Liburan bersama teman memang sangat menyenangkan, seru. Tetapi banyak pula acara liburan yang malah berubah jadi pengalaman seram, mengerikan.
Salah satu teman akan bercerita pengalaman seramnya ketika menginap di Villa Puncak, Bogor.
Simak di sini, hanya di Briistory.
***
“Lumayan, kan. Villa gratis, hehehe.” Rimba bilang begitu.
“Liburnya lama pula. Sedap beneeerr..”, Vero gak kalah antusiasnya.
“Iya, kata bokap, yang penting bisa jaga kelakuan dan kebersihan, soalnya gak ada yang bantu-bantu, jadi kita bener-bener sendirian,” ucap Deasi.
Percakapan menyenangkan itu terjadi di dalam kampus, tempat kami semua berkuliah.
Oh, iya, aku Bara, mahasiswa angkatan 2016 salah satu universitas di Jakarta.
Bersama dengan empat teman se-geng, di pertengahan 2018, kami berencana untuk mengisi liburan dengan menginap di Villa yang letaknya di kawasan Puncak, Bogor. Bukan tanpa alasan kami mencetuskan ide itu, semua karena orang tua Deasi baru saja membeli villa di puncak.
Deasi dan keluarganya juga baru sekali menginap di sana sebelumnya.
Jadilah kami merasa sangat beruntung karena sudah jadi teman dekat Deasi, bisa menggunakan Villa miliknya untuk liburan.
“Jadi berangkat kapan kita?”
“Dari hari Rabu aja , yuk. Minggunya kita balik ke Jakarta. Gimana, Deas? Ok gak?”
“Bebas, villanya gak ada yang make kok.” Deasi menjawab pertanyaan Rimba, sambil terus memperhatikan layar ponselnya.
“Oh, iya. Gak usah banyak orang lah, kita-kita aja, ribet kalo terlalu rame.” Lanjut Deasi berucap.
“Iyalah, kita berlima aja, bias bisa satu mobil aja kan.” Jawabku.
Ya sudah, singkat cerita, kami akhirnya memutuskan untuk menghabiskan sebagian libur kuliah dengan menginap di Villa Puncak Bogor, rencananya hampir selama satu minggu kami tinggal di sana.
***
Hari yang dinanti-nanti akhirnya tiba.
Aku, Deasi, Rimba, Vero, dan Farah, berangkat dari rumah Deasi di kawasan Kebayoran menuju Puncak. Liburan pun dimulai.
Layaknya sebagaimana liburan, suasana perjalanan sudah sangat menyenangkan, obrolan tanpa putus diselingi canda dan tawa ramai terdengar dalam kendaraan. Aku yang di belakang kemudi juga ikut merasakan kegembiraan ini.
Intinya, kami semua gembira, iyalah, karena memang acaranya liburan, kan.
Mungkin hampir seluruh orang Indonesia tahu, kalau kawasan Puncak Bogor ini dikenal sebagai tempat untuk berlibur melepas penat, tempat mendapatkan udara segar pegunungan, khususnya untuk yang tinggal dan bekerja di Jakarta dan sekitarnya.
Di Puncak, dengan udaranya yang sejuk, banyak berdiri villa-villa dengan berbagai ukuran, kebanyakan memang disewakan untuk wisatawan. Disewakan untuk apa? Ya itu tadi, berlibur melepas penat, menghidup udara segar pegunungan, melarikan diri dari sesak hiruk pikuk Jakarta.
***
“Daerah mana sih villanya, Deas?” tanyaku ketika kami sudah sampai di daerah Ciawi, jam dua siang, menjelang sore.
“Cisarua, Bar. Nanti gw kasih tau jalannya. Ini terus aja dulu, masih jauh.” Jawab Deasi.
Gak bisa dipungkiri, kawasan puncak ini merupakan tempat menarik bagi wisatawan. Dari Ciawi, yang masih terbilang di bawah, sudah berjejer toko-toko yang menjual makanan khas puncak, banyak resto bagus, dan warung-warung kopi dari yang sederhana sampai yang hype juga banyak.
