Rentetan peristiwa seram bergantian dialami oleh Aldo dan Sandi, kesemuanya gahar menggores nyali. Rumah dan perkebunan karet ini sungguh jadi cobaan tak terkira buat mereka.
Simak penggalan terakhir ceritanya, hanya di sini, di Briistory..
Jam 12 siang, sinar matahari sedang terik-teriknya.
Kami semua berkumpul di ruang tengah, banyak pertanyaan dilontarkan oleh Pak Rahman dan teman-temannya. Aku dan Sandi, berusaha menjawabnya satu persatu, semampu yang kami bisa dan ingat.
“Adek berdua ini ditemukan sama-sama pingsan, tapi di tempat yang jaraknya berjauhan, gimana ceritanya bisa begitu? Ada apa?”
Awalnya, Pak Kades melontarkan pertanyaan seperti itu, pertanyaan yang tentu saja diikuti oleh pertanyaan-pertanyaan berikutnya.
Ya sudah, lalu kami perlahan mulai bercerita dengan runut, bermula dari ketika aku di rumah ini sendirian, karena Sandi yang harus ke kota karena ada beberapa keperluan yang harus dibeli.
Setelah kami sudah menceritakan sebagian besar peristiwanya, ada beberapa orang yang memperlihatkan mimik terkejut, heran, kaget, tapi ada juga yang malah tersenyum-senyum kecil.
Pak Kades dan Pak Rahman salah satu orang yang tersenyum itu. Kenapa mereka tersenyum?
“Karena kami sudah bisa menebak arah cerita adek-adek ini. Hehe.”
Begitu jawab Pak Kades ketika kami bertanya apa sebab mereka tersenyum.
“Bisa menebak gimana Pak?” Tanyaku lagi.
Kemudian gantian, satu persatu mereka bercerita, menjelaskan panjang lebar. Pada intinya, mereka semua sebenarnya sudah tahu kalau rumah dan perkebunan karet ini terkenal sangat angker.
“Trus, knapa Pak Rahman membiarkan kami menginap di sini?” tanyaku agak bersungut.
“Karena saya pikir orang kota gak percaya gini-ginian, saya pikir orang kota gak takut hantu, hehe.” Tanpa bersalah Pak Rahman bilang begitu.
Begitulah, sampai akhirnya kami bilang ke mereka kalau akan pulang ke Jakarta hari ini juga, gak mau bermalam di rumah perkebunan karet ini lagi. Trauma..
Sekitar jam tiga sore, Pak Rahman dan Pak Kades beserta rombongan duluan pergi pulang ke rumah masing-masing, sementara aku dan Sandi rencananya akan pergi ke kota setelah membereskan semua barang-barang dan menyelesaikan beberapa sisa pekerjaan.
Setelahnya, rumah kembali sepi.
***
“Udah beres, San?” Tanyaku.
“Bentar lagi, gue lagi ngitung dikit lagi nih.” Jawab Sandi.
Sudah jam setengah enam, menjelang matahari menghilang dari dataran.
Seperti yang sudah aku bilang tadi, kami memutuskan untuk kembali ke Jakarta hari ini juga, gak berpikir sedikit pun untuk bermalam sehari lagi di rumah ini, gak mau.
Sejak hanya tinggal berdua, aku dan Sandi sama sekali gak membahas sedikit pun peristiwa yang kami alami malam sebelumnya, menghindari ketakutan dan trauma, memilih untuk nanti saja membahasnya kalau sudah pergi dari sini.
Percakapan dengan Pak Kades dan Pak Rahman tadi siang pun, menambah alasan buat kami untuk segera pergi, semoga gak akan kembali lagi.
“Tanggung, Do. Habis maghrib aja ya.”
“Serius, lo? Beneran?”
“Iya, gak enak juga kan maghrib-maghrib di perjalanan, tengah hutan pula.”
Aku sih sebenarnya pingin cepat-cepat pergi, segera, tapi benar apa yang dibilang Sandi. Dengan sedikit terpaksa, aku ikut idenya.
“Ya, udah. Gue beresin barang taro di motor dulu ya.” Aku bilang begitu, ketika sandi masih berkutat dengan hitung-hitungannya.
