Sebuah kasus pembunuhan penuh misteri, intrik dan diwarnai nuansa ilmu hitam yang kental.

Detektif Alfa bersama Vin, rekannya yang indigo, berusaha menguak sebuah misteri penemuan mayat yang terburai dan terkoyak beberapa bagian di sebuah gedung tua yang tak terpakai.
Dibantu Gloria, seorang dokter ahli forensik, dapatkah mereka menguak misteri dibalik mayat itu?
Bab 1. Mayat

Alfa memasuki gedung tua itu dengan hati tak tenang. Aroma lembab dan apak membuat kuduknya meremang. Sungguh, seharusnya ia sudah berhenti dari pekerjaan ini setelah menyelesaikan kasus pembunuhan terakhirnya tiga bulan lalu.
Police line sudah terpasang pada area penyidikan. Beberapa petugas nampak sibuk memeriksa sekitar lokasi penemuan mayat. Alfa membuka penutup mayat, menunduk memeriksa, lalu membaca pesan kematian yang tertulis di dekat jenazah yang terbujur kaku dalam kondisi yang sangat-
mengenaskan. Bagian tubuhnya nampak tercabik-cabik dan terkoyak menjadi beberapa bagian.

"Tolong aku 4793 ...," begitu tertulis di sebongkah batu yang terbalik di dekat mayat.
Pesan kematian itu terlihat berantakan dan ditulis dengan darah. Mungkin darah si mayat. Tetapi bagaimana bisa tubuh yang sudah terburai dan terpotong beberapa bagian dengan luka lebam di sekujurnya itu bisa menulis sebuah pesan kematian?
Alfa memperkirakan jenasah korban ini terjatuh dari ketinggian. Hantaman yang keras pada tanah berbatu terjal membuat tulang tubuhnya patah hingga organ dalamnya terburai. Beberapa bagian tubuh nampak terpotong, tersayat dan berserak. Jelas sekali tidak mungkin si mayat sempat-
menulis pesan kematiannya. Seorang wanita berdandan tomboi menghampiri Alfa.

"Aku sudah mengambil sampel darahnya. Gloria akan memeriksa, apakah darah dari pesan kematian yang tertulis di batu, akan sama dengan darah si mayat," wanita yang berdandan tomboi itu-
menghampiri Alfa dan memberi tahunya.

"Terima kasih, Vin. Kau sangat membantu. Aku akan mengambil gambar dan mengumpulkan bukti-bukti lain. Suruh mereka segera membungkus jenazahnya. Kita yang akan membawa jenazahnya ke lab," Alfa memberi komando pada Vin.
"Baik, errrr ... aaarrrggghhh ... tolong! Tolong aku ... selamatkan aku! Sakit ... panas ... tolong! Errr ... graaawww ... arghhhh!"

Wanita bernama Vin tersebut terpental hingga terduduk dan terseret beberapa meter dari tempatnya berdiri sebelumnya.
"Vin! Vin! Kau baik-baik saja?" Alfa panik mengguncang tubuh Vin yang nampak limbung.

"Sshh.. arghhhh, kenapa selalu saja tiba-tiba? Makhluk-makhluk ini tidak pernah membiarkan aku hidup tenang," Vin berusaha berdiri dan menjaga keseimbangan dirinya.
"Aku tak apa Alfa, tolong air," pintanya pada Alfa.

"Mereka merasukimu lagi? Kau mendapat pandangan tentang mayat ini?" Alfa bertanya tak sabar.
Vin tidak menjawab, hanya menggeleng dengan mulutnya terkatup rapat. Tubuhnya mematung, kemudian tatapan matanya menjadi kosong.
Alfa tak menyadarinya, ia terlalu sibuk dengan mayat yang sedang diselidikinya sesaat kemudian. Meminta para polisi untuk membungkus mayatnya dalam kantong mayat.

"Vin, ayo kita berangkat!" ujarnya sambil mengguncang tubuh Vin.
Jauh di sebuah ceruk sudut yang gelap tak jauh dari tempat mereka, sepasang mata menatap lurus ke arah mereka. Sorot mata yang tajam dan penuh dengan kebencian.
Bab 2. Identifikasi

Gloria mengusap peluh di dahinya dengan cemas. Seumur hidup pekerjaannya sebagai dokter ahli forensik, tak pernah membuatnya sepanik dan secemas ini. Berbagai mayat manusia datang ke meja kerjanya dengan kondisi tak pernah baik. Tetapi Gloria dengan tenang-
dan tanpa takut selalu bisa mengidentifikasi sebab kematiannya dengan akurat.

Tetapi mayat ini berbeda, semenjak kedatangannya Gloria sudah bisa merasakan sebuah getaran ganjil yang tak biasa. Ada gelombang kengerian yang luar biasa ketika Gloria membuka kantong pembungkus-
jenazah.

"Aku mendapat firasat tak enak soal mayat ini. Berhati-hatilah!" Begitu pesan Vin, sahabat indigonya yang membawa kantong jenazah itu ke laboratorium bersama Alfa.

"Ada apa? Hei, tak biasanya kau bersikap semisterius itu," Gloria berusaha mencairkan suasana.
Vin berlalu tanpa banyak bicara, meninggalkan Gloria dengan kebingungannya.

"Dia menjadi sangat aneh semenjak mengangkut mayat itu ke tempat ini. Entahlah, tapi ada baiknya kau berhati-hati. Akupun sudah merasa tak nyaman sejak di TKP tadi," Alfa mengamini peringatan Vin.
"Baiklah, kalian membuatku penasaran. Mari kita lihat seperti a ... pa ...." Kalimatnya terpotong. Gloria diam terpaku, tak bergeming setelah membuka kantong jenazah.

"Glow ..., Kau baik-baik saja?" Alfa menepuk pundaknya.
"Er ... ehem ... wow, kematian macam apa yang dialaminya? Kenapa bisa sampai seberantakan ini?" Gloria menjawab Alfa dengan pertanyaan. Nada suaranya bergetar ketika menanyakan sebab kematian si mayat.
"Entahlah, banyak keganjilan pada mayat ini, Glow. Oh iya, satu lagi. Tolong kau periksa, apakah darah di batu ini darah yang sama dengan milik si mayat. Aku butuh hasilnya cepat," seperti biasa, Alfa selalu memerintahnya seenak hati.
"Ah, kau selalu tak sabar Al. Pulanglah, besok pagi aku akan memberi tahumu hasilnya," Gloria mengambil kantong sampel dari tangan Alfa dan melenggang ke laboratoriumnya.

"Kau yakin tak ingin ditemani mengerjakan identifikasimu?" tanya Alfa.
"Pergilah Al, aku bukan anak kecil yang takut pada mayat." Itu kalimat terakhir sebelum Gloria mendengar langkah-langkah kaki Alfa menjauh pergi. Meninggalkan Gloria sendiri di laboratoriumnya tiga jam yang lalu.
Kini Gloria menyesal kenapa ia harus jual mahal saat Alfa menawarkan diri menemaninya mengidentifikasi mayat itu malam ini. Sungguh, bahkan Gloria tak bisa menerka, kematian mengerikan macam apa yang dialami oleh mayat ini sebelumnya.
"Wus ...!" angin sedingin es berhembus kencang menerpa wajah Gloria. Membuat tubuh Gloria membeku, lalu mematung tanpa suara.
Bab 3. Petunjuk

"Namanya Mayyang, usianya 23 tahun, seorang intership di sebuah perusahaan multinasional terkemuka di Negeri ini. Gadis ini dinyatakan hilang sejak sebulan yang lalu. Kalau mengingat waktu ditemukannya mayat wanita yang-
tubuhnya terburai dan terpotong beberapa bagian minggu lalu, cocok sepertinya," ujar Vin. Ia menyampaikan semua informasi yang didapatnya dengan penuh semangat kepada Alfa.

"Lalu, hasil identifikasi Gloria bagaimana?" tanya Alfa.
"Glow bilang dia hanya mampu mengidentifikasi bahwa darah yang tertulis pada pesan kematian itu, dengan darah pada mayat adalah darah yang berbeda. Sepertinya batu itu tidak berasal dari TKP dan sudah disiapkan dari sebelum mayat tersebut dibuang.
Selajutnya Glow hanya menyampaikan catatan kematian singkat tentang perkiraan kematian dan kondisi mayat," jawab Vin. Air mukanya mendadak sangat berbeda ketika membahas hasil identifikasi Gloria.

"Tidak ada keterangan lain? Tidak. biasanya Glow memberikan analisis sesederhana-
ini. Penyebab kematiannya apa?" Alfa tampak tidak puas.

"Glow menolak memberikan informasi lebih lanjut. Sekarang dia sedang cuti dan pulang ke kampung halamannya," jawab Vin.

"Aneh sekali! Bagaimana bisa dia ...."
"Al, sudahlah. Gloria sakit, dia ingin pulang dan dirawat orang tuanya di kampung halamannya," potong Vin.

"Serius? Mendadak sekali?" Alfa nampak curiga.
"Gloria demam tinggi setelah mengidentifikasi mayat itu, Al. Bahkan berhari-hari kemudian demamnya tak kunjung turun dan dia memilih untuk pulang kampung," Vin menjelaskan dengan suara lirih hampir tak terdengar.
"Tapi mengapa? Ada apa? Bagaimana bisa seonggok tubuh tak bernyawa bisa membuat Gloria sakit? Apakah teridentifikasi virus atau bakteri tertentu pada mayat itu?" Alfa masih berusaha menggali informasi. Nalarnya tak bisa menerima penjelasan Vin yang terkesan ganjil.
"Apa kau tak merasakan hal ganjil yang tak nyaman selama menangani kasus ini?" Vin bertanya, kembali dengan suara lirih hampir tak terdengar.

"Maksudmu Vin?"

"Krr ... krraagraw. kr ...siapa yang terlibat harus mati! Mati kalian! Mati! Mati! Mati! Argh! Gr ... argh ... ssshhh!"
"Vin ..., hei Vin! Kau baik-baik saja?" Alfa mengguncang tubuh Vin yang sempat menegang dan histeris, lalu ambruk dalam pelukannya.

"Ng ... ngh, air, aku ingin minum. Tenggorokanku ... uhuk .... uhuk ... hoek!" Tiba-tiba Vin memuntahkan darah segar dari mulutnya.
"Vin ... hei, are you okey?" Alfa nampak panik meraih botol air minum di meja. Kemudian ragu ia mendekati tubuh Vin yang bersimpuh di lantai dan memuntahkan banyak darah. "Vin ... Vin ... kau kenapa?"
"Hoek! Hoek! Uhuek ... uhuk ... hoek!" Vin masih terus memuntahkan banyak darah dari mulutnya. Darah berwarna hitam pekat dan berbau anyir.
Bab 4. Pesan Kematian Mayyang

Seorang wanita tua berumur lebih dari setengah abad duduk di hadapan Alfa dan Vin. Dari pembawaannya yang lemah-lembut dan elegan, menunjukkan bahwa beliau bukan wanita sembarangan. Vin bahkan tak berani mengangkat kepalanya sedari tadi. Ia hanya-
menunduk dan bersembunyi di balik tubuh Alfa.

"Kamu pasti lelah, sini, kemarikan tanganmu, Nak," wanita itu berusaha meraih tangan Vin.

Vin memberikan tangannya takut-takut.
"Tenang, tak apa. Ibu tahu apa yang kamu alami. Setelah ini, baik Mayyang maupun orang itu, tak akan ada lagi yang mengganggumu, Nak," kata wanita itu lembut sambil mengelus tangan Vin.

"Orang itu? Mayyang? Apa maksud Ibu?" Alfa tak paham sama sekali dengan pembicaraan wanita-
itu.

"Kamu sedang menangani sebuah kasus besar yang berbahaya, Nak. Sudah, hentikan saja penyelidikan dan tutup kasusnya," wanita itu berbicara sambil menatap tajam ke arah Alfa.
"Jadi maksud Ibu, apa yang terjadi pada Vin disebabkan kami menangani kasus ini? Bagaimana bisa sesosok mayat menyebabkan semua kekacauan ini terjadi?" Alfa tak habis pikir.
"Ada hal-hal metafisika di luar nalar yang tak akan bisa dijelaskan. Mayyang adalah korban yang ditumbalkan. Lalu si pelaku tak ingin kejahatannya terungkap," jelas wanita itu.
Rahang Alfa mengeras, sungguh akal pikirannya tak bisa menerima penjelasan wanita itu. Belasan tahun berkecimpung menangani kasus pembunuhan dan kematian misterius selama ini, tak ada yang tak bisa diselesaikan dengan logikanya yang tajam. Alfa adalah seorang jenius dengan-
insting detektif yang tajam.

"Ibu tahu apa yang ada di benakmu, Nak. Jangan sampai ego dan logikamu itu membuatmu kehilangan kedua sahabatmu," wanita itu seolah bisa membaca apa yang ada di pikiran Alfa.
"Jadi Gloria juga sakit karena ...? Tapi bagaimana mungkin?" Alfa masih terus menuntut penjelasan.

"Sudah, hentikan kasus ini. Pulanglah dan kuburkan mayat Mayyang dengan layak. Ibu akan membuat pengajian disini untuk mendoakan arwahnya agar tenang."
Wanita itu menutup percakapan dengan Alfa. Merapalkan beberapa doa lalu meniupkan nafasnya pada sebotol air dan memberikannya pada Vin.
"Minumlah hingga habis, lalu banyak dekatkan diri pada Tuhan. Kebajikan akan kembali kepada pemiliknya, keburukan akan berbalik kepada pembuatnya," kata wanita itu. Lalu sambil tersenyum ia memberikan botol air minum itu pada Vin.
"Ayo, kita pergi." Vin menggandeng Alfa untuk segera meninggalkan tempat itu.

"Satu hal, saya ingin menanyakan satu hal!" Alfa bangkit berdiri, hendak pergi, namun terhenti karena gelombang penasaran dalam dirinya yang belum terpuaskan.
Wanita itu tersenyum penuh arti, sambil memandang Alfa. "Apartemen Gedung 4, lantai 7, kamar nomer 93," bisiknya masih sambil tersenyum.

Alfa dan Vin kemudian bergegas pergi.
Bab 5. Telepon

"Kau yakin akan baik-baik saja? Tak ingin kutemani sebentar?" tanya Alfa saat mengantarkan Vin pulang.

"Tidak usah, ada Ran di rumah. Kau pulanglah, hati-hati," tolak Vin.
"Baiklah, besok akan aku jemput. Kita berangkat ke kantor bersama," kata Alfa. Ia bersiap menjalankan mobilnya sebelum sekelebat bayangan hitam menerjang kaca depan mobilnya.
"Kraw ... meong!" Seekor kucing hitam jatuh tepat di depan kaca mobilnya. Lalu si kucing melompat turun dan menghilang di kegelapan.

"Al, jangan penasaran! Jangan pergi ke tempat itu!" Vin memicingkan pupil matanya sambil menatap lurus ke arah Alfa.
Alfa tertegun, netranya lurus menatap Vin yang sedang balas menatapnya nyalang.

"Al, this is not the things you can handle!" Vin memberi penekanan yang cukup keras pada kalimatnya.
"Beristirahatlah, Vin, kau terlalu lelah," Alfa menjalankan mobilnya. Dari kaca spion Alfa bisa melihat Vin masih terpaku menatap mobil Alfa yang berjalan menjauh.
Ada desir rasa ngeri menjalari tubuh Alfa sepanjang perjalannya pulang. Kuduknya meremang sudah sejak pulang bersama Vin dari rumah wanita tua tadi. Sungguh, seumur hidup Alfa tidak pernah mengalami rentetan kejadian ganjil semacam ini.

"Ring ... ring ...!" Gawainya berbunyi.
"Hallo, Glow? Tunggu sebentar," Alfa menjawab telepon sambil memasang handsfree. "Ya ada apa Glow? Kau sehat?" tanyanya kemudian.

"Al, Kau dimana? Uhuk ... uhuk ...!"
"Aku baru saja mengantar Vin pulang. Sekarang sedang dalam perjalanan ke flatku," jawabnya.

"Al, jangan kembali ke flatmu. Pergilah ke keramaian, toko yang buka 24 jam atau apapun. Jangan pulang!" Gloria nampak panik dan memberikan penekanan pada kalimat terakhirnya.
"Hei, what's up Glow? Kau membuatku bingung!"

"Please, turuti kata-kataku. Jangan pulang, lalu besok pagi mampirlah ke lab untuk mengambil file yang aku simpan di folder rahasia kita," Gloria terus mengingatkan Alfa untuk tidak pulang. Nada suaranya terdengar sangat panik dan-
cemas.

"File ... folder ...? Okei, aku tahu?"

"Uhuk ... uhuk ... lalu, mayat itu ... ada baiknya Kau bakar saja. Lakukan kremasi dan bakar jenazahnya," suara Gloria terdengar sangat lirih.
"Hah? Apa maksudmu, Glow?" Alfa nampak bingung.

"Uhuk, musnahkan mayatnya, Al. Jangan meninggalkan jejak sedikitpun. Hiks ... hiks ...," terdengar suara tangisan Gloria di ujung sana kemudian.
Isak tangis Gloria membuat jantung Alfa perih serasa teriris. "Hei, Glow! Apakah kau menangis? Ada apa?"

