Diosetta Profile picture
Mar 12 290 tweets 36 min read
SUKMA GENI
Part 1

Sebuah cerita pendek yg banyak ditanyakan oleh pembaca timeline #jagadsegorodemit mengenai perjalanan Bimo Sambara bersama nyai suratmi untuk mencari keberadaan Widarpa.

Sebuah wabah aneh menyerang desa yang mencelakai ayah dari orang yang penting bagi Bimo Image
Rimbunya dedaunan menutupi jalan setapak menuju ke tengah pedalaman hutan yang diselimuti oleh kegelapan.
“Bimo, sini obornya..” Pinta Mas Bisma yang segera berjalan mendahuluiku masuk ke dalam semak dedaunan itu.
“Hati-hati mas, katanya makhluk itu bersarang di sini…” Aku mencoba memperingatkan Mas Bisma yang hanya dibalas dengan anggukan.
Kami berjalan dengan hati-hati melalui jalan menurun yang dipenuhi bebatuan yang cukup licin. Disekitar kami hanya terlihat pepohonan lebat dengan berbagai tanaman setinggi tubuh kami.
“Kuwi to tempate?” (Itu ya tempatnya?) Tanya Mas Bisma.
“Iyo ketoke mas, enek batu sing ditumpuk ing duwur lemah.” (Kayaknya bener mas… ada batu yang ditumpuk diatas tanah)
Tepat pada saat kami mendekati tumpukan batu itu suara tawa melengking terdengar menggema ke seluruh hutan.
“Hati-hati Mo.. dia di sini!” Ucap Mas Bisma yang juga merasakan adanya sosok makhluk yang mendekat ke arah kami.
Jauh dari dalam kegelapan hutan samar-samar terlihat oleh kami sosok makhluk berwujud wanita dengan daster merah panjang yang sudah bercampur dengan darah.
Wajahnya terlihat tertawa namun tatapan matanya tak mampu berbohong, Ia berniat mencelakai kami.
Seketika itu juga lampu oborku mati dan suasana hutan terasa menjadi mencekam.
“Mbak, kami nggak berniat nyakitin…” Ucapku dengan polosnya.
Tak lama setelahnya tubuhku mendadak tidak bisa bergerak. Aku tidak lagi melihat sosok wanita itu dan segera menyadari bahwa sosok itu mencoba merasukiku.
Mas Bisma segera mendudukanku di tanah dan membacakan doa yang sering diajarkan pada kami untuk mengusir sosok itu dari tubuhku.
“Opo karepe kowe ning alas iki…” (apa maumu di hutan ini?) Ucapku diluar kesadaranku , sementara Mas Bisma masih mencoba menolongku.
“Mbak, kami hanya ingin mencoba menenangkan mbaknya… biar mbak nggak usah gentayangan di desa lagi” Jawab Mas Bisma.
“Opo urusanmu? Aku ra bakal tenang nek uwong sing mateni aku durung mati!” (Apa urusanmu? Aku tidak akan tenang kalau yang membunuh aku belum mati!) Balasnya.
“Wis tenango ya mbak.. orang itu sudah ditangkap polisi, biar dia dihukum sepantasnya… Mbaknya sing tenang, kalau begini seolah-olah mbaknya yang terhukum sama dendam” Balas Mas Bisma.
Roh wanita itu terdiam, sepertinya doa dan kata-kata Mas Bisma mulai diterima oleh makhluk itu.
“Aku ora nduwe sopo-sopo sing dongake aku!” (Aku tidak punya siapa-siapa yang mendoakan aku) Ucap roh itu melalui tubuhku.
Mas Bisma menarik nafas lega, ketika suatu roh sudah mulai menyampaikan kegelisahanya berarti kami selangkah lebih maju untuk bisa menenangkanya.
“Kami yang akan mendoakan, dan memakamkan kembali jasad mbak dengan layak” Jawab Mas Bisma. “Kami Janji”
Aku merasakan hawa tenang dari dalam tubuhku. Mas Bisma membacakan doa dengan lebih khusuk sementara aku mengikutinya dalam hati berharap roh ini bisa segera tenang dan keluar dari tubuhku.
“sakdurunge aku lungo, aku njaluk gendang goreng sing anget“ (Sebelum aku pergi, aku minta pisang goreng yang hangat) Ucapku dengan suara menggeram.
Sontak Mas Bisma memukul kepalaku menanggapi keisenganku.
“Bisa-bisanya becanda di kondisi kaya begini” Balas Mas Bisma.
Aku tertawa, memang ucapan tadi hanya keisenganku saja saat sadar bahwa roh wanita itu sudah tenang dan meninggalkan tubuhku. Sayangnya,ternyata Mas Bisma tidak mudah dikelabuhi.
“Ngapunten mas.. biar nggak tegang” Balasku dengan santai.
Saat mengetahui suasana kembali tenang, aku kembali menyalakan oborku dan menghampiri tumpukan batu tadi. Di sinilah jasad makhluk itu dikuburkan oleh pembunuhnya.
Kami menyiramkan air dan menaburkan bunga pada tanah itu dan membacakan doa untuk menenangkan roh perempuan yang terkubur di tanah ini. Tak lupa kami meninggalkan penanda untuk menandai bahwa ada sebuah kuburan yang berada di tempat ini.
“Piye Bimo, kowe uwis iso nganggo keris pusaka kuwi?” (Gimana Bim? Kamu sudah bisa memakai keris pusaka itu?) Tanya Mas Bisma di tengah perjalanan pulang kami.
“Halah mbuh mas, diwariskan pusaka keris, tapi nggak boleh ternodai darah orang lain… terus fungsinya untuk apa?” Jawabku.
“Lha iya.. aneh juga, keris benda tajam kok nggak boleh kena darah. Apa namanya? keris Sukmageni?” Tanya Mas Bisma lagi.
“Iya mas… Mas Bisma sendiri gimana? Katanya mau diwariskan pusaka juga?” Tanyaku.
“Iyo.. tapi katanya dapetinya susah, makanya besok tak tinggal dulu agak lama… disuruh nemuin eyang-eyang dulu” Balas Mas Bisma.
“Iyo mas, hati-hati ya.. mudah-mudahan diajarin juga cara pakai pusakanya, biar nggak kaya aku” Balasku.
Sebelum kami kembali ke rumah, kami mampir ke rumah kepala desa untuk menginformasikan kejadian tadi. Setelah ini warga desa sudah tidak perlu takut lagi akan kemunculan sosok hantu wanita yang sering bergentayangan dan merasuki warga.

