Seperti tempat-tempat lain, perkebunan karet yang menyeramkan ini ternyata juga memiliki sejarah panjang. Ada kisah suram di belakangnya, di sinilah ketika semuanya berawal..
Simak prekuel berikutnya dari #rhdpk, hanya di sini, di Briistory..
***
~Desa Sindang Hulu, 1953.~
Sebagian limpahan anugerah Tuhan terhampar di salah satu desa terpencil di pedalaman Sumatera. Terang saja dibilang begitu, karena desa ini wilayahnya subur,
sungai besar dengan airnya yang bersih mengalir di batas desa, udara dan alamnya indah, dikelilingi hutan belantara yang tampak seperti melindungi dari dunia luar. Kira-kira gambarannya seperti itu.
Bukan termasuk desa yang berada di dataran tinggi, tapi udaranya cukup sejuk walau berada gak jauh dari bentangan garis Khatulistiwa.
Sebagian besar penduduknya bekerja dengan bertani atau berkebun, ditunjang dengan tanah subur dan air berlimpah, hasilnya mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup.
Hasil tani dan kebun nantinya akan dijual ke kota, atau ditukar dengan barang-barang kebutuhan lain yang belum bisa mereka hasilkan sendiri.
Desa ini gak terlalu besar, penduduknya hanya puluhan kepala keluarga. Sehingga mungkin masing-masing orang yang tinggal di situ kenal satu sama lain.
Letak satu rumah dengan rumah lain berjarak agak jauh, masing-masing memiliki halaman luas dengan pepohonan di dalamnya.
Warganya lebih banyak berjalan kaki kalau bepergian, tapi kalau jaraknya cukup jauh mereka akan menggunakan sepeda. Gerobak yang ditarik sapi atau kerbau menjadi alat tansportasi kalau harus membawa barang bawaan cukup banyak, hasil kebun dan tani contohnya.
Secara keseluruhan, Desa Sindang Hulu ini bisa dibilang desa yang penduduknya hidup damai dan tentram, dengan alamnya yang indah.
***
~Pada suatu malam,~
Bulan yang sebelumnya menerangi dengan pantulan sinarnya, kini tertutup awan kusam. Makanya, Yudar memutuskan untuk menyalakan lagi obor di tangan karena suasana jadi gelap total.
Rumah-rumah penduduk yang dilintasi hanya kelihatan seperti lukisan hitam, lampu templok yang biasanya dipasang di teras depan sudah dalam keadaan mati.
Sekitar jam setengah satu lewat tengah malam, Yudar sedang dalam perjalanan pulang setelah berkunjung dari rumah Umay, temannya.
Sebenarnya, rumah Umay yang letaknya di desa sebelah, gak terlalu jauh dari rumah Yudar, hanya kira-kira setengah jam bersepeda jaraknya. Tapi karena kebetulan tadi ketika hendak pulang rantai sepedanya putus, terpaksa Yudar harus berjalan kaki.
~~~ “Ayoklah, aku antar saja kau, Dar. Dari pada harus jalan kaki, kan.”
Sebenarnya Umay sudah menawarkan untuk mengantar pulang dengan berboncengan menggunakan sepedanya, tapi Yudar gak mau, bersikukuh ingin pulang jalan kaki saja.
“Gak apa, May. Tenang saja. Lihat itu bulan bersinar dengan terangnya, gak akan gelap di jalan, hehe.” Jawab Yudar menolak tawaran Umay.
Begitulah, akhirnya Yudar benar pulang berjalan kaki, meninggalkan sepedanya di rumah Umay. ~~~
Sunyi, sepi, gak ada suara sama sekali, apa lagi di ujung desa.
Jalan tanah yang membelah pemukiman sama sekali gelap tanpa penerangan, hanya cahaya redup malam yang membuat mata jadi terbiasa mengikuti alurnya.
Sudah kira-kira setengah jam Yudar berjalan kaki, hanya tinggal beberapa puluh meter lagi sebelum memasuki wilayah hutan. Bukan merupakan hutan yang rindang, tapi cukup membuat sebagian besar penduduk harus berpikir ulang untuk melintasinya ketika hari sudah gelap.
