Jakarta, banyak terselip kisah seram, entah di kantor atau tempat tinggal.
Salah satu bentuk tempat tinggal adalah apartemen. Sama seperti tempat lain, banyak apartemen yang punya cerita seram. Salah satu teman akan menceritakan kisahnya.
Simak di sini, di briistory..
***
Pintu kamar sengaja aku buka, supaya tetap bisa melihat ke ruang tengah, imajinasi jadi gak melayang ke mana-mana.
Namun, tetap saja susah untuk tidur.
Terkadang, mata sudah terpejam, tetapi aku malah merasa seperti ada yang sedang berdiri memperhatikan. Was-was jadinya.
Awalnya, aku pikir mungkin itu hanya perasaan saja, awalnya begitu.
Sebegitu heningnya, suara sekecil apa pun jadi jelas terdengar, terutama langkah kaki orang di lorong depan.
Iya, langkah kaki. Sering kali aku mendengar suara orang yang sedang melangkah di lorong, tengah malam.
Wajar? Memang, karena kemungkinan besar itu adalah penghuni lain.
Tapi, ada suara langkah yang sangat khas, sampai-sampai aku hapal kalau langkah kaki itu sedang muncul terdengar. Ditambah, karena langkahnya selalu seperti berhenti tepat di depan pintu apartemenku.
Awalnya aku gak terlalu memikirkan, karena mungkin saja itu adalah penghuni apartemen yang letaknya tepat di depan, jadi kedengaran selalu berhenti di depan pintuku. Itu awalnya..
Tapi lama kelamaan, aku jadi penasaran, setelah beberapa kali mendengar suara itu lagi, dan selalu saja langkahnya berhenti di depan pintu, selalu seperti itu..
***
~Satu bulan sebelumnya~
“Udah, lo tinggal bawa badan ama baju aja, semua udah ada lengkap. Untuk sementara, sampe lo dapet tempat tinggal sendiri, ya gapapa. Kayak sama siapa aja sih lo, ah.”
Gea bilang begitu, di antara percakapan telpon kami.
Aku Ratrie, wanita asal Bali, usia 29 tahun, bekerja di salah satu fashion company ternama di Jakarta.
Jadi, tahun 2019 yang lalu aku dapat tawaran kerja sebagai junior desainer di salah satu perusahaan ternama yang bergerak di bidang fashion.
Aku, yang kata orang sangat berbakat dan juga punya passion tinggi di bidang fashion design, tentu saja sangat tertarik dengan penawaran itu. Gak sampai harus berfikir beberapa kali, aku langsung mengiyakan tawaran itu.
Aku terima pekerjaan itu, memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mengubah garis nasib dan jalan hidup.
Tapi ya tentu saja bukan tanpa kendala, aku yang berasal dari luar Jakarta ini harus mencari tempat tinggal, sama sekali gak ada keluarga dan saudara dekat yang tinggal di ibu kota, makanya harus mencari tempat tinggal sendiri.
Untungnya aku punya beberapa teman di Jakarta, dari beberapa teman itu aku memilih Gea untuk aku hubungi. Gea ini sudah jadi teman baik ketika kami sama-sama kuliah di Malang. Setelah lulus, kami lalu mudik ke daerah masing-masing, aku ke Bali, sementara Gea kembali ke Jakarta.
Gea sangat senang ketika aku memberi tahu kalau diterima kerja di satu fashion design ternama.
“Waaahh, gila lo ya Trie, designer keren ituuuu. Congrats ya, seneng banget gue dengernya.” Begitu Gea bilang dengan gaya khasnya.
Nah, sampailah ke pokok bahasan niat awalku menghubungi Gea, yaitu tempat tinggal. Aku minta rekomendasi darinya mengenai tempat kost atau apartemen yang gak terlalu mahal, untuk aku tempati nantinya di Jakarta.
Baik hatinya Gea, dia malah menyuruhku untuk tinggal di apartemen milik keluarganya, dia bilang aku gak perlu bayar sewa, cukup membayar biaya bulanan apartemen saja, seperti listrik, air, dan lain sebagainya.