Gak lama kemudian, aku sudah selesai membereskan barang-barang, termasuk ransel milik Sandi. Selepas maghrib nanti, kami tinggal tancap gas menuju kota, lalu menunggu bis malam menuju Jakarta.
Hampir jam enam, aku menunggu sambil duduk di teras depan, merokok menikmati sisa kopi siang tadi, memandang lepas pepohonan karet di hadapan.
Gelap mulai menyelimut, namun pandangan masih sanggup menjangkau rentang perkebunan cukup jauh. Sama sekali gak ada pergerakan, pepohonan diam terpaku karena gak ada angin yang menerpa. Suara dengung serangga mulai menemani.
Aku seperti terhipnotis, memperhatikan riuh sepi yang seperti juga memperhatikan.
Senyap..
“Masuk, Do. Udah mau maghrib nih.”
Tiba-tiba Sandi sudah berdiri di pintu, membuyarkan lamunan.
Kemudian kami masuk dan menutup pintu.
“Fokus, Do. Jangan ngelamun.” Ucap Sandi.
Aku paham apa yang dia maksud.
Sudah jam enam lewat 10 menit, kemudian aku dan Sandi bergantian ke kamar mandi untuk berwudhu.
Walaupun cukup jarang berbicara satu sama lain, namun aku dan Sandi sepertinya sudah sama-sama paham dan merasakan kalau suasana di rumah dan perkebunan ini perlahan mulai mencekam lagi, hawanya aneh.
Seperti ada yang memperhatikan, sepinya berbicara bahasa ketakutan, kami merasakan.
Hamparan dua sajadah terbentang di dalam kamar, Sandi sudah duduk di sajadah depan. Mulailah kami salat.
Selama beribadah, gak ada hal aneh yang terjadi, normal khusuk kami menjalani, sampai Sandi mengucap salam kedua rakaat terakhir.
Setelah selesai, kami lanjut sebentar membaca doa. Di saat inilah mulai terjadi sesuatu..
“Sreeek, sreeek, sreeeek..”
Kami langsung berpandangan heran ketika terdengar suara seperti itu.
“Sreeek, sreeek, sreeeek..”
Suara apa itu?
Tebakanku, bunyinya seperti suara ada orang menyapu dengan sapu lidi. Kalau benar, siapa yang malam-malam sudah gelap begini menyapu?
Suaranya sangat jelas, terdengar dekat, sepertinya berasal dari samping kanan rumah. Jendela kamar memang tertutup rapat, tapi dari lubang angin suara bisa masuk dengan leluasa.
Aku sedikit kesal dengan Sandi, dia malah kembali lanjut berdoa lagi, padahal sudah merasa ada yang gak beres.
“Sreeek, sreeek, sreeeek..”
Lagi-lagi terdengar, suara orang sedang menyapu halaman.
Siapa itu..
“San, ayok.” Aku setengah berbisik.
“Sebentar lagi, Do”
Ah, Sandi ini, seperti gak melihat keadaan, ini sudah menjurus semakin seram, aku semakin kesal.
Beberapa menit kemudian, suara sapu lidi menghilang, sukurlah, tapi sayangnya hanya sebentar.
Suaranya memang menghilang, tapi malah berganti dengan yang lebih seram lagi.
“Duk, duk, duk, duk..”
Ada suara seperti itu, seperti ada yang memukul-mukul dinding rumah, atau lantai? Entahlah, aku belum tahu pasti.
“Duk, duk, duk, duk..”
Terdengar sekali lagi..
Suara apa lagi itu..
Sekali lagi kami saling berpandangan, bertanya-tanya suara apa itu gerangan.
“Ayok, Do.”
Alhamdulillah, akhirnya Sandi selesai juga. Aku langsung berdiri lalu membereskan sajadah, begitu juga Sandi. Kami akan berangkat pergi, niatnya begitu.
Tapi ketika hendak keluar, tiba-tiba lampu petromak di ruang tengah mati. Rumah jadi gelap, penerangan hanya menyisakan cahaya dari lampu templok di kamar. Kami langsung menghentikan langkah, kaget, terdiam di posisi masing-masing.