"Hiks, hiks ... hiks, lakukan saja. Lakukan saja semua yang aku katakan padamu," pinta Gloria. "Sungguh hiks ... hiks ..., kita tak boleh menyisakan mayatnya barang-
sedikitpun. Aku mohon, akhiri saja semuanya, hiks ... hiks ...."

"Bip!" panggilan berakhir.
Bab 6. Insiden

Mata Alfa mengerjap, lalu nanar memandang langit malam nan gelap. Kepalanya terasa amat berat, pening dan berkunang-kunang. Rasa sakit menusuk-nusuk di sekujur tubuhnya. Beberapa anggota tubuhnya yang terluka berdenyut dan mulai mengeluarkan darah.
"Vin ... tolong aku," rintihnya lirih nyaris tak berenergi. Perlahan ia berusah melepaskan sabuk pengaman, masih teringat meraih ponselnya yang menempel di dekat dashboard, lalu merangkak keluar dari mobil dengan sisa-sisa tenaga. Lambat laun kesadarannya semakin berkurang.
Mobilnya yang terbalik dan menabrak pohon di sisi kiri jalan, dibiarkan begitu saja tak jauh dari tempatnya terlentang menahan sakit. Entah bagaimana Alfa bisa selamat dari kecelakaan tunggal yang baru saja dialaminya.
Sudah berapa saat lamanya Alfa terkapar hingga hampir kehilangan kesadaran sampai akhirnya Vin datang.

"Alfa!" Vin tergesa-gesa berlari ke arah Alfa. "Mobil derek dan polisi akan datang sebentar lagi. Aku sudah meminta mereka untuk membereskan kecelakaan tunggal yang baru saja-
Kau alami," lanjut Vin.

"Arrgghhh, Vin. Maaf aku mengganggu tidurmu," kata Alfa sambil mengerang, menahan sakit.

"Kau tak apa? Ayo kita ke rumah sakit, tubuhmu terluka," Vin memperhatikan beberapa bagian tubuh Alfa yang berdarah.
"Aku tak apa! Vin, makhluk apa sesungguhnya yang sedang kita hadapi?" Alfa menatap lurus ke arah Vin, menuntut sebuah penjelasan.

"Apa yang terjadi?" tanya Vin.
Alfa nampak terdiam beberapa saat sebelum melanjutkan kalimatnya. Netranya memandang sekeliling yang gelap dengan penuh kengerian. Lalu tangannya menggenggam erat tangan Vin. "Vin, perhatikan dengan seksama," Alfa memandang lurus ke dalam pupil mata Vin sambil tetap menggenggam-
tangannya.

Alfa memberikan Vin pandangan apa yang dialaminya beberapa saat lalu. Mulai dari ketika Alfa menerima telepon dari Gloria. Hingga kecelakaan itu terjadi.

***
Alfa meletakkan earphonenya setelah mendapat telepon dari Gloria. Ada gelombang penasaran, ketika Gloria memutuskan pembicaraan sambil menangis. Tapi pikirannya terlalu lelah untuk menerka-nerka dan berspekulasi.
Alfa mematung, gurat kengerian nampak jelas di raut wajahnya. Pupilnya membesar, nafasnya tercekat saat tangan itu bergerak mencengkram lehernya semakin lama semakin kencang. Membuat Alfa kesulitan bernafas sehingga tak dapat mengendalikan kemudi mobilnya.
"Heungh ... argh! Argghhh! Ugh!"

"Ckittt! Bruak! Bruak! Srtttt ... Bum!" Alfa mengerem mendadak, tak kuasa mengendalikan kemudi. Mobilnya menabrak pembatas di kanan jalan, lalu terbalik dan terseret beberapa meter hingga menabrak pohon di bahu jalan sebelah kiri.
Bab 7. File 1909

Bau apak dan pengap menjalar ketika Alfa membuka pintu. Entah sudah berapa lama laboratorium forensik pribadi milik Gloria tak terjamah manusia.

"Sshhh, sejak kapan mereka jadi seganas ini?" bisik Vin lirih.

"Ada apa Vin?" tanya Alfa.
"Tak apa, Al! Cepat ambil file di komputer Gloria. Aku akan mencari dimana mayatnya tersimpan," suara Vin masih nyaris tak terdengar.

Alfa mengangguk, segera berjalan setengah berlari ke ruang kerja Gloria. Sepanjang lorong kuduk Alfa meremang. Udara di sekitarnya pengap dan-
membuat nafasnya sesak.

"Hei, mengapa ada noda darah seperti bekas terseret di sepanjang lorong?" batin Alfa ngeri. Intuisinya mengatakan ada yang tak beres dengan laboratorium sahabatnya ini selama ditinggalkan pemiliknya.
"Bip!"

Alfa membuka pesan aplikasi obrolan di gawainya, "Al, segera ambil filenya dan ayo kita pergi."

"Segera Vin." Singkat Alfa membalas pesan Vin.
Alfa bergegas menuju ruangan data Gloria. Menyalakan komputer satu-satunya di ruangan itu dan bersiap menyalakan koneksi di gawainya untuk menerima file.

"Krrrrr ... krr ... grrr ...!" sepasang mata dengan nafas memburu mengamati dari celah sebuah sudut gelap.
"Al, cepatlah! Mereka datang!" Notifikasi chat dari Vin membuat proses pengiriman file tertunda.

"Shit! Bersabarlah Vin, kau membuat suasananya semakin mencekam!" gumam Alfa kesal.
Alfa bergegas membuka beberapa file di desktop komputer Gloria. Mencari file dengan kode rahasia perpaduan tanggal lahir mereka 19-09. Gloria meletakkannya sangat tersembunyi memang. Sebuah kode file yang hanya diketahui oleh Gloria dan Alfa saja.
"Krr ... krr ... grrrr ... krrr ...!" Makhluk itu masih mengintai dengan nafas memburu yang semakin liar.

"30% ... 34% ... 45% ...." Proses transfer datanya berjalan sangat lambat.
"Graw! Grrrw! Krrr!" Suara eramannya mulai terdengar di telinga Alfa.

"Come on! Cepatlah!" Alfa mulai merasa tak tenang. Instingnya mengatakan ada bahaya yang sedang mengintainya.

"63% ... 68% ... 72% ...."
"Grrrraaaawwww!" Sekelebat bayangan hitam melompat tepat di sisi Alfa. Membuat Alfa sontak menghindar dan berputar. Alfa tak bisa melihat makhluk apa itu. Hanya tubuh dan instingnya yang merasakan adanya mahkluk lain tak kasat mata di sekitarnya.
Keringat dingin membasahi tubuh Alfa. Lukanya yang hanya sempat diobati seadanya di klinik semalam, mulai nyeri hinga menusuk-nusuk ke tulangnya. Gelombang kengerian entah dari mana mulai menjalarinya. Membuat tubuhnya menggigil ketakutan.

"83% ... 87% ... 90% ...."
"Al!" Vin memeluk tubuh Alfa yang meringkuk ketakutan. Mengusap matanya sambil merapalkan doa. "Kau bisa melihatnya?" tanyanya kemudian.
Alfa mengangkat kepalanya. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Netranya kemudian terfokus pada sosok yang sedang menyeringai penuh kengerian di sudut ruangan. Entah makhluk apa itu? Yang Alfa tahu, ia dan Vin harus segera pergi dari ruangan ini!
Bab 8. Kembali

Gloria menapakkan kakinya sekali lagi di kota ini. Meski ketika pulang kemarin ia merasa tak ingin kembali dan akan mengakhiri saja pekerjaannya sebagai dokter ahli forensik. Tetapi nalurinya berkata ia harus kembali dan menyelesaikan semuanya.
Ia tak ingin menjadi pengecut yang membiarkan teman-temannya berjuang sendirian menyelesaikan kasus ini.

"Sesuai aplikasi, Bu?" Supir taksi online pesanannya bertanya sekedar formalitas.
"Iya, Pak. Sesegera mungkin ya, Pak," pinta Gloria. Perasaannya mendadak tidak enak. Gloria tahu, adalah sebuah kengerian tak berujung ketika ia kembali memutuskan untuk terlibat dalam kasus ini.
"Kau dimana?" Gloria mengetik chat singkat pada Alfa.

Lama, tak ada balasan chat dari Alfa.

"Vin, kau bersama Al?" Gloria ganti mengirim chat pada Vin.

Sama, lama Gloria menanti. Tetap tak ada jawaban.
"Pak, bisa agak cepat menyetirnya? Sepertinya saya harus sangat buru-buru," pintanya sedikit memaksa. Nalurinya berkata ada yang tidak beres.
"Saya usahakan secepatnya, Bu." Beruntung sopir taksi online itu cukup sigap mengemudikan kendaraannya. Meski ditengah kemacetan, mobilnya bisa cekatan menesup diantara kendaraan lainnya.

"Uhuk ... uhuk ... uhuk!" Batuk beruntun yang menyakitkan kembali menyerang Gloria.
"Ibu baik-baik saja? Tidak mau saya antar ke apotek dulu untuk membeli obat batuk, Bu?" tanya sopir itu sopan.

"Tidak, Pak. Uhuk ... uhuk ... uhuk ...! Saya tidak apa-apa!" ujar Gloria. Meski batuknya semakin menyerang, Gloria berusaha bertahan.
"Ini air doa, bawalah bersamamu. Mungkin akan bisa menetralisir hawa negatifnya. Berhati-hatilah, ini bukan sesuatu yang bisa dilawan hanya dengan kekuatan logika berpikir semata. Yakinlah hanya Tuhan memiliki kekuatan tak terbatas. Tuhan berkuasa atas segalanya." Begitu pesan-
Opungnya sebelum meninggalkan Gloria di airport beberapa jam yang lalu.

Gloria segera membuka tasnya. Menemukan sebotol air mineral yang telah didoakan pemberian opungnya.

"Glek ... glek ... glek!" Gloria bergegas menenggaknya.
"Uhuk ... uhuk ... ehem! Uhuk ... uhuk ...!" Gloria masih terbatuk-batuk meski tidak sesakit tadi.

"Bu, ibu yakin tidak apa-apa?" Sopir taksi online itu nampak cemas melihat Gloria tidak berhenti terbatuk-batuk.
"Uhuek! Krk! Hoek! Cuih!" Gloria berusaha mengeluarkan dahak yang mengganjal di tenggorokannya pada sebuah tisu.

"Ehem, saya tidak apa-apa, Pak. Lanjut saja jalan dan segera tiba di lokasi," jawab Gloria berusaha setenang mungkin.
"Yah, baiklah kalau begitu," kata Sopir itu. Ia melirik spionnya beberapa kali untuk memastikan Gloria baik-baik saja.

Gloria sempat tersenyum tipis membalas lirikan sang sopir. Lalu menunduk, membuka tisu bekas dahaknya dan memperhatikan apa yang ada di sana.
Darah! Sebercak darah berwarna merah pekat dengan lendir kental berwarna hitam.
Bab 9. Hilang

Makhluk itu masih mengintai. Meski beberapa kali serangannya berhasil dihalau Alfa, tidak membuatnya mundur atau melemah sedikitpun. Mulutnya mengeram, air liur menetes-netes dari sela-sela taringnya.

"Krrr ... krrr ... graw!"
"Vin, apa yang harus kita lakukan?" ujar Alfa tak tenang sembari melirik proses transfer file dari komputer Gloria.
"Al! Aku hanya indigo dan sedikit bisa mendapat pandangan atas sebuah kejadian. Bukan orang sakti, berilmu kebatinan yang tahu segala hal," ucap Vin gusar. Matanya tak melepaskan pandangan dari mata sang makhluk.

"Krrr ... krrr ...!"
"Kau punya anjing, Vin. Maksudku, kau bisa meredakan amarah anjingmu ketika ia sedang tak terkendali." Alfa benar-benar tak habis pikir dengan semuanya. Gelombang kengerian di ruangan ini membuatnya hilang akal.
"Seekor chihuahua terlalu menggemaskan untuk dianggap liar, Al!" Vin nampak kesal.

Makhluk itu mengeram kembali, mengambil posisi untuk bersiap melompat dan menerkam.
Alfa mengambil apapun yang ada di sekitarnya untuk melindungi diri. Satu hal yang pasti, ia tidak boleh kalah. Pesan Gloria harus diselesaikan. Terlebih, ia terlalu penasaran untuk mengubur semuanya begitu saja. Setidaknya kalaupun harus berbuat demikian, Alfa ingin tahu apa-
yang Gloria sembunyikan dalam file rahasia mereka.

"Grrrraaaaaw! Grrraaaaw!" Makhluk itu mengeluarkan suara siap menerkam. "Grrraaaawwwww!"

Dalam satu gerakan Alfa berusaha menghalau serangannya. Ia melemparkan setumpuk kertas hingga berhamburan dan mengacaukan fokus-
serangan. Gagal!

Makhluk itu menerjang Alfa. Melukai lengan Alfa dengan cakarnya. Kemudian berusaha menggigit dan mencabik-cabik tubuh Alfa. Makhluk itu menyerang semakin membabi-buta. Seolah berusaha agar Alfa dan Vin tidak bisa membawa pergi file tersebut.
"100% transfer completed!"

"Vin! Al!" Gloria muncul dari pintu masuk dan memekik tertahan melihat kedua sahabatnya tengah bergumul melawan yang tak dapat dilihatnya.

"Jangan kemari, Glow!" pekik Vin tertahan sambil masih berusaha menjauhkan Alfa dari makhluk itu.
"Byur!" Gloria menyiramkan air doa yang di bawanya ke sekeliling ruangan.

"Kraw! Krrr!" Makhluk itu melemah terciprat air doa. Beberapa bagian tubuhnya nampak melepuh sehingga serangannya melemah.
Alfa menendangnya menjauh dalam satu hentakan. Menggandeng Vin untuk berlari ke arah Gloria.

"Bum! Klik!" Mereka berhasil keluar dari ruangan itu dan mengunci ruangannya dari luar.
"Kalian tak apa?" tanya Gloria memastikan kedua sahabatnya baik-baik saja.

"I'm fine. Vin, are you okay?" Alfa menoleh pada Vin.

"Ya, aku baik-baik saja. Glow? Kau?"
"Kita harus melawan dan membereskan semuanya, Vin." Glow menjawab rasa penasaran Vin.

"Kau yakin tak apa?" Vin seolah paham.

"Ada apa?" Alfa nampak bingung.

"Enough! Kita tak punya banyak waktu." Gloria mengingatkan.
"Baiklah! Kau berhutang penjelasan padaku, Glow!" Alfa mengalah.
"Mayat, dimana mayatnya?" Gloria nampak sangat tidak sabar. "Vin? Kau berhasil membakar mayatnya dalam ruang kremasi?" tanya Alfa. "Mayatnya hilang.," jawab Vin lirih.Kengerian luar biasa terpancar jelas diwajahnya.
Bab 10. Genting

Gloria, Alfa dan Vin bergegas menuju ruang penyimpanan mayat. Suara sepatu mereka yang beradu dengan ubin lantai terdengar menggema di sepanjang lorong.

"Jeduar! Jeduar! Bum!" Suara dentuman dari pintu ruang data masih terdengar. Makhluk buas itu sepertinya-
masih agresif dan memaksa untuk keluar.

"Cepat! Cari mayatnya lalu kita bakar!" Alfa memerintah kedua sahabatnya untuk bergegas, ketika mereka tiba di ruang autopsi dan penyimpanan mayat.
"Aku sudah mencarinya di semua laci mayat tapi tak ada," kata Vin.

"Aku meletakkannya di laci nomer 6. Masih terbungkus kantung jenazah tapi sudah aku siram formalin agar tidak cepat membusuk," jelas Gloria. Tangannya dengan cekatan membuka laci mayat nomer 6. Kosong!
"Kemana? Siapa yang memindahkan mayatnya? Bagaimana dan untuk apa?" Alfa nampak sudah sangat kesal dan kehilangan akal sehatnya.

Vin dan Gloria saling bertukar pandang lalu sama-sama bergidik ngeri.

"Vin, kau tidak mendapat pandangan apa-apa?" tanya Alfa.
Vin menggeleng lemah setelah menyentuh beberapa tempat sambil memejamkan mata. "Ada sesuatu yang jahat sedang mengelabuhi kita disini. Energi itu terlampau kuat sehingga mengaburkan jejaknya," jelas Vin.
"Klang! Klang! Klang!" Alfa membuka setiap laci penyimpanan mayat dengan tak sabar sekali lagi, sehingga menimbulkan suara berisik dari besi yang bergesekan.
"Yakinlah hanya Tuhan memiliki kekuatan tak terbatas. Tuhan berkuasa atas segalanya." Gloria tiba-tiba teringat pesan opungnya sebelum perpisahan di bandara kemarin.
"Al, Vin, mungkin kita memang berbeda keyakinan. Tapi mari kita berdoa dengan kepercayaan kita masing-masing agar Tuhan menolong kita." Gloria menggenggam tangan kedua sahabatnya.

"Aku atheis, Glow!" Alfa menolak.
"Maka mulai sekarang, Kau harus percaya bahwa Tuhan dan segala hal yang bagimu tak nyata pun tak masuk akal itu ada!" Gloria menjawab tajam.
Alfa menatap Gloria tajam. Logikanya ingin mendebat sahabatnya itu dengan sangat keras. Tapi jauh di sudut hatinya yang beku, Alfa percaya apa yang dikatakan Gloria benar. "Baiklah ... terserah saja, Glow." Alfa menyerah pasrah.
Mereka bertiga membuat lingkaran, memejamkan mata dan mulai berdoa dengan keyakinannya masing-masing.