Ah, tapi aku gak enak, aku gak mau seperti itu, malu.
“Udah, gapapa Ratrie, dari pada apartemen itu kosong, mendingan diisi sama lo kan?. Udahlah, ntar gue bilang ke bokap ya, dia pasti setuju.”
Oh iya, kebetulan saat itu Gea gak di Jakarta, dia sedang melanjutkan kuliahnya di Luar negeri.
“Ok, ok, baiklah, aku tinggal di apartemenmu, deh. Tapi untuk sementara aja ya, sampai aku dapat tempat kost. Aku gak mau ngerepotin, malu, haha.” Aku bilang begitu.
“Ratrie, gak sementara juga gapapa. Kan bokap gw juga udah kenal lo kan? Tenang aja.”
Ya sudah, percakapan telpon selesai ketika aku akhirnya setuju untuk tinggal di apartemen milik Gea. Niatku sih gak berubah, tinggal di situ untuk sementara sampai aku menemukan tempat tinggal sendiri, entah itu kost atau apartemen lain.
Begitulah, di akhir pembicaraan Gea juga bilang, nanti kalau sudah sampai di Jakarta aku bisa menemui adiknya di rumahnya, untuk mengantarkan aku ke apartemennya.
***
Singkat cerita, aku sudah sampai di Jakarta.
Sebenarnya, sudah beberapa kali aku menginjakkan kaki di Ibu kota ini, tapi tetap saja masih buta dengan seluk beluknya. Mungkin hanya sedikit tahu di pusat kota dan tempat-tempat tertentu saja, selebihnya masih harus meraba.
Begitu juga kali ini, pada suatu hari minggu di awal 2019, aku sekali lagi ada di Jakarta.
Tiba di bandara jam dua siang, aku langsung menuju Kebayoran Baru, di mana rumah keluarga Gea berada.
Rencananya, dari rumah Gea aku akan diantar oleh Dio, adik Gea, untuk menuju apartemen di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan.
Katanya, kalau hari minggu, jalanan Jakarta lebih lengang dari hari biasanya. Memang benar sih, sepanjang jalan dari bandara, aku hanya sedikit melewati kepadatan kendaraan, kata Pak Supir taksi juga sama, itu termasuk lengang untuk ukuran Jakarta.
Tapi ya tetap saja, aku yang terbiasa hidup di Bali, banyaknya kendaraan yang ada termasuk padat sekali buatku, riuhnya tetap saja membuat sakit kepala.
Singkat cerita, akhirnya aku sampai juga di rumah Gea.
Keluarga Gea, menurutku termasuk keluarga kaya raya, sejak kuliah dulu juga Gea sudah kelihatan kalau datang dari keluarga Kaya.
Rumah yang di kebayoran ini pun sungguh sangat besar, bertingkat dengan halaman luas.
Mobil berbaris memenuhi garasi, beberapa di antaranya terbilang kendaraan mewah.
“Eh, Mba Ratrie, pakabar? Hehe.”
Dio menyambutku dengan ramah ketika muncul dari dalam rumah. Selanjutnya kami berbincang sebentar. Dio ini gak terlalu jauh umurnya denganku, sebelumnya juga kami sudah pernah beberapa kali bertemu, jadi sudah cukup akrab, gak kaku lagi
Kebetulan, waktu itu orang tua Gea juga sedang gak ada, jadi aku gak lama-lama di situ. Setelah cukup berbincang dan melepas lelah, kami pun berangkat menuju apartemen.
“Jauh tempatnya dari sini, Dio?”
“Nggak, Mba. Paling setengah jam juga udah sampe. Mba Ratrie sendirian aja? Aku kira bawa adik atau siapa gitu, hehe”
“Gaklah, sendiri aja. Lagi pula aku ke sini kan mau kerja, bukan jalan-jalan, hehe.”
“Oh, gitu. Ya gapapa sih, aku liat juga kalo Mba Ratrie ini pemberani hehehe.”
