Kali ini Sandi yang akan bercerita, kenapa dia
semalaman gak pulang-pulang.
Ternyata peristiwanya sangat seram, Sandi mengalami satu fragmen hidup yang gak akan dia lupakan.
Simak episode ketiga prekuel #rhdpk, hanya di sini, di Briistory..
***
Aldo sudah masuk ke kamarnya, dia terlihat sangat kelelahan, sejak kemarin memang sungguh melelahkan buat kami.
Walaupun selalu terus bersama, tapi selama perjalanan dari Jakarta sampai ke tujuan, aku lebih banyak tidur, sementara Aldo sama sekali gak tidur, jadi ya mungkin karena itu aku bisa jadi lebih segar.
Sementara itu, aku masih duduk melepas lelah di ruang tengah bersama Pak Rahman.
Jam dua siang, matahari sudah condong ke bagian barat permukaan bumi namun sengat panasnya masih terasa galak. Sepoy angin perkebunan bertiup perlahan, seperti menetralisir udara jadi gak mendidih gerah.
Bertelanjang dada, aku menghela nafas panjang, menyeka keringat yang sedikit bercampur debu tipis.
“Wah, lahannya bener-bener kotor ya, Pak.” Aku membuka percakapan dengan Pak Rahman.
“Kan udah saya bilang, perkebunan ini memang sudah sangat lama gak ada yang ngurus. Saya juga ke sini hanya sekali-kali aja, hehe.” Jawabnya.
“Iya juga sih. Yang pasti, kalau nanti kantor kami jadi beli lahan ini, bakal banyak yang harus dilakukan dulu sebelum menggarap pohon karetnya.”
“Benar, dan juga di banyak bagian sudah harus ada peremajaan.”
Benar yang dikatakan oleh Pak Rahman. Setelah tadi kami melihat-lihat berkeliling ke beberapa bagian lahan, aku berkesimpulan kalau perkebunan ini memang sudah lama gak terurus, hampir seluruh sela-sela pepohonan tertutup rumput liar dan semak belukar, sangat kotor.
Kata Pak Rahman juga, kami tadi baru hanya berkeliling gak sampai seperempat dari luas lahan keseluruhan, masih banyak yang gak sempat kami kunjungi, tapi kurang lebih keadaannya sama.
Tapi tadi aku sempat berdiskusi sedikit dengan Aldo, berdasarkan hasil analisa dari sekilas survey yang sudah kami lakukan, sebenarnya perkebunan ini sangat layak untuk dijadikan investasi perkebunan, tanahnya sangat subur,
pengairannya tercukupi dari sungai besar yang ada di belakang. Intinya, aku dan Aldo akan memberikan laporan yang bagus.
Itu penilaian kami secara professional pekerjaan, tapi..
Tapi kami punya ganjalan.
Ganjalan yang sangat gak akan bisa dibuktikan di atas kertas.
Aku dan Aldo sudah merasakan kejadian menyeramkan pada malam pertama kami tinggal di perkebunan ini, di rumah perkebunan karet. Peristiwa yang gak pernah kami duga sebelumnya, dan gak akan pernah kami lupakan, sungguh mengerikan.
Hal ini tentu saja akan sulit buat kami untuk memberi penjelasan ke manajemen nantinya, entah apa yang akan kami tulis di laporan kerja.
Perkebunan ini jauh dari pemukiman, desa terdekat jaraknya kira-kira satu jam perjalanan, cukup terpencil. Dikelilingi hutan ridang dengan pohon-pohon besar sebagai isinya.
Dengan gambaran itu, bisa dibayangkan suasananya.
Perkebunan karet yang sepi, kami merasa sepertinya perkebunan ini hidup, memperhatikan, berbicara dengan bahasa seram, kadang mentertawai, kadang murka memuntahkan kemarahan. Mungkin berikutnya akan ada tangisan.
Mungkin..
***
“Pak, nanti saya ikut ke kota ya, ada beberapa kebutuhan yang harus dibeli.”
Jam tiga sore, tiba-tiba muncul ide itu di kepalaku, ikut Pak Rahman ke kota. Harus membeli beberapa kebutuhan untuk kami tinggal di sini beberapa hari ke depan.
“Oh, gitu. Ya, sudah ayok kita jalan, mumpung masih terang.” Jawab Pak Rahman.