Hutan ini lebih banyak berisi pepohonan kapas dan rindang bambu, akan menimbulkan suara riuh seram ketika bergerak diterpa sepoi angin.
Di dalam hutan akan ditemui sungai yang cukup besar, kalau mau menyeberang harus menaiki jembatan kayu yang melintang di atasnya. Jembatan kayu ini sangat kokoh, sudah puluhan tahun jadi penghubung dua desa, dapat dilalui juga oleh gerobak/kereta yang ditarik Kerbau atau sapi.
Nah, sungai inilah sebenarnya yang jadi batas antara desa Umbulan Batu tempat tinggal Umay dan Sindang Hulu tempat tinggal Yudar.
***
Menyeka keringat, Yudar menarik nafas panjang lalu menghelanya, ketika mulai masuk wilayah hutan pada akhirnya.
Sudah beberapa kali dia memaki diri sendiri dalam hati, kenapa sampai harus berada di dalam situasi seperti ini, situasi mencekam dan mulai menakutkan, berjalan kaki di tengah malam.
Tapi nasi sudah menjadi bubur, gak lagi bisa mengubah alur.
Jalanan desa yang tadinya melintas di depan rumah-rumah penduduk, kini sudah berubah, kanan kiri hanya terlihat pepohonan rapat menghias kelu malam.
Coba untuk mengabaikan sekitar, Yudar terus melangkah. Api dari obor yang dia genggam, bergeliat bergoyang tertiup pergerakan angin, cahayanya menghasilkan bayangan dari objek apa pun yang ada di hadapan.
Juga, gak ada suara apa-apa, Yudar hanya mendengar gerak kakinya saja yang sedang melangkah. Walau sesekali suara dedaunan kering yang remuk terinjak jadi selingan dalam kesunyian.
Pohon kapas dan bambu sekitar yang berdesakan, hanya berdiri diam tanpa pergerakan.
Nah, ketika sudah berada di tengah-tengah hutan, tiba-tiba Yudar mendengar sesuatu..
Ada yang menarik perhatiannya. Dalam keadaan sunyi sepi begini, suara sekecil apa pun akan jadi terdengar jelas.
Yudar mendengar seperti ada yang bergerak di belakangnya..
Seperti langkah kaki, terseret.
Yudar menghentikan langkah, lalu menoleh cepat ke belakang, kemudian mengarahkan cahaya obor untuk menerangi sekitar.
Gak ada apa-apa, gak ada siapa-siapa, suara itu juga tiba-tiba menghilang gak kedengaran lagi.
Ya sudah, Yudar kemudian lanjut berjalan.
Tapi gak bisa dipungkiri, kalau Yudar sudah mulai merasa ada yang aneh, rasa cemas mulai menemani ketakutan yang sejak tadi sudah timbul tenggelam.
Kemudian, ternyata senyap hanya sebentar, suara dari pergerakan misterius di belakang kembali terdengar..
Kali ini Yudar hanya menajamkan pendengaran, tanpa melihat langsung.
Benar, terdengar seperti ada yang bergerak di belakang. Tapi kali ini bukan suara langkah kaki terseret, melainkan seperti ada yang sedang menerjang pepohonan, menembus rapatnya hutan, dan jaraknya gak jauh.
Reflek, sekali lagi Yudar menoleh ke belakang, memperhatikan sebentar sambil lagi-lagi langkahnya berhenti.
“Kosong, gak ada siapa-siapa. Suara apa sih itu sebenarnya?” gumam Yudar dalam hati, sambil coba terus memerangi kecemasan.
Kemudian dia mulai lanjut berjalan lagi, kali ini lebih cepat dari sebelumnya.
Tapi, semakin Yudar mempercepat langkah, semakin cepat juga pergerakan misterius yang ada di belakang mengikuti.
Iya, seperti ada yang mengikuti dari belakang, sadar akan hal itu Yudar semakin cepat berjalan, ketakutan.
Nafas mulai tersengal, sambil mati-matian menjaga api obor untuk tetap hidup diterjang tiupan angin. Keringat bercucuran, langkah Yudar semakin cepat ketika suara di belakang semakin riuh dalam senyap.