“Hahaha, Dio bisa aja. Yaahh, harus beranilah, namanya juga anak rantau, kan.”
“Iya, Mba. Pokoknya nanti, kalau ada perlu apa-apa jangan sungkan telpon aku ya. Sebisa mungkin pasti aku bantu, tengah malam sekali pun. Jangan sungkan ya, Mba.”
“Iya, Dio, terima kasih ya.”
Percakapan di dalam kendaraan itu mengiringi perjalanan kami membelah mewahnya Selatan Jakarta, tempat orang mengukur batas-batas kejayaan.
***
Benar yang tadi Dio bilang, kurang lebih hanya 30 menit perjalanan kami sudah masuk ke satu wilayah apartemen.
Termasuk wilayah yang luas, di dalamnya ada belasan tower yang Dio bilang semuanya merupakan apartemen.
Di kendaraan, Dio juga sempat cerita sedikit. Apartemen ini sebenarnya dibeli ayahnya dengan niat untuk membantu salah satu temannya yang sedang terlilit hutang.
Dibeli sekitar tahun 2017, tapi sejak itu mereka belum pernah menempatinya, hanya sesekali, bisa dihitung dengan jari, selebihnya di biarkan kosong atau digunakan kalau ada keluarga dari luar kota yang datang berkunjung.
Tapi, Dio lagi-lagi menegaskan kalau apartemen ini lebih banyak kosong.
Kemudian Dio memarkirkan kendaraannya di dekat salah satu tower yang jaraknya gak terlalu jauh dari pintu masuk.
Sebelumnya, aku sudah mencari info mengenai apartemen ini di internet, ingin tahu bentuknya, lingkungannya, suasananya. Sebenarnya banyak info negatif mengenai kompleks apartemen ini, tapi gak sedikit pula info positifnya.
Begitu juga ketika aku sudah sampai di sini, yang aku lihat malah gak sejelek apa yang aku baca di internet, lingkungannya bersih dan bagus, menurutku cukup nyaman.
“Oh, kalau yang gitu-gitu mungkin di tower yang lain, Mba. Aku kurang tahu. Tapi kalau di tower ini sih aman kok, asik tempatnya, hehe.”
Begitu jawab Dio ketika aku tanya tentang banyaknya berita jelek tentang kompleks apartemen ini. Aku jadi lega mendengarnya.
Dan benar, setelah turun kendaraan kemudian berjalan kaki menuju apartemen, aku merasa sama sekali gak ada yang gak nyaman, semua sewajarnya lingkungan apartemen, orang-orang lalu lalang dengan kesibukan masing-masing, gak peduli dengan yang lain. Tipikal kehidupan di Jakarta.
Masih jam empat, minggu sore ini masih terang dengan sinar matahari yang masih menerangi.
“Di lantai sembilan, Mba.” Ketika kami sudah di dalam lift, Dio bilang begitu.
Kemudian, gak lama pintu lift terbuka di lantai sembilan, lalu kami keluar dan berjalan ke arah kiri.
Nah, dari lift ini jarak ke unitnya agak jauh, karena letaknya hampir di paling ujung. Dalam perjalanan kami gak melihat ada penghuni lain, sepi.
“Ini tempatnya, Mba.” Sambil tersenyum Dio bilang begitu, tangannya kemudian membuka kunci pintu.
“Waaaaah, besar juga ya, Dio.” Ucapku ketika kami sudah di dalam.
“Lumayan, Mba,” jawabnya.
Apartemen ini punya dua kamar tidur, satu kamar yang ukurannya kecil, punya satu kamar mandi yang ukurannya cukup besar, dan punya ruang tengah yang besar juga.
“Aduh, ini sih terlalu besar buat aku, hehe”
“Makanya tadi aku nanya, Mba. Kok Mba Ratrie sendirian aja,” Sumringah Dio bilang begitu.
Oh iya, furniture di dalamnya juga terbilang mewah, tv layar besar, isi dapur lengkap dengan peralatannya. Pokoknya benar yang Gea bilang, aku tinggal bawa pakaian saja.