"Ugh!" Ditengah doa Vin melenguh tertahan.
"Ssssshhhhh ... ssssshhhh ...!" Entah apa itu, yang jelas mereka bertiga merasakan ada energi dingin yang bergerak mengitari mereka. Seperti ular yang sangat panjang meliuk-liuk membelit mereka bertiga.
"Tetap fokus pada doa kita masing-masing!" Gloria tegas mengingatkan agar jangan ada yang putus berdoa.

"Aaarrrrgggghhhhhh!!! Tidak ... aku mohon, Tuan. Aku mohon jangan bunuh aku!" Sayup-sayup sebuah suara lirih terdengar.

"Ugh!" Lagi-lagi terdengar suara Vin melenguh.
"Sshhhh ... ssshhhh ... mati ... kalian akan mati ... sssssshhhh ...."

"Bruk!" Tubuh Vin ambruk kehilangan kesadaran.
Bab 11. Diambang Batas Nyata dan Imagi

"Kalian bertiga harus dinetralisir! Terlalu banyak hawa negatif yang menempel dan memberatkan. Lupakan Mayyang, tinggalkan semua misteri yang masih melingkupinya!"
Alfa terdiam membisu, dia begitu shock. Netranya menatap Vin yang terbujur tak berdaya dihadapannya.

"Apakah Vin akan baik-baik saja?" Gloria yang nampak paling tegar memberanikan diri bertanya.
"Ya, dia akan baik-baik saja. Tapi butuh waktu yang cukup lama untuk memulihkannya. Energinya terkuras habis," jawab wanita itu.

Ibu Wijaya, begitu wanita paruh baya keturunan ningrat itu biasa dipanggil. Ia adalah salah satu manusia yang dianugerahkan Tuhan untuk berkemampuan-
menembus dunia yang tak kasat mata.

"Kami tak berhasil menemukan mayatnya! Bagaimana selanjutnya. Opung saya berkata, mayat itu harus dilenyapkan untuk memutus mata rantai kejahatan ini?" Gloria nampak sangat berapi-api. Ia begitu ingin menyelesaikan semuanya.
Satu tujuannya ketika memutuskan untuk kembali adalah menuntaskan kasus ini.

"Ya, beliau benar. Bisa, ibu pinjam tanganmu sebentar sayang? Ibu rasa kau juga terkena pengaruh negatifnya," Ibu Wijaya meminta tangan Gloria. "Pejamkan matamu dan sirnahkan egomu," pintanya kemudian.
Alfa memandang Gloria dan Ibu Wijaya yang berpegangan tangan dengan tatapan tak paham. Ia bergidik ngeri, ketika sesaat kemudian keduanya nampak mematung.

****
"Kau sekarang berada di dimensi lain yang tak nyata, Nak. Genggam erat tangan ibu, biar ibu yang membimbingmu," kata Ibu Wijaya sambil menggenggam erat tangan Gloria.
"Ini dimana? Mengapa saya dibawa ke sini, Bu?" Gloria sangat bingung. Tapi tak urung mengikuti juga genggaman tangan Ibu Wijaya.
"Kau lihat? Kabut hitam di ujung sana. Itu adalah akumulasi energi jahat yang membungkus mayat Mayyang. Tidak akan semudah itu mengambil dan memusnahkan mayatnya," ujar Ibu Wijaya. Suaranya masih lembut meski suasana sedang genting.
"Lalu apa yang harus kami lakukan?" tanya Gloria.

"Kau percaya Tuhan, Nak?"

"Ya, saya beragama. Saya pun seorang yang rajin beribadah dan berusaha selalu dekat dengan Tuhan," jawab Gloria.
"Baguslah, ibu bersyukur kau memiliki keberanian untuk kembali."

"Tapi, mengapa seolah mereka yang dalam kegelapan itu begitu kuat?" Gloria tak sabar untuk mendapatkan informasi.
"Hmmm, baiklah aku tahu kau begitu penasaran. Mari kita berdoa bersama sebelum melanjutkan perjalanan mencari jiwa sahabatmu yang tertahan," bisik Ibu Wijaya.

"Jiwa? Maksud, Ibu?"
"Ya, Vin sedang terombang-ambing dan terjebak dalam lilitan kegelapan sang ular," jawab Ibu Wijaya tenang.

Bahasa tubuhnya menunjukkan mereka tak punya banyak waktu,Gloria tak boleh banyak bertanya dan harus terus mengikutinya. Gloria pun membisu dan berjalan di samping beliau.
"Glow! Glow!" Sebuah bisikan halus terdengar di telinga Gloria.

"Vin?" desis Gloria.

"Rasakan, dia memanggilmu. Kau yang harus menuntun menuju jiwanya," bisik Ibu Wijaya.
Glow memejamkan mata sambil menggenggam erat tangan Ibu Wijaya. Mengikuti arah mata batinnya yang berbicara. "Vin ... cepatlah kembali, kami membutuhkanmu," bisiknya tak tenang.
Bab 12. Hitam dan Putih

Sudah sejauh ini Gloria dan Ibu Wijaya berjalan mengikuti suara Vin. Gloria sudah sangat lelah, langkah kakinya berat dan tubuhnya serasa bertambah berpuluh-puluh kilo setiap melangkah.
Peluh membasahi wajah keriput Ibu Wijaya. Beliau nampak tak kalah lelah dibanding Gloria. Wajahnya semakin lama semakin pucat.

"Berat, sungguh berat! Kita serasa dipermainkan. Mereka sepertinya murka," gumam Ibu Wijaya setengah berbisik.
"Hitam hanya mampu dilawan oleh putih. Gelap hanya akan sirnah dengan cahaya."

Sebuah bisikan yang sangat jelas terdengar di telinga Gloria. Entah ini hanya terdengar di telinganya saja, atau Ibu Wijaya pun mendengarnya.
"Opungmu, orang spesial juga, Nak. Ia hadir membantu kita," bisik Ibu Wijaya lagi.

Gloria berhenti melangkah, ia lalu duduk bersila dan mengajak Ibu Wijaya membuat lingkaran. "Kita panggil saja Vin untuk masuk dalam lingkaran ini, Ibu," pintanya.
Ibu Wijaya paham, beliau segera mengikuti apa yang Gloria lakukan.
"Lakukanlah, Nak! Di sini kaulah penuntunnya," bisik Ibu Wijaya.

Gloria menggenggam erat tangan wanita paruh baya itu. Memejamkan mata, membaca beberapa doa dan menyebut Vin dalam ingatan dan lisannya.
"Ssshhhh ... ssshhhh ... sssssshhhhh!" desisan sang ular mulai terdengar di telinga Gloria.

Bayangan imaginasinya terpecah pada bagaimana terakhir mereka merapalkan doa dalam lingkaran dan tiba-tiba tubuh Vin terjatuh lunglai tak sadarkan diri.
Gloria mendadak dilanda ketakutan. Ketakutan akan hal yang sama terulang kembali. Kali ini mungkin dirinya yang akan jatuh dalam kegelapan sang ular.

"Sssshhhhhhh ... sssssshhhhh!"
"Yakinlah, Nak. Teguhkan hatimu lalu kuatkan jiwamu," kata Ibu Wijaya dengan suara yang amat tenang. Beliau seolah tahu pergolakan batin dalam diri Gloria.
Gloria kembali berkonsentrasi, berusaha mencari suatu titik cahaya dalam kegelapan. Fokusnya kembali tercipta. Perlahan tapi pasti, ia bisa menemukan sebuah kilatan cahaya dan berusaha menemukan Vin.
"Vin!" pekiknya tertahan. Gloria melihat sosok Vin sedang membelakanginya.

"Kkrrrrrr ... kkkrrrrrr!"
"Vin, yakinlah ... mereka tidak dapat menyakiti jiwa-jiwa yang beriman. Kembalilah, Vin! Kalahkan kegelapan yang mengelilingimu," bisik Glow. Ia bergerak mendekati Vin, meski terselip ragu dalam hatinya. Gloria takut sosok itu bukan Vin.
Samar-samar Gloria mendengar Ibu Wijaya membaca doa-doa. Semakin lama Ibu Wijaya membaca doa, semakin banyak akumulasi kilatan cahaya yang hadir.

"Hitam hanya mampu dilawan oleh putih. Gelap hanya akan sirnah dengan cahaya."
Kembali Gloria mendengar bisikan itu. Bisikan suara yang semakin menguatkannya untuk segera keluar dari dimensi hitam dan putih ini.

"Aaarrrggghhhh!!!!" Vin nampak menjerit histeris.
Gloria mantap memeluknya, ia menjadi sangat yakin bahwa sosok yang dihadapannya adalah Vin.

Tubuh Vin bergetar hebat ketika Gloria memeluknya. Sebuah gelombang energi hitan yang sangat besar berusaha mengganggu dan memisahkan mereka.
"Argh! Aaaarrrgggghhhhhh! Tidak! Enyahlah kalian semua!" teriakan Vin terdengar menggelegar ditengah guncangan yang sangat dahsyat pada tubuhnya dan Gloria.
Meski demikian hebat gelombang energi hitam tersebut, Gloria tidak melepaskan pelukannya dari tubuh Vin.
Bab 13. Logika

Malam sudah semakin larut. Alfa terpekur kelelahan di samping tubuh Vin. Meski sesekali memejamkan mata mengusir lelah dan kantuk, tetapi pikirannya tak pernah tenang. Ia melirik Gloria dan Ibu Wijaya yang terpaku dalam kondisi duduk berhadapan, saling menggengam-
tangan.

"Argh!!!! Apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini!" batinnya lelah bercampur kesal.

File itu! Ya, Alfa teringat file yang baru saja diunduhnya dari komputer Gloria. Dibukanya formasi kunci di gawainya.
"Hai, Al! Seandainya kamu melihat file ini, mungkin aku sedang tidak berada di sampingmu. Mayat ini luar biasa Al. Tubuhnya terkoyak dan terpotong menjadi beberapa bagian tetapi organ dalamnya tak ada yang rusak."
Alfa memperhatikan dengan saksama video hasil autopsi yang dibuat Gloria. Sangat sabar dan teliti Alfa memperhatikan video berdurasi 30 menit itu.
Selanjutnya Alfa membuka file lainnya yang terdapat dalam folder 1909. Terdapat beberapa anasisis Gloria tentang kematian korban secara lengkap di dalamnya. Satu yang menarik adalah bahwa tulisan darah pada batu di pesan kematian tersebut bukan darah yang sama dari tubuh-
Mayyang. Seolah batu bertuliskan darah tersebut sengaja disiapkan sebelum membuang mayat tersebut.

"Ada yang meletakkan batunya di sana. Tetapi siapa? Dan Mengapa? Apa motif di baliknya? Lalu bagaimana mereka bisa membuang mayat itu di sebuah gedung tua?"
Alfa berpikir keras. Ia seolah tak ingin terlalu dalam berlarut-larut dalam situasi magis yang berbahaya ini.

***

"Ugh!" Tubuh Vin mengeluarkan suara.

"Vin!" Alfa segera bereaksi mendekati tubuh Vin.
"Ssshhh! Uhuek! Uhuk! Uhuk-uhuk! Huek!" Tak berselang lama Gloria yang tubuhnya mematung bersama Ibu Wijaya nampak tersadar sambil terbatuk-batuk.

"Glow!" Alfa berbalik mendekati Gloria.
"Syukurlah, kita kembali dengan selamat," Ibu Wijaya tersenyum sambil mengerjapkan matanya.

"Air ... ku mana, Al?" Gloria meminta Alfa mengambilkan air doa yang masih tersimpan beberapa botol di dalam tasnya.
Alfa dengan sigap mengangsurkan tas Gloria yang terletak tak jauh darinya.

"Glek! Glek! Glek! Ah ... syukurlah," ujar Gloria lega. Setelah mampu menguasai dirinya dengan sempurna Gloria segera mendekati tubuh Vin.
"Ngh ... Glow ... Al," lirih Vin bersuara. Matanya masih menyipit menyesuaikan dengan cahaya ruangan yang cukup terang.

"Syukurlah, kau sudah sadar, Vin," Alfa begitu lega. "Kau juga, Glow." Alfa menggenggam tangan Vin yang masih terlentang dan memeluk pundak Gloria.
"Kalian akan baik-baik saja," Ibu Wijaya tersenyum.

"Ugh! Ssshhh ...," Vin berusaha untuk duduk.
"Tidurlah saja, Nak. Energimu belum pulih benar.Malam ini, menginaplah disini. Ibu ingin banyak berbincang denganmu nanti, setelah kau benar-benar pulih," kata Ibu Wijaya. Ia membantu membetulkan posisi Vin agar tidurnya lebih nyaman.
"Kami, bisakah pulang dahulu?" tanya Gloria.
"Pulang?" Alfa nampak bingung.

"Ya, Al. Aku belum mandi dari sejak kemarin tiba di kota ini. Tubuhku sangat lengket dan aku ingin pulang untuk mandi sebentar," jelas Gloria.
"Pulanglah, biar saya yang menjaganya disini," Ibu Wijaya membolehkan.

"Kau akan baik-baik saja, Vin?" tanya Alfa masih khawatir.

Vin hanya tersenyum dan mengangguk lemah.
Bab 14. Opung

Gloria melangkah memasuki bangunan flatnya. Di belakangnya deru mobil Vin yang dikemudikan Alfa terdengar semakin menjauh. Ia tersenyum tipis, menenangkan hatinya. Meski masih banyak misteri kematian Mayyang yang belum bisa terpecahkan, tapi setidaknya untuk-
sesaat ia bisa bernafas lega.

"Selamat pagi," sapa seorang penghuni lantai dua.

"Hai, Nyonya Agnes. Apa kabar?" Gloria menyempatkan diri bersalaman dengannya.

"Baik, Glow. Sepertinya beberapa hari ini kau tidak terlihat, sedang sibuk?" tanya Nyonya Agnes.
"Iya, saya pulang kampung beberapa hari lalu," jawabnya. "Saya naik dulu, permisi."
"Ya, silahkan Glow. Eh, sebentar ... Glow, ada baiknya kamu meletakkan irisan bawang merah di beberapa sudut rumahmu," ujar Nyonya Agnes. "Bawang merah bagus untuk menetralisir ruangan dan memperbaiki kualitas udara," lanjutnya.
Gloria yang sempat terhenyak dan dihinggapi perasaan aneh hanya tersenyum dan mengangguk menanggapi saran Nyonya Agnes.

"Mungkin Nyonya Agnes tahu beberapa hari ini aku kurang sehat," batinnya sambil melangkah menaiki tangga.
Flatnya tidak memiliki fasilitas lift. Bangunan yang hanya tiga lantai membuat pihak pengelola mungkin malas untuk memberikan fasilitas tersebut.

"Bip ... pippp!" suara panggilan masuk ke gawainya membuat Gloria hampir terantuk anak tangga.
"Hallo, selamat pagi, Opung!"

"Kau baik-baik saja, Glow?" Opungnya nampak cemas.

"Ya, Opung. Aku baik-baik saja, terima kasih air doanya," jawab Gloria mengecilkan suaranya saat melihat seorang remaja yang hendak berangkat sekolah.
"Sampaikan terima kasihku pada Ibu Wijaya," ujar Opungnya di ujing sana.

"Klek!" Gloria membuka kunci pintu flatnya.
"Sebentar, aku masuk flat dulu," agak kerepotan Gloria menelepon sambil menjinjing barang bawaannya dan membuka pintu. "Ehem, jadi betul kata Ibu Wijaya? Opung membantu kami semalam?" tanya Gloria antusias.
"Menurutmu? Apakah Opung akan tega melepas dan membiarkanmu menyelesaikan masalah ini sendiri tanpa bantuan?" desis Opungnya sedikit emosi. Nada khawatir terhadap cucu semata wayangnya, jelas terdengar.
"Terima kasih Opung, tanpa bantuanmu aku tak akan seberani ini," kata Gloria sambil menghempaskan tubuhnya di kasur.

"Jangan lengah, Glow. Tetap dekatkan diri pada Tuhan dan lakukan apa yang Opung sampaikan padamu kemarin. Kau harus memperkuat pagar pertahananmu.
Mereka yang bersebrangan dengan kalian bukan lagi manusia. Kau dan kawan-kawanmu sedang berhadapan dengan jiwa-jiwa yang tergadai pada iblis!" Opungnya memberikan penekanan sangat berat pada setiap kalimatnya.
"Baik, Opung. Aku mengerti, kejadian ini membuatku semakin yakin bahwa Tuhan adalah sebuah sebuah entitas yang takkan tertandingi. Tetapi bagaimana mereka bisa tersesat begitu dalam?" Gloria masih penasaran.
"Iblis akan selalu menebarkan tipu dayanya. Ia akan selalu mengintai untuk menyusup pada manusia-manusia yang lemah iman," ujar Opungnya sebelum mengakhiri panggilan telepon dengan Gloria.
Gloria meletakkan gawainya di nakas, lalu memejamkan matanya. Membiarkan tubuh dan pikirannya beristirahat sejenak.
Bab 15. Seorang Sahabat

Alfa baru saja keluar dari kamar mandi dan masih membersihkan serta mengobati luka-lukanya, ketika gawainya berbunyi.