Aneh, Yudar merasa sepertinya sumber suara sudah berpindah tempat, yang tadinya seperti sejajar dengannya, kali ini kok sepertinya berasal dari atas, di pepohonan. Namun tetap sama, suaranya seperti ada objek yang sedang menembus rapatnya hutan.
Entah karena penasaran atau apa, yang tadinya gak berani, tiba-tiba Yudar menoleh ke belakang lagi untuk melihat dan mencari tahu sumber suara..
Sekali lagi, dia mengarahkan cahaya obor ke tempat yang mencurigakan, yaitu di atas pepohonan.
Pada saat inilah, akhirnya Yudar melihat sesuatu..
Tiba-tiba suara itu terdengar lagi, benar seperti ada yang sedang menembus rindang pepohonan. Dan benar, suaranya berasal dari atas.
Awalnya, Yudar hanya melihat dedaunan bagian atas bergerak seperti ada yang menembus menabrak, tapi belum kelihatan apa yang membuat begitu, karena cahaya obor gak sanggup menjangkau. Tapi, akhirnya kelihatan ada sesuatu ketika penglihatan sudah mulai terbiasa dalam keremangan..
Ada sosok berbentuk seperti manusia, tinggi besar, hitam pekat seperti bayangan, dia sedang berdiri di atas pohon, diam memperhatikan.
Yudar terpaku, tubuhnya gak bisa digerakkan, terkesima melihat pemandangan itu.
Namun, ketika Yudar masih bergulat dengan keterkejutan, Tiba-tiba sosok seram itu bergerak terbang melayang menembus pepohonan, menghasilkan suara persis seperti yang dia dengar sejak tadi.
Tersadar, Yudar langsung mengalihkan pandangan, membalikkan badan mengarah kembali menuju pulang.
Ketakutan, sebelumnya langkah kaki hanya berjalan cepat kali ini berubah jadi berlari.
Mengabaikan pergerakan di belakang yang kembali terdengar, Yudar terus berlari.
Di kejauhan, akhirnya Yudar sudah melihat ada jembatan, jembatan yang melintang di atas sungai besar perbatasan. Semakin cepat dia berlari, karena gak terlalu jauh dari jembatan akan menemui batas desa Sindang Hulu tempat tinggalnya.
Nyaris menangis, Yudar sadar kalau sosok misterius di belakangnya terus-terusan bergerak. Yang membuat semakin mencekam, sepertinya bukan hanya satu, tapi ada beberapa sosok yang sedang bergerak berkelebat mengikuti.
Beberapa puluh detik kemudian, akhirnya Yudar sampai juga di jembatan.
Aliran air sungai yang gak terlalu deras, namun tetap masih menimbulkan suara. Tapi walaupun begitu, riuh kelebatan pergerakan seram di belakang masih terdengar, namun tetap Yudar bergeming mengabaikan, memilih untuk fokus tetap memperhatikan ke depan.
Kemudian, akhirnya kaki mulai malangkah menginjak badan jembatan yang terbuat dari batang kayu besar. Jembatan ini cukup kokoh, gerakan melangkah Yudar gak membuatnya bergerak.
Panjangnya sekitar 30 meter, memakan cukup banyak waktu untuk melintasinya, apa lagi di tengah kondisi menakutkan seperti ini, semakin terasa lama.
Di tengah jembatan, Yudar merasa kalau suara-suara di belakangnya gak lagi mengikuti namun tetap kedengaran di kejauhan, sepertinya "mereka" gak ikut menyeberang. Tapi gak peduli akan hal itu, Yudar terus berjalan cepat menyeberang.
Dengan nafas tersengal, akhirnya Yudar sampai juga di seberang. Gak lagi berlari, langkahnya jadi berjalan pelan, mulai kelelahan.
Beberapa meter setelah jembatan, entah apa yang ada di pikirannya, tiba-tiba Yudar berhenti lalu menoleh lagi ke belakang..
Kemudian jantungnya kembali berdegup kencang, ketika melihat pemandangan yang menyeramkan.