Tapi ya itu tadi, menurutku apartemen ini terlalu besar dan mewah buat aku. Tapi ya sudahlah, gak apa, toh hanya untuk sementara, sampai aku mendapatkan tempat lain yang lebih kecil.
Aku dan Dio berbincang sebentar, sambil dia menjelaskan tata cara tinggal di apartemen ini.
Tapi, aku mulai merasakan keanehan, Dio seperti ingin menggarisbawahi kalimat “Jangan sungkan untuk telpon aku kalau ada apa-apa ya, Mba”, beberapa kali dia ngomong gitu, entah kenapa.
“Iya, Dio. Aku telpon kamu kalo ada urgent , ya” jawabku selalu.
Sampai akhirnya, sekitar jam lima Dio pamit pulang. Aku hanya mengantarkan sampai depan pintu.
“Kalo ada apa-apa telpon aku ya, Mba. Jangan sungkan” Sekali lagi Dio bilang begitu sebelum pergi.
“Iya, Diooo, hahaha. Terima kasih banyak ya, salam buat Papa Mama.”
Setelah itu, Dio Pulang. Tinggalah aku sendiri di apartemen besar ini.
***
Jam sembilan malam. Sambil ditemani minuman dingin, aku memandang ke luar jendela menikmati pemandangan, walau letak apartemen gak terlalu tinggi tapi masih cukup indah city light yang kelihatan.
Sebelumnya, gak memakan waktu lama buatku untuk unpack dan merapihkan barang bawaan, karena yang aku bawa juga gak terlalu banyak, jadinya bisa langsung istirahat menikmati suasana apartemen ini.
Tapi, sekitar jam setengah 10 aku baru ingat kalau ada beberapa barang keperluaan yang harus aku beli, makanya berniat untuk turun, karena tadi aku lihat ada minimarket di dekat parkiran.
Ya, hampir jam 10 malam aku turun.
Sesampainya di bawah aku bersukur kalau ternyata minimarket masih buka, lantas buru-buru masuk dan mencari barang perlengkapan yang aku butuhkan.
Gak lama, ketika sudah selesai aku langsung keluar minimarket.
Tapi, alih-alih langsung kembali ke atas, aku malah memilih untuk duduk terlebih dahulu di salah satu kursi di dekat pintu masuk, ada semacam taman kecil, aku duduk di situ.
Ingin sejenak menikmati udara luar di Jakarta, melihat-lihat orang lalu lalang. Kurang kerjaan memang.
Tapi gak lama, setelah sudah habis segelas kopi dan beberapa batang rokok, akhirnya aku memutuskan untuk masuk, naik ke atas.
Sudah hampir jam sebelas, sudah sedikit orang yang kelihatan di lobby dan sekitarnya. Mungkin karena sudah penghujung minggu juga.
Nyaris sendirian aku melangkah menuju lobby. Ketika sudah sampai di depan lift pun aku tetap sendirian.
Pintu lift terbuka, aku lalu melangkah masuk. Gak terlalu memperhatikan sekitar, karena aku sambil terus melihat layar ponsel di genggaman, sedang terlibat percakapan seru pesan pendek dengan Gea.
Nah, ketika aku hendak menekan tombol di angka sembilan, ternyata tombolnya sudah menyala, berarti sudah ada yang menekan sebelumnya. Melihat itu aku langsung kembali memperhatikan layar ponsel, kembali ke posisi semula.
Tapi, beberapa detik kemudian aku terkejut! ketika mengetahui kalau ternyata ada orang lain di dalam lift, aku gak sendirian. Dia berdiri di sudut kiri belakang.
Aku baru sadar akan hal itu ketika sejenak mengalihkan pandangan dari ponsel, lalu melihat ke pintu, dari pantulan pintu lift inilah aku bisa melihat ada laki-laki di belakangku.
Reflek aku lalu menoleh ke belakang, memandang wajahnya, lalu tersenyum menyapa.
