Sejarah perkebunan karet nan angker ini sebagian besar akhirnya terungkap, ada darah dan air mata di belakangnya. Selimut horornya berbalut sedih di antara kengerian.
Simak final episode dari prekuel #rhdpk, hanya di sini, di Briistory..
***
Pagi harinya, seisi kampung gempar setelah tersebarnya berita tentang adanya dua pendatang yang sempat terjebak dalam situasi menyeramkan pada malam sebelumnya.
Ini peristiwa geger kesekian kali yang terjadi di Sindang Hulu, sebelumya sudah ada beberapa kejadian yang dialami oleh warga, termasuk Yudar. Ramdan dan Ilham adalah orang luar pertama yang merasakan keseraman kejadian itu.
Begitulah, desa yang tadinya aman damai tentram, beberapa bulan terakhir berubah jadi seperti kota mati, penduduknya terkungkung ketakutan dicekam misteri seram yang selalu terjadi belakangan, membuat semuanya gak berani pergi keluar rumah kalau gak sangat terpaksa.
***
“Nek, semalam ada dua orang tamunya Pak Kades yang melihat hantu jubah itu, mereka katanya sampai pingsan di musala.”
“Tamunya Pak Kades? Kenapa malam-malam datangnya, ya?”
“Katanya sih, mereka sebelumnya sempat kesasar di hutan, sebelum akhirnya bisa masuk Sindang Hulu.”
“Tuh, makanya, kamu jangan dulu keluar malam, seram sekali. Mereka makin sering menampakkan diri.”
“Yang lebih seram lagi, Nek. Katanya mereka melihat keranda yang ada di musala, terbang ke luar, ke jalan, Nek. Kok, seram sekali ya.”
“Keranda? Keranda itu sudah terbang ya?”
Percakapan membahas tentang peristiwa itu juga terjadi di antara Yudar dan Nenek Sarmi di dalam rumah, mereka cukup serius membahasnya sampai Yudar jadi teringat janji yang pernah diucap oleh neneknya.
“Memang, ada apa dengan keranda, Nek?. Oh, iya, nenek kan janji mau cerita tentang hantu seram itu. Sekarang sepertinya saat yang tepat untuk cerita, Nek, hehe.” Yudar menagih janji di akhir kalimat.
“Hmmmmmm,”
Nenek Sarmi menarik nafas panjang, matanya menerawang jauh kembali ke puluhan tahun sebelumnya, menembus ruang dan waktu coba mengingat-ingat lagi sedetil mungkin setiap peristiwa yang terjadi ketika beliau masih muda.
Akhirnya, Nenek Sarmi mulai bercerita. Yudar duduk di atas dingklik kecilnya, memperhatikan dengan serius.
“Jadi, seperti yang sudah pernah Nenek bilang, kemunculan mahluk-mahluk seram itu bukanlah yang pertama kali, sebelumnya mereka sudah pernah muncul. Yang bisa Nenek ingat, mereka sudah pernah ada dua kali masa kemunculan. Yang pertama ketika Nenek masih kecil,
yang kedua ketika Bapakmu dulu masih kecil. Kedua masa itu sangat seram, desa ini sangat mencekam, hampir sama dengan kali ini.” Begitu Nenek Sarmi bilang, memulai ceritanya.
“Lalu, ada apa dengan kerandanya , Nek?” tanya Yudar penasaran.
“Nanti dulu, keranda punya alasan tersendiri kenapa dia akhirnya muncul. Biarkan Nenek lanjut ceritanya dulu, nak.”
Yudar mengangguk-angguk.
Lalu Nenek Sarmi lanjut. Beliau bilang, kemunculan mahluk-mahluk seram ini pertama kali ketika beliau masih kecil, ketika masih berumur masih 13 tahun.
Waktu itu juga sama, kemunculan mereka membuat warga desa dirundung ketakutan, gak ada yang berani untuk keluar berkegiatan malam, suasana jadi seperti desa mati.
Sosok-sosok seram tinggi besar jubah hitam bergentayangan, kemunculannya beberapa kali dilihat oleh penduduk. Gambaran bentuknya juga nyaris sama dengan yang dilihat oleh Yudar, bergerak melayang tanpa menginjak tanah, jubah panjangnya melambai bergerak seperti tertiup angin.