Pikir aku juga begitu, selagi masih siang, masih ada waktu untuk pulang pergi ke kota, masih cukup waktu untuk kembali lagi sebelum maghrib.
“Bang Aldo gak diajak?” Tanya Pak Rahman.
“Gak usah, Pak. Capek banget dia, kasian. Sebelum maghrib juga saya udah sampe sini lagi kan.” Jawabku.
Iya, aku gak tega untuk membangunkan Aldo, lebih baik dia istirahat aja, toh aku akan sudah kembali dalam dua jam.
“Oh, ya sudah. Yuk, kita berangkat sekarang.” Ucap Pak Rahman.
Gak berlama-lama, dalam hitungan menit kami sudah berada di atas motor masing-masing, kemudian pergi meninggalkan rumah, dimulailah perjalanan menuju kota.
Kami menyusuri jalan tanah membelah perkebunan karet.
Masih lepas sedikit dari pukul tiga, udara panas berubah cenderung hangat. Garis kuning keemasan sinar mentari terlihat menembus di sela-sela rapatnya pepohonan, menerangi sekitar, indahnya waktu menjelang habisnya siang.
Melaju dengan kecepatan sedang, sesekali Pak Rahman setengah berteriak dari atas motornya untuk memberitahu informasi yang belum dia sampaikan, cara berbincang yang agak susah memang, tapi aku tetap memberikan tanggapan sebisanya, tentu saja dengan setengah berteriak juga.
Disamping harus mendengarkan omongan Pak Rahman sesekali, aku juga harus memperhatikan jalan, harus menghapal jalan yang kami lalui agar nanti perjalanan pulang gak tersesat.
Tapi sejauh ini, jalanannya hanya lurus-lurus saja, belum menemui persimpangan, jadi mudah aku menghapalnya.
Barisan pepohonan karet yang teratur, membuat aku yang sedang berjalan di tengahnya seperti melihat banyak terowongan panjang di kanan kiri jalan, sungguh indah pemandangannya.
Kira-kira hampir satu jam perjalanan, tiba-tiba Pak rahman menghentikan motornya.
“Bang Sandi, ini persimpangan satu-satunya setelah perkebunan karet selesai seblum kita masuk hutan. Kalau ke sana jalan menuju kampung terdekat.” Begitu Pak Rahman bilang, sambil tangannya menunjuk ke arah kiri.
“Inget ya, pesimpangan ini nanti Bang Sandi ambil kiri kalau dari kota.” Pak Rahman menegaskan sekali lagi.
“Iya, Pak. Iya.” Jawabku dengan mimik serius.
Lalu kami melanjutkan perjalanan.
Benar saja, setelah persimpangan itu kami langsung masuk wilayah hutan.
Hutan ini masih sangat rindang, pepohonannya lebih rapat dari perkebunan karet. Bermacam jenis pohon besar berdesakan mengisi suburnya tanah pedalaman.
Udara yang terhirup juga lebih segar, bersih dan menyejukkan. Tapi tetap sama, keadaannya sangat sepi.
Selama perjalanan kami belum pernah menemui manusia lain, yang searah maupun berlawanan.
“Nah, ini persimpangan satu lagi. Kalo ke kanan itu jalan menuju Jalan lintas Sumatera tapi yang arah ke Lampung Selatan. Kita lurus.”
Pak Rahman bilang begitu ketika kami lagi-lagi berhadapan dengan persimpangan, setelah sebelumnya menembus hutan.
Jalan yang kami lalui pun mulai lebih besar, kira-kira sudah seukuran satu lintasan mobil kecil, walau masih berupa jalan tanah.
Kami lagi-lagi melanjutkan perjalanan. Sepertinya, persimpangan tadi merupakan batas akhir dari wilayah hutan, karena setelah itu kami mulai menemui rumah penduduk.
Benar, rumah penduduk yang tadinya barjauhan, lama kelamaan menjadi rapat.
Dan akhirnya, hampir jam setengah lima kami sampai juga di kota.
“Bang Sandi, kalo mau belanja kebutuhan di toko ini saja, lengkap semuanya ada. Bang Sandi gak perlu ke mana-mana lagi.”
Kami berhenti di satu toko agak besar di pinggir jalanan kota.
Satu toko yang sepertinya benar kata Pak rahman tadi, menjual banyak barang, terlihat dari depan tokonya memang begitu.