Sangat hening, suasananya sepi mati. Kasarnya, detak jantung sendiri bisa sayup terdengar.
Ada apa lagi ini?
Belasan detik berlalu, ketika kami masih diam memperhatikan ruang tengah, belum berani melangkah.
Semakin gak berani bergerak, ketika sayup mulai terdengar suara lagi..
Kali ini, kami mendengar suara orang yang sedang bergumam berbincang, bukan hanya satu dua, tapi beberapa. Suaranya sayup samar, nyaris gak kedengaran, tapi ada. Kami sangat yakin kalau suara itu berasal dari depan rumah, di halaman.
Siapa yang berbincang?
Gumaman itu terkadang agak keras, terkadang terdengar pelan nyaris berbisik. Beberapa kata bisa aku tangkap cukup jelas, walau terdengar berbicara dalam bahasa daerah. Cukup seram kedengarannya.
“Mati”, “Kubur di sini..”, “Pekuburan orang mati..”
Kira-kira seperti itu beberapa kata yang bisa aku dengar. Sungguh bergidik mendengarnya.
“Gimana?” Berbisik Sandi bilang begitu.
“Gak tau, nekat aja?” Aku balas berbisik.
Namun tiba-tiba, terdengar suara pintu terbuka..
“Kriyeeeeet.”
Kami gak bisa melihat, tapi yakin kalau yang terbuka adalah pintu depan!
Kemudian, Sandi memberi aba-aba dengan tangannya, menyuruh aku untuk mundur menjauhi pintu. Aku menurut, lalu perlahan kami mundur, mendekat ke jendela.
Suara gumaman beberapa orang masih kedengaran, semakin jelas dan semakin jelas, dengan beberapa kata seram tertangkap telinga.
Yang membuat sangat mencekam, “Beberapa orang” itu sepertinya mulai masuk ke dalam rumah.
Bait-bait doa mulai terdengar keluar dari mulut sandi, ketika kami akhirnya sudah berdiri bersandar pada dinding kamar.
Kalau ingin melarikan diri, satu-satunya jalan adalah jendela, kalau memaksa lewat pintu depan maka harus berhadapan dengan sosok-sosok misterius yang sedang mulai masuk ke dalam rumah.
Gumaman sosok-sosok misterius itu terus saja terdengar, sampai akhirnya mulai terlihat wujudnya..
Nadi nyali terombang ambing diayun kecekaman, rasa takut menghujam sisi isi kepala.
Gumaman sosok-sosok misterius itu terus saja terdengar, sampai akhirnya mulai terlihat wujudnya..
Pintu kamar terbuka lebar, membuat situasi ruang tengah bisa terekspos jelas walau temaram.
Ternyata, ada sosok-sosok gelap tinggi besar satu persatu menampakkan wujudnya, mereka masuk ke ruang tengah.
Satu, dua, tiga, dan seterusnya, aku menghitungnya. kurang lebih ada delapan sosok.
Mereka terlihat seperti bayangan hitam pekat, seperti orang berjubah panjang sampai menutup kaki, kira-kira seperti itu.
Gelapnya keadaan, membuat aku masih belum bisa melihat jelas wajah masing-masingnya.
Sementara Sandi sudah terdengar menangis pelan, walau masih ada bait doa keluar dari mulutnya.
Karena sibuk memperhatikan sosok-sosok itu, aku jadi gak memperhatikan kalau ternyata mereka sedang berusaha untuk mengelilingi sesuatu.
Awalnya, aku pikir meja ruang tengah yang sedang mereka kelilingi, tapi bukan.
Ternyata mereka sedang mengelilingi keranda mayat..!
Ada keranda jenazah di ruang tengah, kami baru sadar.
Dalam temaram, kami bisa melihat kalau keranda tertutup kain berwarna gelap, sehingga gak terlihat apakah keranda ini ada isinya atau kosong. Apa pun, tetap saja pemandangan ini sungguh sangat menyeramkan.
“Gue gak kuat, Do. Kita harus kabur.” Bergetar suara Sandi ketika berbisik seperti itu.
“Lewat Jendela?”