Nenek Sarmi muda juga dulu bertanya-tanya, siapakah mahluk seram ini? Apa maksud dari kemunculan mereka?
Sampai ketika, orang tua Nenek Sarmi menjelaskan semuanya. Jadi, menurut mereka, kalau mahluk-mahluk seram ini sudah muncul tandanya akan ada bencana besar yang menimpa desa Sindang hulu, begitu katanya.
Kenapa mereka bisa bilang seperti ini? Karena sebelum-sebelumnya mahluk seram ini sudah pernah muncul, dan hampir selalu ada bencana yang terjadi di belakangnya, hampir selalu.
“Lalu, ada apa dengan keranda, Nek?” Yudar masih penasaran dengan keranda.
“Jadi, kalau keranda itu sudah muncul, tandanya bencana sudah semakin dekat.” Jawab Nenek Sarmi.
Kemudian ada jeda hening di antara keduanya.
“Tapi tenang aja, kita akan baik-baik aja, Tuhan akan melindungi,” ucap Nenek Sarmi sambil tersenyum, menenangkan hati cucunya.
“Memang, waktu itu bencana yang datang apa, Nek?” Tanya Yudar lagi.
Kemudian Nenek Sarmi menjelaskan, ketika dia masih kecil bencana yang datang adalah menyebarnya wabah suatu penyakit yang pada saat itu nyaris mustahil untuk mendapatkan obatnya, karena penyakit inilah banyak penduduk yang meninggal dunia, gak tertolong.
Sementara peristiwa selanjutnya, kira-kira 20 tahun kemudian. Desa sindang Hulu mengalami bencana kekeringan, kemarau panjang, sungai yang biasanya mengalir banyak air bersih jadi kering kerontang, sawah dan ladang penduduk keeringan, bencana berlangsung selama berbulan-bulan.
Akibatnya, banyak warga meninggalkan desa untuk pindah sementara ke tempat lain agar bisa terus menyambung hidup. Terjadi sekali lagi, ketika itu Sindang Hulu seperti desa mati, nyaris kosong gak berpenghuni.
“Tapi, sukurlah pada dua bencana itu desa ini bisa terselamatkan. Nenek yakin kalau memang kali ini akan ada bencana lagi, kita pasti akan selamat, tenang aja.” Begitu nenek Sarmi bilang sambil tersenyum.
“Oh, jadi begitu ceritanya. Seram juga ya, Nek”
Yudar akhirnya tahu semuanya, perihal tentang kemunculan mahluk-mahluk seram yang sedang bergentayangan di desanya.
“Lalu, dua orang tamu Pak Paiman itu adalah orang dari perusahaan yang mau menggusur desa inikah?” tanya Nenek Sarmi kemudian.
“Iya, Nek. Mereka orang-orang dari perusahaan itu.” Jawab Yudar dengan nada sedih.
Di sini, Nenek Sarmi sebenarnya sudah mulai merasakan kalau ada sesuatu gak mengenakkan yang akan terjadi di desanya, ada perasaan was-was bercampur sedih yang dirasakan, tapi beliau sebisa mungkin berusaha untuk gak menunjukkan semuanya ke Yudar.
Dan sepertinya, apa yang Nenek Sarmi bayangkan akan terjadi. ke depannya, ternyata akan ada satu peristiwa besar di desa Sindang Hulu, peristiwa mengerikan.
***
Sekitar jam 7 pagi, Ramdan dan Ilham sudah berada di rumah Kades, Pak Paiman. Tentu saja mereka diterima dengan baik oleh Pak Paiman, karena juga mereka memang sudah pernah datang sebelumnya.
Setelah sudah bercerita tentang peristiwa malam sebelumnya yang mereka alami, Ramdan dan Ilham akhirnya mulai berbicara langsung ke pokok bahasan, maksud dari kedatangan mereka ke desa ini
“Jadi gimana, Pak? ada perkembangan bagus kah?” Tanya Ilham membuka percakapan.
“Seperti yang sudah saya bilang, akan susah bagi warga sini untuk menjual tanahnya. Dan benar saja, setelah saya adakan pertemuan beberapa hari yang lalu, sebagian besar warga menolak menjual tanahnya.” Jawab Pak Paiman.