“Jangan lama-lama ya, bang. Takut keburu gelap. Jalan balik masih hapal kan?” Tanya Pak Rahman lagi.
“Iya, iya. Masih hapal, Pak. Gampang kok, hehe.” Jawabku.
“Hati-hati, ya. kalo nyasar atau lupa jalan, balik lagi aja ke rumah saya,”
“Iya, Pak. Iya, makasih, ya.”
Setelah itu, Pak Rahman melanjutkan perjalanan ke rumahnya, yang beliau bilang hanya tinggal beberapa menit lagi untuk sampai.
***
Seorang bapak berumur sekitar 50 tahun menyambut dengan ramah, ketika aku masuk ke dalam toko.
“Mau cari apa, Dek?” Tanya si Bapak dengan senyum mengembang di wajah.
Aku lalu membalas senyum dan menyapa dengan ramah juga, kemudian menyebutkan beberapa barang yang aku dan Aldo butuhkan.
Gak lama, hanya beberapa belas menit saja akhirnya barang-barang yang mau beli sudah terbungkus siap bawa, tinggal aku bayar.
“Sepertinya, adek ini bukan dari sini ya? dari luar kota tampaknya. Dari mana, Dek?” Akhirnya, bapak pemilik toko menanyakan pertanyaan yang sepertinya sudah sejak awal tadi dia sudah ingin menanyakan.
“Oh, Iya, Pak. Saya dari Jakarta.” Jawabku pendek.
“Nah, kan, saya benar, hehe. Ada keperluan apa ke sini?” Tanya bapak itu lagi.
“Saya dan teman sedang survei lokasi, Pak. Ditugaskan oleh perusahaan tempat kami bekerja.”
“Oh, begitu. Survei di mana?”
“Di perkebunan karet yang di belakang itu loh, Pak.”
“Perkebunan karet yang di balik hutan itu?” Bapak itu bertanya lagi, kali ini dengan mimik berbeda, ada ketegangan di wajahnya.
“Benar,Pak.”
“Menginap di sana?”
“Iya, Pak. Mungkin satu atau dua malam ini kami menginap di rumah di perkebunan karet itu. Bapak tahu?”
“Saya tahu, Dek. Kalau bisa, menginapnya di kota sini saja, jangan di sana.” Hela nafas panjang mengakhiri kalimat Bapak ini.
“Gak apa-apa, Pak. Biar proses pekerjaan kami cepat selesai, makanya kami menginap di sana.” Jawabku.
Raut wajah yang ditunjukkan oleh Bapak ini membuat aku gak mau melempar pertanyaan yang sebenarnya sudah di ujung lidah, karena sepertinya aku sudah tahu jawabannya, jawaban yang akan membuat cemas tak terkira.
“Terus, setelah dari sini Adek langsung kembali ke perkebunan lagi?” tanya Bapak toko lagi.
“Iya, Pak. Saya harus balik lagi, teman saya sendirian di perkebunan, hehe.”
“Ya, sudah. Jalanlah sekarang, jangan sampe keburu gelap. Hati-hati, apa lagi kalau ketemu persimpangan, pilih jalan yang benar.”
Pada kalimat terakhir, Bapak ini sangat jelas menunjukan kekawatiran di wajahnya, rasa cemas tergambar jelas. “Di persimpangan, pilih jalan yang benar”, kalimat itu seperti digarisbawahi oleh Bapak pemilik toko, entah kenapa.
Yang pasti, aku jadi ingat kalau nanti akan menemui dua persimpangan, yang pertama ambil jalan lurus, yang kedua ambil jalan ke kiri, sudah. Seharusnya sih gak nyasar.
***
~Beberapa menit menjelang jam lima sore.~
Setelah sudah di atas motor, dan semua keperluan sudah di dalam tas, aku baru ingat kalau bensin motor sudah tiris, harus aku isi lagi supaya gak kehabisan bahan bakar di tengah perjalanan nanti.
Setelah diberi tahu Bapak toko di mana letak penjual bensin, aku langsung tancap gas.
Ternyata, penjual bensin agak jauh, sekitar lima menit perjalanan. Jadi, aku kehilangan 10 menit lebih.
Setelah isi bensin, aku langsung menuju jalan masuk hutan ke perkebunan karet.