"Bip ... bip!"

"Hallo ... selamat pagi, Sir."

"Al, kau dimana?" tanya suara di sebrang sana.
"Aku baru saja tiba, Sir! Ada apa?"

"Datanglah ke kantorku. Ada sedikit masalah yang harus kita selesaikan!"

"Ada apa? Jelaskan sedikit padaku," pintanya.
"Sir, keluarga korban terus mendesak untuk melakukan penutupan kasusnya dan meminta pengembalian jenazahnya. Mereka bahkan sudah menelepon pengacaranya untuk mempercepat prosesnya."
Seseorang di dekat Kompol Alex, lawan bicara Alfa, telah menjelaskan situasinya dan tertangkap dalam pembicaraan telepon mereka.

"Kau, bisa katakan pada mereka aku akan segera menemui mereka," Kompol Alex meminta anak buahnya keluar ruangan dahulu."Halo, Al! Kau sudah dengar?"
"Ya, Sir. Aku paham situasinya. Aku segera ke tempatmu," jawab Alfa. Bergegas ia menyiapkan dirinya untuk pergi ke kantor sahabatnya itu.

Baru 10 menit mengemudi, kembali terdengar panggilan telepon dari Kompol Alex.

"Biippp ... biiippp!"
"Sir, aku sedang dalam perjalanan ke tempatmu," jelas Alfa. Ia ingin sahabatnya itu sedikit bersabar.

"Al, dimana jenazahnya? Apakah tak apa bila anak buahku mengambilnya di lab forensik sahabatmu?" Kompol Alex mengabaikan ucapan Alfa dan menyampaikan maksudnya.
"Hei, apa yang sedang terjadi? Mengapa begitu terburu-buru? Proses autopsi masih berjalan. Ada banyak kejanggalan dalam kasus ini!" Alfa mulai emosi.
"Keluarga korban terus mendesak untuk menghentikan kasus ini dan menguburkan jenazah. Aku sedang berusaha menahan mereka disini. Tapi pengacara keluarga ini datang dan memaksa," jelas Kompol Alex.
"Sir, aku sudah kepalang tanggung menyelesaikan kasus ini. Aku dan kedua sahabatku malah hampir meregang nyawa karenanya. Lagi pula, ada kondisi gawat yang belum aku ceritakan padamu," Alfa berusaha menjelaskan.
"Setidaknya biar mayatnya dikebumikan oleh pihak keluarga saja Al," desak Kompol Alex.

"Sir, maafkan aku! Mayat Mayyang yang tersimpan di dalam laci mayat laboratorium Gloria hilang," desis Alfa sambil bergidik ngeri. Kuduknya meremang saat itu juga.
"Apa? Hilang? Kau gila, Al! Bagaimana bisa?" Kompol Alex nampak sangat terkejut. Ia sedikit mengecilkan suaranya dan terdengar membanting pintu.

"Situasinya sangat rumit, Sir. Nanti aku jelaskan di kantormu. Aku akan tiba dalam 20 menit!"

"Klik!"
Alfa mengakhiri pembicaraan dan menutup telepon. Ia lalu memacu mobil milik Vin yang dikendarainya dengan cepat agar segera tiba di kantor polisi. Alfa tahu, ada situasi lebih rumit yang harus dihadapi Kompol Alex di kantor polisi.
Bab 16. Di Kantor Polisi

Suasana kantor polisi nampak ramai ketika Alfa tiba. Entah kenapa, seperti sedang ada syuting atau jumpa fans artis terkenal. Setelah memarkirkan mobil di tempat yang aman, Alfa bergegas menemui salah satu petinggi kepolisian yang juga merupakan sahabat-
baiknya saat masih berada di panti asuhan.

"Sir! Apa yang terjadi? Mengapa banyak wartawan di depan?"tanya Alfa dengan nada tidak suka.

"Entahlah, suasananya begitu kacau Al. Kemari, kita bicara di ruanganku!" Kompol Alex segera merangkul pundak Alfa dan menuntun ke ruangannya.
"Kau sudah sampaikan mayat Mayyang hilang, Sir?" bisik Alfa tak sabar.

"Kau Gila! Tentu saja tidak, aku tak akan bertindak sebodoh itu di situasi segenting ini! Jabatanku bisa dicopot sewaktu-waktu, Al!" Kompol Alex berbicara sambil setengah berbisik.

"Lalu ada apa?"
"Keluarga korban meminta kasus ini ditutup dan jenazah korban dapat dikembalikan saat ini juga. Mereka sudah menyewa pengacara, bahkan membawa-bawa media, agar hari ini juga mayatnya bisa dibawa pulang. Aku dan anak buahku sudah menenangkan mereka, kami baru saja merilis-
konfrensi pers agar pihak keluarga dan masyarakat bisa tetap tenang menunggu penyidikan kasus ini dilakukan," jelas Kompol Alex.

"Mereka mau menerima?" tanya Alfa.

"Sebagian keluarga dan awak media sudah pulang, sementara pengacara dan paman korban memilih menunggu disini untuk
memantau kelanjutan kasusnya. Mereka ingin diberikan informasi menyangkut perkembangan kasus dan hasil autopsi," lanjut Kompol Alex panjang lebar.

Alfa menghembuskan nafas berat.

"Lalu bagaimana dengan mayatnya, apa yang terjadi?" tanya Kompol Alex.
"Kasus ini bukan kasus pembunuhan biasa, Sir. Ada banyak kejanggalan yang sulit dijelaskan dengan logika. Aku, Vin dan Glow seolah dihantui sesuatu yang tak kasat mata semenjak kami menangani kasus ini," jelas Alfa. Matanya menerawang jauh, memutar kembali kejadian demi kejadian-
yang dialaminya bersama kedua sahabatnya.

"Hei, what's wrong with you, Al? Seorang Alfa yang selalu mengedepankan logika, tak percaya tahayul, bahkan hingga tak percaya adanya Tuhan, mengapa jadi selemah ini? Kecelakaan mobil kemarin,
tidak membuatmu mengalami gegar otak ringan bukan?" tanya Kompol Alex dengan tatapan mata meremehkan.

Alfa menjelaskan semua yang dialaminya bersama kedua sahabatnya kepada Kompol Alex.
Meski seluruh akal sehatnya tak bisa menerima, Kompol Alex percaya bahwa pria di hadapannya yang sudah dianggapnya adik sendiri itu tak mungkin berbohong.

"Dimana keluarga korban?" tanya Alfa.
"Mereka di ruang tunggu, kita bisa mengawasi mereka lewat CCTV. Kemari, lihatlah. Itu mereka." Kompol Alex menyalakan monitor di sudut mejanya dan meminta Alfa ikut mengawasi gerak-gerik segerombolan orang di ruangan lain.
"Hei, siapa wanita itu?" Mata Alfa tertuju pada sesosok wanita yang tertangkap kamera CCTV. Ingatannya seperti pernah melihat sosoknya. Namun entah dimana.
Bab 17. Keluarga Korban

Alfa bergegas berlari ke ruang tunggu. Namun sesampainya di ruangan tunggu, ia tak menemui sosok perempuan bertopi yang tertangkap kamera CCTV. Hanya beberapa pria yang beberapa mukanya seolah tak asing bagi Alfa.
"Kau yakin mereka benar-benar keluarga korban, Sir?" tanya Alfa pada sahabatnya itu, setengah berbisik.

Kompol Alex memberi kode pada Alfa untuk mengobrol di lorong saja. Alfa mengikuti saja kehendak sahabatnya itu.
"Mereka memberikan bukti-bukti yang tak mungkin bisa tertolak," jawab Kompol Alex. "Mereka bahkan sudah menyiapkan semuanya dengan sempurna untuk dapat membawa pulang jenazahnya saat ini juga," jelasnya.
"Aku curiga, mereka bukan keluarga korban," gumam Alfa. "Bisakah kita lakukan tes DNA?" tanya Alfa.

"Kau gila!"

"Tahan mereka sebisamu, Sir. Aku akan mencari bukti bahwa mereka bukan keluarga korban!" Alfa dan Kompol Alex tiba di lobby depan kantor polisi.
Alfa menepuk pundak sahabatnya yang terpaut jauh usia itu. Ia nampak terburu-buru, lalu bergegas menuju parkiran mobilnya.

"Kau mau kemana, Al? Hei, Alfa!" teriak Kompol Alex.

Alfa tak menggubris panggilan Kompol Alex. Ia terus melangkah meninggalkan gedung kantor polisi.
"Detektif Alfa!" seseorang memanggilnya di area parkiran mobil.

"Oh, hai Joe! Apa kabar? Kau sehat?" Alfa berbalik dan menjabat tangan seorang penyidik polisi yang menyapanya.
"Bisa kita bicara sebentar di dalam mobil saya?" tanya polisi bernama Joe itu dengan senyum smirk yang penuh arti. "Tolong aku 4793!" desisnya hampir tak terdengar.

"Oh, tentu." Alfa langsung paham dan mengikuti penyidik Joe.

****
"Saya curiga mereka yang datang bukan keluarga dari Mayyang. Gadis ini besar di panti asuhan. Saya menyelidiki riwayat gadis ini sehari setelah mayatnya ditemukan di gedung itu. Saya sempat kesulitan karena bahkan di apartemen tempat tinggalnya pun, tidak banyak orang yang tahu.
Mayyang adalah gadis introvert yang misterius," ujar penyidik Joe sedetik setelah ia mengunci pintu mobilnya.

"Kau sudah sampaikan itu pada atasanmu?" tanya Alfa.
"Sudah, tapi pihak keluarga korban mampu menunjukkan bukti akta kelahiran dan beberapa ijazah jenjang pendidikan Mayyang sehingga kedudukan mereka menjadi kuat," jelas penyidik Joe.

"Lalu, apa yang membuatmu yakin mereka bukan keluarga korban?" tanya Alfa tak sabar.
"Ini, coba kau lihat rekaman video dalam flaskdisk ini," bisiknya sambil secara cepat mengangsurkan sebuah flashdisk berukuran kecil kepada Alfa.

"Hei, kau dapat dari mana, Joe?" tanya Alfa terkejut.

"Apartemen Mayyang," jawab penyidik Joe setengah berbisik.
"Baik, terima kasih. Eh, mengapa tidak kita ...."

"Aku mengalami apa yang kau dan kedua sahabatmu alami. Semenjak menangani kasus ini, banyak kejanggalan terjadi dalam hidupku," potong penyidik Joe. Ia seolah tahu, Alfa ingin melihat isi flashdisk itu segera.
Seketika itu pula air mukanya langsung berubah. Gambaran kengerian demi kengerian yang tak bisa dijelaskan seolah tergambar jelas di wajah penyidik Joe.

Alfa pun bergidik ngeri mengingat apa saja yang telah dialaminya.
"Kau tahu? Semacam energi negatif sangat tinggi, yang bahkan mampu membuatmu seolah berhalusinasi dan menghadapi kengerian demi kengerian yang tak biasa," bisik penyidik Joe. Netranya menyapukan pandangan dari balik kaca depan mobilnya dengan panik.
"Okei, Joe! Aku mengerti, terima kasih atas informasimu."
Bab 18. Video

Alfa menyelinap pada sebuah lorong sempit yang dari luar nampak tak terpakai. Ia menyembunyikan ruangan itu dari siapapun sudah sejak pertama kali ia memulai pekerjaannya sebagai seorang detektif swasta. Bisa dibilang ruangan petak ini adalah kantor rahasianya-
ketika harus menyelesaikan kasus-kasus rumitnya selama ini.

Ruang kecil ini dilengkapi dengan beberapa audiovisual dan komputer tablet. Sebuah LCD dan proyektor memudahkan Alfa menganalisis bukti foto dan video sangat rahasia yang biasanya diperolehnya dari kepolisian.
"Ini kasus rahasia, Al. Top secret!" begitu Kompol Alex selalu memberi kode sehingga Alfa harus membuka barang buktinya di ruangan ini.

Alfa mulai memutar flaskdisk berisi video dari penyidik Joe tak lama kemudian.
"Namaku Mayyang, usiaku 23 tahun. Aku seorang pegawai magang di perusahaan multinasional X. Siapapun yang melihat video ini. Aku mohon tolong aku! Aku terjebak dan tidak tahu harus berbuat apa? Aku mulai membuat video ini dan akan terus membuat rekaman. Entahlah aku merasa-
sangat tidak aman dan seperti ada yang selalu mengawasiku dimanapun aku berada."

Seorang gadis muda, dengan bentuk fisik yang menarik, sedang live dalam sebuah video berdurasi tiga menit. Ia terlihat merekam videonya siang hari dalam kondisi kamar yang tertutup.
"Hari ini aku membantu Mr. Jeams membersihkan beberapa file di ruangannya. Aku tak nyaman, dan aku menemukan sebuah simbol yang aneh pada beberapa dokumennya. Aku tahu, dokumen itu pasti berhubungan dengan perkumpulan terselubung dalam perusahaan kami. Perkumpulan yang dilakukan-
setiap Kamis malam di atas jam 23.00 di roof top gedung kantor kami."

Videonya tak pernah berdurasi lama. Mayyang nampak selalu terburu-buru mengakhiri videonya.
"Aku tahu aku tak akan pernah selamat saat berhubungan dengan mereka. Sabrina menghilang pagi ini, aku tak melihatnya di meja resepsionis dan kawan kerjanya berkata ia tak memberi kabar sejak kemarin sepulang kantor. Ada yang aneh, aku melihatnya sangat ketakutan kemarin setelah-
keluar dari ruangan Pak Sapto."

"Ada yang menghilang sebelum Mayyang, tapi mengapa tak ada laporan? Bila pada sebuah perusahaan seseorang menghilang, harusnya pihak keluarga dan perusahaan melaporkan kehilangan," batin Alfa yang mulai tenggelam dalam logikanya.
"Sepertinya mereka mulai menyiapkanku sebagai korban berikutnya. Hari ini aku diminta membagikan booklet kepada peserta rapat di ruangan Direktur. Semua peserta yang hadir nampak bermimik dingin dan menyeramkan. Meski berusaha menyembunyikannya aku tahu, mereka semua diam-diam-
mencuri pandang dan meneliti penampilanku. Seorang wanita berambut putih malah menggenggam tanganku dan tersenyum smirk yang aneh. Aku takut!"

"Ada yang tidak beres dengan perusahaan multinasional X!" batin Alfa kemudian beralih pada video selanjutnya.
"Aku ingin pulang saja, ingin resign dan kembali tinggal di panti asuhan di kota J bersama anak-anak panti yang lain seperti dulu!"

Alfa menghentikan video lalu mengerjapkan matanya.

"Panti asuhan di kota J?"
Bab 19. Panti Asuhan

"Panti asuhan di kota J?" lonceng di kepala Alfa seolah berbunyi. Ia menelepon seseorang di kontak gawainya yang telah lama tidak pernah dihubunginya.

"Hallo, selamat siang," suara seorang wanita tua disana tampak sedikit bergetar.
"Ibu Mergie, apa kabar?" sapanya penuh kerinduan.

"Alfa ... ya Tuhan. Baik, Nak ... ibu baik-baik saja," jawabnya bahagia.

"Bu, bagaimana kabar Ivanka?" tanyanya.

"Gadis kecilmu baik-baik saja. Hanya semakin cerewet menanyakan mengapa daddynya tak pernah datang berkunjung,"
jelas Bu Mergie.

"Ah, aku ayah angkat yang buruk, hahahaha .... Titip Ivanka, Bu Mergie. Sampaikan padanya setelah kasus ini selesai, aku akan pensiun dan mengajaknya tinggal bersama sambil membuka gerai kebab dan minuman soda.
Seperti keinginannya dulu," Alfa berkata sambil tersenyum getir. Bayangannya menerawang pada kejadian tujuh tahun lalu ketika ia menitipkan seorang bayi perempuan pada sang ibu kepala panti tempat ia dan Kompol Alex dulu dibesarkan.
"Baiklah, Nak. Ivanka akan senang mendengarnya. Ngomong-ngomong, kau menelepon hanya untuk itu?" tanya Bu Mergie seolah paham bahwa seorang Alfa tidak akan menelepon di tengah jam kerja hanya untuk hal sepele.
"Ehem, baiklah ... Ibu memang paling paham. Begini bu, dua puluh tiga tahun yang lalu. Apakah ibu pernah menerima seorang gadis bernama Mayyang?" tanya Alfa to the point. Alfa tahu, Bu Mergie adalah orang dengan ingatan tajam. Ia akan ingat setiap anak yang diterima di pantinya.
"Mayyang? Sebentar! Sepertinya tahun itu kau berusia tiga belas tahun ya, Nak. Heemm ... tidak, tidak ada yang bernama Mayyang. Lagi pula seandainya memang ada dan tinggal bersama kita. Kau pasti akan mengenalnya," jelas Bu Mergie sambil mengingat-ingat.
"Betul bu, tapi ... tidak bisakah ibu ...."

"Baiklah ibu mengerti! Kau memang anak kesayangan ibu," potong Bu Mergie pengertian. Ia tahu, Alfa butuh dirinya untuk mencarikan informasi perihal gadis yang bernama Mayyang itu.
"Terima kasih sekali bu Mergie. Ibu memang yang terbaik. Saya sangat berterima kasih sekali pada ibu. Peran ibu dalam hidup saya melebihi seorang ibu kandung, " kata Alfa tulus.