***
Pagi hari ini berlalu seperti pagi biasanya. Hanya saja kali ini aku mengayuh sepeda ontelku memboncengkan Mas Bisma ke stasiun untuk menemui eyang-eyang kami seperti yang dipetunjukan padanya.
“Matursuwun yo Mo, tak tinggal dulu. Kalau ada masalah jangan nekad, nunggu mas aja” Ucap Mas Bisma.
“Tenang Mas, aman…” balasku sambil membantu menaikan perlengkapan Mas Bisma ke dalam kereta.
Setelah keberangkatan Mas Bisma aku kembali ke desa sambil sesekali menikmati pemandangan sepanjang perjalanan.
“Mas Bimo! Sini!” Ucap seorang perempuan yang memanggilku dari dalam rumah tepat di dekat pintu masuk desa.
Dia adalah Asih, salah satu perempuan yang cukup dekat denganku. Mungkin Asih tidak secantik kembang desa yang lainya, namun entah mengapa aku merasa nyaman ketika dekat denganya.
“Ono opo dek…” (Ada apa dik?) Ucapku yang segera turun dari sepeda dan menghampirinya ke rumah.
“Ini mas, Coba dicicipin..” Ucap Asih sambil mengeluarkan semangkok kecil kolak pisang hangat yang baru saja ia masak.
Aku mengambil sendok dan menyeruput kolak pisang buatan Asih.
“Piye mas? Enak ra?” (Gimana mas? bisa nggak) Tanya Asih.
“Mbuh dek, belum kerasa.. coba semangkok lagi” Ucapku dengan wajah yang masi bingung. Asih kembali ke dapur dan membawa semangkuk lagi kolak pisang kepadaku.
“Ini mas? gimana? Enak gak.. takutnya nanti bapak nggak suka” Tanya Asih dengan wajah heran.
“Jelas nggak , Nggak enak kalau cuman makan satu mangkok.. sekarang baru enak” Jawabku sambil menghabiskan mangkok kedua yang disuguhkan Asih.
“Ealadalah mas… tak kiro tenanan” (Saya kira beneran mas) Ucap Asih dengan wajah yang merajuk.
“Lha lagian kamu aneh, udah tau masakanmu paling enak sekampung.. pakai minta pendapat segala” Ucapku.
Asih tersenyum malu mendengar perkataanku tadi. Wajahnya yang tersipu membuatnya terlihat manis, Jauh lebih manis dari Kolak pisang yang kumakan barusan.
“Masakanku enak, kan gurunya juga hebat…” Ucap Asih sambil melirik ke arah belakangku. Aku segera menoleh dan sosok itu kembali muncul di belakangku.
Sosok sorang wanita berumur dengan pakaian jawa sederhana yang sesekali menampakan wujudnya di sekitarku dengan paras yang Ayu.
Dia adalah Nyai Suratmi, roh leluhurku yang masih belum tenang. Ia mengikutiku bersamaan setelah aku diwariskan keris Sukmageni oleh Eyangku.
“Eh.. eyang, tumben tiba-tiba nongol” Ucapku yang cukup kaget dengan kehadiranya lagi.
“Asih , coba lihat tangan Bimo.. coba kamu yang bilangin, sudah dibilang suruh sabar masih aja nekad” Ucap Roh Nyai Suratmi pada Asih.
Dengan segera Asih mengecek tanganku yang memang sedari tadi kusembunyikan. Beberapa luka sayatan terlihat ditanganku yang memang sengaja kusayatkan dengan keris sukmageni.
“Ora.. iki ora popo, mung bagian dari latian kok” (Nggak.. ini nggak apa apa, Cuma bagian dari latihan kok) Ucapku yang berusaha menyembunyikan luka ini dari Asih.
“Mas… ini luka apaan lagi? Kok serem?” tanya Asih dengan wajah khawatirnya. Ia menatapku dengan mata yang sayu.
Sungguh , aku lemah dengan hal seperti ini.
“sudah dibilang, kekuatan Keris Sukmageni akan menitis saat sudah dibutuhkan. Walaupun darahmu sudah terpilih, bukan berarti kamu bisa menggunakan kekuatanya sebebas-bebasnya” Ucap Nyai Suratmi.
“Ya tapi kan Eyang, Bimo cuma takut kalau saat kekuatan keris ini dibutuhkan, ternyata Bimo belum bisa menggunakanya” Jawabku dengan sedikit gelisah.
“Mas Bimo, tenang aja… ikuti nAsihat eyang. Lagipula Tuhan pasti memberikan permasalahan sepaket sama solusinya.
Kalau memang keris itu belum bisa digunakan, mungkin memang bukan itu keris itu yang menjadi jalan keluarnya” Ucap Asih .
Entah mengapa ucapan Asih kali ini bisa sedikit membuka pikiranku.
Namun hal itu tetap saja tidak bisa menampik kenyataan bahwa keris pusaka ini tidak ada gunanya.
“Yowis dik , tak pamit dulu.. dienteni bapak, dikon ngonceki kacang bar panen mau” (Yasudah dik, saya pamit dulu… ditunggu bapak , disuruh ngupasin kacang hasil panen tadi)
Ucapku yang segera bergegas meninggalkan rumah Asih.
“Hati-hati mas… “ Ucap Asih yang mengantarku sampai depan rumahnya. Sesekali aku menengok ke belakang ke arah Asih yang menungguku pergi hingga tak terlihat dari pandanganya.
Sesampainya di rumah aku sudah disambut dengan sekumpulan tanaman kacang hasil panen kebun kami. Sebelum mendengar ocehan bapak aku segera mengambil posisi di salah satu sudut teras dan mulai memisahkan kacang dengan daunya dan mengupasnya
seperti yang biasa kami lakukan setiap panen.
“Mo… Asih baik ya?” Ucap Nyai Suratmi yang muncul samar-samar di sekitarku.
“Iyo eyang, baik banget… nek karo aku cocok ora?” (Iya Eyang, baik banget… kalau sama aku cocok nggak?) Tanyaku.
“Cocok… Eyang juga suka sama Asih” Jawab Nyai Suratmi.
“Yo.. nanging yo kuwi, aku mung anak petani… de’en anak pedagang sukses, isin aku eyang” (YA.. tapi itu , aku Cuma anak petani.. dia anak pedagang sukses, malu aku eyang) Balasku.
“Heh.. ora ngono coro kerjane tresno” (Heh, nggak gitu cara kerjanya Cinta)
“Mau denger ceritanya eyang jaman muda dulu nggak?” Tawar Nyai Suratmi.
Aku menangguk , lagipula aku juga punya cukup banyak waktu sambil untuk mendengarkan kisah eyang.
“Dulu Eyang hidup di jaman kerajaan sebagai juru masak untuk prajurit. Sudah jelas saat itu eyang hanya kasta bawah diantara perempuan lainya.” Eyang Suratmi membuka ceritanya.
“Terus istimewanya apa eyang?” Tanyaku.
“Eyang kakungmu, Dayu.. dia sering main ke dapur , nyolong makanan… ngakunya prajurit kerajaan, eyang kasian.. jadinya ya eyang masakin.
Sampai ada suatu kejadian yang hampir membuat desa eyang diserang oleh salah seorang patih yang berkhianat.
Saat itu barulah eyang kakungmu itu ketahuan bahwa dia adalah salah satu patih besar kerajaan saat melindungi desa Eyang.
Disitulah eyang tau, selama ini dia mengaku sebagai prajurit agar bisa mendekati eyang yang hanya rakyat kecil biasa.
Yang pasti entah Dayu itu prajurit, patih, atau hanya petani biasapun. Eyang sudah senang dengan keberadaan Dayu di sisi Eyang.”
Terlihat wajah Eyang Suratmi setengah tersenyum mengenang kejadian masa hidupnya dulu. Setelah mendengar cerita itu,
Wajar saja walaupun sudah berpindah alam Eyang Suratmi masih ingin mengetahui keadaan kekasiihnya itu.
“Tenang Eyang , Bimo janji akan bantu Eyang nemuin Eyang Dayu..” Jawabku.
Eyang Suratmi tersenyum dan menoleh ke arahku.
“Bukan hanya itu yang ingin eyang sampaikan, dulu Dayu siap menerima Eyang dengan kondisi seperti itu.. inget , cinta tidak mengenal kasta. Itu juga berlaku untuk kamu dan Asih” Jelas Eyang Suratmi.
“Iya Eyang, Sekarang Bimo ngerti. Setidaknya Bimo berusaha dulu untuk jadi pendamping yang lebih pantas buat Asih.” Jawabku.
Sekali lagi Eyang Suratmi tersenyum dan perlahan menghilang seperti biasanya.
Hampir seharian ini aku menghabiskan waktu dengan mengupas kacang sementara bapak masih merapikan sisa-sisa daun yang akan diambil tetangga untuk pakan ternak.
Saat maghrib tiba, aku bersiap membersihkan tanganku dan masuk ke dalam.
Namun tiba-tiba seseorang berlari menghampiri rumah kami dengan terburu-buru.
“Mas… Mas Bimo! Itu mas!” Ucap Bu Rukmi yang mencoba mengatur nafasnya.
“Kenapa Bu?” Tanya Bapak sementara aku kembali keluar menghampiri Bu Rukmi.
“Asih… Bapaknya Asih pulang dengan keadaan aneh” Ucap Bu Rukmi.
Aku dan bapak saling bertatapan dan segera masuk ke rumah , mengganti pakaian yang layak dan menghampiri rumah Asih.
“Asih.. Bapak kenapa sih?” Tanyaku sementara Bapak menghampiri Ayah Asih yang tergeletak lemas di kamarnya dengan beberapa warga desa yang menemaninya.
“Nggak tau mas, Bapak Pulang sendirian dengan keadaan begitu. Tiba-tiba Asih nemuin bapak tergeletak di depan rumah”
Ucap Asih yang terlihat berusaha menahan air matanya.
“Sudah tenang, biar mas Bimo periksa” Ucapku berusaha menenangkan Asih.
Aku menghampiri bapak yang sedang memeriksa Ayah Asih bersama beberapa warga desa.
Di sana terlihat seorang pria yang selama ini kukenal gagah dan sangat baik dengan warga desa tergeletak dengan tubuh yang lemat dan ujung-ujung jari yang menghitam.
“Gimana pak?” Tanyaku.
“fisiknya nggak ada luka, hanya jarinya yang menghitam.. coba kamu yang periksa mo..” Perintah Bapak.
Aku memegang pergelangan tangan ayah Asih, dan membuka mata batinku untuk memastikan apa ada hal ghaib yang membuat ayah Asih hingga seperti ini.
Dengan penerawanganku, samar-samar terlihat kekuatan hitam yang merasuk ke tubuh Ayah Asih yang membuatnya menjadi seperti ini.
“Bimo nggak bisa mastiin pak , tapi sepertinya ada teluh yang menyerang Bapak Asiih.” Jelasku pada Bapak.
“Terus gimana? Kamu bisa nolong?” Tanya Bapak.
“Bimo Coba dulu”
Satu persatu aku memijit jadi Bapak Asiih sambil membacakan doa-doa penyembuh yang diajarkan oleh eyang – eyang kami. perlahan satu persatu jari itu memutih seperti semula.
Awalnya aku cukup lega, namun rupanya tak berapa lama tangan itu kembali menghitam bersamaan dengan aliran kekuatan hitam yang merasuki tubuhnya.
“Tidak bisa Bimo… Teluh itu hanya bisa di hilangkan dengan menghentikan pengirimnya”
Samar-samar terdengar suara eyang suratmi dari belakangku. Sepertinya Asih juga menyadari kehadiranya.
Aku menghapus keringat yang menetes di dahiku setelah berkali-kali mencoba menyembuhkan Bapak Asiih.
“Maaf pak , Teluh ini tidak bisa dihilangkan kecuali pengirimnya dihentikan” Jelasku.
“Ya sudah, tidak usah memaksakan diri..” Ucap Bapak.
Tak lama setelahnya mata Bapak Asiih terlihat melotot dan berteriak sekencang-kencangnya.
Sepertinya ia merasakan sakit yang berlebihan hingga mengguncang kesadaranya.
“Bapak…” Ucap Asih dengan suara yang payau.
Aku segera membacakan doa dan mencoba menenangkan Bapak Asiih dan mencoba mengalirkan tenagaku untuk melindunginya dari ilmu hitam ini.
“Nggak bisa pak.. Bimo harus nyari sumbernya, Bimo ga tau apa yang akan terjadi setelah malam ini” Ucapku.
Tepat setelah kejadian itu terdengar suara seseorang berlari memasuki rumah Asih.
“Sih! Asih!” Teriak orang itu yang segera dihampiri oleh Asih.
“Ngapunten, maaf ya Asih.. kami nggak bisa nolongin bapakmu” Ucap seorang pria yang seumuran Bapak Asiih yang datang bersama beberapa temanya. Sepertinya mereka adalah teman-teman dari Bapak Asiih.
“Ini sebenernya ada apa to pak? Kenapa bapak bisa jadi begini?” Tanya Asih setelah mempersilakan mereka duduk.
“Ada Wabah di desa yang kami datangi , tapi menurut kami itu lebih seperti ilmu hitam daripada disebut wabah. “ Ucap salah seorang dari mereka.
“saat mendengar mengenai wabah itu, kami memutuskan untuk kembali. Namun Bapakmu memaksa untuk tetap ke sana dengan alasan ingin mengantarkan beberapa bahan makanan untuk menolong warga desa itu” Ceritanya lagi.
“Kami sudah melarangnya, tapi bapakmu malah menyuruh kami pulang dan masuk seorang diri ke desa itu. Beberapa hari kami menunggu di desa sebelah, namun tidak ada kabar kembalinya bapakmu sampai baru tadi ada yang menginfokan bahwa ia sudah pulang dengan kondisi seperti ini”
Asih merasa bingung harus berkata apa. Aku segera menghampirinya dan mengambil posisi disamping Asih.
“Ngapunten Pak, ada petunjuk mengenai asal wabah atau ilmu hitam itu” Tanyaku.
Orang-orang itu saling menatap sebelum akhirnya memutuskan untuk bercerita.
“Beberapa warga desa ada yang mendengar wabah di desa itu adalah perbuatan demit kakek tua ..”
Mendengar ucapan pria itu Nyai Suratmi hadir di sebelahku dan seketika orang-orang di ruangan itu merasa merinding.