“Iya.”
Aku yang berdiri paling dekat dengan jendela, lalu pelan-pelan mulai membukanya.
Terus membuka jendela sampai cukup lebar buat kami melompat ke luar.
Sementara sosok-sosok seram itu tetap diam di tempatnya, seperti gak memperhatikan pergerakan kami.
Aku lalu yang pertama melangkah ke luar, perlahan.
Ketika sudah di luar, aku menunggu Sandi yang terasa sangat lama dalam proses ke luar rumah.
Ketika sedang menunggu inilah aku memandang sekeliling, lalu melihat sesuatu..
Beberapa meter di samping rumah, aku melihat dalam gelap, ada sosok lagi yang gak kalah seram. Awalnya gak terlalu jelas, tapi lama kelamaan penglihatanku dapat menangkap bentuknya.
Ada seorang nenek tua, rambutnya putih panjang, sedang berdiri memperhatikan, sambil tangannya memegang sapu lidi. Aku terpaku melihatanya.
Siapa Nenek itu? Ngapain dia berdiri dalam gelap?
Entahlah, yang pasti sangat seram kelihatannya.
“San, buruan.” Aku bilang begitu, ketika gak juga melihat Sandi melompat jendela.
Karena belum juga melihat Sandi, maka aku kembali melirik ke dalam kamar, lalu melihat pemandangan aneh..
Aku melihat Sandi malah sedang berjalan mendekat ke pintu kamar, sedang melangkah ke ruang tengah.
“Sandi..!” Aku berbisik memanggilnya.
Tapi Sandi bergeming, dia terus saja berjalan pelan ke ruang tengah. Entahlah, seperti terhipnotis, dia diam sambil terus melangkah.
Tuhaan, apa yang harus aku lakukan? Gak mungkin aku melarikan diri sendirian meninggalkan Sandi.
Kemudian, tanpa menoleh ke arah sosok nenek seram, aku memutuskan untuk melangkah menuju halaman depan rumah, entah apa yang nanti akan aku lakukan.
Sesampainya di depan, aku mendapati kalau suasana gelap gulita, sama sekali gak ada penerangan, penglihatan hanya dibantu oleh cahaya langit. Tapi dalam temaram aku masih bisa melihat dua motor yang seharusnya jadi tunggangan kami untuk pergi, masih terparkir pada tempatnya.
Menoleh agak ke kiri, aku melihat kalau pintu rumah benar terbuka lebar.
Kemudian perlahan aku mulai mengintip ke dalam..
Cahaya dari lampu kamar masih jadi tumpuan, temaramnya membantu penglihatan.
Lalu, tiba-tiba aku melihat Sandi berjalan keluar dari kamar, dia menuju ruang tengah, di mana ada beberapa sosok seram sedang mengelilingi keranda mayat.
Sandi masih seperti orang yang sedang terhipnotis, dia diam dengan tatapan kosong melangkah masuk ke tengah-tengah sosok-sosok seram itu, lalu berhenti tepat di samping keranda.
Lemas tubuhku melihat itu semua, seramnya mematikan rasa dan logika, aku gak bisa berbuat apa-apa, terpaku melihatnya..
Masih menyaksikan semuanya dalam diam, kemudian aku melihat Sandi kembali bergerak, dia mulai membungkukkan tubuhnya, apa yang akan dilakukan?
Ternyata Sandi berusaha membuka kain penutup keranda.
Aku masih terpaku.
Lalu perlahan tutup keranda terbuka, benar tangan Sandi yang membukanya.
Tuhan, sungguh pemandangan yang menyeramkan.
Di atas keranda terbaring jenazah berbalut kain kusam, aku dapat memastikan kalau itu jenazah manusia karena melihat telapak kakinya gak tertutup kain, aku melihatnya.
Kemudian, sandi perlahan mulai duduk bersila, masih diam seribu bahasa.
Sementara itu malam masih mencekam, hawa senyap bersahut, heningnya menenggelamkan keberanian.
“Sandi..!”
Entah apa sebabnya, tiba-tiba aku berteriak begitu, cukup keras.