“Berarti ada sebagian warga yang mau kan, Pak?” Ramdan bersuara.
Begitulah, ternyata Ramdan dan Ilham bekerja di satu perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan. Perusahaan ini sering kali mencari lahan subur untuk dijadikan berbagai bentuk perkebunan.
Untuk desa Sindang Hulu, perusahaan merencanakan desa ini nantinya akan dijadikan satu perkebunan karet yang luas, satu alasannya adalah karena ada beberapa hektar pepohonan karet hasil dari peninggalan perusahaan Belanda si satu sudut desa,
pepohonan karet ini masih tumbuh dengan subur.
Dan juga, ternyata bukan hanya desa Sindang Hulu saja yang dijadikan target untuk digusur, tapi ada dua desa lainnya juga, yaitu dua desa di sebelah Sindang hulu.
Tentu saja, banyak pertentangan dari warga, sebagian besar dari mereka menolak penggusuran itu walau dengan ganti rugi yang besar sekali pun. Sangat berat untuk meninggalkan desa ini, sudah beberapa generasi ke belakang tinggal di sini. Gak mungkin untuk pindah, sangat berat.
Tanpa disadari atau nggak, pada saat inilah konflik di dalam desa perlahan mulai terjadi, konflik yang bisa jadi akan berujung bencana besar.
***
Begitulah, kemudian seiring waktu berjalan, karena berbagai macam alasan, satu persatu mulai ada warga yang akhirnya tergoda untuk menjual dan meninggalkan rumahnya, lalu pindah ke tempat lain, kebanyakan warga yang pindah ini adalah warga dari desa tetangga.
Tentu saja, warga desa Sindang Hulu semakin gundah karena pada akhirnya nyaris seluruh warga dari desa-desa terdekat sudah pindah meninggalkan rumahnya. Mereka semua pindah di tempat baru. Sampai pada suatu saat,
hanya tinggal Desa Sindang Hulu saja yang masih berdiri di tengah kepungan wilayah yang sebentar lagi akan dijadikan perkebunan karet.
Setelah Ramdan dan Ilham, berikutnya sering kali perwakilan lain dari perusahaan perkebunan datang bernegosiasi. Sering kali juga Pak Paiman sendiri menemui mereka langsung. Kadang pula ditemani oleh banyak warga desa.
Tapi tetap saja, pertemuan-pertemuan itu gak menghasilkan kesepakatan. Warga desa bersikukuh gak mau menerima tawaran mereka. Alih-alih mendapatkan kesepakatan, malah hubungan kedua belah pihak jadi makin meruncing, berujung dipenuhi rasa kebencian.
***
Selang berbulan-bulan kemudian, perusahaan perkebunan sudah mulai kehilangan kesabaran, mereka mulai coba menggunakan cara-cara jahat, memaksa penduduk untuk pindah. Salah satu caranya dengan menyewa dan membayar banyak preman untuk menakut-nakuti dan mengintimidasi warga.
Nah, seiring berjalannya waktu, intimidasi ini mulai membuahkan hasil. Sebagian warga mulai menerima penawaran, lalu menjual tanah dan rumahnya kemudian pergi meninggalkan desa.
Namun, walaupun begitu, masih ada sebagian warga yang terus bersikeras untuk bertahan, mati-matian mempertahankan tempat tinggal yang sudah mereka huni puluhan tahun. Saat inilah mulai terjadi teror mengerikan, satu per satu warga yang melakukan perlawanan menghilang tanpa kabar.
Menurut cerita yang beredar, warga yang hilang itu diculik dan dibunuh para preman bayaran, mayatnya dikubur di sekitaran hutan yang letaknya di pinggiran desa.
Gak memakan waktu lama untuk berita ini tersebar, membuat sebagian besar warga tersulut emosinya, walaupun ada pula yang malah jadi makin ketakutan.
Tersebutlah dua warga yang bernama Supri dan Maryono, mereka termasuk warga paling vokal menyuarakan perlawanan. Pada suatu hari, mereka mengumpulkan warga tersisa yang masih ingin bertahan, di balai desa.
Di antara puluhan warga itu, ternyata ada Yudar juga, dia ikut hadir tanpa sepengetahuan Neneknya. Yudar akhirnya termasuk orang-orang yang kukuh dengan pendirian untuk tetap tinggal di desa ini.