***
Jam setengah enam, matahari sudah gak terlihat lagi karena tertutup pepohonan, hanya tinggal menyisakan sinar redupnya di senja ini.
Sudah beberapa ratus meter di dalam hutan, sudah melewati persimpangan pertama. Saat inilah mulai timbul penyesalan kenapa harus pergi ke kota, perkiraan meleset, yang tadinya aku pikir sebelum jam enam sudah sampai rumah, ini sudah hampir jam enam masih baru memulai perjalanan.
Kupacu motor dengan kecepatan agak tinggi, menyusuri jalan hutan yang sudah mulai gelap, dan semakin gelap. Berkali-kali aku melirik jam tangan, memperhatikan jarum waktu yang terus berputar, seperti berputar lebih cepat dari biasanya.
Jalan tanah yang panjang berliku, banyak kelokan ke kiri ke kanan, tanjakan melintas dataran agak tinggi, ada juga kontur menurun tajam.
Jam enam lewat, hutan yang sedang aku belah ini sudah makin gelap, lampu motor aku sudah nyalakan untuk membantu penglihatan.
Gak ada lagi percikan sinar mentari, gak ada lagi cahaya langit menerangi, tapi jalan ini tetap harus aku susuri.
Sampai ketika, akhirnya aku gak lagi bisa melihat jam yang melingkar di tangan kiri, hari sudah memasuki malam, gelap total.
Pepohonan besar dan rindang jadi pemandangan paling dekat yang dapat aku lihat, sementara kanan kiri masih dikuasai gelap pekat.
Sama sekali gak ada kehidupan, gak ada satu pun orang di hutan ini kecuali aku.
Angin malam yang cukup dingin sebenarnya cukup sejuk, tapi entah kenapa keringatku malah mulai jatuh bercucuran.
“Ah, akhirnya, ketemu juga persimpangan ini.”
Iya, akhirnya aku sampai di persimpangan yang sudah dekat perkebunan karet.
Aku masih ingat, kalau harus mengambil jalan yang ke kiri, kalau ke kanan akan menuju kampung terdekat, begitu kata Pak Rahman tadi.
Ya sudah, tanpa ragu aku lalu berbelok ke kiri.
Seharusnya, beberapa menit kemudian aku akan masuk ke perkebunan karet, seharusnya begitu.
Aku terus susuri, jalan tanah di dalam hutan ini, sambil terus berharap akan segera menemui pepohonan karet.
Tapi, entah sudah berapa lama, aku belum juga masuk perkebunan karet, masih saja terus menelusuri perut hutan rindang ini.
“Ah, mungkin masih di depan. Sabar.” Begitu ucapku dalam hati, sambil terus memacu motor dengan cepat.
Terus, terus, terus, dan terus, aku belum juga masuk perkebunan.
“Tuhan, kok lama sekali, nyasarkah aku ini?” Aku mulai ragu.
Gak ada pilihan, aku memutuskan untuk terus jalan, menyusuri jalan setapak ini. Kalau pun nyasar, aku yakin jalan ini pasti akan berujung di pemukiman penduduk, aku yakin itu. Tapi, keyakinan mulai goyah, ketika sepertinya sudah satu jam lebih belum juga menemui pepohonan karet.
“Masak sih nyasar? Kalau memang nyasar, aku salah jalan di mana? Perasaan dari tadi gak ketemu persimpangan lagi, hanya satu jalan aja yang ada,”
Banyak pertanyaan di kepala, tentu saja aku belum menemukan semua jawabannya.
Entahlah..
***
Perlahan aku menginjak rem, laju motor jadi melambat, sampai akhirnya benar-benar berhenti.
Aku menghentikan motor, ketika tiba-tiba di hadapan ada pemandangan yang membuat terheran-heran.
Pekatnya gelap malam, membuat aku keheranan ketika samar di beberapa belas meter depan aku melihat ada jembatan
Iya, aku melihat ada jembatan, padahal ketika berangkat tadi sama sekali gak pernah lewat atau melihat ada jembatan, kok kali ini ada jembatan?
Kembali aku menjalankan motor, coba lebih mendekat lagi.
Benar itu memang jembatan. Jembatan kayu yang di susun sederhana. Hanya ada empat batang besar kayu yang menjadi dasarnya, sementara di sisi kanan kirinya ada kayu lebih kecil memanjang, untuk kita berpegangan kalau melintasinya dengan berjalan kaki.