Tapi, gak tahu apa hubungannya, setelah itu Sandi jatuh terkulai, gak lagi duduk, dia terbaring gak sadarkan diri.
Kemudian, satu persatu sosok tinggi seram itu membalikkan tubuhnya, yang tadinya membelakangi, satu persatu semuanya jadi berdiri menghadap aku..
Aku terpaku diam, kaki gak bisa digerakkan sama sekali, gak bisa ke mana-mana..
Mereka perlahan bergerak menuju pintu, hendak ke luar rumah.
Sampai akhirnya, satu-satu sudah berada di halaman, hanya beberapa meter jaraknya dari tempat aku berdiri.
Aku ketakutan, tiba-tiba tubuhku lemas, berat tubuh gak bisa ditopang lagi oleh kaki yang tulang-tulangnya seperti lepas dari sendi.
Aku jatuh terduduk, menunduk, lalu menangis..
Tiba-tiba, terdengar teriakan yang sangat keras! Terdengar seperti jeritan yang sangat lantang..
Suara teriakan jerit panjang yang memekakkan telinga, memecah hening malam, membelah sepi mencekam.
Mendengar itu, aku mengangkat wajah, lalu melihat kalau sosok-sosok seram itu mulai bergerak.
Satu persatu mereka bergerak melayang. Iya, melayang..
Mereka melayang meninggalkan rumah, menjauh, terus menjauh lalu masuk ke perkebunan karet, sampai akhirnya benar-benar hilang dalam gelap.
Hilang ditelan pekat..
Cukup lama aku terdiam setelahnya. Beberapa menit kemudian, baru bisa sanggup untuk berdiri, menghampiri Sandi yang masih tergeletak di dalam rumah.
“San, bangun, San. Kita harus pergi dari sini.” Aku bilang begitu sambil memapahnya untuk berdiri.
Ketika aku sudah mulai bisa membangunkan Sandi, dan dia mulai sadar, dari kejauhan aku melihat sesuatu, dari perkebunan karet aku melihat kilatan cahaya, ada beberapa kilatan cahaya.
Setelah kilatan cahaya, kemudian terdengar deru mesin motor.
Ketika kilatan cahaya semakin dekat, ternyata itu memang cahaya dari lampu motor. Ada beberapa orang bermotor yang mendekat ke rumah.
Sangat, sangat, sangat lega aku melihat itu semua.
Beberapa saat kemudian, beberapa motor itu akhirnya sampai juga di depan rumah, lalu parkir di halaman.
Ternyata, itu adalah Pak Rohman dan beberapa temannya.
“Saya kawatir, sampai hampir jam 11 malam kok kalian belum juga sampai ke kota. Makanya, saya mengajak beberapa teman untuk memeriksa ke sini.” Ucap Pak Rohman dengan wajah cemas, ketika sudah berdiri di dekat kami.
Ternyata sudah jam 12 tengah malam, padahal sepertinya kami baru saja selesai salat maghrib tadi, kok cepat sekali waktu bergulir?
“Ada apa Bang Aldo? Kok masih di sini?” tanya Pak Rohman lagi.
“Nanti aja Pak ceritanya, kita pergi dari sini sekarang yuk, kami sudah gak kuat, Pak” Jawabku.
Lalu bergegas kami meninggalkan rumah itu, meninggalkan perkebunan karet yang seramnya tak terkira.
Dalam lubuk hati yang paling dalam, kami gak akan mau datang ke tempat ini lagi.
Setibanya di kota, aku dan Sandi memutuskan untuk bermalam di rumah Pak Rohman, berangkat ke Jakarta esok pagi saja.
***
Di rumah Pak Rohman, aku dan Sandi merasakan kenikmatan dan ketenangan tidur yang gak kami rasakan tiga malam sebelumnya. Kami bisa tidur tanpa merasakan takut.
Singkatnya, setelah banyak-banyak mengucap terima kasih, sekitar jam sembilan pagi kami berpamitan. Pak Rohman melepas kami di pagar rumahnya.
Kota kecil ini gak ada terminal, jadi kami duduk menunggu kedatangan bis di sebuah halte kecil di pinggir jalan besar yang termasuk dalam Jalur Lintas Sumatera.