Supri dan Maryono mengajak warga untuk melakukan perlawanan. Berapi-api mereka membakar semangat warga yang sudah berkumpul ini, menyuarakan untuk melakukan perlawanan sampai titik darah penghabisan.
Suasana desa yang sudah mencekam, jadi makin mencekam lagi. Warga tersisa sudah terbakar emosi.
Sementara itu, di titik ini Pak Paiman sudah gak bisa melakukan apa-apa lagi, serba salah. Dengan berbagai macam pertimbangan, salah satunya adalah demi keselamatan keluarga besarnya, dan juga karena sudah melihat situasi yang makin mencekam.
Dengan berat hati, Pak Paiman memutuskan untuk meninggalkan Desa Sindang Hulu, kemudian pindah ke tempat baru yang jaraknya cukup jauh dari Sindang Hulu.
Hingga pada akhirnya, bencana besar itu benar-benar terjadi..
***
Perkelahian masal gak bisa dielakkan lagi di satu sudut desa, warga yang dipimpin oleh Supri dan Maryono melakukan perlawanan kepada para preman-preman bayaran.
Lagi-lagi, di antara warga yang melakukan perlawanan, ada Yudar di sana.
Perkelahian berdarah itu berlangsung sengit, masing-masing kubu menggunakan berbagai macam senjata tajam.
Singkatnya, banyak korban berjatuhan dari kedua kubu, ada yang luka-luka dan gak sedikit juga yang meninggal dunia. Sungguh meyedihkan.
Supri dan Maryono sebagai pemimpin perlawanan juga ikut tewas mengenaskan. Yang membuatnya semakin menyedihkan, beredar kabar kalau sebelum meninggal mereka dipaksa untuk menggali liang kuburnya sendiri.
Selain Supri dan Maryono, banyak korban perkelahian yang dikubur di sekitar desa, tanpa tahu letak pastinya. Tapi, ada juga yang dimakamkan dengan layak di permakaman umum.
Perkelahian masal itu merupakan tragedi, bisa dibilang bencana yang benar terjadi. Tangis sedih warga yang tersisa, pecah terdengar di dalam kelam.
Seisi desa berduka, semuanya, termasuk penghuni salah satu rumah di satu sudut sunyinya
Iya, Nenek Sarmi tertunduk lesu di dalam rumah, tangisannya gak bersuara, duka terdalam merambah menusuk jiwa tatkala mendengar kabar kalau Yudar termasuk satu di antara korban yang meninggal dunia.
Nenek Sarmi kehilangan cucu kesayangannya, dia kehilangan satu-satunya orang tersisa yang menemani hidupnya. Gak ada kata atau kalimat yang dapat menggambarkan kesedihannya, guratan wajah lelahnya bercampur pedih remuk redam, hanya menyisakan hembusan nafas sesak di dada.
Almarhum Yudar dimakamkan di pemakaman umum yang ada di dalam desa Sindang Hulu, bersama dengan para korban meninggal lainnya.
***
Beberapa minggu setelahnya, desa Sindang Hulu sudah benar-benar tergusur, hampir seluruh warganya pergi meninggalkan rumahnya untuk menuju tempat baru.
Hampir? Iya, hampir, karena ternyata gak semua warga pergi meninggalkan desa. Perusahaan perkebunan pada akhirnya melunak, mereka mengijinkan beberapa warga yang gak mau pindah untuk tetap menempati rumahnya, Nenek Sarmi salah satunya.
Sepeninggal Yudar, Nenek Sarmi benar-benar sebatang kara, gak ada keluarga atau kerabat, gak ada tujuan mau ke mana kalau memang harus pergi meninggalkan Sindang Hulu. Makanya, Nenek Sarmi memutuskan untuk gak pergi, bersama dengan sebagian kecil penduduk lain.
Kebetulan juga, makam Yudar yang berada di pemakaman desa, gak ikut dipindahkan ke pemakaman baru, entah apa sebabnya.
Karena setelah tragedi perkelahian masal, sebetulnya ada rencana dari perusahaan perkebunan dan warga untuk memindahkan areal pemakaman ke lahan pemakaman baru yang letaknya di tengah-tengah hutan di luar desa.