Lelaki berumur sekitar 40 tahun, perawakannya tinggi kurus, berpakaian santai dengan celana jeans dan kaos warna gelap, dia membalas tersenyum.
Beberapa belas detik kemudian, pintu terbuka di lantai sembilan, aku lalu keluar, melangkah ke arah kiri.
Di dalam lift beberapa saat sebelumnya, aku melihat kalau tombol yang menyala hanya tombol nomor sembilan, seharusnya lelaki tadi juga ikut keluar. Tapi aku gak mau terlalu memperhatikan, lebih memilih untuk terus melangkah.
Nah, saat itu aku sama sekali gak mendengar ada suara langkah di belakang, tentu saja aku penasaran, lalu akhirnya menoleh.
Ternyata kosong, gak ada siapa-siapa, lelaki tadi sepertinya masih di dalam lift, tapi aku gak bisa memastikan karena posisi berdiri sudah gak bisa lagi memandang langsung ke dalam lift.
Ya sudah, aku kemudian melanjutkan langkah.
Tetap, lagi-lagi aku sama sekali gak mendengar ada suara orang melangkah di belakang, hanya suara langkah kakiku saja yang kedengaran di lorong.
Beberapa belas detik kemudian, aku sampai juga di depan pintu.
Degh! Lagi-lagi aku terkejut..!
Ketika sedang berusaha membuka pintu, dari ujung mata aku melihat seperti ada orang yang sedang berjalan di ujung lorong. Sontak aku langsung menoleh.
Benar! ada orang! ternyata itu adalah lelaki yang tadi, lelaki yang satu lift denganku.
Setelah jarak kami sudah cukup dekat, lagi-lagi aku tersenyum menyapa walau masih agak sedikit kaget. Dia membalas senyumku.
Setelahnya, aku langsung masuk apartemen.
Di sisa malam itu, aku tidur kurang nyenyak, mungkin karena tempat baru, bukan tempat yang biasa aku tinggal, jadinya malah lebih banyak berkutat dengan ketidaknyamanan.
Atau mungkin karena ada alasan lain?
***
Singkat cerita, sudah seminggu lebih aku tinggal di Jakarta. Dalam beberapa hal sudah mulai terbiasa dengan liuk polanya, walau di beberapa hal lain aku masih keteteran dan harus terus berusaha mengerti dan memahami.
Dalam hal pekerjaan, aku sangat menikmati semuanya, lingkungan baru yang asik, great company, rekan kerja yang sangat menyenangkan, pokoknya aku senang, sama sekali belum menemukan hal yang gak menyenangkan. Aku happy.
Tapi masih ada yang mengganjal, ini tentang apartemen tempat tinggalku. Ada beberapa keganjilan yang aku rasakan, semuanya terjadi sejak awal aku tinggal di sini.
Seperti aku bilang tadi, mungkin saja karena ini adalah tempat baru, butuh waktu agak lama untuk adaptasi, mungkin saja begitu, semoga hanya itu alasannya.
Tapi yang aku rasakan agak aneh, sering kali merasa seperti aku gak sendirian di apartemen ini. Agak seram, kan? tapi begitu adanya..
Nyaris setiap malam aku sangat susah tertidur, sekalinya terlelap selalu gak nyenyak. Kalau mata terpejam, sering merasa kalau seperti sedang ada yang berdiri memperhatikan, seperti itu, makanya aku takut untuk memejamkan mata.
Lampu ruang tengah selalu aku biarkan menyala terang, siang atau malam.
Malam hari, ketika sudah di tempat tidur, pintu kamar selalu aku biarkan terbuka, supaya ruang tengah bisa tetap terlihat, imajinasiku jadi gak ke mana-mana.
Kalau sudah tengah malam suasana sangat hening, jadinya suara sekecil apa pun jadi jelas terdengar, terutama langkah kaki orang berjalan di lorong depan.
Iya, langkah kaki. Beberapa kali aku mendengar suara orang sedang melangkah di lorong, tengah malam.