Di ujung jembatan, ada berdiri tiga sosok tinggi besar yang masih saja berbentuk bayangan hitam. Mereka diam seperti sedang menatap Yudar dari kejauhan. Menyeramkan..
Beberapa detik lamanya Yudar terpaku memperhatikan, sampai akhirnya tersadar lalu mulai kembali berlari kencang, ketika melihat sosok itu tiba-tiba semuanya berkelebat terbang, melayang di atas jembatan menyeberangi sungai, menuju ke tempat Yudar tengah berdiri!
Yudar terus berlari, sambil menangis pelan. Sementara sosok seram terdengar masih seperti terus mengikuti.
Untunglah, beberapa saat kemudian, di kejauhan mulai terlihat ada rumah penduduk, pertanda kalau batas luar desa Sindang Hulu sudah dekat.
Gak berani lagi menoleh ke belakang, Yudar terus berlari kencang.
Rumah Yudar dan neneknya, terletak gak jauh dari batas desa, sehingga gak lama kemudian Yudar sudah sampai di depan pintu rumahnya.
“Nek, buka pintu, Nek. Nek, Nek, cepat Nek.” Suara Yudar gemetar sambil tangannya terus mengetuk pintu depan.
Gak lama, sang Nenek akhirnya membukakan pintu.
“Malam sekali kamu pulangnya, Nak.” Wajah cemas Nenek sangat kelihatan.
“Iya, Nek. Maaf, tadi sepedaku rusak, jadi terpaksa jalan kaki dari rumah Umay.” Jawab Yudar masih berusaha mengatur nafasnya.
“Lalu, kenapa kamu tersengal seperti itu?, ya sudah, sana bersih-bersih dulu.”
Sepertinya, Neneknya Yudar sudah sedikit mengerti apa yang baru saja cucunya alami.
Kelegaan sudah mulai dirasakan Yudar, di dalam rumah ketakutannya berangsur menghilang, bergegas dia ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
***
~Beberapa hari sebelumnya~
“Nek, katanya semalam ada hantu terbang itu lagi, kok seram sekali ya, Nek.”
Di dapur yang letaknya di belakang rumah, Yudar bertanya kepada neneknya yang sedang berusaha menyalakan api di bawah tungku.
“Masak sih? Kamu kata siapa?” Jawab sang nenek, tanpa menoleh ke arah Yudar.
“Pak Ramdan, bapaknya Udin, Nek. Dia pulang mengaji dari musala hampir tengah malam.”
“Nah, itu bisa jadi peringatan buat kamu. Jangan sering-sering pulang malam. Bertemu hantu terbang itu nanti baru tau rasa,” Sang nenek bilang begitu, sambil terus meniup bawah tungku dengan bambu panjang di tangannya.
Begitulah, pada suatu pagi di satu sudut desa Sindang Hulu, terjadi percakapan antara seorang cucu dengan neneknya. Cucu ini bernama Yudar, remaja berumur sekitar 17 tahun, sedangkan sang nenek biasa dipanggil Nenek Sarmi.
Sejak kecil Yudar memang tinggal di rumah neneknya, diasuh dengan penuh kasih sayang setelah ditinggal kedua orang tua. Iya, orang tuanya pergi ketika Yudar masih berumur empat tahun.
Menurut cerita nenek Sarmi, waktu itu ayah dan ibu Yudar pamit untuk mencari pekerjaan di kota, kemudian menitipkan Yudar kepada neneknya.
Tapi, setelah hari berganti hari, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, orang tua Yudar gak pernah kelihatan batang hidungnya lagi, gak pernah kembali lagi, gak ada kabar sama sekali, meninggalkan Yudar sebatang kara.
Tapi, gak apa-apa, Yudar sudah cukup bahagia tinggal dan diberi kasih sayang oleh neneknya, walau sesekali dia masih bertanya-tanya ke mana gerangan Bapak dan Ibunya.
“Tapi emang benar, Nek? Katanya hantu terbang itu udah ada sejak dulu?” Yudar masih penasaran.
“Menurut orang-orang kampung sih begitu,” Jawab Nenek.