Namun seiring berjalannya waktu, proses pemindahan itu gak selesai, hanya sebagian makam saja yang dipindahkan, sementara yang lain ditinggalkan. Entah apa sebabnya.
Tapi, proses pemindahan makam itu menjadi sebuah cerita yang masih akan terdengar di puluhan tahun ke depannya.
Cukup banyak kuburan di permakaman umum Desa Sindang Hulu yang dipindahkan ke tempat baru.
Awalnya, karena gak mau membangun perkebunan karet di atas lahan permakaman, perusahaan mengejar target untuk memindahkan seluruh makam secepatnya, maka dari itulah mereka melaksanakan pemindahan kuburan ke tempat baru secara maraton.
Mulai dari pagi, sampai terkadang hingga tengah malam.
Dalam masa itu, rombongan orang berbaris keluar-masuk desa membawa keranda mayat jadi pemandangan biasa. Tapi ya itu tadi, pada akhirnya tidak semua makam dipindahkan.
Entah apa sebabnya, perusahaan memutuskan untuk menghentikan kegiatan itu.
Proses pemindahan makam menghasilkan cerita turun temurun. Pada masa-masa berikutnya, penampakan-penampakan seram serombongan orang-orang membawa keranda mayat masih sering kali terlihat, tengah malam, menembus hutan dan perkebunan.
***
Kembali ke Nenek Sarmi.
Hidup terus berlanjut, Nenek Sarmi berusaha untuk menjalaninya. Dengan semangat yang nyaris di titik nol, beliau bertahan hidup seadanya, semampunya.
Kegiatan sehari-hari terus ia lakukan, termasuk untuk mengunjungi makam Yudar.
Iya, di sisa hidupnya, setiap hari sebelum dan sesudah mencari kayu bakar, Nenek Sarmi selalu mendatangi makam Yudar cucu kesayangannya ini. Dengan sapu lidi yang selalu ia bawa, beliau membersihkan makam Yudar.
Selalu, setiap hari Nenek Sarmi datang untuk membersihkan menyapi makam Yudar dengan sapu lidi.
Sreeek, sreeeek, sreeek. Suara sapuan sapu lidi selalu terdengar memecah sunyinya desa, ketika Nenek Sarmi sudah ada di pemakaman.
Sreeek, sreeek, sreeek..
Hal itu terus berlanjut hingga beberapa waktu kedepan. Hingga sekitar dua tahun kemudian Nenek Sarmi jatuh sakit, sakit yang gak tertolong lagi.
Dua tahun setelah kematian Yudar, Akhirnya nenek Sarmi meninggal dunia.
Semakin kelam dan sepi saja Desa Sindang Hulu.
***
~Perkebunan karet, tahun 2008~
“Gak mau! lo jangan tinggalin gw sendirian. Gila aja, di tengah kebun karet yang seremnya minta ampun gini, lo malah mau pergi. Gak, gak mau.”
“Tapi kita harus cari Gery, Friska. Kan gak jauh juga, paling cuma seratus meter di belakang.”
“Gak mau, Imaaaaan. Gw gak mau sendirian, takut gw. Kalo mau, kita jalan berdua!”
“Tapi mau ngelangkah aja lo susah banget, mendingan duduk di sini aja deh, tunggu gw dateng, sukur-sukur kalo ketemu Gery.”
Percakapan itu terjadi antara Friska dan Iman di satu tengah malam, di tengah-tengah perkebunan karet.
Dua mahasiswa asal Jakarta ini sedang duduk mengatur nafas di salah satu pohon karet di pinggir jalan setapak yang membelah perkebunan. Mereka kelelahan, setelah sebelumnya mengalami peristiwa seram yang gak pernah mereka duga sebelumnya.
Lalu, siapakah Gery?,
Gery adalah salah satu dari mereka juga, hanya saja Gery terpisah ketika mereka semua lari menjauh dari keseraman yang terjadi sebelumnya itu.
“Iya, Man. Kaki gw keseleo parah nih, sakit banget. Aduuuhh.” Friska meringis kesakitan.
“Makanya, gw jalan sebentar ya, takut ada apa-apa sama Gery. Lo tunggu aja di sini.” Ucap Iman.