Aku segera berpikir apa mungkin demit kakek tua yang dimaksud ada hubunganya dengan seseorang yang dicari oleh Nyai Suratmi?
“Coba kamu tanyakan dimana lokasi desa itu?” Bisik Eyang Suratmi.
Aku mengangguk kecil dan melanjutkan perbincanganku.
“Memangnya desa itu di mana pak? “ Tanyaku.
“Mas Bimo mau ke sana? Jangan mas , bahaya..” Potong Asih yang khawatir setelah mendengar cerita tadi.
“Betul mas, lebih baik jangan ke sana dulu.. kita cari cara lain untuk mengobati Bapak Asiih” Sahut mereka.
Aku menoleh ke arah Bapak yang masih berusaha mencari cara mengobati Bapak Asiih yang terkulai tak berdaya. Seandainya aku tidak menghentikan sesuatu yang menyerangnya, apa mungkin Bapak Asiih bisa bertahan melewati malam ini?
“Nggak mas.. saya nggak akan gegabah, hanya mencari tahu asal penyakit itu dan mencari petunjuk.” Jawabku berusaha menenangkan Asih.
Melihat ketenanganku akhirnya mereka memutuskan untuk memberi tahu lokasi desa itu.
“Nama Desanya , Desa Randugiri lokasinya di dekat lembah.. sekitar satu jam dari sini” Balas mereka.
Aku berterima kAsih dan saat itu juga aku segera berdiri menghampiri Bapak dan menceritakan hal tadi.
“Mo.. nunggu Bisma saja, bahaya kalau kamu sendirian” Ucap Bapak.
Aku menatap tubuh Bapak Asiih yang kian lemah dengan jari-jari yang menghitam.
“Bimo akan hati-hati pak, nanti kalau Mas Bisma datang disuruh nyusul saja… kondisi Bapak Asiih tidak bisa ditebak” Jawabku.
“Bapak tahu, kamu dan Bisma punya kelebihan yang tidak dimiliki oleh bapak… tapi bapak juga nggak mau kalian celaka karena kelebihan kalian itu” Ucap bapak dengan wajah yang penuh kekhawatiran.
“Nggih Pak.. Bimo mengerti kok, Bimo akan menjaga diri baik-baik” Balasku yang segera mencium tangan bapak dan berpamitan.
“Mas bener mau ke sana?” Tanya Asih dengan Khawatir.
“Tenang Asih, aku nggak sendirian.. Eyang Suratmi ikut kok, kalau aku kelewatan dia yang akan ngingetin” Balasku.
Mendengar ucapan itu Asih sedikit tenang, ia memintaku menunggu sebentar dan menyiapkan dari dapur perbekalan seadanya.
Malam semakin larut, dan aku masih mengayuh sepeda ontelku yang sudah dilengkapi dengan lampu dinamo yang sedikit bisa memberi penerangan di gelapnya malam.
Desa Randugiri, sebuah desa yang terbelah dengan aliran sungai dan lebatnya hutan tak jauh di belakangnya.
Suasana sepi terasa di desa ini. hampir tidak ada orang yang keluar rumah namun terlihat nyala lampu terlihat menyala di hampir di setiap rumah.
“Bimo, hampir semua rumah di desa ini terkena serangan ilmu hitam..” Ucap Nyai Suratmi.
“Iya Eyang, Bimo sadar…” Balasku yang masih memperhatikan sekitar sembari berjalan perlahan menuntun sepedaku.
Belum sempat aku melangkah lebih jauh. Samar samar aku menyadari ada sosok yang memperhatikanku dari salah satu atap rumah.
Makhluk itu memiliki tubuh hitam dengan rambut yang hampir sepanjang tubuhnya dengan bulatan bola mata yang hampir keluar dari tempatnya.
yang menjijikkan, lidah dari makhluk itu menjulur panjang dan meneteskan liurnya di setiap tempat yang ia lewati.
Aku berfikir, mungkin saja makhluk itu yang menyebarkan teluh di desa ini.
Aku berhati hati menapaki jalan sambil mengawasi makhluk itu. sayangnya sepertinya makhluk itu berniat mencelakaiku dengan melompat ke bawah dan melemparkan liurnya.
Sepertinya liur itu yang ia gunakan untuk mengirimkan kutukanya.
Beruntung aku bisa melihatnya dan menghindar. Namun bila orang awam yang tidak bisa melihatnya , mungkin mereka tak mampu menghindarinya dan celaka dengan teluh dari makhluk ini.
Tak mau mengambil resiko, aku membacakan doa dan ayat suci untuk membakar makhluk itu hingga suara raungan terdengar ke seluruh desa. Makhluk itu kesakitan seperti terbakar dan menghilang dari hadapanku.
Warga yang mendengar raungan itu mengintip melalui jendela mencari tahu apa yang terjadi dan setelahnya cepat-cepat menutup kembali jendelanya saat mendengar suara aneh yang sepertinya tidak bisa mereka lihat wujudnya.
Ternyata kesialanku baru saja dimulai..
Kali ini tidak hanya satu, ada lebih dari sepuluh makhluk seperti tadi yang sudah bersiap di atas atap rumah untuk menyerangku.
aku gentar dengan jumlah mahluk sebanyak itu, makhluk-makhluk itu merayap di atap dan dinding rumah seolah bersiap untuk mengeroyokku.
Aku sudah membayangkan apa yang terjadi apabila makhluk menjijikkan ini mengerubuti tubuhku.
Saat itu juga aku menjatuhkan sepedaku dan segera berlari mencari tempat perlindungan. Beberapa kali aku menggedor pintu rumah, namun tidak ada yang berani membukakan.
Malam seperti ini sama sekali tidak pernah bisa kubayangkan. Dikejar sekumpulan demit di desa yang baru saja kudatangi. Mungkin benar kata Asih, aku terlalu nekad.
Sepanjang aku berlari aku membacakan doa-doa berharap agar makhluk itu tidak bisa menyentuhku.
Beruntung saat makhluk itu hampir mendekat tiba-tiba seorang anak wanita keluar dari dalam rumah dan menyuruhku masuk ke dalam rumahnya. Dari tingginya aku mengira anak masih berumur belasan tahun.
“Kesini mas!” Ucap Anak Wanita itu.
Aku berlari masuk ke dalam rumah yang ternyata sudah terdapat beberapa tanaman dan benda-benda yang dibenci oleh makhluk seperti ini.
Secepat mungkin aku merogoh tas kainku, mengambil segenggam garam, membacakan doa, lalu menaburkanya ke pekarangan rumah ini.
“Ayo… tutup pintunya” Ucapku yang segera masuk dan menutup pintu rapat-rapat.
Sesekali aku mengintip keluar dan menyaksikan makhluk-makhluk tadi tidak berniat mendekati rumah ini dengan pelindung sederhana yang kubuat di sini.
“Terima kasih ya… nama kamu siapa? Kamu tinggal sama siapa di sini?” Tanyaku pada anak perempuan itu.
“Saya Dini… saya tinggal sendiri” Ucapnya.
“Lah orang tua kamu dimana?” Tanyaku lagi.
“Sudah nggak ada…” Jawabnya.
Saat itu juga aku tertegun, bagaimana bisa anak ini hidup sendirian.
Saat keadaan sudah mulai aman Dini menceritakan mengenai orang tuanya yang meninggal karena serangan dari makhluk itu.
namun sebelum bercerita lebih jauh tiba-tiba terlihat seseorang berjalan berhati-hati mendekati rumah ini.
“Dini.. kamu nggak papa?” Ucap seorang pria yang mengetuk rumah dini.
“Nggak papa kang !” Teriak Dini sambil membukakan pintu.
Aku sedikit memberikan anggukan menyambut kedatangan pria itu.
“Maaf mas, masnya datang dari mana ya?” Ucap pria itu yang sepertinya sudah akrab dengan Dini. Sepertinya ia sedikit curiga kepadaku.
“Eh iya, saya belum memperkenalkan diri… Saya Bimo dari desa yang nggak jauh dari sini. Ayah dari teman saya sakit setelah dari tempat ini.. saya datang untu mencari tahu sumber penyakit itu” Ucapku.
Dini menatap pria itu dan mengangguk seolah memberi isyarat.
“Saya Umar, salah satu pengurus desa ini… saya dan istri saya yang dipercaya untuk memantau kebutuhan Dini. mohon maaf , sebelumnya saya agak khawatir ada seseorang yang masuk ke rumah Dini” Jelasnya.
“Iya mas Umar, saya mengerti sekali kok. Tapi terima kasih, kalau tidak ada Dini mungkin saya sudah celaka oleh makhluk-makhluk itu” Jelasku.
“Panggil saja Kang Umar, saya asli jawa barat tapi sudah lama tinggal di sini.
Berarti masnya bisa melihat makhluk itu juga?” Tanyanya memastikan.
Aku mengangguk. Dari pertanyaanya aku menyimpulkan bahwa ia juga bisa melihat makhluk itu.
“Kang Umar tahu mereka itu makhluk apa?” Tanyaku.
“Sudah duduk dulu saja, biar Dini buatkan minuman sambil saya ceritakan” Ucap Kang Umar.
Mendengar ucapanya aku mengambil posisi duduk yang nyaman sambil sesekali mengintip melalui jendela untuk memastikan keadaan di luar.
“Semua ini perbuatan demit kakek tua itu… tiba-tiba dia muncul di desa ini dengan demit-demit itu dan menyebarkan teluh. Hampir setiap rumah ada satu orang yang terkena penyakit aneh itu..” Jelas Kang Umar.
Aku menyeruput kopi yang diantarkan oleh dini. Hangatnya kopi ini sedikit membantu mengembalikan nafasku setelah kejar-kejaran dengan demit tadi.
“Berarti bukan demit-demit tadi sumber masalahnya?” Tanyaku.
Kang Umar menggeleng.
“lantas apa tujuan dari demit kakek itu?” Tanyaku.
“Entah mas… tiba-tiba dia datang ke tengah-tengah keramaian desa. Berjalan dengan baju compang camping dan bau yang sangat menyengat.
Sontak warga yang merasa terganggu segera mengusirnya, namun kakek itu mengaku bahwa ia adalah warga di desa ini.
Merasa tidak ada yang mengenalnya, warga lanjut mengusir kakek itu dari desa dengan kasar.” Cerita Kang Umar.
“Memangnya kondisinya kakek itu separah itu Kang?” Tanyaku.
“Parah Mas, seolah dia baru kembali dari sebuah tempat yang jorok dan mengerikan” Jawab Kang Umar.
“Nah Ceritanya belum selesai, setelah kejadian itu malamnya saat semua warga sudah tertidur kakek itu datang lagi ke desa… warga mengetahunya namun tidak peduli. Kakek itu berjalan ke sumur desa dan seolah menarik sesuatu dari dalam.
Saat itulah petaka dimulai… mendadak ada warga yang sakit dengan dengan gejala yang aneh dimana jari-jarinya menghitam seolah tidak teraliri darah. Semakin hari korban semakin bertambah..
Saat saya mencoba mencari tahu, ternyata ini adalah ulah makhluk makhluk suruhan demit kakek tua itu" Cerita kang Umar lagi.
Kini aku mengerti, berarti sumber utama permasalahan ini adalah demit kakek tua itu.
sambil menikmati kopi hitam aku mengulik lebih dalam tentang jenis penyakit yang dialami warga dan dimana keberadaan demit kakek tua itu.
Di tengah perbincanganku dengan Kang Umar, samar-samar aku merasakan firasat yang sangat membuatku tidak nyaman.
Aku mencoba mencari tahu namun tidak dapat kupastikan.
Sampai saat malam semakin larut , tiba-tiba terdengar suara teriakan dari salah satu rumah warga.
“Tolong! Tolong!”
Terdengar suara teriakan seorang perempuan di tengah desa. Aku dan kang Umar segera keluar dan melihat perempuan itu terduduk di tanah menyaksikan suaminya diseret oleh sesosok kakek tua ke dalam hutan.
Kami segera menghampiri wanita itu dan beberapa warga mengejar kakek tua itu.
“Kakek itu mau membunuh Mas Tri,suami saya… tolong mas!” Teriak wanita itu.
“Apa yang terjadi, bagaimana kakek itu bisa menyerang Mas Tri?”Tanya Kang Umar.
“Nggak tahu kang… dia hanya bilang ingin balas dendam, tapi kami tidak tahu dendam apa yang dimaksud” Jawab Wanita itu.
Saat memeriksa keadaan wanita itu , tiba-tiba terdengar suara teriakan dari dalam hutan.
Aku dan Kang Umar semakin panik. Kami menduga teriakan itu adalah suara dari warga yang menyusul kakek tua itu.
Tanpa berbicara sedikitpun Kang Umar segera menyusul ke dalam gelapnya hutan tempat asal suara itu.
“Kang Umar! Jangan Gegabah!” Teriakku, namun sama sekali tidak digubris olehnya.
“Dini, kamu diam di rumah… jangan keluar ya!” Perintahku pada Dini yang masih terlihat bingung.
Aku berlari menuju ke dalam hutan dan menyusul kang Umar yang berhenti tepat di bagian hutan dimana terdapat puing-puing bangunan dan sumur yang seolah sudah lama tidak didatangi.
“A—Apa ini Kang Umar? Pernah ada yang tinggal di tempat ini?” Tanyaku.
“Entah mas Bimo, saya juga pendatang… ini pertama kali saya masuk sedalam ini ke hutan” Jawab Kang Umar dengan wajah yang terlihat bingung.
“… mati”
Terdengar suara seseorang menggema lirih entah dari bagian mana dari hutan ini.
“… Harus Mati!!!”
Suara itu diikuti dengan teriakan seseorang yang terjatuh dari atas pohon.
Aku dan kang Umar yang melihat hal itu segera berlari menangkap pria yang jatuh itu. beruntung tidak terjadi benturan pada tubuhnya,
sayangnya kondisinya sama mengenaskanya dengan Bapak Asih dan warga yang terkena kutukan ini.
“Dia warga yang mengejar tadi” Ucap Kang Umar.