“Nenek pernah ngeliat hantu itu?”
“Hmmmm.”
Pertanyaan terakhir dari Yudar membuat nenek Sarmi sejenak diam lalu menghela nafas panjang. Bergulat perasaannya, ketika harus memilih bercerita yang sebenarnya atau berkelit berbohong menutupi kebenaran.
“Pernah, dulu sekali, ketika ayah kamu masih kecil.”
Akhirnya nenek menjawab dengan jujur, perihal peristiwa yang pernah dia alami puluhan tahun yang lalu.
“Nah, kenapa nenek gak pernah cerita?”
“Buat apa? Nanti kamu malah ketakutan,”
“Ah, nenek ini, aku kan pingin tahu gimana nenek melihat hantu-hantu itu. Seram gak nek? Gimana bentuknya? Benar-benar bisa terbang?”
Rentetan pertanyaan langsung keluar dari mulut Yudar, itu yang sebenarnya gak diinginkan oleh nenek Sarmi.
“Nanti ajalah ceritanya. Sudah, kamu pergilah ke ladang sana, membajak, besok nenek mau menanam benih.”
“Ah, nenek ini. Bikin aku penasaran aja.”
Setelah itu, Yudar bangkit dari duduknya lalu melangkah pergi. Menuruti perintah sang Nenek, dia lalu mulai bersiap ke ladang untuk mulai membajak sawah.
Yudar anak yang baik, selama diasuh oleh neneknya dia gak pernah membantah, selalu menurut.
“Nenek gak punya siapa-siapa lagi, hanya tinggal kamu seorang, Yudar. Jadi, tolong untuk jangan membuat nenek kamu ini kecewa atau bersedih, harus selalu jadi anak yang baik.”
Begitu Nenek bilang berkali-kali.
Intinya, Nenek Sarmi sangat menyayangi cucu satu-satunya ini, begitu pula sebaliknya, Yudar juga sangat menyayangi neneknya, gak pernah mau membuat beliau sampai menangis.
***
Jadi, desa terpencil yang tentram ini belakangan digegerkan dengan berita tentang adanya beberapa kejadian aneh.
Katanya, beberapa penduduk pernah melihat ada sosok-sosok menyeramkan di beberapa sudut desa. Katanya juga, sosok ini bentuknya seperti manusia yang tinggi besar namun wajah dan tempilan jelasnya masih misterius, karena selalu terlihat seperti bayangan hitam.
Gak hanya malam hari, beberapa orang juga pernah melihat mereka ketika matahari masih bersinar.
Sosoknya kadang hanya diam seperti sedang memperhatikan dari kejauhan, kadang berkelebat, ada pula yang melihat mereka terbang melayang. Kadang muncul hanya satu sosok, kadang lebih dari satu.
Intinya, sosok seram itu sangat menakutkan.
Makanya, beberapa waktu belakangan desa Sindang Hulu dan desa sebelah yang berdekatan jadi sangat sepi ketika malam datang, penduduk lebih memilih berdiam di dalam rumah, gak akan ke luar kalau gak terpaksa.
Dan ternyata, menurut warga sepuh yang sudah tinggal di sini puluhan tahun lamanya, kemunculan sosok-sosok seram ini ternyata bukan yang pertama kali.
“Mereka” sudah jadi kisah yang diceritakan lintas generasi secara turun temurun.
Yang menyeramkan lagi, katanya kemunculannya selalu jadi pertanda kalau akan ada bencana besar yang menimpa penduduk desa.
Makanya, Nenek Sarmi cukup berat untuk menceritakan semuanya kepada Yudar, dia gak mau cucunya nanti jadi ketakutan.
***
Lampu kecil berbahan bakar minyak jadi penerangan di ruang tengah, cahayanya yang redup temaram memberi cukup cahaya bagi penghuni rumah.
Yudar sedang asik membersihkan sepedanya, sementara Nenek Sarmi masih sibuk menjahit pakaian yang robek.
Beberapa jam setelah makan malam, itulah kegiatan yang sedang dilakukan nenek dan cucu itu di dalam rumah.
