak melanjutkan perjalananku.
"Kalau belum sampai, jangan menoleh ke belakang!"
Kalau belum sampai, jangan menoleh ke belakang!"
Kalau belum sampai, jangan menoleh ke belakang!"
Aku terus mengulangi kata-kata perempuan penjual sate tadi. Semakin kata-kata itu kuulangi, semakin perkataan itu mengusikku, memunculkan sensasi rasa penasaran pada diriku, memaksaku untuk menoleh ke belakang pada lokasi pasar yang baru aku tinggalkan.
"Whuaaaa!"
Saat aku nekat melanggar larangan itu dan menoleh ke belakang, aku kaget tak terkira, pemandangan aneh menyulut bulu kuduku berdiri seketika.
Puluhan mahluk dengan wujud menyeramkan memenuhi tempat itu. Aku ketakutan setengah mati, kakiku lemas meski begitu aku coba lari sekuat tenaga tetapi kakiku tak bergerak seinci pun.
Heg ... Heg...!
Aku mendekap mulutku karena tiba-tiba aku merasakan sesuatu bergerak lembut di dalam mulutku.
Rasa mual yang hebat melanda, perutku serasa diaduk- aduk, mulutku terasa penuh dengan sesuatu yang bergerak-gerak.
Kemudian, aku berhenti memuntahkan isi makanan yang baru aja aku santap.
Byaarr!
Kulepaskan dekapan tangan di mulutku, seketika isi dari mulutku keluar semua. Ternyata belatung-belatung menjijikkan yang keluar dari mulutku dan terjatuh di tanah. Belatung belatung itu bergerak-gerak dalam kubangan air liurku.
Hoeks... hoeks... hoeks!
Cuihhh ...!
Aku membersihkan sisa-sisa belatung dimulutku dengan memuntahkannya berkali-kali.
Saat aku melihat bungkusan daun pisang yang berisi sate tadi ternyata telah berubah menjadi belatung dan daging busuk, lembek dan menghitam.
Aku terperanjat menyaksikan semua pemandangan ini. Berarti bukan sate yang ku makan, melainkan belatung.
Aku kembali bergidik hebat membayangkannya.
------------------
Rumah Pak Aryo kini kembali seperti semula, tidak terlalu ramai seperti dua hari lalu saat acara ngunduh mantu berlangsung. Terlihat beberapa tetangga yang membantu Pak Aryo membereskan peralatan dan perlengkapan sisa-sisa hajatan.
Sementara itu di dalam rumah Pak Aryo, keluarga besar mereka sedang berkumpul.
Di sudut ruangan, Ibu Asih, ibu Suryo, duduk terpekur memandangi lantai dengan tatapan kosong. Di sampingnya, ayah Suryo, Pak Iwan berusaha menghibur bu Asih agar beliau tidak panik.
" Pak, Suryo sudah empat hari berangkat ke sini kok belum sampai juga. Hp nya mati nggak bisa dihubungi, aku takut terjadi sesuatu dengan Suryo, Pak!" tangis Bu Asih pecah, air matanya mengalir deras.
"Sabar, Bu. Insyallah Suryo baik-baik saja. Toh kita juga sudah melaporkan hilangnya Suryo kepada pihak berwajib, Bu."
"Aku takut, Pak. Anak kita, Suryo ...," Bu Asih tak mampu meneruskan kata-katanya, hanya tangisnya yang terdengar.
------------------------
"Suryo, kemarilah, ikut denganku, aku akan menunjukkan jalan pulang padamu," ujar sosok kakek tua yang tiba-tiba sudah
berada di samping Suryo yang lemas kehabisan tenaga.
"Ingat Suryo, saat berjalan pulang jangan sekali-sekali menoleh ke belakang, apapun yang kamu dengar, apapun yang kamu lihat dan apapun yang kamu rasakan, abaikan!"
"Kakek siapa ....?"
Sang kakek tersenyum tanpa menjawab sepatah kata pun pertanyaan Suryo. Sembari menepuk pundak Suryo, kakek tersebut membantu Suryo untuk berdiri. Suryo mengikuti langkah kakek yang walaupun usia telah lanjut namun masih terlihat gagah saat berjalan.
Malam semakin pekat, di samping kanan kiri jalan yang mereka dipenuhi pohon-pohon yang tinggi dan rimbun. Suara binatang liar terkadang sesekali muncul, menimbulkan aura mistis yang membuatku merinding tiada berkesudahan.
Hi ... hi ... hi...
Suara cekikin muncul di antara rerimbunan pepohonan, saat aku menoleh ke samping, ku lihat sosok kuntilanak duduk di atas pohon sambil tertawa cekikan. Lututku terasa tak bertulang, serasa tak sanggup aku meneruskan langkahku.