Kawasan puncak sudah bisa dipastikan ramai dan macet kendaraan di setiap akhir pekan .
Tapi karena ini hari Rabu, jadinya lalu lintas cenderung gak terlalu ramai, kendaraan kami melintas nyaris tanpa hambatan.
Oh, iya, sebelum keluar dari jalan utama untuk menuju daerah tempat villa berada, terlebih dahulu kami mampir di salah satu resto untuk makan siang.
Gak lama kami menghabiskan waktu di resto ini, sekitar setengah jam kemudian melanjutkan perjalanan lagi.
Seperti yang Deasi bilang, Vila yang kami tuju ini letaknya di daerah Cisarua. Deasi juga bilang, letak pastinya villa bisa dibilang letaknya di dekat kaki gunung Pangrango, jadi sudah cukup jauh dari jalan utama Puncak.
Dan benar, aku yang bertugas sebagai supir merasakan kalau jalan yang harus ditempuh menuju Villa cukup jauh.
Tapi walaupun begitu, perjalanannya sangat menyenangkan, suasananya asik dengan udara yang semakin lama semakin sejuk, karena jalan yang kami tempuh pun terus-terusan berkontur menanjak, kami terus naik ke dataran tinggi.
***
“Buset, gede banget Villanya, Deas.”
Itu ucapan pertama yang keluar dari mulut Vero, ketika kami sudah sampai di depan villa yang berpagar dan punya gerbang tinggi. Benar yang Vero bilang, Villanya sudah kelihatan besar walaupun kami melihatnya masih dari luar.
“Bentar, gw turun dulu, buka pagernya.”
Deasi lalu turun untuk membuka pagar.
Setelah pagar terbuka, aku lalu memasukkan kendaraan.
Villa bertingkat yang bentuknya semi modern walau gak bisa dibilang bangunan baru, halamannya luas, jarak dari gerbang depan ke villanya cukup jauh. Aku memarkirkan kendaraan persis di depan Villa.
Setelah turun kendaraan, kami lalu melihat-lihat sekeliling.
Walaupun lebih sering kosong, tapi villa ini kelihatan sangat terawat, rumput indah menutup hampir seluruh permukaan halaman dan pekarangan, beberapa pohon besar berdiri subur di begian sudut-sudutnya.
Sambil berbincang menyenangkan, kami gak langsung masuk ke dalam villa, tapi memilih terlebih dahulu melihat-lihat ke bagian belakang.
“Waaaaahh, kolam renang!”
Nyaris bersamaan kami girang berteriak, mengetahui ada kolam renang di belakang.
“Sengaja gw gak ngomong dari awal, biar surprise, hahaha,” kata Deasi.
Kolam renang yang menurutku ukurannya cukup besar, airnya bersih kelihatan terawat, sekitarannya juga sangat bersih.
Halaman belakang ternyata lebih luas dari halaman depan. Selain kolam renang, ternyata di belakang juga ada bangunan lagi, namun ukurannya gak terlalu besar, sepertinya diperuntukkan untuk tamu
Di pinggir kolam juga ada dua gazebo kecil yang sangat pas sebagai tempat nongkrong dan berbincang.
Gak ketinggalan, pemandangan yang dimiliki juga sangat bagus, dari villa ini kami dapat melihat indahnya gunung Pangrango dari jarak yang cukup dekat.
Pokoknya, villa besar ini sangat luas, bagus, dan indah.
***
“Sebelumnya, yang punya villa ini keluarga keturunan Belanda. Katanya sih, dari kakek nenek mereka sudah tinggal di sini. Tapi cucu-cucunya memutuskan untuk menjualnya, jadilah bokap gw yang beli.”
Bagitu Deasi bilang, ketika kami sedang bersantai di salah satu gazebo di belakang, pinggir kolam renang. Menghabiskan sore menikmati sejuknya udara dan indahnya pemandangan.
“Udah lama kosong ya, Deas?” Farah yang sebelumnya lebih banyak diam, akhirnya bersuara.