Mendengar itu, Iman jadi jadi gak tega meninggalkan teman perempuannya ini. Tapi di sisi lain, dia juga khawatir memikirkan Gery, takut kenapa-kenapa. Yang ada, Iman cuma bisa berharap kalau Gery akan baik-baik saja, semoga dia hanya kesasar, berlari berbeda arah sendirian.
Kelamnya situasi, dikarenakan hanya sedikit redup cahaya langit yang bisa menyusup masuk, di dalam perkebunan karet ini hanya menyisakan gelap berbalut kabut tipis yang sudah muncul beberapa saat sebelumnya. Pandangan terbatas, gak mampu menembus sampai kejauhan.
Udara sama sekali gak ada pergerakan, statis.
Entah karena masih ketakutan atau alasan lain, tarikan nafas Iman dan Friska masih terasa sesak.
Suara-suara serangga malam sesekali terdengar bersahutan, menjadikannya sela di antara sepi cekam.
“Belum ada sinyal juga, sial.” Sungut Iman setelah sekali lagi melihat layar ponselnya.
“Di pedalaman gini, lo berharap ada sinyal gitu, Man?” Sambil meringis Friska mencibir.
Setelah kembali mengantongi ponsel, Iman melirik jam yang melingkar di tangan kirinya. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul satu, lewat tengah malam.
Percakapan cuma seperti itu, hanya obrolan pendek dengan volume rendah, nyaris berbisik. Dalam kepala mereka berdua, isinya hanya kecamuk banyak pertanyaan berbalut cemas. Lebih banyak diam memonopoli, sambil terus memperhatikan sekeliling yang sepinya menggurat sampai hati.
Di tengah keterbatasan pandangan karena adanya kabut tipis, indera pendengaran otomatis jadi menajam, setiap ada suara sekecil apa pun hampir pasti terdengar. Setiap ada suara yang muncul, mata Iman dan Friska langsung mengarah ke sumbernya.
Friska dan Iman mendengar sesuatu, ada suara di kejauhan.
“Kayak ada yang lagi lari, Man.” Bisik Friska.
Iman diam gak menjawab. Tapi apa yang Friska bilang memang benar, suara itu terdengar seperti langkah orang yang sedang berlari.
Mereka berdua lalu sama-sama berusaha mencari sumber suara, menembus gelap dan balut kabut.
Cukup lama suara langkah kaki itu terdengar, awalnya seperti di kejauhan sampai lama kelamaan semakin dekat, tapi tetap saja belum kelihatan sang empunya.
“Iii..itu Man,” Akhirnya Friska bersuara, sambil tangannya menunjuk ke salah satu arah di depan.
Kemudian Iman berusaha mencari apa yang Friska maksudkan.
“Itu, Man. Ada orang.” Gemetar bisik Friska, masih dengan posisi menunjuk.
Lalu, akhirnya Iman bisa menangkap objek yang Friska maksud.
Benar, ada seseorang yang sedang berlari, tapi bukan mendekat, dia berlari di sela-sela pepohonan karet dari bagian kanan perkebunan ke sebelah kiri. Orang ini berlari gak terlalu cepat, tapi kelihatan seperti sedang sangat ketakutan.
Setalah sudah cukup jelas, barulah mereka berdua baru sadar kalau ternyata yang sedang berlari itu adalah Gery.
“Itu Gery, Ka. Ayok, kita kejar.”
Iman lalu langsung membopong Friska, membantunya melangkah perlahan setelah bangkit dari duduk.
Perlahan, mereka melangkah dalam gelap mengikuti Gery dari belakang.
Pekat gelap malam ditambah balutan kabut, membuat keduanya cukup susah mengimbangi kecepatan Gery. Posisi Iman yang harus membopong Friska yang kakinya terkilir juga menghambat pergerakan.
Awalnya posisi Gery gak terlalu jauh, lama kelamaaan makin berjarak, lalu sesekali hilang tertutup kabut.
Hingga akhirnya, Gery benar-benar hilang dari pandangan, walau sesekali suara langkah kakinya masih terdengar.
“Gery gak kelihatan lagi, Man.”
“Gapapa, kita terus ikutin arahnya aja.”
Gak ada pilihan lain, Friska mengikuti kemauan Iman, tergopoh-gopoh mereka terus melanjutkan langkah mengejar Gery.