Tek.. tek… tek…

Samar-samar aku mendengar suara seperti kayu yang dipukul berirama seperti sebuah ritual.
Saat itu udara dingin semakin menusuk yang membuat semua bulu kuduku merinding.
Merasa akan terjadi sesuatu yang mengerikan aku segera berlari ke arah lokasi suara itu dan sesuatu yang mengerikan terlihat di hadapan mataku.
Sesosok kakek tua dengan kulit penuh borok dan baju compang camping sedan berdiri dan menari-nari ditengah-tengah puluhan makhluk yang tadi berhadapan denganku.
Tubuhku gemetar, dihadapanku seperti terlihat sebuah desa yang dihuni oleh sekumpulan setan yang sedang berkumpul seolah mempersiapkan sesuatu.
“Kang Umar… harus evakuasi warga desa! Makhluk sebanyak ini bisa membunuh seluruh warga desa dalam semalam” Ucapku.
Kang Umar tidak bisa berkata-kata, wajahnya pucat tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi malam ini.
“Itu Mas Tri… dia mau dibawa ke mana?” Tanya Kang Umar dengan suara yang bergetar.
Melihat kondisi Mas Tri dalam bahaya, aku segera berlari mengejar makhluk itu namun tanpa disadari sosok kakek itu sudah berada dihadapanku dengan wajah hitam penuh bekas luka yang sudah membusuk.
“ono uwong goblok sing golek mati…” (Ada orang goblok yang mencari mati) Ucap Sosok itu.
Tanpa kusadari tiba-tiba darah merah mengalir dari mata dan hidungku. Rasa sakit yang amat sangat terasa di seluruh tubuh.
“Mas.. ! Mas Bimo!” Kang Umar panik.
Di tengah kepanikanya ia mencoba membacakan doa-doa untuk mengusir makhluk ini. sayangnya sepertinya ilmu kang Umar belum mampu untuk menolongku.
Ditengah rasa sakitku aku melihat Mas Tri sudah menghilang entah kemana.
aku memaksakan diriku untuk membaca ayat suci untuk mengusir kakek tua ini sayangnya kekuatanya terlalu besar.
Dari wajahnya terlihat raut muka penuh dendam seolah sudah menumpuknya sekian lama.
Saat kesadaranku mulai hilang,tiba-tiba aku terjatuh ke tanah dan melihat seseorang menendang kakek tua itu hingga terpental.
“Mas Bisma?” ucapku yang samar-samar melihat sosok yang berdiri di hadapanku.
“Ini Bimo.. pulihkan dulu tubuhmu” Ucap suara seseorang yang menyerahakan sebotol air untuk kubacakan doa dan kuminum.
Itu bukan Mas Bisma, itu suara Jagad! Pasti Bapak yang memintanya datang ke sini.
Aku membacakan mantra pemulih pada air yang dibawakan oleh Jagad dan meminumnya untuk membersihkan tubuhku dari kutukan makhluk itu.
“Siapa kamu Setan tua!” Ucap Jagad yang terlihat kesal.
Aku berdiri di sampingnya sembari mempersiapkan diri. Dengan keberadaan Jagad aku sedikit lebih percaya diri menghadapi kakek tua itu.
“Khekhekeh…kalian salah paham, Warga desa itu memang pantas mati! Merekalah yang memaksaku menjadi seperti ini”
Jawabnya sambil menatap luka-luka ditubuhnya.
“Maksudmu apa kakek tua?!” Teriak kang Umar.
“Khekhekhe… Aku Mbah Rowo. Kakek tua yang kalian habisi dengan bengis setelah membunuh dan memperkosa anaku dengan biadab!!!” Jawabnya dengan penuh amarah.
Tunggu? Kakek ini warga desa Randugiri? Aku dan jagad segera menoleh ke kang Umar.
“Mbah Rowo? Aku pernah dengar ceritanya dia orang yang dituduh sebagai dukun yang ditangkap dan akhirnya dihabisi oleh warga desa yang emosi saat seorang bayi hilang dari desa” Jelas Kang Umar.
“Anakku tidak bersalah, kalian menggunakanya untuk melampiaskan nafsu kalian dan membunuhnya. Kalian juga membakar tubuhku dan membuang tubuhku di rawa yang dipenuhi ular… Sekarang aku akan membalas semua yang kalian lakukan!”
Jagad tak menunggu lama dan segera menyerang kakek itu dengan ilmunya.
“Apapun alasanmu, semua itu bukan alasan untuk mencabut nyawa seseorang!” Bantah Jagad.
“Katakan itu pada mereka yang menghabisi keluargaku” Balas Mbah Rowo.
Saat ini ilmu bela diri jagad masih jauh diatasku. Aku membantunya dengan membacakan amalan api yang kuharap bisa melemahkan Mbah Rowo itu.
Dengan bantuan mas jagad kami bisa melumpuhkan Mbah Rowo hingga terpental cukup jauh.
Seolah tidak mau berurusan dengan kami. Mbah rowo membaca sebuah mantra dan menghilang di kegelapan hutan bersama tubuh Mas Tri yang berada di tengah-tengah makhluk itu.
“Heh Jangan Kabur!” Teriak Mas Jagad.
Namun puluhan makhluk hitam segera berkerumun menyerang kami.
“Gimana bim.. orang itu dalam bahaya! Kita juga tidak tahu berapa orang yang sudah ia bawa ke alamnya” Teriak Jagad.
“Arrghh… aku bingung Gad” Teriakku yang benar-benar tidak tahu harus berbuat apa-apa.
Saat itu tiba-tiba hawa dingin terasa lagi di sekitarku dan terdengar suara bisikan.
“Biarkan Jagad mengejar kakek tua itu, Kamu yang menyelesaikan makhluk-makhluk ini.. itu kemungkinan terbaik”
Nyai Suratmi mencoba memberi petunjuk. Jagad yang juga mendengar itu segera berlari menuju tempat hilangnya Mbah Rowo.
“Bimo! Bertahan sampai aku kembali” Teriak Jagad.
Entah apa yang direncanakan Nyai Suratmi, Aku masih belum tahu cara mengalahkan makhluk ini sendirian.
Setidaknya aku harus menahanya sampai jagad kembali atau ada bantuan yang datang.
“Kang Umar! Pergi dari sini evakuasi warga desa sebisa mungkin” Teriakku.
“Mas Bimo bagaimana? Makhluk itu terlalu bahaya!” Ucapnya.
“Sudah tidak usah berdebat! Kita harus mengurangi korban sebanyak mungkin”Perintahku.
Tanpa banyak bicara lagi kang Umar yang sudah mengerti segera meninggalkanku ke arah desa.
“Eyang.. terus Bimo harus ngapain?” Tanyaku yang masih bingung setelah sok jagoan di depan Kang Umar.
Eyang suratmi menutup matanya seolah bermeditasi. Sekilas di dalam pikiranku terlihat ilmu-ilmu yang pernah eyang lihat di masa ia hidup.
Eyang menunukan salah satu ajian mungkin bisa meloloskanku dari situasi ini.
“Muksa Pangreksa”
Sebuah ajian memohon kekuatan perlindungan kepada sang pencipta untuk menjauhkan niat jahat dan kekuatan ghaib yang menyerang.
Seketika itu juga seluruh ingatan Eyang Suratmi akan mantra itu segera merasukiku dan segera kurapalkan untuk menghadang makhluk-makhluk ini mendekati desa.
Dengan mantra ini aku tidak takut lagi dengan kutukan yang di bawa oleh makhluk berbadan hitam ini sehingga aku bisa menghadapinya satu persatu.
Aku bertahan sebisa mungkin hanya bermodalkan ilmu bela diri dan amalan api yang menjadi andalanku untuk memusnahkan makhluk jahat seperti mereka.
Sayangnya jumlah mereka terlalu banyak…
Aku menyadari ada beberapa dari mereka yang lolos dan bersiap menyusulnya. Sayangnya hal itu mengakibatkanku tidak dapat berkonsentrasi sehingga makhluk itu berbalik mengeroyokku dan sebagian dari mereka berlari ke desa.
Tanpa ku sadari, di tengah pertarungn sebuah kayu runcing melayang dan menusuk bahuku. Itu adalah kayu yang digunakan mbah rowo untuk ritual tadi. Rupanya sosok makhluk ini cukup pintar untuk mencari cara untuk membunuhku.
Darah segar menetes dari luka itu bersamaan pandangan mataku yang semakin buram.
Aku mencoba melawan, namun banyaknya darah dari luka itu bahkan membuatku sulit untuk berdiri.
Merasa sudah diujung kemenangan, makhluk makhluk hitam itu kembali mengumpulkan kayu-kayu runcing itu untuk membunuhku.
“ini sudah akhir hayatku.. “ Itulah yang terpikir saat ini.
Namun sebelum serangan mereka sampai ke hadapanku Nyai Suratmi berdiri di depanku.
Entah apa yang akan ia lakukan, yang kutahu selama ini Eyang tidak memiliki kemampuan bertarung. Untuk mempertahankan wujudnya agar terlihatpun sulit.
Dan benar, dengan berdiri di hadapanku kini Eyang suratmi menerima berbagai serangan dari makhluk –makhluk hitam itu.
Aku menjulurkan tangan mencoba menolongnya, namun luka ini terlalu dalam hingga sebaliknya aku malah memuntahkan darah dari mulutku.
Saat inilah hal aneh terjadi. Di tengah semua serangan itu tiba-tiba hujan menetes di hutan ini. samar-samar aku mendengar suara kakek yang terkekeh yang berpindah melompat-lompat dari berbagai penjuru hutan.
Suara itu semakin mendekat bersama tumbangnya makhluk-makhluk yang menyerang Eyang suratmi.
Entah apa yang terjadi saat itu. saat ini semua berubah menjadi gelap bersama hilangnya kesadaranku.