“Katanya sih lebih sering kosong. Tapi kadang katanya ada yang nyewa juga, walaupu jarang, karena katanya villanya terlalu besar. Gitu sih kalo kata Pak Rustam, penjaga yang suka villa ini.” Begitu Deasi bilang.
“Trus, Pak Rustamnya ke mana?” tanyaku.
“Dia lagi ada keperluan, baru bisa dateng nanti hari Sabtu.” Jawab Deasi.
Kami semua, tetiba kompak bengong mendengarkan cerita Deasi.
“Tenang ajalaaaaah, gak ada hantu kok di sini, hahahaha. Gw tahu apa yang sedang ada di kepala kalian, hahaha.” Deasi dengan ketawanya yang khas membuyarkan lamunan kami.
Iya, sih, apa yang Deasi bilang memang benar. Sempat terlintas di kepalaku, kalau mungkin saja villa ini angker, karena lebih sering kosong gak berpenghuni.
Tapi, ya sudahlah, aku dan teman-teman yang lain coba mengabaikan pikiran jelek itu, lebih memilih memaksa diri menikmati suasana dan keindahan sekitar.
Terus berfikir positif, sampai akhirnya nanti, ada beberapa kejanggalan yang kami alami selama menempati villa ini..
***
“Gw ke kamar dulu, bentar.” Aku bilang begitu, lalu meninggalkan teman-teman semuanya tetap kumpul di gazebo.
Hari sudah menggelap, sinar matahari hanya menyisakan percikan warna jingga tipisnya. Sudah jam enam lewat sedikit.
Aku melangkah masuk lewat pintu belakang.
Yang pertama ditemui ketika sudah di dalam adalah dapur yang ukurannya besar, kemudian kalau berjalan sedikit lagi akan ditemui ruangan kecil tanpa pintu yang aku gak tahu petuntukkannya, ruangan kecil ini berhadapan dengan kamar mandi.
Setelah itu akan ada ruang makan dengan meja oval yang besar, setelah ruang makan tentu saja ada ruang tengah yang cukup besar ukurannya.
Seperti yang sudah aku ceritakan tadi, villa ini bertingkat, di lantai bawah ada dua kamar tidur, di lantai atas ada tiga. Kami semua memutuskan untuk menempati kamar atas, karena di atas memiliki teras yang menyajikan pemandangan pegunungan.
Gak lupa, dalam perjalanan menuju kamar aku juga menyalakan setiap lampu yang ada di dalam, mengubah gelap suasana menjadi agak terang.
Tangga menuju lantai atas letaknya di antara ruang tengah dan ruang makan, tangganya berbentuk lorong karena tertutup dinding ruang tengah.
Gak lama, akhirnya aku sampai di kamar atas. Rencananya, aku hendak mandi, makanya tujuan ke kamar adalah untuk mengambil perlengkapan mandi.
Deasi bilang juga sebelumnya, kamar mandi di lantai atas belum bisa digunakan, masih dalam perbaikan katanya. Jadi kamar mandi hanya ada di lantai bawah.
Ya sudah, setelah selesai aku langsung turun lagi ke bawah, menuju kamar mandi. Menuruni tangga lagi, lewat ruang tengah lagi, ruang makan, dan akhirnya sampai di depan kamar mandi.
Nah, tadi sempat aku bilang kalau di depan kamar mandi ada satu ruang kosong tanpa pintu yang aku gak tahu apa fungsinya.
Sebelum masuk ke kamar mandi, aku menghentikan langkah, karena ada yang menarik perhatian dari dalam ruangan kosong ini.
Ada benda yang bentuknya cukup aneh, tergeletak di dalamnya.
Ruangan masih gelap, karena memang gak ada lampu di dalamnya, hanya mengandalkan lampu yang ada di dapur.
Ya karena agak gelap itulah, jadinya pada awalnya aku jadi gak bisa jelas melihat benda apa sebenarnya itu. Maka dari itulah akhirnya aku memutuskan untuk melangkah lebih dekat lagi, supaya bisa melihat lebih jelas, memastikan benda apa itu.