"Inget Suryo apapun yang terjadi jangan menoleh ke belakang. Terus berjalan, abaikan semuanya!"
"I ... i... iya, Kek." jawab Suryo terbata-bata.
Plaakk!
Tiba-tiba Suryo merasakan pundaknya ditepuk oleh seseorang. Tangan yang menepuknya terasa dingin, sedingin es. Cukup lama tangan itu mencengkeram pundak Suryo. Walau ketakutan setengah mati, Suryo bertahan untuk tidak menoleh sesuai pesan si kakek.
Wushhh ... !
Angin kencang berhembus dari arah belakang Suryo, membuat Suryo sedikit terhuyung ke depan.
Tap! Tap! Tap!
Suara langkah kaki mengikuti langkah Suryo.
"Suryooo ..."
Seseorang memanggil Suryo diiringi dengusan nafas tak beraturan.
Spontan Suryo menoleh ke belakang.
Arghhhh ..... !
Suryo terkejut dan berteriak saat dia menoleh dia melihat sesosok laki-laki yang berjalan tanpa kepala, sementara tangannya yang sebelah kiri seperti menenteng sesuatu. Di tengah ketakutannya Suryo mengamati benda yang ditenteng laki-laki itu.
Saat dia melihat dengan seksama, ternyata benda itu adalah kepala manusia. Sekilas, saat dia beradu pandang dengan mata kepala manusia itu, matanya merah, dan tiba-tiba senyum seramnya muncul saat menatap Suryo.
Aaaaaaa .... !
Suryo berteriak sekuat tenaga, saat ia mencari kakek yang menuntunnya kakek itu sudah tak terlihat lagi.
Suryo terjatuh lunglai, pandangnya menjadi gelap. Gulita, sunyi dan senyap.
----------------
"Permisi, benarkah ini rumah Suryo, putra dari Bapak Iwan," beberapa petugas kepolisian sudah berdiri.di depan pintu rumah keluarga Suryo.
" Benar, Pak. Suryo anak kami, dia sudah dua minggu pergi dari rumah. Kami takut terjadi apa-apa dengannya.
"Maaf Pak Iwan, kami ingin memberitahukan berita tentang Suryo Anak Bapak sudah ditemukan di sebuah jurang, alhamdulilah anak bapak sudah bisa kami evakuasi. Sekarang Suryo berada di Rumah Sakit, kondisinya memprihatinkan, berdoa saja Suryo bisa selamat.
" Ayo Pak kita ke rumah sakit. kita cari Suryo!"
Pak iwan dan Bu Asih menuju rumah sakit tempat Suryo dirawat, hanya saja setibanya di rumah sakit Suryo terlihat linglung tak mengenali mereka.
Butuh waktu dua bulan mengobati Suryo ke orang pintar, hingga Suryo bisa pulih seperti sedia kala.
SELESAI.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Halo sedulur @cerita_setann dan @ceritahorrorjogja
Berhubung ini sudah selesai Bulan Puasa, saya mau posting cerita yang rada berbau dewasa nih 😂. Dan kebetulan dialami oleh seseorang yang berprofesi di jalanan.
Cerita ini ditulis oleh Bu Guru indri asli Dlingo Bantul di situs harianmerapi.com
Halo...
Kembali lagi dengan kalong.
Kali ini saya akan membagikan kisah dari Mas Iphend Alzikra @IAlzikra yang ditulis oleh mbak Wien selaku authornya. Tentunya sudah mendapatkan ijin dari mereka untuk saya bagikan lagi.
Kisah nyata yang di alami oleh Mas Iphend alzikra sendiri saat beliau masih muda dulu, walaupun sekarang juga tetep masih muda 😁🙏.
Seperti apa kisahnya?
Jangan lupa RT dan LIKE biar rame.
Follow juga boleh.
Malam ini saya akan membagikan kisahnya dari mas iphend alzikra @IAlzikra yang di tulis oleh mbak Wien (fb). Yang tentunya sudah mendapatkan ijin dari mereka berdua.
Gak usah berlama-lama, jangan lupa RT dan Like ya.
SEPUNGKRUK, sebuah hutan yang terkenal sangat angker dan memiliki mitos tentang Jaran Sembrani (kuda terbang). Untuk menguak suatu cerita penduduk setempat, kami berempat berniat untuk mencari fakta dari semua ini.
Cerita selanjutnya yang akan saya bagikan dengan judul TEREKAN "KEDUNG JANIN" di tulis oleh, mas Masrulloh Faqih (Fb). Yang tentunya sudah mendapatkan ijin dari beliau untuk saya bagikan.
"Karepe Bapakmu ki apik, Nduk. Iku yo kanggo keslametane awakmu sak keluarga."(Keinginan Bapakmu itu baik, Nduk. Itu juga buat keselamatan dirimu dan keluarga.)