***
Bersambung Part Akhir
terima kasih sudah mengikuti kisah ini. mohon maaf bila ada ada kesalahan kata atau bagian cerita yang menyinggung..

seperti biasa apabila ada yang mau membaca part akhir duluan atau sekedar mendukung bisa mampir ke @karyakarsa_id

karyakarsa.com/diosetta69/suk…
Sukma Geni
Part 2 -Tamat

Catatan : Baper bukan tanggung jawab penulis! Image
Udara dingin merasuk ke dalam tubuhku bersama dengan luka yang telah menghabiskan begitu banyak darah. Hanya perbincangan aneh yang terdengar di telingaku saat ini.
“Turun!” teriak Eyang Suratmi entah kepada siapa.
Sepertinya makhluk-makhluk tadi sudah tidak menyerang Eyang.
“Emoh!” seseorang menjawabnya, suaranya seperti seorang kakek-kakek yang bersembunyi dari Eyang Suratmi.
“Aku wis nggoleki kowe ngalor ngidul, teko-teko malah gelayutan koyo ketek!”
(Aku sudah mencari kamu kesana kemari, datang-datang malah gelantungan kayak monyet!) Teriak Eyang Suratmi lagi.
“Pokoke Emoh!” (Pokoknya nggak mau) Balas makhluk itu lagi.
Di bayanganku saat itu yang terbayang hanya seorang kakek-kakek yang merajuk tidak berani menemui sosok Eyang Suratmi.
“Nek kowe ora gelem nemoni aku ora popo, aku uwis iso tenang weruh kowe saiki! Nanging kuwi putumu sekarat…”
(Kalau kamu tidak mau menemuiku tidak apa, aku sudah bisa tenang setelah melihatmu… tapi itu cucumu sekarat) Teriak Eyang Suratmi dengan nada suara yang benar-benar serius.
Entah apa yang terjadi setelah itu, yang aku tau suara pertengkaran mereka masih terdengar sebelum akhirnya kesadaranku menghilang seutuhnya.
Hening.. itu yang kurasakan saat ini. Namun perasaan itu berubah sekejab ketika aku membuka mata. Seketika suara hening tadi mendadak berubah menjadi suara keramaian layaknya berada di sebuah kerumunan di siang hari.
Bukan… suara ramai ini bukan suara manusia. Aku tidak merasa berpindah dari tempatku tadi, namun tempat ini terlihat berbeda. Layaknya sebuah kampung yang dihuni oleh penduduk dari alam lain.
Mataku seolah kabur dengan penglihatan yang menyatu antara alam manusia dan alam tak kasat mata ini. Begitu juga pendengaranku yang sulit membedakan antara suara dari alam manusia dan suara dari alam lain.
“Bimo!!”
Seketika suara Jagad terdengar dengan lantang hingga sesuatu seolah menarikku.
Sekali lagi aku membuka mata, dan kali ini yang terlihat adalah Kang Umar, mas Jagad yang sepertinya sedang merawat lukaku di Rumah Dini.
“Akhirnya..” Ucap Jagad yang terlihat khawatir seolah sedaritadi mencoba memulihkanku.
“Gad.. ini dimana? Eyang dimana? Warga Desa?” Tanyaku yang sangat bingung dengan kondisi saat ini.
“Sudah, kita harus tinggalkan desa ini dulu secepatnya… “ Ucap Mas Jagad yang ternyata sudah membereskan semua barang-barang kami.
“Maksudmu gimana? Warga desa kenapa?” Tanyaku.
“Ini sudah diluar kemampuan kita” Jawab Jagad yang seolah tidak mau menjawabku lebih lanjut.
Aku memaksakan diriku untuk berdiri menghampiri Jagad sembari menahan luka di bahuku untuk meminta penjelasan, namun tanpa sempat berbicara sepatah katapun Jagad malah menarikku menatap ke arah luar jendela dan menyaksikan apa yang terjadi di sana.
Tidak seperti keadaan desa sebelumnya, kini banyak warga yang bergelimpangan di jalan dengan tubuh menghitam dan memuntahkan berbagai macam benda. Di sekitarnya terlihat makhluk hitam utusan Mbah Rowo yang mengantarkan semua penyakit itu pada mereka.
“Kita harus tolong mereka Jagad! Walaupun hanya satu nyawa kita harus tolong mereka!” Teriakku memaksa. Namun Kang Umar dan Jagad malah menarik tubuhku dan membawaku keluar melalui pintu belakang rumah.
“Sebagian warga berhasil di evakuasi sama Kang Umar di desa sebelah, keluarga Kang Umar dan Dini juga ada di sana... yang bisa kita lakukan sekarang hanya mundur..” Jelas Jagad.
Tepat saat meninggalkan desa tiba-tiba terdengar suara tawa terkekeh Mbah Rowo yang merasa puas dengan semua yang ia lakukan. Aku terbakar emosi saat melihat kejadian itu dimana Mbah Rowo berdiri diatas warga desa yang bergelimpangan di jalan-jalan desa.
Sesekali terlihat Mbah Rowo menginjak kepala warga , dan meludahi orang-orang yang menyiksa dan membunuh keluarganya itu.
Kami menjauh sejauh mungkin dari kegilaan itu, namun samar-samar aku melihat Kang Umar menangis dan meneteskan air mata.
“Tenang kang.. kita akan cari bantuan, akan kita selamatkan mereka” kali ini aku yang mencoba menenangkan Kang Umar , namun tangisan Kang Umar itu seolah menandakan bahwa ia mengetahui sesuatu yang tidak kuketahui.
“Tidak mas, tidak ada lain waktu… seluruh warga desa yang terkena teluh Mbah Rowo akan mati saat matahari terbit” Balas Kang Umar yang terus berusaha menahan tangisnya namun gagal.
Sontak saat itu juga aku berhenti.
“Maksud Kang Umar, kita sudah tidak mungkin menyelamatkan warga desa itu ?” Tanyaku.
“Ini memang pilihan berat Bimo, tapi ini adalah pilihan terbaik untuk saat ini” Ucap Jagad.
Tidak ada yang salah dalam ucapan Jagad. Tujuan utamanya adalah keselamatan kami dan warga yang masih bisa diselamatkan.Tapi perasaankuku tidak bisa berbohong. Ada sesuatu yang mengganjal, yang tidak membiarkanku meninggalkan warga desa mati di sana.
Aku menatap Jagad dan Kang Umar.
“Bimo kamu jangan gila!” Teriak Jagad yang sudah membaca maksudku.
“Ada satu cara gad, seandainya ini berhasil aku bisa menyelamatkan mereka semua” Ucapku.
“Apa maksudmu? Nggak akan aku biarkan kamu bertaruh sendiri” Balas Jagad.
Aku mengambil sebuah benda dari tas kainku. Sebuah benda yang terlilit kain lusuh untuk menjaganya dari benturan.
“Keris Sukma Geni?” Tanya Jagad.
Aku mengangguk.
“Kalau keris ini memang memiliki takdir tersendiri hingga di wariskan kepadaku, harusnya sekaranglah saatnya…
tidak ada artinya pusaka ini diturunkan kepadaku apabila tidak untuk menolong mereka yang membutuhkan kekuatanya… “ Ucapku dengan menggenggam keras pusaka warisan keluargaku itu.
“Baik, aku temani..” Ucap Jagad.
Aku menahan Jagad yang berusaha mendekat ke arahku. Jelas aku ragu untuk bisa menggunakan kekuatan keris ini. Saat ini keselamatan Jagad dan umar jangan sampai dipertaruhkan.
“Tidak mas, antarkan Kang Umar dan cari bantuan… itu cara terbaik saat ini” Ucapku.
Melihat kebulatan tekadku kang Jagad seolah mengerti. Namun aku merasakan bahwa Jagad memiliki rencana lain.
Kamipun berpisah dan aku kembali ke Desa Randugiri yang sudah seperti desa mati dan dihiasi dengan suara-suara warga yang kesakitan.
“Mas… tolong mas…”
Suara itu terdengar dari seorang laki-laki tua yang tergeletak di pelataran rumahnya. Tubuhnya membentuk corak aneh seperti membusuk di beberapa bagian saja. Matanya yang menguning menatapku dengan memelas.
Aku mendekat dan membacakan doa untuk memulihkan keadaanya. Namun sama seperti bapak asih, kutukan ini tidak akan pulih sampai aku bisa mengalahkan Mbah Rowo yang merupakan empu dari teluh ini.
“Ngapunten yo pak, akan saya selesaikan ini semua…” Ucapku yang segera berdiri dengan berat hati meninggalkan pria yang masih merasa kesakitan itu.
Aku menelusuri kampung dan terhenti di sebuah rumah tua yang sudah hancur. Sebuah rumah dengan tembok anyaman bambu dengan pondasi bambu yang sudah lama rusak.
Ada perasaan yang mengerikan saat aku melewati rumah ini.
Aku mencoba mengintip ke pintu bangunan yang tidak tertutup itu. ada sedikit cahaya dari lampu minyak yang menerangi ruangan di bangunan itu.
“T—Tolong” Suara memelas terdengar dari dalam bangunan itu. Awalnya aku menduga itu adalah suara korban serupa dari warga desa. Namun ternyata aku salah.
Tepat di dalam ruangan itu terlihat sosok salah seorang roh warga desa yang menjadi rebutan diantara makhluk-makhluk hitam.
Mereka menggigiti tubuh roh itu, mencakar, dan menarik memperebutkan roh itu seolah akan terbagi menjadi beberapa bagian.
Entah apa yang terjadi di sana, seolah roh itu adalah tumbal yang diberikan kepada makhluk itu untuk diperlakukan seenaknya oleh setan-setan itu.
Aku tidak lagi mampu menahan amarahku. Saat itu juga aku membacakan ajian Muksa Pangreksa, melindungi diriku dari niat jahat dari makhluk ini dan membacakan amalan api untuk membakar habis makhluk-makhluk di dalam bangunan itu.
Sayangnya di tengah seranganku sudah muncul seseorang yang merupakan asal-muasal dari semua petaka ini.
Mbah Rowo.. Ia keluar dengan membawa kepala salah seorang warga desa yang rohnya sedang dipermainkan oleh setan-setan tadi.
Menyambut kedatanganku, ia melemparkan kepala itu ke arahku hingga menggelinding tepat di depan kakiku.
Saat menoleh ke bawah, aku terjatuh… kepala itu tidak dalam kondisi utuh. Matanya sudah bolong dengan bekas darah yang sudah mengering terlihat dari setuap lubangnya.
“Biadab kau!” Teriakku.
“Biadab? Dia yang telah memperkosa satu-satunya anakku yang tidak bersalah…” Ucap Mbah Rowo.
“Lalu , kamu puas dengan melakukan hal ini?” Tanyaku.
“Kau sudah tahu jawabanya, tidak akan ada yang terpuaskan oleh dendam… “ Ucap Mbah Rowo dengan tertawa, ia sudah termakan oleh nafsunya dan menjual jiwanya pada setan.
Aku sudah tidak mau berpanjang lebar lagi, berkali-kali aku membacakan amalan api, mencoba menenangkan makhluk-makhluk di sekitarku satu demi satu, entah tanpa tahu apa itu semua akan berarti.
Mbah Rowo hanya terus tertawa terkekeh melihatku yang masuk ke dalam bangunan tua itu sementara setan-setan suruhanya berkali-kali mencoba menyerangku entah dengan cakaran, gigitan, hingga berkali kali kekuatan hitam memberikan rasa panas di kulitku.