Ketika sudah cukup dekat, bentuknya mulai jelas terlihat, berbentuk empat persegi panjang, berwarna gelap. Awalnya, aku pikir ini adalah sebuah meja panjang, tapi kemudian pikiranku berubah, karena benda itu terlalu rendah kalau itu adalah meja.
Ketika hanya berjarak tinggal kira-kira satu meter, akhirnya aku bisa tahu dengan pasti benda apakah itu sebenarnya.
Terkejut, terperanjat, pada detik awal aku terkesima seperti terhipnotis, detik berikutnya langsung melangkah cepat pergi dari situ lalu menuju gazebo belakang, di mana teman-temanku berkumpul semuanya.
“Knapa lo, Bara? Kayak abis marathon ngos-ngosan gitu.” Tanya Vero ketika aku sudah sampai.
“Deas, ruangan di depan kamar mandi itu tempat apa sih?” tanyaku sambil terus berusaha mengatur nafas.
“Nantinya mau jadi gudang bersih sih, kenapa emang?” Desi menjawab, diakhiri pertanyaan.
“Tadi, gw lihat ada peti mati di dalamnya. Emang ada peti mati di situ, Deas? Keluarga lo sengaja naro peti mati di situ?” Aku bilang begitu dengan nafas yang masih juga tersengal.
“Peti mati? Jangan bercanda lo, ah. Mana ada peti mati sih?. Gak ada, gak ada.” Deasi menjawab dengan terperanjat, jelas sekali ada kekagetan di wajahnya.
“Baru aja gw lihat peti mati di ruangan itu, Deas. Makanya gw panik dan langsung ke sini.” Jawabku lagi.
Kemudian, tanpa dikomando, kami semua langsung bergegas masuk ke dalam villa, semua penasaran dengan omonganku.
Tapi, betapa terkejutnya aku ketika sudah sampai lagi di ruangan itu, ternyata ruangannya kosong, gak ada barang apa pun, apa lagi peti mati.
“Tuh kan, lo halu nih, mana ada peti mati, orang ruangannya masih kosong gini. Ngagetin aja lo ah, Bara.” Dengan nada kesal Deasi bilang begitu, juga dengan teman yang lain.
Aneh, padahal jelas-jelas tadi aku melihat ada peti mati, kenapa tiba-tiba hilang? Atau aku salah lihat? Ah sepertinya gak mungkin, aku sangat yakin karena melihatnya dari jarak yang sangat dekat.
Lalu, ke mana perginya peti mati itu?
***
Sejak kejadian peti mati itu, pikiranku jadi gak tenang, tentu saja hal ini jadi memikirkan hal-hal aneh.
“Gak Baraaaaa, gw yakin lo salah liat, emang ruangannya juga gelap kan. Udahlaah, jangan dipikirin.” Rimba lagi-lagi menegurku, mungkin karena melihat aku masih melamun.
Ya sudah, setelahnya aku berusaha untuk meyakinkan diri kalau aku benar salah lihat, berusaha untuk melupakan juga.
Singkatnya, malam itu kami habiskan dengan bercengkrama di pinggir kolam hingga larut. Sekitar jam satu lewat tengah malam, kami baru masuk ke dalam dan beristirahat.
Malam itu kami lalui tanpa kendala, sama sekali gak ada kejadian yang mengganggu. Tidur pun terbilang nyenyak.
Tapi, ada sedikit keanehan yang aku rasakan. Di dalam tidur, aku bermimpi aneh menjurus seram.
Di dalam mimpi, tiba-tiba aku seperti tengah menghadiri acara duka cita.
Aku duduk di dalam satu ruangan besar, semua tamu mengenakan pakaian hitam-hitam, ruangannya gak terlalu terang, suasana duka sangat terasa.
Yang paling aku ingat, di bagian paling depan ruangan ternyata ada peti mati, peti mati yang tutupnya dalam keadaan terbuka.
Aku duduk gak jauh dari peti mati, jadi dapat melihat dengan jelas kalau di dalamnya ada jenazah terbaring, aku gak bisa melihat jelas wajahnya, yang pasti sepertinya jenazah laki-laki, karena mengenakan jas yang juga berwarna gelap.