Menurut orang-orang sini, bis ke Jakarta akan bermunculan mulai jam sebelas siang.
Panas sinar mentari mulai menyengat kulit, satu persatu kami memperhatikan bis yang lewat satu persatu. Benar, gak ada yang menuju Jakarta, paling jauh hanya sampai Lampung.
Aku memperhatikan orang-orang yang naik turun bus, bermacam-macam penampilannya. Sampai ketika melihat ada pemuda yang turun dari bis yang berasal dari kota Palembang. Pemuda ini dengan tas gendongnya lalu serta merta duduk di samping aku dan Sandi.
Pemuda kurus berkulit agak gelap, terlihat ramah karena tersenyum ke arah kami.
“Bang.” Sapa dia, sambil agak membungkukkan tubuhnya.
“Iya,” jawabku menjawab senyumnya.
“Dari mana mau ke mana, Bang?” tanya pemuda ini.
“Mau ke Jakarta, hehe.” Jawabku.
“Oh gitu, ada kerjaan di sini Bang?” Tanya dia lagi.
“Iya.”
“Oh sama dong, saya juga mau kerja di sini, Bang. Di perkebunan karet, tapi saya gak tau letaknya di mana. Kenalkan, nama saya Wahyu.” Dia bilang begitu.
Ternyata, pemuda ramah ini namanya Wahyu.
***
Hai, balik ke gw lagi ya, Brii.
Masih banyak sisi cerita dari beberapa sudut pandang di rumah perkebunan karet ini, tentu saja semuanya seram. InsyaAllah, satu persatu akan gw ceritakan semuanya.
Sekian cerita malam ini. Tetap sehat semuanya, panjang umur, biar kita bisa terus merinding bareng.
Sampai jumpa minggu depan.
Salam,
~Brii~
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Kali ini Sandi yang akan bercerita, kenapa dia
semalaman gak pulang-pulang.
Ternyata peristiwanya sangat seram, Sandi mengalami satu fragmen hidup yang gak akan dia lupakan.
Simak episode ketiga prekuel #rhdpk, hanya di sini, di Briistory..
***
Aldo sudah masuk ke kamarnya, dia terlihat sangat kelelahan, sejak kemarin memang sungguh melelahkan buat kami.
Walaupun selalu terus bersama, tapi selama perjalanan dari Jakarta sampai ke tujuan, aku lebih banyak tidur, sementara Aldo sama sekali gak tidur, jadi ya mungkin karena itu aku bisa jadi lebih segar.
Ada yang memilih untuk mengambil jalan pintas ketika mengalami kesusahan hidup. Jalan pintas bergelimang dosa, dan ada “harga mahal” yang harus dibayar. Ngeri..
Malam ini, salah satu teman yang akan menceritakan satu sisi kelam dalam hidupnya.
Simak di sini, di Briistory.
***
Oh iya, nama-nama yang ada semuanya samaran (Kecuali Brii), kalau ada kesamaan nama atau peristiwa pasti hanya ketidaksengajaan.
Mohon untuk bijak membaca cerita kali ini..
Selanjutnya, yang bersangkutan sendiri yang akan menceritakannya langsung.
***
Aku Hesti, umur 33 tahun, domisili Jakarta.
Sekadar info, aku termasuk selebgram dengan satu juta lebih followers.
Kali ini aku akan coba untuk menceritakan satu episode gelap dalam hidup yang pernah aku jalani.
Di daerah terpencil, banyak kisah mencekam yang gak masuk di akal, tapi kejadian.
Banyak orang yang sukar untuk percaya, sampai benar-benar merasakan sendiri keseramannya.
Ada satu kisah telaga kecil di desa terpencil, pedalaman Sumatera.
Simak di sini, di Briistory..
***
Aku Rendri, awal tahun 2002 ditugaskan oleh perusahaan tempatku bekerja untuk tinggal di satu desa terpencil di pedalaman Sumatera.
Tugasku adalah mensosialisasikan berbagai produk pertanian dan perkebunan ~termasuk pupuk~ yang kami produksi, kepada penduduk (khususnya petani) di desa itu.