Tanpa sadar aku sudah tidak lagi dapat merasakan apapun dari kakiku yang telah menghitam, tak sedikit darah menetes dari luka-luka yang ada di tubuhku. Namun aku tidak pernah berhenti memohon perlindungan pada Yang Maha Pencipta atas semua hal yang aku terima ini.
Apapun yang terjadi pada diriku aku sudah tidak peduli, aku hanya berkali-kali membacakan mantra pembakar yang sekiranya bisa mengurangi jumlah makhluk-makhluk ini.
Saat itu yang terdengar di desa Randugiri hanyalah bacaan doa dan ayat-ayat suci yang terus kulantunkan untuk mengusir setan-setan ini.
Sampai di akhir kesadaranku aku mencoba kemungkinan terakhir untuk menggoreskan jariku pada keris pusaka sukmageni yang diwariskan kepadaku.
Kali ini aku merasakan ada sebuah kekuatan aneh yang mengalir ke keris ini. Sebuah rasa hangat seolah menyatu dengan genggamanku. Aku pikir ini akan berhasil, namun tidak… aku terjatuh dengan tubuh yang sudah dipenuhi oleh kutukan dari makhluk ini.
“Bocah brengsek! Apa yang sudah kamu lakukan?!” Ucap Mbah Rowo yang terlihat heran dengan keadaan sekitar. Sesuatu membuatnya terlihat begitu kesal
Aku tidak sadar dengan apa yang terjadi. Rupanya dari ratusan doa dan ayat suci yang aku lafalkan hingga kondisiku seperti ini , semua itu berhasil menghabisi dan mengusir seluruh sosok setan pengikut Mbah Rowo yang sebelumnya memenuhi desa ini.
“Sedikit lagi…” Ucapku yang memaksakan diri untuk berdiri menghadapi satu-satunya musuh yang terlihat di hadapanku.
“Kau sudah pasti mati,aku tidak punya waktu meladenimu” Ucap Mbah Rowo yang lebih memilih meninggalkan bangunan dan keluar ke arah belakang dibanding melawanku.
“Jangan Kabur !” Teriakku
“Tanpa bertarungpun kalian tetap akan mati saat matahari terbit” Ucap Mbah Rowo.
“Tidak akan kubiarkan! Kali ini tidak akan kubiarkan” Ucapku yang sudah muak dengan semua kelemahanku.
Seandainya hidupku harus padam setidaknya ada api yang tidak akan kubiarkan padam.
Api dalam sukma yang terus memperjuangkan kebajikan,
Api dalam sukma yang terus menuntun ke jalan yang lurus,
dan api yang akan membakar dendam dan membawa ketenangan di dalam sukma..” Ucapku yang seolah memahami sesuatu dari hangatnya keris sukma geni yang berada di genggamanku.
Tepat saat aku membulatkan tekad, tetesan darahku di keris sukmageni menyala , aku menyentuhnya dan tubuhku seperti terbakar oleh api yang terasa hangat.
Saat itu juga semua kutukan dan luka yang disebabkan oleh setan-setan tadi musnah.
Tidak hanya itu amarahkupun perlahan mereda. Api ini tidak terasa panas, sebaliknya bagian tubuhku yang terbakar terasa begitu hangat.
“Inikah kekuatan keris sukmageni?” Pikirku saat itu.
Menyadari hal itu aku segera menghampiri sosok kepala seseorang yang dijadikan tumbal oleh Mbah Rowo.
Aku melakukan hal serupa dengan meneteskan darahku yang menyala di bilah keris sukma geni dengan harap api ini mampu memutus ilmu hitam yang dirapalkan dengan perantara tumbal ini.
Tepat sesuai dugaanku, kepala dari seseorang yang dijadikan tumbal ini adalah kunci perjanjian antara Mbah Rowo dan setan-setan yang mengikutinya saat ini.
Terbukti tepat saat kepala tumbal itu terbakar, sosok roh yang menjadi bulan-bulanan setan itu dikelilingi oleh api dan tidak lagi bisa didekati oleh setan-setan itu.
Aku menyadari suara-suara warga desa yang kesakitan di seluruh penjuru desa perlahan mulai hilang.
Semoga saja dengan terputusnya perjanjian Mbah Rowo dengan makhluk hitam itu,warga desa benar-benar bisa terlepas dari teluh yang disebarkan oleh Mbah Rowo.
Menyadari kondisi tubuhku yang mulai pulih aku memutuskan untuk mengejar Mbah Rowo sebelum ia berbuat yang lebih jauh lagi.
Sekali lagi aku berlari ke dalam hutan itu. Hutan dimana terdapan sisa-sisa bangunan desa yang tidak terawat yang sebelumnya dihuni oleh setan-setan pengikut Mbah Rowo.
Mbah Rowo terlihat berdiri di tengah bangunan itu seolah terburu-buru menyiapakan sesuatu di baskom tanah liat di hadapanya. Bau kemenyan dan kembang yang bertaburan menghiasi ritual yang ia lakukan.
Aku bersiap menghentikan ritual apapun yang ia lakukan. Entah apapun itu pasti ia memiliki niat jahat di setiap mantra yang ia bacakan.
Sayangnya saat aku mendekat Mbah Rowo segera mengambil tumpukan kembang di hadapanya dan memakanya.
Saat itu juga seseuatu seperti merasuki tubuhku dan menghentikan gerakanku.
Sekali lagi Mbah Rowo membacakan mantra dan memakan kembang yang ada di hadapanya. Kini sama seperti sebelumnya darah kembali mengucur dari mataku dan hidungku.
Rasa sakit kembali menjalar ke seluruh tubuhku , namun tepat sebelum kehilangan kesadaran terdengar suara yang membisik ke telingaku.
“Tahan sedikit lagi Bimo…” Itu adalah suara Nyai Suratmi yang tiba-tiba muncul dari belakangku.
“Kerahkan semua ilmu yang telah kau pelajari, bukan soal mantra atau ajian.. tapi soal keyakinanmu akan perlindungan dari Yang Maha Kuasa dan Kemampuanmu untuk menahan setiap cobaan yang dipercayakan kepadamu”
Mendengar ucapan itu aku tidak lagi menggantungkan nyawaku pada ilmu yang kupelajari. Hanya doa dan doa yang kupanjatkan kepada Yang Maha Pencipta pelindung dari semua makhluklah tempatku menggantungkan nyawaku saat ini.
Perlahan demi perlahan, seperti yang diucapkan Eyang Suratmi rasa sakit inipun menghilang. Terlihat setiap ritual yang dilakukan oleh Mbah Rowo tidak berhasil menorehkan sedikitpun lagi luka di tubuhku.
Sesuatu telah terjadi..
Sebelum aku mencari tahu, tak jauh dari hadapan Mbah Rowo terjatuh sesosok makhluk besar.
Seekor ular besar raksasa yang telah terpotong menjadi beberapa bagian dengan mengenaskan. Terlihat tubuhnya dihiasi dengan perhiasan kerajaan dan pakaian yang mewah.
“Nyi… Nyi Rundolo!” Ucap Mbah Rowo panik.
“khe…khe… khe…. Demit coro didadeke sesembahan, opo Gusti isih kurang perkasa” (Demit lemah dijadikan sesembahan, apa Tuhan masih kurang perkasa)
Ucap sosok dengan suara seperti kakek tua yang berusaha mengambil jarak cukup jauh dari tempat ini. Namun aku bisa memastikan bahwa dialah yang menghabisi sosok siluman ular besar yang menjadi asal muasal kekuatan hitam Mbah Rowo.
Mbah Rowo menghardik semua benda ritualnya dan menghampiri sosok siluman yang sudah tidak bergerak itu.
“Nyi.. Nyi Rundolo! Kenapa jadi seperti ini?! Kau sudah berjanji memberikan ilmu untuk membalaskan dendamku!” Ucapnya dengan penuh amarah.
“Khekhekeh… Ngomong karo bangkai kewan, ono sing luwih edan seko aku yo mi?”
(bicara dengan bangkai hewan, ada yang lebih gila dari aku ya mi) Ucap demit kakek tua yang mencoba meledek Mbah Rowo.
“Ini tidak adil! Harus ada yang membalaskan dendamku ke seluruh warga desa!”
Kali ini Mbah Rowo menangis dengan putus asa, walaupun sudah membunuh orang yang menghabisi anaknya dendamnya masih belum terpuaskan. Iapun menoleh ke arah bangkai ular besar itu dan merencanakan sesuatu.
“Aku tidak peduli! Aku akan menjual jiwaku pada siapapun yang bisa membantu membalaskan dendamku”
Tepat setelah ucapanya itu tiba-tiba Mbah Rowo kembali menghilang ke dalam kegelapan hutan mencoba untuk melarikan diri.
Aku mencoba mengejarnya namun tiba-tiba Mbah Rowo terpental oleh sesuatu dari kegelapan hutan.
“Enak wae arep kabur!” (enak saja mau kabur)
Aku tahu, itu adalah suara Jagad. Kali ini ia muncul dari sebuah tempat yang terhubung dengan alam roh bersama seseorang yang ia papah.
“Jagad! Itu Mas Tri kan? kamu berhasil nolong dia?” Ucapku merasa senang.
“Aku yo nggak mau kalah dari kamu, sebelumnya aku gagal mencari keberadaan Mas Tri yang akan jadi tumbal cadangan Mbah Rowo… tapi saat melihat kamu nggak nyerah ya aku malu sendiri” Jelas Jagad.
“Sudah Mbah Rowo.. kamu sudah tidak ada harapan. Menyerah saja” Ucap Jagad
Kali ini tidak ada perlawanan sama sekali dari Mbah Rowo, iya tidak mengumpat seperti sebelumnya. Kali ini ia hanya menangis dan terus menangis.
Kami tidak melakukan apapun, namun lambat laun tubuh Mbah Rowo seperti kehilangan kekuatan hingga untuk berdiripun terlihat sulit.
“Bimo, kamu tahu bahwa ada sosok manusia yang tubuhnya telah benar-benar mati, namun sesuati dari dalam rohnya membuatnya tetap hidup dengan bantuan dari setan-setan yang memanfaatkanya?” Ucap Nyai suratmi.
Aku menggeleng, namun aku mengerti kejadian mengerikan yang dialami Mbah Rowo inilah yang dimaksud oleh Nyai Suratmi.
Dengan mata kepalaku , aku dan Jagad menyaksikan sendiri bagaimana seorang Mbah Rowo yang hampir membuatku dan Jagad hampir mati berkali-kali tubuhnya mengurus hingga hanya tulang di tubuhnya yang terlihat.Matanya terus melotot seolah tidak terima dengan apa yang telah terjadi.
Satu yang kutahu dibalik semua proses kematianya, Mbah Rowo merasakan kesakitan yang amat sangat namun tubuhnya sudah sama sekali tidak dapat menampung rasa sakit yang ia terima dari perbuatan yang iya lakukan sendiri.
Itu hanya yang terlihat, kita tidak pernah tau seberapa besar bayaran yang harus dia terima setelah perbuatanya kepada warga desa.
Tak lama setelahnya cahaya matahari mulai masuk dari tengah-tengah celah pepohonan. Jagad terduduk di tanah berusaha mengatur nafasnya sementara dari jauh terdengar suara langkah kaki dan seseorang yang memanggilku.
“Mas Bimo! Mas Jagad! Warga desa selamat!”
Itu adalah suara Kang Umar yang tersengal-sengal yang berlari secepat mungkin untuk memberi tahu keadaanya kepada kami.
Sayangnya, aku tidak memiliki tenaga lagi untuk menjawab dan memilih untuk jatuh terbaring di dinginya rerumputan hutan yang seketika menjadi indah dengan sinaran cahaya mentari pagi ini.
“Cucu eyang memang hebat.. istirahatlah! Masih ada satu perjalanan lagi”
Suara Eyang Suratmi terdengar mengantarkanku ke tidur lelap di pagi yang indah itu.