Suasana duka namun mencekam begitu terasa, hening sama sekali gak ada suara. Para hadirin pungak ada yang menangis, wajah semuanya terdiam tanpa ekspresi. Menyeramkan..
***
“Ro, lo jangan bilang ke Deasi Farah ya, gw gak mau mereka jadi ketakutan. Tadi malem gw mimpi serem.”
Pagi harinya aku bilang begitu ke Vero, ketika teman-taman yang lain sedang pergi belanja ke luar. Aku ceritakan semuanya, tentang mimpiku itu, mimpi yang sangat aneh.
“Lo tuh ya, Bar, ada-ada aja. Kemaren katanya lihat peti mati, tadi malam mimpiin peti mati, halu lo aah.” Begitu Vero bilang.
Tapi ya mau gimana lagi, memang seperti itu yang terjadi. Aku jadi makin merasa kalau ada yang gak beres dengan villa ini. Tapi kenapa cuma aku yang punya perasaan seperti ini? Sementara teman-teman lain aku lihat biasa-biasa saja, gak merasa ada yang aneh.
***
Hari kedua, kamis.
Kami habiskan lagi-lagi dengan bersantai, bercengkrama, berenang, pokoknya santai. Sedikit-sedikit aku dapat mulai lupa dengan kejadian yang aku alami kemarin dan malam sebelumnya, teralihkan dengan suasana menyenangkan.
Akan tetapi, ternyata malam nanti akan terjadi peristiwa yang aku akan sulit untuk melupakannya.
***
Malam pun tiba, seperti malam sebelumnya kami menghabiskan waktu di halaman belakang, makan malam dan berbincang santai.
Tapi, beda dengan teman-teman lain, sekitar jam 10 aku merasa kalau badanku gak enak, kepala agak pusing, tubuh terasa sangat lelah, lemas pokoknya.
“Gw kok tiba-tiba gak enak badan ya, lemes banget. Gw rebahan dulu di kamar sebentar ya, capek banget rasanya.” Aku bilang begitu.
“Ah cemen banget lo, Bar. Baru juga jam segini, huuuuuu..” teman-temanku nyaris bicara sama seperti itu.
Aku gak peduli, pokoknya aku ingin istirahat.
Setelah berpamitan, aku lalu masuk ke dalam villa, lalu menuju kamar atas.
Sesampainya di kamar, aku langsung merebahkan diri di tempat tidur. Nah, aku terjaga hanya beberapa detik saja, setelahnya langsung lelap gak sadarkan diri.
Aku tertidur..
***
Entah sudah jam berapa, tetapi masih sangat gelap. Aku perlahan berangsur terbangun dari tidur.
Masih dalam posisi terbaring, tapi sudah bisa melihat sekeliling, saat itu aku perlahan sadar kalau ternyata sedang gak berada di dalam kamar, aku merasa kalau sedang di ruangan lain, gak tahu ruangan mana.
Yang pasti, akhirnya aku bisa merasakan kalau gak sedang berada di atas tempat tidur, tubuh merasakan kalau aku sedang terbaring di permukaan yang keras.
Benar, ternyata aku sedang terbaring di atas lantai yang terasa dingin, tapi di mana? Kok bisa?
Perlahan aku bangkit, lalu duduk, masih belum sadar sepenuhnya, masih bertanya-tanya sedang di mana aku berada.
Cukup lama aku terdiam berfikir keras, sampai akhirnya aku mendapat jawaban, di mana sedang berada.
Ternyata, aku sedang berada di ruangan kosong depan kamar mandi bawah, ruangan yang pada hari pertama aku melihat ada peti mati di dalamnya.
“Kok aku bisa ada di sini?” timbul pertanyaan dalam hati.
“Teman-teman pada ke mana?” muncul pertanyaan berikutnya.
Perlahan aku mulai berdiri, lalu melangkah ke luar ruangan.
Villa dalam keadaan redup, hanya sebagian lampu yang menyala, namun begitu aku masih bisa melihat cukup jelas sehingga bisa melangkah dengan pasti.
Yang pertama ingin aku tuju adalah kamar atas, karena aku pikir teman-temanku ada di situ semua.