Selebihnya, mereka berdua hanya mengandalkan intuisi dalam malengkah, karena akhirnya suara langkah kaki Gery pun gak terdengar lagi, apa lagi wujudnya.
Lagi-lagi, hening sepi jadi menyelimuti.
Sama sekali gak ada percakapan, Friska dan Iman terus melangkah pelan, walau gak tahu arah tujuan.
Tapi gak lama, detik berikutnya Iman menghentikan langkahnya, otomatis Friska juga ikut berhenti.
Ada apa? Kenapa mereka berhenti?
Ternyata, ada pemandangan di beberapa belas meter di depan yang mengharuskan untuk henti langkah.
Gak perlu ada perbincangan, tapi pandangan sudah tertuju pada objek yang sama.
Ada bangunan berbentuk rumah, berdiri dalam kegelapan, di ujung perkebunan karet.
Posisi rumah ini agak menurun, sehingga Friska dan Iman berposisi melihat dari tempat yang sedikit lebih tinggi.
Rumah ini berdiri tanpa penerangan sama sekali, gelapnya semakin runyam ditambah kabut yang sejak tadi malah makin menebal.
Pemandangan horor klasik, Friska dan Iman memandangnya dengan nafas yang sesekali tertahan, sungguh menyeramkan.
Suasana makin mencekam, ketika suara serangga yang tadinya bersahutan tiba-tiba menghilang, udara yang tadinya sama sekali gak bergerak mendadak mulai ada sepoy angin bertiup, suhu beranjak turun hingga perlahan dinginnya menembus pakaian.
Kemudian, tiba-tiba Iman menarik Friska bergeser, mengajaknya untuk berposisi sembunyi di balik salah satu pohon karet, sambil pandangan masih terus ke arah rumah seram itu.
Masih tanpa percakapan, Friska mau gak mau harus mengikuti ke mana Iman bergerak.
Kenapa Iman mengajak Friska sembunyi di balik pohon? Karena ternyata Iman melihat sesuatu..
Beberapa puluh detik kemudian, Friska juga akhirnya melihat apa yang Iman lihat.
Sungguh pemandangan yang mengerikan, di beberapa belas meter sebelah kanan rumah, ternyata ada sosok misterius yang sedang bergerak perlahan menuju rumah itu.
Yang membuatnya seram, sosok ini bergeraknya bukan berjalan manapak, tapi melayang beberapa sentimeter dari atas tanah.
Sosok tinggi besar, berbalut seperti jubah panjang berwarna gelap. Menyeramkan..
Dia terus bergerak melayang mendekati rumah. Friska dan Iman melihat itu semua sambil terus menahan nafas, sebisa mungkin untuk gak bersuara sedikit pun.
“Iman, ada Gery..” gemetar suara Friska berbisik.
Ada Gery? Di mana?, Iman bertanya-tanya dalam hati.
Ternyata benar, setelah Iman memicingkan mata menajamkan pandangan, akhirnya dia melihat apa yang Friska maksud.
Ada Gery di teras rumah gelap itu..
Gery terlihat sedang duduk dengan kedua tangan memeluk dua kakinya, wajahnya menunduk berada di antara dua lutut, Gery seperti sedang menangis ketakutan.
Sementara sosok menakutkan yang sejak tadi bergerak melayang mendekat, tiba-tiba sudah berada persis di depan Gery. Sosok seram ini berdiri diam sambil memperhatikan Gery yang masih bergeming dengan posisi ketakutannya.
Sungguh pemandangan yang sangat mengerikan, Friska dan Iman hanya mampu memperhatikan dari kejauhan.
Friska menangis dalam diam, Iman gak berani berbuat apa-apa, cekamnya mematikan nyali..
***
Hai, balik lagi ke gw ya, Brii.
Itulah akhir dari prekuel #rhdpk. Di ujungnya ada sekelumit cerita sekuelnya, kapan-kapan gw lanjutin, hehe.
Sampai jumpa minggu depan.
Terus jaga hati, perasaan, dan kesehatan, supaya bisa terus merinding bareng.
Salam,
~Brii~
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Jakarta, banyak terselip kisah seram, entah di kantor atau tempat tinggal.
Salah satu bentuk tempat tinggal adalah apartemen. Sama seperti tempat lain, banyak apartemen yang punya cerita seram. Salah satu teman akan menceritakan kisahnya.