Aku coba melongok ke bawah jembatan, ternyata kosong dan gelap, gak ada tanda-tanda sedikit pun air mengalir. Jembatan ini melintas di atas sungai kering.
Beberapa saat setelah menemui jembatan inilah akhirnya aku sadar kalau aku sudah tersasar, bukan di jalan yang benar untuk pulang.
Aku harus ambil keputusan, balik arah ke jalan aku datang tadi, atau lanjut melintasi jembatan dengan harapan ada perkampungan di depan.
“Ah, lanjut aja ah. Kalau balik lagi udah terlalu jauh.” Ucapku dalam hati.
Ya sudah, akhirnya aku memutuskan untuk melintasi jembatan kayu ini.
Perlahan aku menjalankan motor menaiki jembatan. Di titik ini, aku baru bisa melihat kalau jembatan sepertinya sudah lama gak pernah ada yang melintasi, permukaannya dipenuhi lumut, ban motorku terasa licin ketika menjejaknya.
Benar, jembatan ini berlumut..
Bunyi “Kriyeet, kriyyeett,” gesekan kayunya semakin menambah seram suasana.
Beberapa belas detik kemudian, aku sudah sampai di sisi seberang.
Jalanan agak menanjak ketika aku sudah lewat jembatan, seperti mendaki ke atas bukit kecil. Yang agak sedikit berbeda dengan daerah sebelum jembatan, pada sisi yang seberang sini, di kanan kiri jalan gak banyak dipenuhi pepohonan.
Aku terus susuri jalan agak menanjak ini, hingga sampai ke atas dan menemui kontur yang agak datar.
Pada saat inilah, sesuatu yang aku takutkan terjadi, mesin motorku tiba-tiba mati..
“Tuhan, cobaan apa lagi ini.”
Gelap gulita aku terpaku sendirian di atas motor mogok, entah sedang berada di bagian hutan sebelah mana.
Turun dari motor, aku akan coba memperbaikinya.
Pekatnya hutan, penglihatanku hanya dibantu oleh pantulan warna langit.
Beberapa kali rasa cemas membuatku memandang sekeliling, kawatir ada sesuatu.
Gagal, aku sama sekali gak bisa memperbaiki motor, sama sekali gak tahu apa yang rusak.
Aku menyerah, gak tahu lagi harus berbuat apa.
Tapi, ketika hampir putus asa, ketika mataku sudah semakin terbiasa melihat dalam gelap, tiba-tiba aku melihat ada bangunan yang berdiri di kejauhan.
Apa itu? Rumah penduduk kah?
Ah, apa pun itu, aku memutuskan untuk mendekatinya.
Lalu aku mendorong motor, mendekat ke bangunan itu.
Jalan yang masih menanjak, membuat aku agak kesusahan berjalan ke sana.
Tapi, akhirnya sampai juga.
Ternyata benar, ini bangunan berbentuk rumah, gak besar tapi gak kecil juga ukurannya. Sepertinya gak berpenghuni, gak ada penerangan sama sekali, bagian dalam dan luarnya sangat gelap.
“Ya sudahlah, kalau memang rumah kosong, seenggaknya aku bisa istirahat sebentar di sini.” Begitu pikirku dalam hati.
Aku parkirkan motor di depan, kemudian masuk ke terasnya. Ternyata rumah kayu, seluruh dindingnya terbuat dari kayu, gak ada dinding tembok, itu yang aku lihat. Pintu rumah tertutup rapat, begitu juga jendelanya.
Di teras, ada papan kayu panjang yang sepertinya diperuntukkan sebagai kursi, kemudian aku duduk di situ, sambil melepas lelah, duduk bersandar lalu membakar rokok.
Suasananya sangat hening, sama sekali gak ada suara. Desir angin pun gak ada, semuanya senyap, mati.
Kepulan asap rokokku membumbung, memenuhi sisi gelap depan rumah.
Setiap detiknya, aku berusaha menjaga pikiran agar gak bermain di wilayah kecemasan.
Aku putus asa, memperbaiki motor gak bisa, gak tahu harus melangkah ke mana, sampai akhirnya memutuskan untuk bermalam di rumah ini saja sampai pagi tiba. Dengan segala resikonya, aku ambil keputusan itu.