Untuk menuju tangga ke lantai atas, tentu saja aku harus menuju ruang tengah juga, karena di situlah letak tangga berada.
Tapi, begitu sampai di ruang tengah, langkahku berhenti..
Pada detik ini aku tersadar kalau ternyata gak sedang sendirian..
Di ruang tengah aku melihat pemandangan aneh dan menyeramkan.
Di redupnya ruangan, ternyata di situ ada banyak orang, kira-kira belasan, semua orang duduk berbaris di kursinya masing-masing, semuanya berpakaian hitam. Ada beberapa anak kecil juga yang duduk di barisan depan.
Aku masih berdiri terbengong-bengong, gak paham apa yang sedang terjadi, coba menerka-nerka siapakah sebenarnya orang-orang yang sedang ada di hadapanku ini.
Tapi, beberapa detik berikutnya aku baru sadar, akhirnya aku bisa mengenali kegiatan ini. Ternyata, di hadapanku ini adalah persis dengan pemadangan yang ada di dalam mimpi pada malam sebelumnya.
Apa lagi setelah aku menoleh ke sebelah kanan..
Persis di sebelah kananku berdiri, ternyata ada peti mati, peti mati yang tutupnya dalam keadaan terbuka.
Yang lebih ngeri lagi, dengan jelas aku dapat melihat ada jenazah yang sedang terbaring di dalamnya, karena jarak kami sangat dekat.
Ternyata, di ruang tengah sedang ada kegiatan acara duka cita persis seperti yang aku mimpikan sebelumnya.
Aku semakin ketakutan, karena melihat para hadirin yang sedang duduk wajahnya pucat pasi tanpa ekspresi, sangat menyeramkan.
Seperti tersadar, aku lalu memaksa diri melangkah mundur, menjauh, ketika akhirnya melihat dari arah belakang ada sosok sedang bergerak berjalan menuju peti mati ini. Yang membuat aku panik, ternyata sosok ini bergeraknya melayang, pelan.
Mengerikan..
Aku terus melangkah mundur menuju pintu belakang. Sesampainya di pintu belakang, aku langsung membukanya lalu lari ke luar.
Merogoh saku celana, ternyata ponselku masih ada. Kemudian aku coba menghubungi teman-temanku.
“Bara, lo di mana sih? Gila lo ya, kami cari lo sampe ke jalan nih.”
Di ujung telpon. Deasi bilang begitu.
“Gw masih di Villa, buruan lo jemput gw ke sini.” Jawabku.
Aku lalu lari mengelilingi villa menuju gerbang depan.
Gak lama kemudian, teman-temanku datang.
Kemudian aku mengajak mereka untuk jangan kembali ke villa.
Ternyata masih jam 1 lewat tengah malam, akhirnya kami berhenti di salah satu warung kopi, untuk berbincang.
Kemudian, aku ceritakan semua yang baru aja terjadi.
Tapi, menurut teman-temanku, setelah pamit untuk tidur duluan, aku malah menghilang, gak ada di dalam villa, teman-teman sudah mencari ke setiap sudut villa, tapi mereka gak menemukan aku, aku hilang.
Makanya, mereka lalu berkendara ke luar villa, mereka pikir aku sedang keluar sendirian. Padahal, sebenarnya aku masih ada di dalam villa, kenapa mereka gak bisa menemukan?
***
Hai, balik lagi ke gw ya, Brii.
Sekian sekelumit cerita seram salah satu villa di Puncak.
Sampai jumpa lagi minggu depan dengan cerita lainnya.
Tetap jaga kesehatan, hati, dan perasaan, supaya bisa terus merinding bareng.
Salam,
~Brii~
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Jakarta, banyak terselip kisah seram, entah di kantor atau tempat tinggal.
Salah satu bentuk tempat tinggal adalah apartemen. Sama seperti tempat lain, banyak apartemen yang punya cerita seram. Salah satu teman akan menceritakan kisahnya.
Simak di sini, di briistory..
***
Pintu kamar sengaja aku buka, supaya tetap bisa melihat ke ruang tengah, imajinasi jadi gak melayang ke mana-mana.