"Kau sudah aku anggap seperti anakku sendiri, Nak. Tak apa," kata Bu Mergie.
"Ibu ... bisakah ibu berhati-hati saat mencari informasi mengenai hal ini? Kasus yang sedang saya hadapi sangat berbeda dengan kasus biasanya. Saya dan tim saya hampir meregang nyawa karenanya. Seperti ada sebuah entitas dengan energi negatif yang sangat tinggi sedang-
menyelimutinya," pinta Alfa.

"Baiklah, ibu akan berhati-hati. Kaupun jaga diri ya. Salam untuk Nak Alex juga," pesan Bu Mergie.

"Tok ... tok!" terdengar suara ketukan pintu.
Tapi siapa? Tidak ada yang tahu tempat ini dan keberadaan Alfa di sini selain dirinya sendiri. Tubuh Alfa menegang.
Bab 20. Mimpi

Vin terbangun dengan teriakan kencang. Ibu Wijaya yang sedang menyiapkan segelas air terkejut hingga memecahkan gelas itu.

"Shhhh ... aaaarrggghhhhh!!!! Tidak!" teriak Vin. Ia langsung histeris ketika terbangun dari tidurnya.
"Tenang, kau baik-baik saja, Nak." Sambil berucap Ibu Wijaya mengusap kepala Vin lembut.

"Aku melihatnya, Bu! Sungguh aku melihat bagaimana mereka semua membunuh gadis itu. Sakit! Sungguh menyakitkan!" Vin menangis histeris sambil memeluk erat Ibu Wijaya.
"Sshhh ... tenanglah, Nak. Semua hanya mimpi, hanya sebuah penglihatan yang tak selalu sama dengan kenyataannya," bisik Ibu Wijaya sambil mengelus rambut Vin berkali-kali.

"Huhuhu ... huhuhuhu ...," tangis Vin, meski tak lagi sehisteris sebelumnya.
"Tenangkan dirimu, Nak. Tenangkan dulu dirimu dan kuasai emosimu. Jangan biarkan mereka memermainkan kelemahanmu untuk memancing emosimu," bisiknya lirih di telinga Vin. Tak berapa lama Ibu Wijaya merapalkan beberapa doa sambil masih memeluk tubuh Vin dengan sebelah tangan dan-
mengelus rambut Vin dengan tangan yang lainnya.

"Air, aku mau segelas air, Bu," kata Vin kemudian sambil duduk meringkuk di tepian ranjang.

"Baik, sebentar ibu akan mengambilkannya lagi untukmu." Ibu Wijaya bergegas ke dapur untuk mengambilkan segelas air yang baru untuk Vin.
"Uhuk! Uhuk! Uhuk! Hoek! Hoek! Uhowek!" Vin lagi-lagi mengalami batuk dan muntah. Kali ini lendir berwarna merah pekat kehitaman itu tak lagi keluar. Hanya saja Vin merasa sangat kesakitan di bagian ulu hati.

***
Dalam mimpi Vin:

Aku melihat semuanya, awalnya samar-samar dalam kegelapan. Tetapi lama-lama mataku bisa menyesuaikan dalam kegelapan. Mereka berkumpul di sana, ada banyak manusia, juga mereka yang tak kasat mata. Seperti sebuah pesta, pesta penyambutkan sebuah entitas-
kegelapan dengan kekuatan yang amat besar.

Kudukku meremang sudah dari tadi. Tanganku terasa sedingin es dan pundakku sedikit menggigil. Aku berjalan mendekat dengan gerakan yang sangat halus, tak ingin menarik perhatian mereka yang sedang berpesta dan menjalankan ritualnya.
"Tidak ... lepaskan aku, tidak seharusnya kalian memperlakukan aku seperti ini!" teriak seorang gadis.

"Mayyang," bisikku nyaris tak terdengar.

Aku berjalan maju, mendekat, agar bisa melihat dengan jelas apa yang sedang mereka lakukan.
Seorang laki-laki bangkit dari kumpulan itu, mengusapkan tangannya pada sekujung tubuh Mayyang yang seolah lunglai dan tak bisa bergerak. Selanjutnya ia nampak komat-kamit merapalkan mantra.
Angin dingin berhembus kuat, tubuhku bahkan menggigil hingga gigiku gemelatuk beradu. Aku menarik lengan baju panjangku sambil melindungi pandanganku yang terganggu oleh hembusan angin yang semakin kencang.
Makhluk itu datang, dengan membawa kengerian yang luar biasa. Suaranya melengking menggelegar, hingga membuatku menutup telinga.

"Aaaaarrrrrrggggghhhhh!!!!" Mayyang menjerit pilu, seiring dengan tubuhnya yang terkoyak dan tercabik oleh cakaran makhluk yang tak kasat mata itu.
Bab 21. Sleep Paralyzed

Gloria tersentak bangun dari tidurnya. Ia meraih gawainya di nakas. Namun belum sampai berhasil meraihnya, Gloria mengerang karena kepalanya yang mendadak berdenyut-denyut sangat nyeri.

"Arghhhhh!"
"Jedhuar!" jendela flat Gloria tiba-tiba bergetar hebat seolah dihantam benda dengan kekuatan yang sangat besar hingga menimbulkan suara gaduh.

Mata Gloria menatap penuh kengerian, melihat pemandangan yang sedang terlihat dari jendela flatnya.
Di luar jendelanya tampak sangat gelap, hitam dan pekat. Lalu hanya sebuah bola mata yang terus menerus menatap lurus ke aranya dan membuat tubuhnya membeku. Tatapannya seolah mengunci Gloria sehingga tidak dapat bergerak.

"Heng ... engh ... ugh ... aahhhh!" bahkan mulutnya tak-
bisa berkata-kata.

Gloria terkunci! Tak dapat bergerak, pun berkata-kata. Perlahan tubunya terasa kaku, kemudian rasa dingin merasuk, menjalar ke setiap persendianya sehingga ia merasa ngilu.
"Engh ... ugh ... ugh ...!"

"Tuhan adalah satu-satunya pelindungmu!"

Sebuah suara lembut berbisik di telinganya.

Gloria memejamkan mata, lalu mulai membaca beberapa doa yang diingatnya. Memohon hanya pada Tuhan agar dibebaskan dari segala macam yang mengungkungnya.
"Krrrkkkkk! Kkkkrrrkkkk!"

"Sreekkkk! Sreeekkkk! Sreeekkkk!"

"Jedhuar! Blarrr! Jedhuar! Jedhuar?"

Entah apa yang sedang terjadi di kamarnya. Gloria masih terus membaca doa dengan mata terpejam. Air matanya menetes, sungguh tak pernah ia harus mengalami semua ini. Sangat-
ketakutan, tetapi tetap harus bertahan agar tidak kalah.

"Khik ... khik ... khik ... khik! Kau tak akan pernah bisa mengalahkanku anak ingusan! Jangan sia-siakan nyawamu!" Sebuah suara lain berbisik halus, tapi lugas memberikan penekanan pada setiap kalimatnya. Suaranya-
terdengar jahat dan dingin.
Gloria tetap tidak membuka mata. Hawa dingin yang menusuk membuat rasa ngilu di tulang-tulangnya semakin menyakitkan.

"Ikutlah denganku ... khik ... khik ... khik! Jadilah hambaku dan aku akan memberikan dunia dan seluruh isinya!" Kembali suara-
tersebut menggoyahkan iman Gloria.
Gloria tak putus membaca doa dan apapun yang ia ingat untuk di baca.

"Khaaahhhhhkkkk ... khak ... kak! Kau tak percaya padaku? Aku adalah anak iblis, bahkan Tuhanmu tak akan mampu menghentikanku! Haaahhh ... ha ... ha ...!" Makhluk entah apa-
itu masih terus membisiki Gloria lalu mengejeknya.

Gloria menangis, air matanya mengalir tak terbendung. Seluruh tubuhnya ngilu dan tak bisa bergerak. Seperti sedang mengalami sleep paralyzed tapi dalam dosis berkali-kali lebih menyakitkan.
"Dia tak akan mampu menyentuh dan mencelakaimu. Jangan takut!"

Tawa dari makhluk itu semakin menggelegar! Tawa dingin penuh kengerian yang akan membuat siapapun yang mendengarnya merinding.
"Aku harus kuat untuk mengalahkannya!" tekad Gloria. Ia mengumpulkan keberanian, lalu sambil tak putus membaca doa ia memberanikan diri membuka mata.

Kosong! Sepi! Tenang! Seolah apa yang terjadi beberapa saat tadi hanya sebuah ilusi saja.
Bab 22. Serangan

Alfa mematikan komputer yang sedang memutar video dari flashdisk Mayyang. Menarik flashdisknya segera, lalu dengan sangat perlahan mengkamuflasekan dirinya di balik sebuah tirai hitam.

"Bum! Bum! Jedhuar! Jedhuar!"
Bunyi pintu yang diketuk dengan sebuah kekuatan yang entah seberapa besar terdengar mengerikan. Baiklah, bukan diketuk, mungkin dihantamkan.

Alfa hanya diam dan memejamkan mata, berharap semuanya segera berakhir dan ia bisa pergi. Ia tak ingin terjebak sendirian bahkan mati di-
sini. Tidak! Janjinya pada Ivanka harus direalisasikan.

"Srekkkk! Sreeekkkk! Ssssrrreeekkkk!"

Terdengar suara gesekan seperti menggores pintu dan dinding luar ruangan rahasia Alfa tersebut. Seperti sebuah kuku yang sangat tajam sedang menggaruk-nggaruk tembok di sekeliling-
bagian luar ruangan.

Alfa teringat beberapa kamera CCTV yang sempat dipasangnya di luar ruangan beberapa tahun lalu. Apakah mereka masih berfungsi?
"Aku harus memastikannya," bisik Alfa dalam hati sebelum kemudian bergerak dengan sangat pelan dan hati-hati menuju komputer tempat kamera CCTVnya terhubung.

"Jedhuar! Jedhuar! Jedhuar!"
Suara itu masih terdengar. Seolah ada sesuatu yang sangat besar ingin masuk dan entah akan berbuat apa pada Alfa yang ada di dalam.

Untung Vin sempat memintanya memasangkan beberapa benda penolak energi jahat di sekeliling ruangan Alfa.
"Ini untuk menolak bala, Al. Percayalah, menjadi atheis tidak serta merta membuatmu terbebas dari hal-hal metafisika semacam itu. Mereka tetap ada, meski kau memilih untuk tidak percaya!"
Ia teringat, bagaimana ngototnya Vin meminta memasangkan simbol-simbol suci dalam agama yang dianut Vin itu. Kini Alfa paham apa maksud ucapan Vin ketika itu.

"Kau ada benarnya juga, Vin. Terima kasih," bisik Alfa sambil menyalakan monitor. Ia tak pernah mengalami, menunggu-
proses loading saja membuatnya setegang ini.

"Bhump! Blam! Jedhuar! Srekkkk ... sssrrreeeekkkkk!"

"Ting!" layar monitor mulai menyala dan menampakkan gambar luar ruangan dari beberapa sudut.

Kosong! Tidak ada apa-apa pun tak ada siapa-siapa!
Lalu apa yang menyebabkan suara berdebam, menggesek dan menggelegar itu? Bagaimana bisa, suara sekencang itu dan tidak ada apapun yang tampak melakukannya?

"Tap!" Sebuah layar dari sebuah kamera CCTV yang dipasang Alfa mati.
"Tap!" Layar dari CCTV yang lain mati.

"Tap! Tap! Tap!" Tiga layar dari CCTV yang lain lagi selanjutnya mati.

"Apa yang sebenarnya terjadi!" batin Alfa panik. Kuduknya meremang, menyusul kemudian sebuah kengerian luar biasa menyergapnya tiba-tiba.
Sisa satu layar dari CCTVnya yang masih menyala. Alfa memandang terfokus pada satu layar tersebut. Jantungnya berdegup dua kali lebih kencang. Keringat dingin mengalir dari kening dan pelipisnya.

"Ssshhh! Kkrrrkkk! Ssshhhhh!"
Sekumpulan kabut hitam mulai terlihat pada layar. Semakin lama semakin memenuhi layar dan membuat jarak pandang semakin menyempit.

"Mati!" sebentuk tulisan terpampang di layar CCTV terakhir, sebelum kemudian layarnya mati.
Bab 23. Titik Temu

Tubuh Gloria terasa lunglai, lemah tak berdaya. Basah keringatnya membuat selimut dan sepreinya terasa lembab dan lepek. Terdapat luka lebam di pergelangan tangan dan kakinya.

Gloria kemudian mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Memastikan-
semuanya sungguh baik-baik saja.

"MATI!" sebuah goresan di jendela kamar flatnya membuat mata Gloria membelalak.

"Tok! Tok! Tok!"

"Glow! Kau di dalam? Apakah Kau baik-baik saja?" suara Vin terdengar dari pintu luar kamar flat Gloria.
"Vin!" Gloria menjawab dengan suara seram tercekat.

Terhuyung ia kemudian menuju pintu dan membukakannya untuk Vin.

"Are you okay, Glow?" tanya Vin cemas.

"I'm not okay, Vin," jawab Gloria terhuyung. Hampir ia menubruk tubuh Vin yang berdiri di depan pintu.
Vin menahan tubuh Gloria, lalu memapahnya masuk, menutup pintu dan mendudukkannya di kursi.

"Kau di serang?" tanya Vin.

"Semacam sleep paralyzed, tetapi jauh lebih berat," jawab Gloria masih lemas.

"Air doamu sudah habis?" tanya Vin.
"Masih, tolong ambilkan di tasku," pinta Gloria pada sahabatnya itu.
Vin dengan sigap mengambilkan apa yang Gloria pinta.
Gloria meminum air dari botol lalu merasa tubuhnya seperti terbakar.
"Sshhh," desis Gloria. Ia melihat bekas lebam di tubuhnya seperti melepuh dan terbakar.
"Glow!" pekik Vin menyernyitkan dahinya ngeri.

"Aaaarrrggghhhh!" Gloria mengeram tertahan. Sungguh lukanya semakin panas dan sangat menyiksa.

"Glow, kita perlu kembali ke Ibu Wijaya." Vin nampak panik dan ketakutan.
"Ambilkan ponselku," pinta Gloria. Ia menunjuk gawainya yang tergeletak di nakas. Kemudian menghubungi sebuah nomer dari gawainya.

"Tuttt ... tuuuttt .... tuutuut!" terdengar nada sambung tetapi tidak dijawab.
"Vin, dimana Alfa?" tanya Gloria panik.

"Aku tak tahu, dari tadi aku sudah menelponnya dan tak diangkat," jawab Vin. Air mukanya sangat ketakutan.
"Alfa dalam bahaya Vin! Kita harus segera menolongnya," kata Gloria membuat keadaan semakin panik.

"Glow, bantu aku!" Vin meminta Gloria menggenggam tangannya.

"Kau tak apa? Kau masih lemah dan baru saja sadar," Gloria ragu menerima genggaman tangan Vin.
"Makanya aku butuh bantuanmu, Glow. Aku butuh energi tambahan untuk mencari dimana Alfa berada," jelas Vin.

Gloria mengangguk paham, menyambut tangan Vin dengan yakin, lalu kemudian bersama Vin memejamkan mata dan berdoa.

***
Jiwa Vin dan Gloria seolah melayang, terbawa dalam sebuah pusara dimensi waktu. Berputar-putar dan mengambang tanpa arah untuk sesaat, sebelum kemudian terbawa pada sebuah lokasi.
Terlihat seseorang di sana. Berpakaian serba hitam dengan rambut sangat panjang hingga menutupi muka. Ia sedang menyalakan dupa dan merapalkan mantra.
Di sekeliling orang itu nampak beberapa kilatan cahaya yang saling bersinggungan, menyilaukan mata. Membuatnya terkungkung dalam sebuah pusaran yang penuh dengan kilatan cahaya.

"Hancurkan dupanya!"
Sebuah bisikan lembut kembali terdengar di telinga Gloria. Membuatnya reflek berlari penuh keyakinan dan menendang dupa yang sedang menyala itu hingga jatuh dan terserak.
Bab 24. Mangsa

Jantung Alfa masih berdegup kencang. Ia kemudian mengatur nafas beberapa kali, sekedar menormalkan dirinya setelah kengerian luar biasa yang dialaminya. Entah berapa lama Alfa mematung dalam kengerian yang mencekam itusebelum tibatiba saja semuanya menjadi normal.
Apa yang sebenarnya tengah terjadi pada Alfa dan sahabat-sahabatnya? Mengapa semua rentetan kejadian misterius dan tak logis ini terus terjadi pada mereka. Apa yang sebenarnya diinginkan pembunuh Mayyang?
Alfa kembali memeriksa beberapa bagian CCTV di layar monitornya. Semua nampak baik-baik saja. Normal kembali seperti kejadian yang baru saja dialaminya tak pernah terjadi. Layar yang bertuliskan 'mati' pun sudah tak ada.
"Hilang? Bagaimana bisa semua kembali normal begitu saja?" tanya Alfa dalam hati.