***
“Mas Bimo mau kemana to? Baru saja sembuh.. ” Ucap Asih yang menghadangku di dekat pintu masuk gerbang desa.
“Hehe… mau menapaki jalan menjadi pendekar” jawabku setengah iseng sekedar untuk tidak membuat Asih khawatir.
“Ya sudah, jadi pendekarnya jangan lama-lama.. nanti yang ngicipin masakan Asih siapa?” Balasnya.
“Tenang Asih, kakanda cuma mau beli telenan di depan desa. Yang di rumah pecah… Perginya nanti siang naik pit ontel.. capek kalau jalan kaki”
Ledekku pada asih yang sudah terlalu mendramatisir kepergianku.
Aku memang sudah pamit sama bapak untuk pergi sehari semalam sesuai petunjuk Nyai Suratmi dan karena kepergianku tidak selama mas Bisma, bapak dengan santainya memberiku ijin.
“Eadalah… yowis sebelum pergi mampir rumah asih dulu. Asih masak sayur asem” Balas Asih.
Jelas aku mengiyakan perkataan asih, tidak ada perjalanan yang lebih penting daripada mampir ke rumah asih untuk mencicipi masakanya.
Setidaknya seandainya terjadi apa-apa selama perjalananku, aku tidak akan menyesal telah melewatkan masakan Asih.
Tepat saat matahari bersinar di atas kepala, dan perut sudah kenyang terisi sayur asem buatan asih aku segera berpamitan dan mengayuh sepedaku menuju sebuah tempat yang ditunjukkan oleh Nyai Suratmi.
Sebuah tempat yang bernama.. Delik Kulon.
Entah mengapa dinamakan seperti itu , mungkin karena tempatnya sedikit tersembunyi.
Tempat ini berlokasi di antara empat penjuru hutan dengan empat jenis tumbuhan yang berbeda. Tempat yang asri, namun aku menebak bahwa di malam hari tempat ini akan berubah menjadi mencekam.
Di bawah rimbunya dedaunan samar-samar aku melihat bayangan Nyai Suratmi yang tengah menunggu dan memandang ke beberapa arah.

“Dia di sini eyang…?” Tanyaku.
Yang kumaksud adalah suami Eyang Suratmi yang selama ini ia cari. Eyangpun mengangguk mengiyakan.
“Dia belum mau bertemu eyang?” Tanyaku lagi.
Eyang menggeleng.

“Tapi eyang mengerti, kami sudah ratusan tahun tidak bertemu mungkin kami sama-sama malu, atau mungkin…”