Namun, tetap saja susah untuk tidur.
Terkadang, mata sudah terpejam, tetapi aku malah merasa seperti ada yang sedang berdiri memperhatikan. Was-was jadinya.
Awalnya, aku pikir mungkin itu hanya perasaan saja, awalnya begitu.
Sejarah perkebunan karet nan angker ini sebagian besar akhirnya terungkap, ada darah dan air mata di belakangnya. Selimut horornya berbalut sedih di antara kengerian.
Simak final episode dari prekuel #rhdpk, hanya di sini, di Briistory..
***
Pagi harinya, seisi kampung gempar setelah tersebarnya berita tentang adanya dua pendatang yang sempat terjebak dalam situasi menyeramkan pada malam sebelumnya.
Ini peristiwa geger kesekian kali yang terjadi di Sindang Hulu, sebelumya sudah ada beberapa kejadian yang dialami oleh warga, termasuk Yudar. Ramdan dan Ilham adalah orang luar pertama yang merasakan keseraman kejadian itu.
Petualangan di desa Sindang Hulu masih berlanjut, cerita seram masih datang berurut.
Masih mencekam, masih membuat nafas tertahan.
Simak lanjutan ceritanya di sini, hanya di Briistory.
***
Hembusan angin dingin semilir bertiup, menembus ruang gelap malam, menyentuh setiap sudut kosong pedesaan. Heningnya seperti bicara dalam diam, menebar ketakutan.
Suara daun-daun kering yang terangkat terbang lalu jatuh kembali, menyentuh dan bergesekan dengan tanah, itu adalah satu dari sedikit suara yang terdengar. Kadang sesekali serangga nekat berbunyi walau sebentar, sebelum (seperti) ada yang memaksanya berhenti lalu diam.
Sering kali cerita hidup gak sesuai dengan skenario yang kita mau, malah berbelok ke tempat gak menyenangkan. Memaksa kita untuk menelan kesedihan, remuk redam.
Di hari minggu cerah ini, ijinkan gw bercerita pendek drama non horror.
Simak dengan hati, hanya di Briistory.
***
Sekitaran tahun 2008, pada suatu malam minggu gw mengantar Irwan (salah satu teman di Rumah Teteh) dari Bandung menuju Depok, untuk menemui seorang perempuan, namanya Indah.
Awal mula hubungan Irwan dan Indah adalah ketika mereka berkenalan secara gak sengaja di satu mall di Cihampelas, Bandung.
Pada hari perkenalan itu, mereka menyempatkan diri untuk makan dan jalan bareng, berkenalan lebih dari sekadar tahu nama.
Seperti tempat-tempat lain, perkebunan karet yang menyeramkan ini ternyata juga memiliki sejarah panjang. Ada kisah suram di belakangnya, di sinilah ketika semuanya berawal..
Simak prekuel berikutnya dari #rhdpk, hanya di sini, di Briistory..
***
~Desa Sindang Hulu, 1953.~
Sebagian limpahan anugerah Tuhan terhampar di salah satu desa terpencil di pedalaman Sumatera. Terang saja dibilang begitu, karena desa ini wilayahnya subur,
Rentetan peristiwa seram bergantian dialami oleh Aldo dan Sandi, kesemuanya gahar menggores nyali. Rumah dan perkebunan karet ini sungguh jadi cobaan tak terkira buat mereka.
Simak penggalan terakhir ceritanya, hanya di sini, di Briistory..
Jam 12 siang, sinar matahari sedang terik-teriknya.
Kami semua berkumpul di ruang tengah, banyak pertanyaan dilontarkan oleh Pak Rahman dan teman-temannya. Aku dan Sandi, berusaha menjawabnya satu persatu, semampu yang kami bisa dan ingat.
“Adek berdua ini ditemukan sama-sama pingsan, tapi di tempat yang jaraknya berjauhan, gimana ceritanya bisa begitu? Ada apa?”
Awalnya, Pak Kades melontarkan pertanyaan seperti itu, pertanyaan yang tentu saja diikuti oleh pertanyaan-pertanyaan berikutnya.