Entah sudah berapa batang rokok sudah aku habiskan, sampai ketika ada sesuatu mulai terjadi..
Di tengah hutan yang letak pastinya gak tahu di mana, aku mulai merasakan ada sesuatu, perasaan mulai gak enak.
Dingin berangsur menghangat.
Udara yang tadinya gak bergerak sama sekali, perlahan hembusan angin mulai terasa. Pepohonan di sekitar yang tadinya diam, perlahan mulai bergoyang dan menghasilkan suara.
Aku yang duduk tepat di depan jendela rumah, sangat terkejut ketika tiba-tiba jendela ini terbuka dengan sendirinya. Jendela kayu menimbulkan bunyi “kriyeeet.”
Aku langsung berdiri, lalu memperhatikan jendela.
“Ah, pasti angin yang membukanya, pasti angin.” Ucapku dalam hati, coba berpikir positif.
Jendela kayu ini terbuka lebar, sehingga kalau ada cahaya terang aku pasti sudah bisa melihat isi rumah. Tapi ini gelap pekat, sama sekali gak bisa melihat apa-apa di dalam.
Ketakutan mulai timbul, perasaan cemas membuncah memenuhi ruang bathin, namun tetap berharap kalau yang membuka jendela benar angin.
Terus berdiri aku menatap jendela, sampai ada kejadian berikutnya..
“Kriyeeeeeeeet.”
Ada suara lagi, tapi kali ini bukan suara jendela, karena jendela gak bergerak sama sekali.
Lalu suara apa?
Kemudian aku melirik ke kiri, letak di mana pintu rumah berada.
“Kriyeeeeeeeet.”
Sekali lagi muncul suara itu..
Ternyata, itu suara pintu, suara pintu kayu yang bergeser terbuka dengan sendirinya.
Pintu rumah terbuka lebar..
Aku masih diam menatap.
Lalu tiba-tiba..
“Creeek, creek, creeeek.”
Muncul suara itu, terdengar cukup jelas, sepertinya sumber suara gak terlalu jauh.
“Creeek, creek, creeeek.”
Kedengaran lagi..
Aku lalu melirik ke arah pintu yang sudah dalam keadaan terbuka lebar itu.
Pekat gelap yang terlihat, gak ada apa-apa.
“Creeek, creek, creeeek.”
Muncul lagi..
Di suara yang ketiga kalinya inilah akhirnya aku dapat melihat sumber suara misterius itu.
Di pintu terbuka itu, aku melihat sosok seram yang sedang berdiri tegak.
Ada pocong berdiri di pintu..
Pocong berbalut kafan putih kusam, dengan ikatan di beberapa bagian tubuhnya.
Rokok yang sedang kuhisap di mulut terjatuh seketika, aku shock, aku melihat pocong sedang berdiri di pintu!
Jarak kami sangat dekat, cukup dekat buat aku untuk melihat wajahnya yang hitam legam.
Aku melangkah mundur, perlahan menjauhi pintu, menjauhi teras.
Kemudian berlari menjauhi rumah, motor aku tinggal, aku panik.
Setelah beberapa belas meter menjauh dari rumah, aku melirik ke belakang, melirik ke rumah itu lagi. Tahu apa yang aku lihat? Ternyata pocong bergerak juga, pocong itu bergerak mengikuti di belakangku.
Semakin panik, aku terus berlari gak tentu arah, menangis ketakutan. Kali ini gak berani melihat ke belakang.
“Creeek, creek, creeeek.”
Suara itu muncul lagi, sangat jelas dan keras.
Aku semakin cepat berlari, terus berlari dalam gelap sampai akhirnya kaki terantuk sesuatu.
Kemudian aku terjatuh, terguling-guling di atas tanah.
Setelahnya, aku merasakan kalau kaki sangat sakit dan gak bisa digerakkan sama sekali. Aku gak bisa berlari lagi..
Meringis ketakutan dan kesakitan, aku melihat ke belakang, ke arah rumah tadi. Sukurlah, aku gak melihat ada pocong itu lagi.
Tapi ketenangan hanya sementara, ternyata ada sosok lain yang datang berjalan melayang dari kejauhan. Aku melihat ada tiga sosok tinggi besar berbentuk bayangan hitam, seperti siluet.
Mereka terus melayang mendekati. Semakin dekat dan makin mendekat lagi, sementara aku gak bisa bergerak sama sekali.