Pria itu mengusap kasar wajahnya. Meraih gawainya untuk menghubungi seseorang tetapi tak ada signal.
Alfa kemudian bergegas keluar dari ruangan rahasia itu dengan hati-hati. Membuka pintu perlahan dan mulai memeriksa keadaan di luar. Alfa ingin tahu, apa yang sebenarnya menyerang dia barusan.
Alfa perlahan memeriksa dengan saksama, lokasi di luar bangunan yang disewanya tersebut. Dimulai dengan memeriksa kondisi berberapa kamera CCTV yang terpasang di beberapa bagian. Aman, tidak rusak dan semuanya benar-benar tampak baik-baik saja.
Dahi Alfa berkerut tanda ia sedang berpikir keras.

"Jadi apa yang baru saja terjadi padaku? Mengapa tidak ada bekas sentuhan manusia atau makhluk lain yang kasat mata?" batin Alfa penuh tanda tanya.
Jika dilihat dari suara debumannya, seharusnya ada makhluk raksasa yang menggedor pintu. Pun jika merujuk pada gesekan dan goresan di tembok, harusnya itu adalah kuku-kuku tajam yang sangat besar.
Srek! Kaki Alfa menginjak sesuatu di salah satu lokasi tempat terpasangnya kamera CCTV. Kamera CCTV terakhir yang menyala dan sempat memunculkan kata 'mati' tersebut.
"Hei apa ini?" tanya Alfa. Dengan ragu ia meraih benda itu dan memungutnya. Diperiksanya benda sebesar ibu jari orang dewasa berbahan besi anti karat itu.
Benda itu seperti liontin bergambar sebuah simbol. Entah simbol apa, tapi kali ini Alfa tahu, dari mana simbol itu berasal. Ia tersenyum smirk, lalu bergegas mengambil gawainya di dalam ruangan. Alfa segera berkemas dan mengunci pintu ruangan rahasainya itu. Berlari kecil menuju
parkiran mobilnya untuk meninggalkan tempat itu.

"Hei, Nak! Mengapa terburu-buru?" sapa Opa pembuat roti saat Alfa hendak menjalankan mobilnya.

Alfa hanya tersenyum dan melambaikan tangannya. Ia tak punya banyak waktu untuk sekedar beramah tamah dan membalas sapaan Opa.

***
Baru lima menit Alfa menyetir. Gawainya meraung-raung. Sebuah panggilan yang disusul panggilan lain dan getaran bersahut-sahutan, tanda beberapa pesan masuk dalam waktubersamaan.

"Akhirnya, dapat signal juga,"gumam Alfa. Ia lalu memasang handsfree dan menerima panggilan masuk.
"Halo!" ucap Alfa.

"Syukurlah, Al! Kau di mana? Kami tidak bisa menghubungimu dari tadi!" tanya Gloria. Ia memberondong Alfa dengan banyak pertanyaan ketika akhirnya panggilannya ke nomor Alfa tersambung dan diangkat.
"Glow! Aku baik-baik saja?" jawab Alfa. Dari suaranya ia terdengar tergesa-gesa.

"Apa yang terjadi?" tanya Gloria. Sahabat Alfa itu seolah bisa merasakan ada yang tidak beres dengan Alfa.
"Aku diserang! Entah oleh apa?" jawab Alfa dengan suara setengah berbisik.

"Bagaimana bisa? Aku pun baru saja ...."

"Apakah Vin berada di dekatmu?" tanya Alfa memotong ucapan Gloria.
"Ya, kau ingin bicara dengannya?" balas Gloria sambil menyerahkan gawainya pada Vin.

"Vin!"

"Pergilah dari sana segera! Mereka mungkin akan menyerang lagi," bisik Vin seolah tahu apa yang telah terjadi.
"Aku sedang di perjalanan, Vin. Kita bertemu di Apartemen Gedung 4, lantai 7, kamar nomer 93," ujar Alfa singkat sebelum mematikan sambungan telepon.

"Glow, Apartemen Gedung 4, lantai 7, kamar nomer 93," bisik Vin. Air mukanya mendadak berubah kembali menjadi sangat cemas.
"Alfa? Apa dia sudah gila?" Gloria nampak tak setuju pula.

"Jangan pernah bersinggungan dengan mereka. Jangan pernah menantang apalagi sesumbar ingin menangkap atau mengungkap kejahatan mereka. Mereka adalah entitas jahat yang sangat kuat,
meski kekuatannya tak akan pernah bisa mengalahkan Tuhan. Tapi siapapun yang berurusan dengan mereka harus siap mati."

Nasehat Opungnya kembali terngiang di kepala Gloria.

"Kau tahu bagaimana Alfa jika sudah bersemangat, Glow," gumam Vin putus asa.
"Should us?" Gloria masih bimbang.

"Aku yang akan pergi!" Vin memberi keputusan yang sama sekali tidak membuat Gloria lebih baik.

"Tapi Vin ...."

"Pastikan saja, kau menemukan mayatnya di laboratoriummu!" pesan Vin sebelum pergi.
Bab 25. Ruang Kosong

Alfa tiba lebih dahulu di gedung apartemen yang dimaksud. Ia memarkir mobilnya jauh dari lokasi gedung apartemen dan memilih untuk berjalan kaki agak jauh agar entah siapapun dan apapun yang menguntitnya bisa sedikit terkecoh.
Semenjak kejadian di ruang rahasianya itu, Alfa merasa ada yang mengikuti dan mengawasinya. Entah anak buah suruhan Kompol Alex atau orang-orang yang berada di balik kasus kematian Mayyang.
Alfa memasuki gedung apartemen 4 dengan tenang, kemudian duduk santai di kursi lobbynya sambil mengambil koran dan mulai berpura-pura membacanya.

"Bip!" gawainya berbunyi.
Alfa melirik pemberitahuan dari gawainya, lalu kemudian mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan lobby. Ia melihat Vin sedang menanyakan sesuatu pada satpam di meja resepsionis tak jauh darinya. Ia membawa sebuah bungkusan berwarna coklat.
"Aku masuk duluan!" Alfa memberi kode lewat pesan pada aplikasi chat di gawainya.

Alfa kemudian berjalan menuju lift, menunggu pintu lift terbuka, lalu masuk dan menekan tombol nomer 7.

"Ting!" denting pintu lift yang tertutup kemudian lift mulai bergerak naik.
Di dalam lift Alfa sempat berpapasan dengan beberapa pria berpakaian stelan jas serba hitam dengan kacamata hitam. Percis seperti sekumpulan bodyguad yang di bayar untuk mengamankan sesuatu.
Memori di kepala Alfa menangkap, seolah pernah bertemu dengan mereka. Entah dimana? Samar!

***
Vin menepuk bahu Alfa yang sudah lama bersembunyi di sebuah belokan yang terhubung dengan ruang operator di lantai 7.

"Hei Vin, lama sekali. Aku sudah kesemutan disini menunggumu!" gumam Alfa sambil berbisik.
"Aku harus mengecoh satpam itu dulu. Aku pikir, semua di gedung ini diawasi dan berada di bawah kendali seseorang. Aku banyak melihat pria berstelan serba hitam dan satpam di lobby depan nampak bertukar kode dengan mereka," jelas Vin dengan suara nyaris tak terdengar.
"Kau benar, Vin. Aku pun melihat banyak pria berjas hitam berkeliaran ketika menaiki lift ini tadi," sahut Alfa setuju.

"Lalu apa rencanamu?" tanya Vin. "Kamar itu terletak 4 blok dari ruang ini dan kita tidak bisa terus-terusan berada di sini," jelas Vin.
"Kau lihat, Vin. Di lantai ini hampir tak ada penghuni dan hanya mereka yang berkeliaran," ujar Alfa setelah sekali lagi melihat seorang pria berstelan serba hitam melintas melewati mereka.

"Aku akan coba mengecoh mereka!" Vin berjalan mendahului Alfa.

***
Alfa ternganga tak paham ketika mereka berhasil memasuki ruangan yang di maksud dan kosong!

Vin tak kalah terkejut ketika berhasil menyusul Alfa.
"Apa yang terjadi di sini sebenarnya," bisik Alfa frustasi. Ia kembali mengingat petunjuk yang di dapatnya dari pesan kematian Mayyang.

Gedung 4 lantai 7 kamar nomer 93. Benar, Alfa sudah berada di lokasi yang tepat.
"Arrghhh!!! Kkrrrkkk!!! Ssshhhh!!!" Vin mulai mengeluarkan suara-suara aneh. Tubuhnya kemudian menggeliat dan melakukan gerakan-gerakan tak terkendali.

"Vin! Oh tidak! Jangan sekarang, Vin! Please," keluh Alfa ketakutan.
Bab 26. Rumah Hijau

Sang bayi nampak sehat dan lucu ketika pertama kali dibawa ke tempat itu. Sebuah panti asuhan kecil di kota J yang dikepalai oleh seorang pemuka agama. Jika dilihat daya tampungnya, tempat itu lebih bisa disebut rumah singgah dibanding panti asuhan.
Rumah hijau, begitu masyarakat sekitar biasa menyebutnya. Sebuah bangunan rumah dua lantai yang temboknya memang di cat berwarna hijau. Bangunan tua, dengan desain ala rumah Belanda yang besar dan kokoh.
Terdapat 12 anak yang ditampungnya. Pemuka agama itu mengurus semua anak didiknya sendiri. Ia bahkan tak mampu menggaji seorang asisten rumah tangga untuk membantunya.

Anak yang lebih besar akan diberikan tanggung jawab untuk mengasuh adik-adiknya yang lebih muda. Mereka-
menyiapkan kebutuhan dirinya sendiri dan adiknya. Sang kakak juga bertugas mengajari adiknya untuk pada akhirnya bisa melakukan beberapa pekerjaan sendiri agar meringankan tugas mereka.
Mayyang baru tiba semalam, seseorang menitipkannya pada panti asuhan itu untuk dirawat. Seseorang itu pulalah yang pada akhirnya memberi nama Mayyang, lalu memberi sang pengurus panti beberapa lembar uang ratusan ribu dan kemudian menghilang untuk selamanya.
Mayyang kemudian tumbuh besar di rumah hijau. Menjadi gadis kecil yang paling rajin, paling baik dan sangat penurut. Ia menjadi salah satu anak kesayangan pemilik rumah hijau yang kerap di bawa sang pemuka agama untuk melakukan perjalanannya.

***
"Ketika akhirnya harus kuliah, Mayyang memutuskan untuk berkuliah di kota M. Kemudian setelah lulus dan diterima bekerja pada sebuah perusahaan multi nasional X dan berstatus sebagai seorang intership, Mayyang sudah tak pernah menghubungiku lagi semenjak itu," begitu seorang-
laki-laki 2/3 abad itu mengakhiri ceritanya.

"Kau tak pernah menghubunginya Bram?" tanya Bu Mergie.

"Aku tak pernah ingin membebani anak-anakku yang sudah sukses, Mer. Biarlah mereka memiliki dunianya sendiri dan hidup sebagai manusia dewasa yang seutuhnya," jelas Pak Bram.
"Lalu ... kau sudah tahu, anak itu meninggal?" tanya Bu Mergie.

"Ya, aku tahu. Aku melihat beritanya dan mengikutinya lewat media massa juga internet. Malang sekali nasipnya, bahkan sampai sekarang siapa pembunuhnya pun belum ditemukan," jawab Pak Bram dengan mata berkaca-kaca.
"Baik, terima kasih atas waktunya, Bram. Sepertinya aku tak bisa berlama-lama. Sampai jumpa," pamit Bu Mergie kemudian.

"Tunggu dulu! Dari mana kau bisa tahu soal Mayyang sehingga mencariku, Mer?" tanya Pak Bram penasaran.
Bu Mergie membisu dan hanya tersenyum. "Maaf, Bram. Lain waktu kita bicarakan lagi, aku buru-buru," begitu dalihnya.
"Baiklah, hati-hati di jalan. Sampaikan padanya, untuk berhati-hati! Mayyang adalah benih yang telah disiapkan," bisik Pak Bram yang selanjutnya malah meninggalkan Bu Mergie sendiri dengan segudang rasa penasaran yang membuncah.
Bab 27. Gangguan

Bu Mergie memasuki pintu gerbang yayasan sosialnya dengan perasaan panik yang tak biasa. Sudah semenjak berpisah dengan Pak Bram tadi, ia merasakan ada sesuatu yang mengikutinya. Mulutnya tak lepas berdoa, melafalkan apa saja yang diingatnya.
"Ibu dari mana?" seorang gadis kecil nan manis menyapanya.

"Ah! Ivanka! Kau membuat ibu kaget," ujar Bu Mergie. Ia memeluk Ivanka dan mengecup dahinya.
"Darimana? Apakah Ibu bertemu Daddyku secara diam-diam tanpa sepengetahuanku?" tanya gadis itu curiga. Matanya membulat sangat lucu ketika sedang kesal.

"Tidak, sayang. Lagi pula, mengapa ibu harus menemui Daddymu secara diam-diam?" jawab Bu Mergie.
"Mungkin agar aku tidak berisik dan mengganggu waktu kerjanya. Ah, ya ... aku tahu aku sangat mengganggu bagi Daddy. Makanya ia tak pernah menengokku," gadis itu memulai sebuah episode dramanya.
"Sayang, Daddymu bukan orang seperti itu. Dia sangat menyayangimu dan tak pernah terganggu olehmu. Yah meski harus ibu akui bahwa kau memang kadang terlalu berisik dan ... drama!"
"Ya ... ya ... ya ... ya ... aku tahu. Aku terlalu berisik dan drama. Tapi, aku mohon mengertilah, Bu. Bagi seorang gadis kecil yang sedang tumbuh sepertiku, aku butuh sosok seorang Daddy dalam hidupku. Aku merindukannya," gumam Ivanka. Ia kemudian mulai memasang muka super imut-
ala kucing di film Shreek.

"Sini gadis kecil, biar sementara ibu gantikan sosok Daddy yang kau rindukan itu," Bu Mergie menarik Ivanka dalam pelukannya. "Hei, ngomong-ngomong apa yang sedang Kau kerjakan?" tanya Bu Mergie kemudian.
"Aku sedang menggambar," jawabnya sambil menunjukkan beberapa lembar kertas yang berserak di ruangan kerja tempat Bu Mergie menerima tamu-tamunya.

"Gambar apa ini, Ivanka?" Bu Mergie tertegun sesaat melihat gambar-gambar yang di buat Ivanka. Agak sedikit terlalu creepy untuk-
digambar seorang anak seusia Ivanka.

Ivanka hanya tersenyum smirk sekejap, lalu berlari meninggalkan Bu Mergie yang termangu memandang kertas-kertas hasil gambarnya.

"Ssshhhhh .... ssshhhh ... krrrr," sebuah suara lirih yang mengerikan tertangkap telinga Bu Mergie.
Kuduknya meremang, jantungnya berdegup kencang dan mendadak ia diserang rasa kengerian yang luar biasa.

"Wusss!" angin dingin berhembus kencang menerpa wajah Bu Mergie.
Bab 28. Jantungnya

Gloria terkejut ketika sebuah tangan keriput menggenggamnya. Menggenggam tangannya untuk membuka pintu laboratorium pribadinya sekali lagi.

"Bukalah, jangan takut. Aku bersamamu," senyumnya yang teduh menenangkan Gloria.
"Nyonya ... Agnes!" pekik Gloria terkejut.

Nyonya Agnes hanya tersenyum lembut menguatkan Gloria.

"Bagaimana bisa anda ...?" tanya Gloria masih tak paham.

"Bisa kita masuk dulu biar nanti akan aku jelaskan?" pintanya.
"Baiklah, sebentar," jawab Gloria. Tak lama kemudian ia membuka kunci pintu laboratoriumnya.

"Kau terkejut?" tanyanya setelah Gloria membuka pintu dan mempersilahkan beliau masuk.

"Sangat, bagaimana bisa? Anda?" Gloria tak bisa berkata-kata.
"Bisakah kau tunjukkan padaku dimana ruang jenazahnya?" tanya Nyonya Agnes.

Gloria ibarat kerbau yang di cocok hidungnya, menuruti semua pinta Nyonya Agnes dengan patuh tanpa banyak bertanya.

"Silahkan, lewat sini," ujarnya pada Nyonya Agnes.
"Tunggu!" Nyonya Agnes menahan tubuh Gloria sebelum memasuki lorong. Ia menggumamkan sesuatu, lalu tangannya menggambar sebentuk tanda di udara.

Terlihat sebuah asap kepulan tipis yang sekejap kemudian memudar.

"Mari, kita lanjutkan," ujar Nyonya Agnes kemudian.
"Itu tadi a ...?"

"Ssstttt, mari kita selesaikan dulu. Setelahnya kau boleh banyak bertanya padaku, Glow," potong Nyonya Agnes sebelum Gloria sempat menuntaskan pertanyaannya.

Gloria mengangguk, ia lalu membimbing Nyonya Agnes menuju ruang penyimpanan mayat.
"Bum! Bum! Jedhuar! Bum!" suara di ruang data Gloria samar-samar terdengar.

"Kau mengurungnya di sana?" tanya Nyonya Agnes.

"Maksud, Nyonya? Makluk mirip serigala itu?"

Nyonya Agnes hanya mengangguk.
"Entahlah, saya hanya menyiramkan air doa dari opung saya dan ketika dia melemah, kami keluar dan mengunci pintunya," jelasku.