Sementara malam semakin larut, udara mulai semakin dingin. Suasana desa juga sudah sangat sepi.
“Sudahlah, Dar. Besok lagi. Ini sudah malam, tidurlah.”
“Iya, Nek. Sebentar lagi.”
Mungkin kira-kira ketika sudah jam sebelas, Nenek Sarmi bangkit dari duduknya lalu melangkah ke belakang, ke kamar mandi.
Sementara Yudar masih saja sibuk mengelap sepedanya di ruang tengah.
“Creeek, creek, Crekk.”
Tiba-tiba terdengar suara seperti itu.
Yudar langsung menghetikan kegiatannya, celingak-celinguk dia menajamkan pendengaran.
“Creeek, creek, Crekk.”
Kedengaran lagi, kali ini suaranya lebih keras, sepertinya sumber suara sudah lebih dekat.
Masih sedang kebingungan menerka, tiba-tiba Yudar sudah melihat neneknya sedang berdiri di pintu ruang tengah.
“Sudah, Yudar. Hentikan. Matikan lampu, lalu masuk kamar.” Nyaris berbisik, Nenek Sarmi bilang seperti itu.
Bergegas Yudar menuruti perintah Neneknya.
Yudar menempati kamar depan, sementara Nenek Sarmi di kamar tengah. Kamar Yudar langsung menghadap halaman rumah yang di depannya sudah langsung jalanan desa.
Di kamar, Yudar gak langsung tertidur, dia sama sekali gak merasa ngantuk. Bukan tanpa sebab, tapi masih memikirkan tentang suara tadi. Suara yang sebelumnya sudah pernah dia dengar waktu masih kecil, jadi sebenarnya dia sudah tahu sosok yang menimbulkan suara seram itu.
Di atas karus kapuknya, Yudar merasa kalau malam yang sudah sepi jadi semakin sepi. Tiupan angin di luar terdengar menerpa pepohonan.
Desa ini mulai mencekam, entah karena apa.
Semakin larut, sudah sedikit lewat tengah malam, namun Yudar masih saja terus terjaga.
Tiba-tiba terdengar suara lolongan panjang anjing hutan dari kejauhan memecah kesunyian, menambah seram keadaan.
Angin yang tadinya bertiup pelan, perlahan berubah beranjak jadi agak kencang, suara pepohonan di luar terdengar keras tertiup.
Mulai muncul kecemasan, Yudar sempat berpikir untuk tidur di kamar neneknya saja kalau nanti rasa takutnya gak terkendali lagi.
Ketika suasana semakin mencekam, tetiba Yudar mendengar suara..
Ssssssssss.., sssssssssss..
Kira-kira seperti itu, berdesis, dan sepertinya berasal dari luar rumah, di jalan desa di depan.
“Suara apa itu?” Yudar bertanya-tanya dalam hati.
Terus-terusan terdengar, Yudar semakin penasaran.
Gak lama kemudian, akhirnya Yudar memutuskan untuk mencari tahu, berniat mengintip melihat keadaan dari jendela ruang tengah.
Perlahan Yudar mulai melangkah, membuka pintu kamar menuju ruang tengah.
Tapi, alangkah terkejutnya Yudar, ketika melihat neneknya ada di ruang tengah. Dalam gelap, Nenek Sarmi berdiri di dekat jendela, sedang mengintip ke luar.
“Nek? Nenek lagi ngapai?” Suara pelan Yudar memecah sepi.
Nenek Sarmi langsung menoleh.
“Gak, Nak. Sudah, sekarang kita tidur, yuk. Kamu tidur di kamar nenek saja.” Nenek Sarmi bilang begitu sambil berbisik juga, sangat pelan.
Yudar menurut. Kemudian mereka masuk ke kamar tengah.
Pertanyaannya, apa yang sedang Nenek Sarmi lakukan di ruang tengah? apa yang sedang dia lihat di luar?
Ternyata, sama dengan Yudar, nenek Sarmi juga mendengar suara-suara menyeramkan itu. Bedanya, beliau langsung mencari tahu, dengan mengintip dari jendela ruang tengah.
Ketika sedang mengintip ke luar itulah, akhirnya Nenek Sarmi menyaksikan semuanya.