Seharusnya, jarak yang semakin dekat, mereka akan bisa terlihat bentuknya, tapi gak seperti itu, mereka terus telihat hanya bayangan hitam saja.
Sampai akhirnya tiga sosok itu sampai juga di tempatku berbaring.
Sangat ketakutan, aku hanya bisa memperhatikan kalau sosok tinggi besar ini berdiri mengelilingi.
Aku menangis ketakutan, berdoa sekuatnya, meminta pertolonganNya.
Gelap, semuanya gelap, tiga sosok menyeramkan itu akhirnya seperti hendak membopongku..
Aku berada di puncak ketakutan..
Pekat..
Senyap..
Setelah itu aku gak ingat apa-apa lagi.
***
Keesokan harinya, aku tersadar ketika sudah ada Pak Rahman dan teman-temannya sedang mengelilingiku.
Pak Rahman bilang, aku dan Aldo gak ada di rumah perkebunan karet ketika dia sampai pagi-pagi sekali, kemudian berinisiatif untuk mencariku bersama dengan teman-temannya.
Akhirnya, aku ditemukan di salah satu sisi hutan, berjarak cukup jauh dengan motorku yang terparkir di satu gubuk kosong.
Setelah aku ditemukan, lalu kami melanjutkan untuk mencari Aldo. Sukurlah, Aldo akhirnya ditemukan juga.
Sungguh peristiwa yang sangat menyeramkan.
***
Kembali ke gw lagi ya, Brii.
Cukup sekian cerita petualangan Aldo dan Sandi untuk malam ini.
Sampai jumpa minggu depan dengan cerita yang lainnya. Tetap jaga kesehatan, supaya bisa terus merinding bareng.
Salam,
~Brii~
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Ada yang memilih untuk mengambil jalan pintas ketika mengalami kesusahan hidup. Jalan pintas bergelimang dosa, dan ada “harga mahal” yang harus dibayar. Ngeri..
Malam ini, salah satu teman yang akan menceritakan satu sisi kelam dalam hidupnya.
Simak di sini, di Briistory.
***
Oh iya, nama-nama yang ada semuanya samaran (Kecuali Brii), kalau ada kesamaan nama atau peristiwa pasti hanya ketidaksengajaan.
Mohon untuk bijak membaca cerita kali ini..
Selanjutnya, yang bersangkutan sendiri yang akan menceritakannya langsung.
***
Aku Hesti, umur 33 tahun, domisili Jakarta.
Sekadar info, aku termasuk selebgram dengan satu juta lebih followers.
Kali ini aku akan coba untuk menceritakan satu episode gelap dalam hidup yang pernah aku jalani.
Di daerah terpencil, banyak kisah mencekam yang gak masuk di akal, tapi kejadian.
Banyak orang yang sukar untuk percaya, sampai benar-benar merasakan sendiri keseramannya.
Ada satu kisah telaga kecil di desa terpencil, pedalaman Sumatera.
Simak di sini, di Briistory..
***
Aku Rendri, awal tahun 2002 ditugaskan oleh perusahaan tempatku bekerja untuk tinggal di satu desa terpencil di pedalaman Sumatera.
Tugasku adalah mensosialisasikan berbagai produk pertanian dan perkebunan ~termasuk pupuk~ yang kami produksi, kepada penduduk (khususnya petani) di desa itu.
Malam hari dan sendirian, saat-saat seperti inilah ketika seluruh indera bekerja dengan maksimal. Malah terkadang indera keenam juga berjalan tanpa perintah, merasakan apa yang seharusnya gak dirasakan.
Simak cerita seram di bulan Ramadan ini, hanya di sini, di Briistory.
***
“Sahuuurrr, sahur, sahuuurrr, sahur..”
Teriakan anak-anak kecil diiringi dengan suara tetabuhan bertalu-talu terdengar dari luar, ramai jadinya.
Pada jam setengah tiga dini hari akhirnya aku bisa bernafas lega, selesai semuanya, walaupun mungkin hanya untuk sementara.
Setelah sudah cukup waktu untuk menenangkan diri, aku bangkit dari duduk dan melangkah ke luar kamar.
Tapi tetap saja langkahku masih agak tertahan, keberanian masih berpacu melepas dari belenggu ketakutan yang satu atau dua jam yang lalu memenuhi pikiran dan perasaan.