Wajar? mungkin iya, karena kemungkinan besar itu adalah penghuni apartemen yang lain.
Tapi, ada suara langkah yang sangat khas, sampai-sampai aku hapal kalau langkah kaki ini sedang muncul terdengar, Ditambah juga, karena langkahnya selalu seperti berhenti tepat di depan pintu apartemenku.
Tapi, awalnya aku gak terlalu memikirkan, karena mungkin saja itu adalah penghuni apartemen yang letaknya tepat persis di depan, jadi kedengaran selalu berhenti di depan pintu. Itu awalnya..
Tapi lama kelamaan, aku jadi penasaran, setelah beberapa kali aku mendengar suara itu lagi, dan selalu saja langkahnya berhenti di depan pintu..
***
Selasa malam, seharian ini aku dihajar dengan kegiatan yang sangat melelahkan, hari yang cukup menantang, tapi sukurlah akhirnya bisa terlewati.
Ditemani segelas minuman dingin, sampai hampir jam sebelas aku masih duduk menonton tv di ruang tengah, melepas lelah, menenangkan pikiran. Lelahnya masih terasa, karena baru tadi jam sembilan aku sampai apartemen.
Seperti biasa, aku sendirian, sepi ditemani kekosongan ruang.
Hening suasana terasa sangat, walau suara tv memonopoli.
Mungkin karena sudah terlalu lelah, beberapa kali aku ketiduran di atas sofa ruang tengah ini, tapi kemudian terkesiap terjaga lagi.
Sampai akhirnya, sekitar jam setengah 12 malam, tiba-tiba hening sepi gak lagi mendominasi, ada suara yang akhirnya memecah sunyi.
Ada langkah kaki, terdengar ada suara orang yang sedang berjalan di lorong.
Suara langkah kaki yang sudah beberapa kali aku dengar sebelumnya, bunyinya khas, iramanya sudah aku hapal, suara langkah yang selalu terhenti tepat di depan pintu, selalu seperti itu.
Tapi, kali ini beda, entah apa yang menyulut, aku malah langsung bangun dari duduk lalu melangkah menuju pintu, ingin tahu siapakah yang sedang melangkah itu, penasaran.
Dan benar, kali ini pun sama, langkahnya berhenti tepat di depan pintu..
Ya sudah, selang beberapa detik kemudian aku langsung membuka pintu.
Kosong, depan pintu gak ada siapa-siapa. Celingak-celinguk aku melihat ke arah lorong, sama, sama sekali gak ada orang, gak ada pintu apartemen lain yang terbuka juga.
“Siapa sih tadi yang jalan?” aku bergumam sendiri.
Namun, tiba-tiba aku merasakan ada hembusan angin menerpa wajah dan tubuh, angin ini seperti berhembus dari lorong lalu masuk ke dalam apartemen. Saat itu tetiba merinding, tentu saja aku lalu langsung menutup pintu.
Di dalam apartemen, aku merasa ada yang aneh, hawanya beda.
Ah sudahlah, aku langsung mematikan tv lalu masuk kamar. Namun tetap pintunya aku biarkan terbuka.
Di dalam kamar, aku merebahkan diri di tempat tidur, memaksa diri melakukan hal yang sepertinya mustahil untuk dilakukan saat ini, yaitu tidur.
Ya mana mungkin aku bisa tidur, sejak beberapa menit yang lalu perasaanku sudah gak enak, apartemen ini hawanya makin aneh.
Beberapa kali aku memaksa mata untuk terpejam, tapi gak bisa, karena selalu merasa seperti ada yang sedang memperhatikan kalau mata tertutup.
Sampai akhirnya entah di percobaan keberapa, aku hampir sukses terlelap.
Tapi, tetap merasakan ada keanehan, namun kali ini sangat berbeda, ada yang beda. Antara sadar dan gak sadar, dalam keadaan mata terpejam, aku merasa seperti ada yang sedang memperhatikan, aku merasakan seperti itu.
Sontak perasaan makin gak enak, rasa takut dan cemas menyeruak cepat memenuhi pikiran.