"Bagus, berarti dia hanya makhluk kelas rendah yang dikirim untuk melukai kalian," jelas Nyonya Agnes.
Ia kemudian merapalkan beberapa kalimat lagi, lalu meniupkannya ke arah pintu yang berisik. Ajaibnya, makhluk di balik pintu itu tidak lagi bersuara gaduh.

"Anda ... bagaimana bisa, Nyonya ...?" Gloria benar-benar terheran-heran dengan wanita tua di sampingnya.
"Nanti, Glow. Akan ada waktunya aku bercerita," jelasnya penuh penekanan.

Gloria mengangguk meski dalam hatinya masih menyimpan segudang tanya.
"Silahkan, Nyonya Agnes! Ini ruangan tempat saya menyimpan mayat yang sedang diautopsi," jelas Gloria kemudian. Ia membuka pintu ruangan itu dan mempersilahkan Nyonya Agnes masuk.

"Tunggu, jangan masuk!" cegah Nyonya Agnes. Ia lalu kembali komat-kamit merapalkan sesuatu dan-
membuat sebuah tanda imajiner diudara.

"Wussss!" Angin dingin menerpa dengan kasar wajah mereka berdua.

Gloria memicingkan sebelah matanya ketika angin itu menerpa wajahnya.

"Syukurlah, mereka yang dikirim ke sini hanya makhluk-makhluk kelas rendahan. Ayo, kita sudah aman."
Nyonya Agnes memasuki ruangan, ia menyapukan pandangan ke sekeliling ruangan. Merapalkan beberapa kalimat yang hanya terdengar seperti sebuah bisikan-bisikan saja di telinga Gloria. Kemudian meniupkannya ke arah 4 mata angin.
"Bukalah laci tempatmu menyimpan Jenazah Mayyang. Ambil jantungnya, lalu kita bakar!" Instruksi Nyonya Agnes dengam wajah datar.

Gloria memandang wanita tua di sebelahnya itu dengan penuh keraguan.
Bab 29. Kacau

"Siapa kalian? Mengapa disini?" seorang wanita yang nampak berusia sekitar 50 tahun menghardik Alfa dan Vin penuh dengan suara tinggi penuh kebencian.

"Ah, Nyonya! Kami? Saya ... ng!" Alfa benar-benar tak bisa berkata-kata.
"Ggrraaawww! Argh!" suara Vin tiba-tiba berubah menjadi besar dan garang. Seolah pita suaranya menggembung lebih lebar dari biasanya.

Vin menyerang Alfa, memandang dengan buas lalu menerjang tubuh Alfa ganas dan membabibuta.
"Hei! Kenapa gadis ini?" wanita itu kemudian menjadi panik dan mundur beberapa langkah.

"Bugh! Bum"

"Argh!!!"

Tubuh Alfa jatuh berdebum menghantam lantai dan langsung bergumul dengan Vin yang sedang kerasukan.
"Hei! Apa yang terjadi! Dia ini kenapa?" pekik wanita itu semakin panik.

Alfa tak punya kesempatan menjawab. Ia harus bertahan dan melindungi dirinya dari serangan Vin yang begitu brutal.
Entah apa yang sedang merasukinya saat itu. Vin menjadi seperti hewan liar dengan kekuatan 10 kali lipat. Membuat Alfa kewalahan menghalaunya.

"Nyonya? Anda baik-baik saja?" Beberapa pria berpakaian stelan jas serba hitam yang banyak berkeliaran di luar ruangan tadi, masuk,
lalu menghampiri wanita itu.

"Aku tak tahu mereka siapa dan bagaimana mereka bisa masuk ke sini! Sepertinya wanita itu kerasukan. Kau bisa bereskan?" pintanya pada salah satu dari pria itu.

"Baik, Nyonya," sahut salah satu dari mereka.
Ditengah pergumulannya dengan Vin, Alfa mengingat bahwa wanita itu adalah wanita yang sepintas tertangkap kamera CCTV di ruangan Kompol Alex.

Argh! Seandainya Vin tidak sedang kerasukan. Alfa pasti bisa mengorek keterangan lebih lanjut dari wanita itu.
"Vin! Kumohon sadarlah!" batin Alfa lelah. Ia sudah kehabisan seluruh tenaganya.
"Bugh! Jedhuak!" Salah satu dari pria itu meninju dan menendang tubuh Vin seolah ia bukan wanita. "Hei, kasar sekali! Dia seorang wanita!"bentak Alfa setelah bisa menguasai dirinya dan berdiri tegak.
"Dia kerasukan, Sir! Dia bukan wanita meski tubuh wanita itu yang dipinjamnya," jelas salah satu temannya lalu bersiap menghalau serangan Vin selanjutnya.

"Grrr ... grrraaawwww!!!!" Vin terkunci di pojok ruangan dan terkepung oleh beberapa pria berjas hitam.
"Anda siapa? Apakah anda mengenalnya?" Laki-laki lain yang tidak sedang menghalau Vin mulai mengontrogasi Alfa yang sudah berdiri tegak. Laki-laki yang sepertinya pemimpin mereka, juga yang berbicara dengan wanita tua itu.
"Hei, dimana wanita itu?" tanya Alfa dalam hati sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Ia tak dapat menemukan wanita itu lagi.

"Ggrrraaawww!" Vin menggeram kencang. Menerjang beberapa laki-laki yang menguncinya dan membuat suasana semakin tak terkendali.
"Pergilah, Sir. Suasananya amat tidak kondusif. Anda bisa pergi atau anda kami tahan bersama wanita yang kerasukan ini dengan tuduhan memasuki ruangan apartemen orang tanpa izin!" sang pemimpin memeringatkan Alfa sebelum membantu temannya mengendalikan Vin yang semakin brutal.
Alfa bimbang, bagaimana bisa ia pergi begitu saja dan meninggalkan Vin di tengah kekacauan ini?
Bab 30. Seth

Seorang pria membekap Vin dengan sangat kuat. Hanya bertahan beberapa saat sebelum Vin, entah dengan kekuatan dari mana melemparkannya hingga terpelanting 5 meter dari tempatnya semula. Lalu tiga pria bersamaan maju dan berusaha mengunci Vin.

"Grawwww, kkrrrr!"
Lagi-lagi Vin membantingnya dalam sekali hentakan.

Diantara kesadarannya meski tak bisa menguasai diri sepenuhnya, Vin memandang sekeliling dan melihat hanya tinggal ia dan pria-pria berbaju hitam itu yang tersisa.
"Aku harus kabur! Menyelamatkan diri!" pekiknya dalam hati.

Tapi tak semudah itu! Gelombang kekuatan yang luar biasa menguasainya. Entah makhluk apa yang merasukinya. Hanya saja, Vin merasa ini berbeda dari biasanya.
"Kurung dia dengan ini!" perintah seorang laki-laki yang mungkin adalah pemimpinnya. Laki-laki yang sesaat lalu meminta wanita itu dan Alfa pergi.

Ia membawa sebuah rantai dari besi yang sepertinya sepanjang rantainya telah dilumuri ramuan entah apa.
"Panas!" sebuah suara memerintah Vin menjauh dari benda itu.

Vin tahu, ia harus pergi. Ia harus menghindar dan meninggalkan tempat ini jika ingin selamat.

"Menyebar! Jangan biarkan dia lolos!" perintah pria itu pada anak buahnya.
Vin menyadari ia dalam bahaya. Sangat bahaya karena ia hanya memiliki sedikit kontrol dirinya, sementara sebagian besar tubuhnya sedang dikuasai makhluk itu.

"Jika kau ingin menguasaiku, setidaknya selamatkan aku dari sini sekarang!" pinta Vin pada makhluk itu.
Makhluk itu, yang menguasai dirinya dibalik kegelapan, nampak tersenyum smirk diantara moncongnya yang penuh taring. Ia mengunci jiwa Vin dengan lengan kurusnya yang berkuku panjang. Membuat Vin semakin tak bisa berkutik.

"Grawwww!!!! Krrkkkk! Kkkkrrrrkkkk!"
Tiba-tiba saja makhluk itu membawa tubuh Vin berlari kencang dan menerjang semua lelaki berjas hitam itu. Melewatinya dan melompat ke luar jendela.

"Bugh! Prangggg!"

"Hei ini lantai tujuh dari sebuah gedung apartemen!" pekik jiwa Vin kesal ketika tubuhnya dengan bebas meluncur-
turun, terjun bebas dari ketinggian yang lumayan.

Entah bagaimana rasanya nanti ketika menghantam lantai aspal di bawah sana. Mungkin beberapa tulangnya akan patah disertai luka-luka yang cukup parah.

***
Vin terbangun di kediaman Ibu Wijaya. Ia melihat tubuhnya penuh luka dan memar. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, mulai tangan, lengan, kaki, kepala hingga pinggang dan pinggulnya.

"Hei, aku baik-baik saja," bisiknya sambil berusaha memperbaiki posisi tidurnya agar menjadi-
setengah duduk.

"Vin! Kau sudah sadar!" pekik Alfa.

"Alfa, Ibu Wijaya ...."

"Syukurlah kau baik-baik saja, Nak. Ini, minumlah," bisik Ibu Wijaya sambil memberikan segelas air hangat berwarna coklat dengan aroma rempah yang menyengat.

"Slurp!" Vin meminumnya perlahan.
"Uhuek! Uhuk! Hoek!" baru mencapai ujung tenggorokannya minuman itu tertolak oleh tubuhnya.

"Dia menyukaimu,"bisik Ibu Wijaya dengan wajah penuh ketakutan.

"Dia?" Vin dan Alfa bertanya bersamaan.

"Seth! Dia menyukaimu," bisik Ibu Wijaya dengan raut muka yang sulit terdefinisi.
Bab 31. Potongan Tubuh

Gloria menepis ketakutannya sendiri. Ia melafalkan beberapa doa yang diingatnya, lalu menguatkan hatinya untuk membuka laci mayat nomer 6 tempat ia menyimpan jenazah Mayyang dulu.
"Ada!" pekik Gloria. Ia tak bisa menyembunyikan kegirangannya ketika kantung mayat yang disimpannya terlihat di dalam laci nomer 6.

Gloria dengan cekatan mengambil masker dan sarung tangan. Dibukanya kantung pembungkus mayat, mengintip sedikit, lalu mengambil pinset besar dan-
sebuah wadah seperti mangkuk yang terbuat dari kaca tahan panas.

"Temukan jantungnya," bisik Nyonya Agnes.

Gloria sedikit mengaduk-aduk isi kantong mayat. Bau menusuk formalin bercampur aroma anyir darah dan organ yang hampir membusuk membuatnya ingin muntah.
Ia menahan nafas sebisanya, memalingkan muka jika ingin mengambil udara segar. Kemudian memercepat kerja tangannya mencari organ yang dimaksud Nyonya Agnes.

"Nyonya, kau yakin cukup jantungnya saja?" tanya Gloria.
Ia mencapit sebuah organ seukuran genggaman tangan orang dewasa yang berlumuran darah dan berwarna merah gelap kecoklatan.

"Plop!" Gloria menjatuhkan bagian tubuh itu pada sebuah mangkuk kaca.
Nyonya Agnes mengangguk dan mengambil mangkuk kaca berisi jantung dari potongan tubuh Mayyang yang diberikan Gloria. Ia memejamkan mata lalu merapal beberapa mantra.
Kuduk Gloria meremang, kembali ia merasakan sebuah gelombang kengerian yang luar biasa. Gloria hanya bisa berdoa dalam hati untuk menenangkan dirinya sendiri.
Sebuah tiupan kecil angin dingin bergerak di sekeliling mereka. Sesekali menyentuh kulit Gloria yang membuatnya bergidik ngeri dan menggigil kedinginan. Seperti pusara, terus berputar dan mengelilingi mereka beberapa saat.
Tak lama kemudian, seluruh ruangan tempat mereka berada bergetar. Awalnya perlahan, lalu lama-lama menjadi semakin kuat goncangannya. Gempa?

Gloria menatap Nyonya Agnes yang nampak kelelahan namun tak putus merapal mantra. Tangannya yang memegang mangkuk berisi jantung Mayyang-
bergetar hebat.

Takut mangkuk berisi jantung itu jatuh dan terburai, Gloria membantu memegangi mangkuk di tangan Nyonya Agnes.

Panas!
Gloria menarik tangannya cepat, meniupnya. Lalu kembali menyentuh mangkuk itu kali ini dengan hati yang lebih mantap. Masih terasa panas, tetapi Gloria tak lagi melepaskan genggamannya pada benda itu.
"Ayo kita musnahkan," ujar Nyonya Agnes setelah membuka matanya.

"Anda yakin tak apa, Nyonya?" tanya Gloria.

Ruangan tempat mereka berada masih bergetar hebat. Seolah sedang terjadi gempa.
"Kau ada ide bagaimana memusnahkannya?" tanya Nyonya Agnes sambil menganggukkan kepala. "Kita tak mungkin membawanya pergi. Mereka tak akan membiarkan kita selamat, jika tahu kita membawa jantungnya. Organ ini harus segera dimusnahkan," jelas Nyonya Agnes dengan raut muka sangat-
serius.

Gloria terdiam, nampak sedang berpikir. Lalu dengan sigap tangannya meraih mangkuk kaca berisi jantung dari Mayyang dan memasukkannya pada oven besar di sudut ruangan.
Mensetting suhunya hingga maksimal lalu menyalakannya dan membiarkan perlahan organ itu terpanggang di dalamnya.
Bab 32. Penghentian Penyidikan

Alfa baru saja keluar dari rumah Ibu Wijaya saat gawainya berbunyi. Tergesa-gesa ia menuju mobil Vin yanh terparkir di halaman rumah Ibu Wijaya. Bergegas masuk mobil, mengunci rapat pintunya, lalu menjawab teleponnya.

"Hallo, Sir!"
"Al, aku tak bisa lagi menahan mereka. Perintah penutupan kasus telah turun. Tidak ada lagi identifikasi terhadap jenazah korban. Apakah mayat itu sudah ketemu?" tanya Kompol Alex di ujung sana. Suaranya terdengar sangat berhati-hati.
"Apa? Bagaimana bisa, Sir?" tanya Alfa terkejut.

"Anak buahku akan tiba di lab forensik Gloria dalam 30 menit. Siapkan saja jenazahnya, aku percaya kau bisa urus semuanya tanpa banyak keributan," jelas Kompol Alex.
Ia seolah memberi kode pada Alfa untuk dia memutar otak lebih dalam agar kasus ini berakhir baik tanpa harus ada banyak masalah.

"Baiklah, Sir. Serahkan padaku," jawab Alfa kemudian mengakhiri panggilan.

Alfa lalu segera menghubungi Gloria.
"Al, kalian baik-baik saja?" tanya Gloria di sana.

"Ya, Vin mengalami sedikit kecelakaan dan ia sedang di rawat Ibu Wijaya. Kau sendiri?" balas Alfa.

"Aku baik-baik saja," jawab Gloria.

"Glow, Kompol Alex memintaku menyiapkan jenazah Mayyang. Anak buahnya akan mengambilnya 30-
menit lagi," jelas Alfa.

"Baik, aku siapkan. Kami sudah menemukan mayatnya," jelas Gloria tenang.

"Apa? Bagaimana bisa? Apa yang terjadi?" Alfa terkejut sekaligus lega.

"Aku tunggu kau di Lab setengah jam lagi, bergegaslah," jawab Gloria.
"Baiklah, Glow. Aku akan segera kesana." Alfa mematikan gawainya dan bergegas memacu mobil Vin yang dikendarainya secepat yang ia bisa.

***
Alfa tiba di Lab Forensik milik Gloria lima menit lebih awal sebelum rombongan polisi anak buah Kompol Alex tiba. Gloria telah menyiapkan kantung mayat berisi jenazah Mayyang.

"Bagaimana kau bisa menemukannya?" tanya Alfa penasaran.
"Kita mendapat bantuan, beliau yang membantuku menemukan mayatnya dan mentralisir entitas jahat yang melingkupi labku. Sudahlah, nanti akan aku jelaskan. Sekarang, selesaikan dulu urusanmu dengan polisi-polisi itu," jawab Gloria sambil meninggalkan Alfa mengobrol dengan beberapa-
anak buah Kompol Alex yang telah tiba.

"Selamat sore, Detektif Alfa," sapa Penyidik Joe pada Alfa.

"Hai, Joe. Sudah aku siapkan, kalian bisa mengambilnya di sana. Temui Gloria," jelas Alfa.

Beberapa polisi bergegas melewati Alfa dan menuju ruang penyimpanan mayat.
"Maafkan kami, Detektif. Kami tak bisa melakukan apa-apa. Perintah penutupan kasusnya datang dari petinggi kepolisian langsung," jelas penyidik Joe.

"Mengapa, bagaimana bisa?" tanya Alfa.
"Anda tahu, kami hanya bekerja berdasarkan perintah atasan. Sepertinya memang kasus ini sangat rumit dan melibatkan banyak sekali orang penting di belakangnya," jelas penyidik Joe.

"Baiklah, Joe. Aku mengerti, sampaikan maafku pada Kompol Alex. Kali ini aku tak dapat menuntaskan
kasusnya dengan baik," jelas Alfa.

"Apakah kau akan menyerah, Detektif?" tanya penyidik Joe penasaran.

"Apakah kau ingin kita menyerah, Joe?" tanya Alfa.