“Mungkin apa eyang?” Tanyaku yang menegaskan keraguan Eyang Suratmi namun eyang hanya menggeleng.
“Sudah sudah… ini adalah perjalanan terakhir eyang. Eyang tidak mau merepotkan cucu-cucu eyang lebih lama lagi” ucap Uyang suratmi.
Aku melihat ke mata Eyang Suratmi. Itu adalah tatapan mata yang ikhlas.
Ia tahu dengan jelas alasan kekasihnya itu tidak ingin menemuinya. Namun tetap saja.. pasti masih ada yang mengganjal di hatinya.
“Mungkin ini adalah tugas terakhirmu… tolong tangkap Eyang Dayu dan bawa ke sini” Ucap Eyang Suratmi.
Aku sedikit tertawa mendengar permintaan Eyang Suratmi. Sebuah permintaan yang aneh dari seorang istri, seolah suaminya adalah anak nakal yang harus dijewer dan dimarahi olehnya. Namun aku tahu… ini bukanlah perkara mudah.
“Serahkan padaku eyang…” Ucapku.
Eyang Suratmi tersenyum, ”Jangan remehkan eyang leluhurmu itu, biar bagaimanapun dia juga seorang patih”
Aku sedikit menenangkan sukmaku berusaha berkonsentrasi mendengar suara-suara di sekitarku.
Sedikit-sedikit aku mulai mengenali suara pepohonan dan pergerakan hewan hutan hingga aku menyadari ada pergerakan aneh yang sedikit menggores batas alam di hutan itu.
“Disitu!” Aku segera berlari ke arah salah satu pohon besar. Sesosok bayangan terlihat bergegas meninggalkan tempat yang aku tuju. Sangat cepat…
Aku mengulang hal serupa dan terus mengejar ke arah bayangan itu , namun semuanya nihil.
“Tidak mudah kan?” ledek Eyang Suratmi.
“Akan lebih mudah kalau saya bisa bergerak selincah kera eyang” Jawabku.
“terus kamu menyerah?” Tanya Eyang Suratmi.
Aku tidak menjawab dan terus mencari cara untuk mengejar bayangan itu hingga nafasku hampir habis.
“Eyang Dayu! Kenapa harus kabur! Nanti Eyang Dayu yang akan menyesal kalau Eyang Suratmi sudah tenang!” Teriakku mencoba bernegosiasi.
Tidak ada sedikitpun jawaban yang ku dengar, namum dari jauh aku melihat sosok bayangan kakek itu juga sedang menahan bimbang dengan perilakunya.
“Kakekmu itu dikutuk oleh sebuah Ajian yang membuatnya berubah menjadi demit,
saat kutukan itu kumat dia tidak mengenali orang dekatnya dan bisa mencelakainya” Jelas Nyai Suratmi.
“Jadi itu alasan Eyang meninggalkan keluarganya?” Tanyaku.
Eyang Suratmi mengangguk.
“Tapi perjalanan denganmu membuka mata eyang bahwa tidak sekalipun Eyang Dayu meninggalkan keluarganya..
Eyang tersadar saat setan anak buah Mbah Rowo mencoba menyakiti eyang, Eyang Dayu muncul tiba-tiba untuk menolong eyang…
Dan satu lagi…
Kakakmu Bisma, telah berhasil mendapatkan kekuatan dari pusaka yang diwariskan kepadanya.. Keris Ragasukma.
Eyangmu menghabiskan hidupnya untuk menciptakan mantra leluhur untuk melindungi keturunan-keturunanya. Kata Eyang Dayu :
Jangan sampai hanya kebodohan dan kegilaanku saja yang kuturunkan pada cucu-cucuku. Biar mereka tahu bahwa leluhur mereka bukan Cuma kakek gila yang doyan makan…”
Eyang Suratmi menceritakan itu dengan mata yang berkaca-kaca. Di balik tingkah laku Eyang Dayu yang seenaknya, Eyang Suratmi masih sangat mengaguminya dari hati yang terdalam.
“Eyang… Bimo nggak mau nyerah” Ucapku.
Tanpa menunggu respon dari Eyang Suratmi aku segera mengambil sepeda ontelku dan meninggalkan Eyang Suratmi di tempat itu bersama Eyang Dayu yang masih enggan untuk mendekatinya.
Saat itu langit memerah dengan begitu indah seolah menggambarkan kisah Eyang Suratmi dan Eyang Dayu yang tidak cerah namun juga tidak kelam.
Di hati mereka masing-masing mereka mengetahui betapa indahnya perasaan kekasihnya itu tanpa ragu sedikitpun.
Saat ini aku hanya perlu mengisi sedikit rasa yang memang sudah sangat kuat itu agar tidak ada penyesalan diantara mereka berdua.
“Eyang.. aku kembali!” Teriakku.
Entah sudah pukul berapa saat itu, namun bulan purnama bersinar dengan terang di tengah-tengah Delik Kulon yang merupakan titik pertemuan dari keempat hutan.
“Apa itu Bimo?” Tanya Eyang Suratmi yang bingung dengan bungkusan kain besar yang kubawa.
Aku berlari ke dalam hutan, bukan untuk mengejar Eyang Dayu melainkan untuk mencari beberapa kayu kering yang kukumpulkan di tengah tanah yang lapang.
Dengan sedikit tersenyum aku membangun sebuah perapian dengan panci yag barusan kuambil dari rumah.
“Sayur asem eyang… buatanya Asih, ini resep eyang kan?” Ucapku yang mulai menghangatkan sayuran buatan asih itu.
Aku mengipaskan masakan asih agar tercium hingga ke seluruh penjuru hutan. Samar-samar aku melihat bayangan dayu yang melirik ke arah masakan ini.
“Heh kamu tau kan Bimo, demit nggak makan ginian?” Ucap Eyang Suratmi.
“Demit biasa emang nggak eyang, kalau demit yang satu itu siapa tau kan?” Ucapku sambil sedikit tertawa.
Entah aku tidak tahu ini akan berhasil atau tidak, namun malam itu aku habiskan dengan menikmati sayur asem buatan Asih tentunya dengan resep turun-temurun dari Eyang Suratmi sambil sesekali meledek Eyang Dayu yang malu-malu tapi terlihat sangat ingin menghampiri tempat ini.
Sayangnya sampai aku kenyang Eyang Dayupun tetap pada pendirianya. Aku dan Eyang Suratmi sudah pasrah. Setidaknya perbincangan kami berdua tadi sudah cukup bisa mengobati rindu Eyang Suratmi pada Eyang Dayu.
Tanpa membereskan sisa makananku akupun memilih untuk tidur dibawah sinar rembulan dan berselimutkan kisah indah dari leluhurku ini.
"Klang…"
Terdengar samar-samar suara panci yang tersenggol, di tengah kantukku aku memaksakan untuk membuka mata. Entah ini ilusi atau bukan.
Jauh dihadapanku terlihat sepasang laki-laki dan perempuan. Aku tahu bahwa yang perempuan adalah Eyang Suratmi. Namun disebelahnya bukanlah demit kakek tua, melainkan seorang patih yang gagah mengenakan kalung emas khas prajurit yang sebelumnya selalu dikenakan Eyang Suratmi.
Tidak ada tangis dan tawa di sana, hanya gerak gerik konyol seorang pria yang selalu dibalas dengan tawa manis Eyang Suratmi.
Ah… seandainya aku bisa memilih kisah cinta. Mungkin kisah cinta merekalah yang ingin kualami.
Aku terbangun di dengan dinginya pagi yang berkabut di Delik Kulon. Sosok Eyang Suratmi tidak lagi berada di sekitarku. Keberadaanya sudah tidak lagi terasa terikat denganku seperti sebelumnya.
Hanya pusaka kalung emas prajurit kerajaanlah yang berada di sampingku saat terbangun.
Bibirku menyimpulkan sebuah senyum sambil membacakan doa untuk menghantarkan kepergian Eyang Suratmi yang sepertinya telah memenuhi tujuanya.
Sepanjang perjalanan aku mengayuh sepeda ontelku berusaha untuk terus mengingat kejadian semalam. Di satu sisi aku penasaran, apakah aku bisa bertemu dengan Eyang Dayu lagi?
Apakah benar pusaka yang diwariskan ke Mas Bisma bisa menghubungkanku dengan leluhur-leluhurku yang sangat kukagumi ini?
Mungkin perjalananku masih cukup panjang. Toh saat ini aku hanya seorang anak yang bahkan masih ketakutan menghadapi roh-roh penasaran yang mengancam orang terdekatku..
“Mas Bimo! Kalau naik sepeda jangan ngelamun!” Teriak seorang wanita yang menyambutku dari depan rumahnya saat memasuki desa.
Itu Asih.. sekali lagi ia berhasil memecahkan lamunanku dan menggantinya dengan pagi yang berwarna.
Entah roh apa yang merasukiku saat itu. dinginya udara pagi membuatku berpikir pendek, namun aku tidak pernah menyesali perkataanku saat itu.
“Asih… Aku boleh jadi suamimu?”

-TAMAT-
Sudah ya! Lunas kisah tentang Eyang Suratmi.. semoga menghibur. Mohon maaf kalau pendek cuma 2 part karna kalau dipanjangin jadi aneh.

minggu depan kita lanjutin kisah Keris Benggolo Ireng lagi.

yang mau baca duluan bisa ke karyakarsa ya! Terima kasih.
karyakarsa.com/diosetta69/ker…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Diosetta

Diosetta Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @diosetta

Mar 10
KERIS BENGGOLO IRENG

..Sumpah itu harus dipenuhi, bahka bila ratusan nyawa yang menjadi bayaranya..

@bagihorror
@mwv_mystic
@qwertyping
@IDN_Horor
@ceritaht
@cerita_setann
@horrornesia Image
Part 1.1 - Lilin Tengah Malam

Malam itu hujan deras mengguyur seluruh desa tanpa henti. Kilatan petir menggelegar sesekali memendarkan cahaya ke dalam rumah melalui jendela. Aku terbangun oleh sebuah mimpi aneh yang sulit untuk kujelaskan.
Sebuah mimpi yang menunjukan bahwa bapak, ibu, dan mbakyu datang kepadaku dalam wujud pocong dengan wajah yang sudah membusuk dan penuh dengan belatung.

Aku memutuskan untuk keluar dari kamar dan mengambil segelas air putih dari pawon untuk menenangkan diriku.
Read 192 tweets
Mar 9
ENSIKLOPEDIA SANTET
Penulis : @RestuPa71830152
Editor : @Wakhidnurrokhim

Satu buku ini berisi kisah-kisah santet yang sudah memakan banyak korban, bahkan dari keluarga penulis sendiri..

Kisah yg bikin merinding sekaligus memberi edukasi kepada pembaca

shopee.co.id/warunkhorror/1…
Sudah bisa dibeli di Shopee WarunkHorror

shopee.co.id/warunkhorror
Jangan lupa intip koleksi buku lainya

MELATI
By @qwertyping

shopee.co.id/warunkhorror/1…
Read 5 tweets
Jan 27
GETIH IRENG ABDI LELEMBUT
(Darah Hitam Pengabdi Setan)

Darmowiloyo, keluarga keramat ini sudah dikenal tidak segan-segan utk menghabisi mereka yg bertentangan denganya dengan ilmu hitam.
apa hubungan Danan & Cahyo dengan mereka?

dibantu RT dulu ya 🙏
@bagihorror
@IDN_Horor Image
Nanti sepulang kerja saya upload cerita ini ,

sambil menunggu, mungkin bisa mampir ke Youtube dengerin saya ngoceh bareng @Wakhidnurrokhim

Hawa dingin terasa begitu menusuk di sekitar kaki gunung tempat Mbah Sarjo tinggal saat ini. Tidak seperti biasanya, Beliau merasakan seperti sedang terjadi sesuatu yang akan berdampak panjang.
Read 1156 tweets
Jan 18
GETIH IRENG ABDI LELEMBUT
(Darah Hitam Pengabdi Setan)

Part 1 & 2 sudah tersedia di karyakarsa.
yang di twitter sabar dulu ya 😆🙏

Kelanjutan dari kisah Dessa Tanggul Mayit , Masih dalam garis timeline #jagadsegorodemit

karyakarsa.com/diosetta69/par… Image
Spoiler :

Sebuah kisah kelam menyebabkan Damar terpaksa meminta pertolongan dari kegilaan saudaranya yang mulai menghabisi saudara sedarahnya hingga ia terpaksa memutuskan tali darah dari keluarganya.
Keturunan Damar dikenal dengan Trah Darmowiloyo yang ternyata menyebabkan hilangnya banyak nyawa di Desa Tanggul Mayit.
Read 4 tweets
Jan 15
TEROR PENGHUNI LAUT MALAM
Part 1 - Tabu Laut Tenggara

Upload pagi karena kemungkinan nanti bakal sibuk seharian.
cerita ini cuma 2 part kok, kali ini latar ceritanya di luar pulau Jawa, semoga saya bisa membawakan dengan baik.
@bagihorror
@mwv_mystic
@IDN_Horor
@ceritaht Image
“Darno ayo cepetan naik… kapal udah mau berangkat” panggil Fahri teman sekamarku di kapal pencari ikan untuk pelayaran kali ini.
Aku mematikan rokokku dan menyusul Fahri menaiki kapal.
“Perlengkapanmu udah dicek?” tanya Fahri padaku.
“perlengkapan apa to? Kan Cuma pelayaran kayak biasanya..” jawabku dengan sedikit cuek.
Bukannya sombong, aku memang termasuk anak buah kapal senior yang sudah puluhan kali ikut berlayar.
Read 197 tweets
Jan 8
TEROR BONEKA PENARI
Legenda Nini Thowok

Ga ada urusanya sama trend spirit doll, jadwal upload cerita ini udah saya share dari bulan lalu.

Kita upload malam ini buat nemenin malam minggu kalian ya.

@IDN_Horor
@bagihorror
@ceritaht
@qwertyping

#ninithowok Image
Oiya , cerita ini juga udah di share di Podcast @bagihorror di spotify dan di @karyakarsa_id
sampe tamat..

yang mau baca duluan atau sekedar support monggo

karyakarsa.com/diosetta69/ter…
Part 1 - Gadis dan Boneka

Di tengah malam seorang anak perempuan yang masih belia berjalan ke tengah lapangan dengan membawa sebuah boneka kayu buatan dengan batok kelapa yang dicat berwarna putih bergambarkan wajah bersama pakaian dan selendang seperti penari.
Read 134 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(