Mata masih terpejam, aku belum berani membukanya..
Sampai ketika, aku merasa kalau ada yang menghalangi cahaya lampu ruang tengah untuk masuk ke dalam kamar, aku merasa seperti itu.
Curiga, penasaran, akhirnya aku memberanikan diri untuk membuka mata pelan-pelan, gak ada pilihan lain..
Iya, yang aku rasakan gak salah, ternyata memang ada yang menghalangi cahaya lampu ruang tengah..
Ada sosok yang sedang berdiri di pintu kamar! dia berdiri tepat di pintu, diam memperhatikan aku yang tengah berbaring.
Aku seperti mati, tubuh gak bisa digerakkan, lemah lunglai ketakutan.
Siapa dia? Aku gak tahu, karena wajahnya gelap tertutup cahaya dari belakang.
Tapi beberapa belas detik kemudian aku pelan-pelan tersadar, kalau sosok ini tampilan fisiknya mirip dengan lelaki yang pernah aku temui di dalam lift ketika baru datang tempo hari.
Iya, aku yakin itu dia.
Terus seperti itu, dia berdiri di pintu, diam memperhatikan, sementara aku tetap terkunci ketakutan.
Hingga, akhirnya sosok lelaki ini bergerak juga, dia melangkah pelan menuju ruang tengah.
Sungguh pemandangan yang mengerikan..
Untaian kalimat doa aku baca dalam hati, menenangkan diri.
Setelah sosok itu hilang dari pandangan, aku lalu perlahan mulai berdiri, meraih ponsel, berniat untuk lari ke luar apartemen.
Langkahku sangat pelan, sebisa mungkin gak menghasilkan suara ketika menuju pintu kamar.
Sesampainya di pintu kamar, di titik ini aku bisa melihat isi ruang tengah dengan jelas.
Beberapa detik aku terpaku, ketika melihat ada pemandangan yang mengerikan.
Sosok yang tadi itu ternyata sedang duduk di sofa, duduk menghadap aku. Ruang tengah yang terang benderang, membuatku bisa dengan jelas melihat semuanya.
Lelaki ini sungguh sangat menyeramkan, wajahnya pucat, dengan lingkar gelap di sekitar mata.
Yang paling menyeramkan, bajunya basah dengan cairan berwarna gelap. Setelah aku perhatikan lebih seksama, ternyata cairan gelap itu adalah darah, darah yang mengalir dari lehernya.
Iya, di lehernya ada luka menganga mengeluarkan darah.
Beberapa detik kemudian, lelaki itu tersenyum dengan ekspresi datar..
Entah ada tenaga dari mana, tiba-tiba aku bisa lari menuju pintu. Lalu pergi ke luar..
***
Di lobby bawah, aku lalu sejenak mengatur nafas, menenangkan diri.
Saat itu aku ingat dengan omongan Dio, kalau dia bersedia aku telpon kalau ada apa-apa, kapan pun. Makanya, aku langsung menelponnya.
Gak lama, sekitar satu jam kemudian Dio datang.
Singkatnya, kemudian aku ceritakan semua kejadian seram yang baru saja aku alami.
Setelah malam itu, aku gak pernah bermalam di apartemen itu lagi. Gak berani.
***
Hai, balik lagi ke gw ya, Brii.
Sekian cerita malam ini, sampai jumpa minggu depan.
Tetap jaga kesehatan, jaga hati dan perasaan, supaya bisa terus merinding bareng.
Salam,
~Brii~
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Sejarah perkebunan karet nan angker ini sebagian besar akhirnya terungkap, ada darah dan air mata di belakangnya. Selimut horornya berbalut sedih di antara kengerian.
Simak final episode dari prekuel #rhdpk, hanya di sini, di Briistory..
***
Pagi harinya, seisi kampung gempar setelah tersebarnya berita tentang adanya dua pendatang yang sempat terjebak dalam situasi menyeramkan pada malam sebelumnya.