Simak di sini, di briistory..
***
Pintu kamar sengaja aku buka, supaya tetap bisa melihat ke ruang tengah, imajinasi jadi gak melayang ke mana-mana.
Namun, tetap saja susah untuk tidur.
Terkadang, mata sudah terpejam, tetapi aku malah merasa seperti ada yang sedang berdiri memperhatikan. Was-was jadinya.
Awalnya, aku pikir mungkin itu hanya perasaan saja, awalnya begitu.
Petualangan di desa Sindang Hulu masih berlanjut, cerita seram masih datang berurut.
Masih mencekam, masih membuat nafas tertahan.
Simak lanjutan ceritanya di sini, hanya di Briistory.
***
Hembusan angin dingin semilir bertiup, menembus ruang gelap malam, menyentuh setiap sudut kosong pedesaan. Heningnya seperti bicara dalam diam, menebar ketakutan.
Suara daun-daun kering yang terangkat terbang lalu jatuh kembali, menyentuh dan bergesekan dengan tanah, itu adalah satu dari sedikit suara yang terdengar. Kadang sesekali serangga nekat berbunyi walau sebentar, sebelum (seperti) ada yang memaksanya berhenti lalu diam.
Sering kali cerita hidup gak sesuai dengan skenario yang kita mau, malah berbelok ke tempat gak menyenangkan. Memaksa kita untuk menelan kesedihan, remuk redam.
Di hari minggu cerah ini, ijinkan gw bercerita pendek drama non horror.
Simak dengan hati, hanya di Briistory.
***
Sekitaran tahun 2008, pada suatu malam minggu gw mengantar Irwan (salah satu teman di Rumah Teteh) dari Bandung menuju Depok, untuk menemui seorang perempuan, namanya Indah.
Awal mula hubungan Irwan dan Indah adalah ketika mereka berkenalan secara gak sengaja di satu mall di Cihampelas, Bandung.
Pada hari perkenalan itu, mereka menyempatkan diri untuk makan dan jalan bareng, berkenalan lebih dari sekadar tahu nama.
Seperti tempat-tempat lain, perkebunan karet yang menyeramkan ini ternyata juga memiliki sejarah panjang. Ada kisah suram di belakangnya, di sinilah ketika semuanya berawal..
Simak prekuel berikutnya dari #rhdpk, hanya di sini, di Briistory..
***
~Desa Sindang Hulu, 1953.~
Sebagian limpahan anugerah Tuhan terhampar di salah satu desa terpencil di pedalaman Sumatera. Terang saja dibilang begitu, karena desa ini wilayahnya subur,
Rentetan peristiwa seram bergantian dialami oleh Aldo dan Sandi, kesemuanya gahar menggores nyali. Rumah dan perkebunan karet ini sungguh jadi cobaan tak terkira buat mereka.
Simak penggalan terakhir ceritanya, hanya di sini, di Briistory..
Jam 12 siang, sinar matahari sedang terik-teriknya.
Kami semua berkumpul di ruang tengah, banyak pertanyaan dilontarkan oleh Pak Rahman dan teman-temannya. Aku dan Sandi, berusaha menjawabnya satu persatu, semampu yang kami bisa dan ingat.
“Adek berdua ini ditemukan sama-sama pingsan, tapi di tempat yang jaraknya berjauhan, gimana ceritanya bisa begitu? Ada apa?”
Awalnya, Pak Kades melontarkan pertanyaan seperti itu, pertanyaan yang tentu saja diikuti oleh pertanyaan-pertanyaan berikutnya.
Kali ini Sandi yang akan bercerita, kenapa dia
semalaman gak pulang-pulang.
Ternyata peristiwanya sangat seram, Sandi mengalami satu fragmen hidup yang gak akan dia lupakan.
Simak episode ketiga prekuel #rhdpk, hanya di sini, di Briistory..
***
Aldo sudah masuk ke kamarnya, dia terlihat sangat kelelahan, sejak kemarin memang sungguh melelahkan buat kami.
Walaupun selalu terus bersama, tapi selama perjalanan dari Jakarta sampai ke tujuan, aku lebih banyak tidur, sementara Aldo sama sekali gak tidur, jadi ya mungkin karena itu aku bisa jadi lebih segar.