Di depan, beliau melihat beberapa sosok tinggi besar berkelebatan menyusuri jalan, ada yang berjalan bergerak pelan, ada yang hanya berdiri diam, ada pula yang terbang melayang seperti akan menuju suatu tempat.
Nenek Sarmi melihat semuanya, semua pemandangan seram di depan rumahnya, sebelum Yudar menegurnya.
***
Hai, balik lagi ke gw ya, Brii.
Cukup sekian episode #rhdpk malam ini, insya Allah minggu depan disambung lagi.
Tetap jaga kesehatan, supaya bisa terus merinding bareng.
Sampai jumpa,
Salam,
~Brii~
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Sering kali cerita hidup gak sesuai dengan skenario yang kita mau, malah berbelok ke tempat gak menyenangkan. Memaksa kita untuk menelan kesedihan, remuk redam.
Di hari minggu cerah ini, ijinkan gw bercerita pendek drama non horror.
Simak dengan hati, hanya di Briistory.
***
Sekitaran tahun 2008, pada suatu malam minggu gw mengantar Irwan (salah satu teman di Rumah Teteh) dari Bandung menuju Depok, untuk menemui seorang perempuan, namanya Indah.
Awal mula hubungan Irwan dan Indah adalah ketika mereka berkenalan secara gak sengaja di satu mall di Cihampelas, Bandung.
Pada hari perkenalan itu, mereka menyempatkan diri untuk makan dan jalan bareng, berkenalan lebih dari sekadar tahu nama.
Rentetan peristiwa seram bergantian dialami oleh Aldo dan Sandi, kesemuanya gahar menggores nyali. Rumah dan perkebunan karet ini sungguh jadi cobaan tak terkira buat mereka.
Simak penggalan terakhir ceritanya, hanya di sini, di Briistory..
Jam 12 siang, sinar matahari sedang terik-teriknya.
Kami semua berkumpul di ruang tengah, banyak pertanyaan dilontarkan oleh Pak Rahman dan teman-temannya. Aku dan Sandi, berusaha menjawabnya satu persatu, semampu yang kami bisa dan ingat.
“Adek berdua ini ditemukan sama-sama pingsan, tapi di tempat yang jaraknya berjauhan, gimana ceritanya bisa begitu? Ada apa?”
Awalnya, Pak Kades melontarkan pertanyaan seperti itu, pertanyaan yang tentu saja diikuti oleh pertanyaan-pertanyaan berikutnya.
Kali ini Sandi yang akan bercerita, kenapa dia
semalaman gak pulang-pulang.
Ternyata peristiwanya sangat seram, Sandi mengalami satu fragmen hidup yang gak akan dia lupakan.
Simak episode ketiga prekuel #rhdpk, hanya di sini, di Briistory..
***
Aldo sudah masuk ke kamarnya, dia terlihat sangat kelelahan, sejak kemarin memang sungguh melelahkan buat kami.
Walaupun selalu terus bersama, tapi selama perjalanan dari Jakarta sampai ke tujuan, aku lebih banyak tidur, sementara Aldo sama sekali gak tidur, jadi ya mungkin karena itu aku bisa jadi lebih segar.
Ada yang memilih untuk mengambil jalan pintas ketika mengalami kesusahan hidup. Jalan pintas bergelimang dosa, dan ada “harga mahal” yang harus dibayar. Ngeri..
Malam ini, salah satu teman yang akan menceritakan satu sisi kelam dalam hidupnya.
Simak di sini, di Briistory.
***
Oh iya, nama-nama yang ada semuanya samaran (Kecuali Brii), kalau ada kesamaan nama atau peristiwa pasti hanya ketidaksengajaan.
Mohon untuk bijak membaca cerita kali ini..
Selanjutnya, yang bersangkutan sendiri yang akan menceritakannya langsung.
***
Aku Hesti, umur 33 tahun, domisili Jakarta.
Sekadar info, aku termasuk selebgram dengan satu juta lebih followers.
Kali ini aku akan coba untuk menceritakan satu episode gelap dalam hidup yang pernah aku jalani.