Ini peristiwa geger kesekian kali yang terjadi di Sindang Hulu, sebelumya sudah ada beberapa kejadian yang dialami oleh warga, termasuk Yudar. Ramdan dan Ilham adalah orang luar pertama yang merasakan keseraman kejadian itu.
Petualangan di desa Sindang Hulu masih berlanjut, cerita seram masih datang berurut.
Masih mencekam, masih membuat nafas tertahan.
Simak lanjutan ceritanya di sini, hanya di Briistory.
***
Hembusan angin dingin semilir bertiup, menembus ruang gelap malam, menyentuh setiap sudut kosong pedesaan. Heningnya seperti bicara dalam diam, menebar ketakutan.
Suara daun-daun kering yang terangkat terbang lalu jatuh kembali, menyentuh dan bergesekan dengan tanah, itu adalah satu dari sedikit suara yang terdengar. Kadang sesekali serangga nekat berbunyi walau sebentar, sebelum (seperti) ada yang memaksanya berhenti lalu diam.
Sering kali cerita hidup gak sesuai dengan skenario yang kita mau, malah berbelok ke tempat gak menyenangkan. Memaksa kita untuk menelan kesedihan, remuk redam.
Di hari minggu cerah ini, ijinkan gw bercerita pendek drama non horror.
Simak dengan hati, hanya di Briistory.
***
Sekitaran tahun 2008, pada suatu malam minggu gw mengantar Irwan (salah satu teman di Rumah Teteh) dari Bandung menuju Depok, untuk menemui seorang perempuan, namanya Indah.
Awal mula hubungan Irwan dan Indah adalah ketika mereka berkenalan secara gak sengaja di satu mall di Cihampelas, Bandung.
Pada hari perkenalan itu, mereka menyempatkan diri untuk makan dan jalan bareng, berkenalan lebih dari sekadar tahu nama.
Seperti tempat-tempat lain, perkebunan karet yang menyeramkan ini ternyata juga memiliki sejarah panjang. Ada kisah suram di belakangnya, di sinilah ketika semuanya berawal..
Simak prekuel berikutnya dari #rhdpk, hanya di sini, di Briistory..
***
~Desa Sindang Hulu, 1953.~
Sebagian limpahan anugerah Tuhan terhampar di salah satu desa terpencil di pedalaman Sumatera. Terang saja dibilang begitu, karena desa ini wilayahnya subur,
Rentetan peristiwa seram bergantian dialami oleh Aldo dan Sandi, kesemuanya gahar menggores nyali. Rumah dan perkebunan karet ini sungguh jadi cobaan tak terkira buat mereka.
Simak penggalan terakhir ceritanya, hanya di sini, di Briistory..
Jam 12 siang, sinar matahari sedang terik-teriknya.
Kami semua berkumpul di ruang tengah, banyak pertanyaan dilontarkan oleh Pak Rahman dan teman-temannya. Aku dan Sandi, berusaha menjawabnya satu persatu, semampu yang kami bisa dan ingat.
“Adek berdua ini ditemukan sama-sama pingsan, tapi di tempat yang jaraknya berjauhan, gimana ceritanya bisa begitu? Ada apa?”
Awalnya, Pak Kades melontarkan pertanyaan seperti itu, pertanyaan yang tentu saja diikuti oleh pertanyaan-pertanyaan berikutnya.
Kali ini Sandi yang akan bercerita, kenapa dia
semalaman gak pulang-pulang.
Ternyata peristiwanya sangat seram, Sandi mengalami satu fragmen hidup yang gak akan dia lupakan.
Simak episode ketiga prekuel #rhdpk, hanya di sini, di Briistory..
***
Aldo sudah masuk ke kamarnya, dia terlihat sangat kelelahan, sejak kemarin memang sungguh melelahkan buat kami.
Walaupun selalu terus bersama, tapi selama perjalanan dari Jakarta sampai ke tujuan, aku lebih banyak tidur, sementara Aldo sama sekali gak tidur, jadi ya mungkin karena itu aku bisa jadi lebih segar.