Penyidik Joe tersenyum penuh arti pada Alfa. Seolah paham, langkah apa yang harus mereka ambil selanjutnya.
Bab 33. Keturunan Murni

Vin menggenggam tangan Ibu Wijaya penuh ketakutan. Sungguh kali ini ia begitu takut makhluk itu akan datang, merasukinya dan menguasai seluruh jiwanya.

"Bersyukurlah kau baik-baik saja meski telah jatuh dari gedung apartemen setinggi itu," ujar Ibu-
Wijaya. Ia membalut luka Vin dan mengoles memarnya dengan salep anti memar.

"Bagaimana bisa, Bu?" tanya Vin. "Apakah karena dia?" lanjut Vin lagi.

"Ibu tidak mengerti apakah yang merasukimu benar roh sucinya atau makhluk jahat yang menyerupai dan ingin menyesatkan manusia.
Kau tetap harus waspada, Nak," jelas ibu Wijaya. "Yang harus kita pecaya adalah bahwa iblis akan selalu ingin menyesatkan manusia dan membuatnya semakin jauh dari Tuhan," lanjutnya.
"Tapi dia menolongku, Bu. Andai dia tidak merasukiku, aku tak akan bisa lolos dengan mudah dari para bodyguard di apartemen itu," gumam Vin.

"Ya, Kau benar sekali. Akupun tak akan bisa menyelamatkanmu seandainya betul kalian tertangkap.
Mungkin kalian akan berakhir menjadi korban berikutnya, atau terbunuh sia-sia dengan misteri kematian yang tak akan pernah dapat terpecahkan," tambah Ibu Wijaya.

"Lalu, siapakah Seth itu ibu?" tanya Vin penasaran.
"Entahlah, dia hanya memperkenalkan dirinya sebagai Seth. Tanpa memberiku penjelasan lebih lanjut. Kini makhluk itu pergi dan kita tak akan bisa melacaknya," jawab Ibu Wijaya.
Vin meraih gawainya di nakas. Memeriksa apakah benda itu masih bisa berfungsi dengan benar setelah ikut jatuh bersama tubuhnya dari ketinggian yang tak biasa.

"Ting!"
Begitu bunyinya ketika Vin berhasil membuka kombinasi password pada layar gawainya tersebut. Ia kemudian mulai sibuk mengetik.

"Ada dua hasil pencarianku soal Seth," jelas Vin. "Yang pertama merujuk pada dewa kekacauan dan keburukan dalam sejarah mesir kuno.
Lalu kemudian ... tentang seorang keturunan murni dari Nabi Adam," lanjut Vin. Matanya tak lepas dari mesin pencari dalam aplikasi di gawainya.

"Ya, Seth yang ibu tahu memang ada dalam sejarah mulai dari kaum ibrani, nasrani hingga muslim. Mereka mendesripsiknnya sebagai-
keturunan murni dari Nabi Adam. Anak ketiga laki-laki yang lahir setelah Nabi Adam kehilangan Habil. Ia jugalah yang selanjutnya menjadi leluhur dari garis keturunan para nabi dan orang-orang suci," jelas Ibu Wijaya.
"Dalam sejarah mesir kuno Seth digambarkan sebagai dewa badai bertubuh anjing yang gemar memotong-motong tubuh korbannya. Ibu ... mungkinkah, tubuh Mayyang adalah persembahan untuknya?" tanya Vin, matanya memandang tajam Ibu Wijaya.
Ibu Wijaya tersenyum, "Aku tak tahu soal itu, Nak. Aku belum pernah berurusan dengan mereka. Hanya saja setahuku, setiap penguasa, pengusaha dan orang-orang hebat di negeri ini pasti punya ritual-ritual mistis yang mereka percayai.
Terlepas dari apapun keyakinannya, mereka pasti punya penasehat spiritual yang membuatnya tetap bertahan dalam persaingan dan menjadi sangat kuat hingga tak terkalahkan," jelas Ibu Wijaya.

Vin memandang Ibu Wijaya nanar. Pikirannya berputar-putar dan dipenuhi berbagai spekulasi-
tentang Seth.

"Sebentar ... sepertinya aku pernah mendengar sebuah kisah dalam sejarah Jawa. Kisah ini menceritakan bahwa Nabi Syits adalah cikal bakal leluhur manusia. Ketika Nabi Adam berdoa agar keturunan dari Syits ini menjadi orang-orang hebat.
Iblis tak tinggal diam, ia berusaha mencampurkan keturunanya dengan keturunan Syits sehingga darah yang bercampur dengan iblispun akan memiliki kekuatan sehebat darah murni ketirunan manusianya. Itulah mengapa hitam dan putih akan selalu ada sebagai dua sisi bersebrangan," jelas-
Ibu Wijaya.

"Aku adalah yang terkuat diantara yang paling kuat ... hihihi ...."

Sebuah bisikan sangat halus, terdengar di telinga Vin.
Bab 34. Nyonya Agnes

Gloria memasuk ruang datanya dengan penuh keraguan. Ia sungguh trauma dengan kejadian sebelumnya.

"Glow! Kau lupa?" tanya Alva. Demgan sigap ia menarik tangan Gloria saat Glow hendak membuka pintu ruangan itu.
"Makhluk itu sudah dinetralisir, Al. Ada seseorang di dalam sini yang membantu kita membereskan semuanya," jelas Gloria.

"Siapa?" tanya Alfa penasaran.

"Klek!" Gloria membuka pintu dan tersenyum pada Nyonya Agnes.
"Anda? Bukankah anda yang terlihat di kantor polisi sebagai keluarga Mayyang?" Alfa langsung menuduh Nyonya Agnes penuh kecurigaan.

Nyonya Agnes tersenyum. "Kau detektif Alfa, rekan Gloria?" tanyanya tetap tenang.

"Ya betul, anda?"
"Dia Nyonya Agnes, Al. Wanita yang tinggal di gedung flat yang sama denganku," potong Gloria.

"Duduklah, akan aku jelaskan semuanya," sahut Nyonya Agnes masih dengan tersenyum.
Alfa menarik kursi sembarangan dan mulai duduk di samping Gloria. Bersebrangan dengan Nyonya Agnes yang duduk di sebrang mereka.

"Yang kau lihat di kantor polisi itu pasti Bianca. Dia saudara kembarku, kami dilahirkan kembar namun dibesarkan dengan cara yang berbeda.
Orang tua kami bercerai ketika kami berusia 10 tahun.Aku ikut ibuku dan Bianca ikut papa," jelas Nyonya Agnes.

"Dan wanita itu, maksudku Nyonya Bianca adalah pemilik gedung apartemen 4 lantai 7 kamar nomer 93?" tanya Alfa spontan. Sepertinya sebuah lampu baru menyala di otaknya.
"Betul. Apakah kau sudah bertemu dengannya?" tanya Nyonya Agnes.

"Saya pertama melihatnya dengan jelas di kantor polisi. Tetapi, sepertinya kami pun melihatnya sekilas di lokasi penemuan mayat Mayyang.
Lalu ketika kami mencari ruang apartemen yang dimaksud dalam pesan kematian Mayyang, sepertinya akupun berjumpa dengannya," jelas Alfa sambil berusaha mengingat.

"Bianca Nasser?" tanya Gloria memotong pembicaraan Nyonya Agnes dan Alfa.
Nyonya Agnes mengangguk.

"Wow, seorang pemilik tunggal perusahaan multinasional X. Perusahaan ekspor-impor nomer satu di negara ini dengan neraca pembukuan terbaik setiap tahunnya," Gloria menatap gawainya tak percaya.
"Kau mencarinya di internet, Glow?" tanya Alfa.

"Ya, aku hanya random memasukkan nama Bianca beberapa saat lalu. Dan adik anda, Nyonya Agnes, adalah seorang yang sangat kaya raya dan populer," Gloria memandang Nyonya Agnes tak percaya. "Bagaimana bisa, anda hanya tinggal di-
flat murahan di pinggiran kota seperti saya?"

Nyonya Agnes tersenyum.

"Kami sudah putus hubungan keluarga sejak kami menikah dan memilih jalan kami masing-masing. Kalian tahu, hitam dan putih tak akan pernah bisa dipersatukan.
Ia hanya akan melebur menjadi abu-abu. Tetapi, ketika hitam terbuat dari minyak dan putih berbahan air maka mereka akan menempuh jalannya masing-masing," jelas Nyonya Agnes.

Matanya menerawang seolah rindu pada saudari kembarnya itu. Tetapi ada jurang pemisah yang sangat lebar-
diantara keduanya.

Alfa memandang Nyonya Agnes dengan mimik muka penuh tanya.

"Aku dan ibu sudah berusaha memperingatkannya untuk tidak mewarisi usaha papa dan segala hal yang termasuk di dalamnya.
Tapi Bianca menolak, ia memilih untuk tetap meneruskan tradisi. Memuja Dewa Seth dan memberikan banyak pengorbanan jiwa manusia untuknya," lanjut Nyonya Agnes.
"Maksud anda perkumpulan dengan simbol ini?" Alfa mengeluarkan sebuah liontin dari saku celananya.

"Kau dapat dari mana, Nak?" tanya Nyonya Agnes sambil meraih liontin dari tangan Alfa.
"Wusss!" angin dingin berhembus menerpa wajah ketiganya saat Nyonya Agnes menggenggam liontin itu di tangannya.
Bab 35. Berakhir

Alfa dan Gloria menyaksikan Nyonya Agnes melakukan ritual pembersihan jiwa Mayyang. Agar arwah gadis itu bisa tenang dalam perjalanan ke alam selanjutnya dan tidak lagi tertahan di dunia.
Baik Alfa dan Gloria maupun Nyonya Agnes sama-sama mendoakan dengan kepercayaan masing-masing agar tak ada lagi yang memanfaatkan Mayyang untuk kepentingan yang tidak baik.

Nyonya Agnes meniupkan beberapa mantra sebelum menghancurkan organ yang telah gosong terpanggang tersebut-
menjadi abu. "Tenanglah, Nak. Tenang di alammu dan jangan pernah lagi kembali untuk urusan duniamu yang telah berakhir."

"Akan kita apakan abunya, Nyonya?" tanya Alfa.

"Sebarkan di sungai atau dilarung saja di laut," jelas Nyonya Agnes.
"Apakah mereka tak akan tahu soal jantungnya, Nyonya?" tanya Gloria cemas.

"Jika Bianca tahu, ia akan sadar aku berada di balik semua ini. Ia akan marah besar. Tapi tak apa, ia tak akan berani berbuat macam-macam terhadapku," jelas Nyonya Agnes.
"Lalu bagaimana dengan kami, Nyonya?" tanya Alfa.

"Kalian mungkin akan diikuti dan dicari. Ada baiknya kalian menghilang sementara agar mereka tak bisa melacak jejak kalian," jawab Nyonya Agnes. "Bianca mungkin tidak akan agresif melakukan penyerangan.
Tetapi, perkumpulan mereka bukan hanya soal Bianca saja. Ada setidaknya beberapa orang yang menjadi pemimpinnya," lanjut Nyonya Agnes.

Raut mukanya menjadi sangat tak terdefinisi ketika menjelaskan kalimat terakhir tersebut.

Alfa dan Gloria terdiam cukup lama.
"Aku mungkin harus membubarkan biro detektif swasta yang aku buat," gumam Alfa memecah keheningan.

"Kau tak apa, Al?" tanya Gloria iba. Ia tahu Alfa membangun usahanya ini dengan sangat bersemangat dulu.
Ia berkata bahwa mereka akan banyak membantu masyarakat maupun kepolisian agar bisa menegakkan hukum sebenar-benarnya.

"Hm ... mungkin memang saatnya aku pulang dan membuka kedai kebab bersama Ivanka," Alfa tersenyum. Raut wajah kecewa jelas terpancar di wajahnya.
"Lalu aku, haruskah aku menutup lab ini? Mengembalikannya pada universitas dan mungkin aku bisa berhenti lalu membuka klinik pengobatan di kampung halamanku sambil menjaga Opung," Gloria nampak juga berusaha mengikhlaskan.
"Sudahlah, setidaknya selamatkan diri kalian masing-masing dahulu. Mungkin nanti saat mereka sudah lengah, kalian bisa kembali dan kita tuntaskan kasus ini," nasehat Nyonya Agnes.

***
Vin tersenyum memandang Gloria dan Alfa ketika menemuinya di kediaman Ibu Wijaya. Ia tahu, semuanya telah berakhir. Kasus Mayyang menjadi headline di semua stasiun televisi dan sangat ramai diberitakan.
Kasus Mayyang ditutup, dengan hasil autopsi mayatnya tercabik oleh serangan beberapa anjing liar di gudang tua. Polisi membuatnya seolah Mayyang mengalami kecelakaan dan terjatuh hingga meninggal. Lalu anjing liar yang hidup di sekitar gedung tua mencabik dan membuat mayatnya-
berantakan.

"Kalian baik-baik saja?" tanya Vin ketika Gloria dan Alfa duduk di ranjangnya.

"Ya, kami baik-baik saja. Kau bagaimana?" tanya Alfa.

"Sakit sangat tentu saja, kau pikir bagaimana rasanya terjatuh dari lantai 7, hah!" bentak Vin pada Alfa.
"Kau kan kerasukan, Vin!" seru Alfa

"Lalu kau pikir itu tidak membuat tubuhku terluka dan aku kesakitan ketika aku sadar?" Vin nampak kesal dengan Alfa.
"Sudahlah, tak bisakah kalian berdamai untuk saat ini saja?" keluh Gloria. "Lukamu tak terlalu parah untuk ukuran seseorang yang baru saja terjatuh dari lantai 7, Vin," lanjut Gloria.

"Aku berterima kasih pada Seth," ujar Vin sambil tertawa.
"Seth?" Gloria menyernyitkan dahi.

"Sudahlah lupakan. Bersyukur akhirnya kita tidak perlu lagi terlibat lebih jauh dengan kasus ini," Vin seolah tak ingin membahas tentang Seth lebih jauh.
"Well let say, semunya memang harus berakhir," gumam Gloria.

"Tapi tidak dengan urusan kita, hi ... hi ... hi!"

Sebuah suara sangat lembut dan dingin terdengar di telinga Vin. Membuat wajah Vin menegang untuk beberapa saat, lalu kemudian kembali normal.
"Semoga semuanya memang bisa berakhir dengan baik dan kita bisa hidup normal setelah ini," gumam Vin. Ia menggenggam tangan kedua sahabatnya dan tulus mendoakan keselamatan keduanya.
"Tak ada yang bisa selamat dariku, kecuali ia menjadi pengikutku ... hi ... hi ... hi ...!"

TAMAT

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with ꅐꋬꋊ꒯ꋬ

ꅐꋬꋊ꒯ꋬ Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @neverminess

9 Aug
[ Sinopsis ]

Cerita kelam masa lalu, di balik kematian seorang gadis muda yang di jadikan tumbal pesugihan oleh ayah kandungnya sendiri.

Shepia tidak sengaja melihat kecelakaan yang menimpa tetangga sekampungnya.

Siapa sangka kematian mbak Santi yang tragis merupakan awal-
mula teror dari hantu mbak Santi di kampung mereka.

Teror demi teror yang menghantui Shepia dan warga kampungnya mengawali petualangan panjang mereka untuk mengungkap misteri kematian mbak Santi yang penuh dengan kisah mistis.
Read 25 tweets
8 Aug
Gypsy Rose Blanchard lahir 1 Juli 1991 dari pasangan Rod dan Dee Dee Blanchard di AS. Namun Rod dan Dee Dee berpisah tak lama sebelum kelahiran anak mereka, Gypsy. Dee Dee kemudian membawa Gypsy tinggal di rumah orangtuanya. Image
Saat berumur 8 tahun , Gypsy jatuh dari sepeda motor kakeknya. Meski hanya luka kecil, Dee Dee membawanya ke Rumah Sakit. Karena kekhawatiran yang berlebihan, Dee Dee mengharuskan Gypsy menggunakan kursi roda meski sebenarnya Gypsy bisa berjalan normal.
Read 24 tweets
8 Aug
Diketahui Elizabeth Bathory lahir pada tahun 7 Agustus 1560 dan wafat pada 21 Agustus 1614 diusianya yang ke 54 tahun.

Ia adalah salah satu putri dari pasangan Georges dan Anna Báthory yang merupakan bangsawan yang kaya raya dan salah satu keluarga bangsawan paling dihormati di Image
Hungaria pada masa itu. Keluarga besarnya juga terdiri dari orang-orang terpandang. Salah satu sepupunya adalah perdana menteri di Hungaria, dan seorang lagi adalah Kardinal.

Kisah mengerikan Elizabeth dimulai sejak pada tahun 1600, ketika itu suaminya Ferenc, meninggal dunia.
Read 13 tweets
8 Aug
Jumat malam yang normal pada 17 November 1978, restoran Burger Chef di Speedway, Indiana buka seperti biasa. Tidak ada yang aneh atau luar biasa hari itu, tetapi sekitar tengah malam salah satu karyawan restoran tiba dan menemukan tempat itu kosong, padahal seharusnya ada 4-
petugas yang sedang bekerja saat itu.

Asisten manajer Jayne Friedt (20), Daniel Davis (16), Mark Flemmonds (16), dan Ruth Ellen Shelton (17), semuanya hilang dan tidak ada ditempat, pada awalnya tidak ada yang aneh di restoran. Lampu menyala semua, dompet, tas, dan mantel para- Image
Read 32 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(