Aku gusar dengan perilaku pak Salundik. Sebagai laki-laki, ia terlalu pengecut. Tidak ada sedikitpun perasaan kasihan kepada Bawi.
Gadis kecil itu, pasti berharap ada yang bisa menolongnya.
Saat ini, jiwanya yang rapuh tengah tersesat di belantara yang luas, kedinginan dan ketakutan.
"Pak, tidak bisakah diusahakan sesuatu?" Aku akhirnya angkat bicara.
Lagi-lagi jawaban pak Salundik mengecewakan kami semua yang kini duduk berdekatan di depan kamar Bawi.
"Lihatlah!" seru pak Salundik.
Takut-takut, pipi Bawi ia pukul pelan. Gadis kecil itu tidak bereaksi, hanya mulut mungilnya yang terus berkata tolong tanpa suara.
Pak Salundik membuka mata bawi satu persatu, diperiksa layaknya dokter puskesmas. Melihat pak Salundik termangu, kami yang menyaksikan ikut-ikutan khawatir.
Ia lantas membuka bibir Bawi, tampaklah sepasang taring yang sepertinya mulai tumbuh.
Taring itu memanjang di celah gigi, membuat gusi Bawi berdarah.
Pak Salundik menoleh, menatap kami dengan tajam.
"Ini bukan taring manusia. Kalian lihat sendiri. Taring ini akan terus tumbuh memanjang hingga keluar dari celah bibir. Sayang sekali aku tidak bisa berbuat banyak. Sebentar lagi..."
Pak Salundik menggantung kalimatnya, membuat kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tanpa ia lanjutkan, kami tahu apa yang akan terjadi selanjutnya dengan Bawi.
"Sebentar lagi Bawi akan basaluh. Berubah wujud menjadi hewan liar," lanjut Pak Salundik datar.
Aku tak sepenuhnya percaya ucapan pak Salundik. Sulit dinalar ada manusia bisa berubah wujud menjadi mahluk lain. Aku hanya kasihan dengan Bawi. Gadis kecil itu harusnya menikmati waktu bermain bersama teman-temannya, bukan dipasung bagai orang gila.
Melihat kami termenung, pak Salundik kembali buka suara.
"Biasanya, orang punya ajian tertentu akan basaluh, bila tidak sempat melepaskan ajian sebelum meninggal. Tapi entah apa yang terjadi dengan Bawi, sepertinya ada orang yang hendak membuatnya celaka."
"Semua ini ulah si Dehen!"
Suara Ukar yang menggelegar mengagetkan kami. Ia berdiri dengan tinju terkepal. Tubuhnya gemetar menahan amarah. Mulutnya mengeluarkan sumpah serapah kepada Dehen, pambakal terpilih.
"Tidak baik sembarang menuduh. Perkara gaib susah dibuktikan," sela pak Salundik.
"Kalau bukan Dehen, siapa lagi?" potong Ukar kesal.
"Hanya Dehen yang paling berambisi ingin jadi pambakal. Segala cara ia lakukan, bahkan ilmu hitam.
Pambakal Dehen, ia jadi pambakal dengan cara licik. Cara terlarang!"
"Bukannya ada calon lain?"
"Itu hanya akal-akalan si Dehen," sambung pak Gerson, "calon ketiga adalah Rinto, sepupunya Dehen sendiri.
Jadi, sewaktu aku mundur, pemilihan bisa terus berlangsung. Setelah aku tidak lagi mencalon, Dehen terpilih jadi pambakal tanpa hambatan berarti."
Jauh di lubuk hati, aku dan pak Salundik tahu bahwa pelakunya adalah Dehen. Aku tidak habis pikir, bagaimana bisa manusia silau akan kekuasaan. Baru pemilihan tingkat desa, sudah menggunakan ilmu hitam. Apalagi yang lebih tinggi, mungkin ada banyak dukun yang turun tangan.
"Apa kalian punya bukti, kalau Dehen dalang dibalik semua ini?" cecar pak Salundik.
Pak Gerson dan istri menggelengkan kepala. Keduanya tertunduk, menyadari tuduhan mereka tidak bisa dibuktikan.
"Beras kuning...aku menemukan beras kuning," tutur Ukar.
Tidak hanya pak Salundik, pak Gerson dan istri juga terperanjat mendengar ucapan Ukar.
Ukar menatap kami satu persatu dengan nafas tak teratur.
"Suatu malam, aku dan beberapa orang kawan berangkat ke ibukota kecamatan untuk menonton acara dangdutan. Kami sengaja mencari hiburan, karena suasana desa saat itu begitu tegang. Semua orang saling curiga karena beda pilihan.
Kira-kira pukul 12 malam, kami kembali ke desa. Saat itulah aku dan kawan-kawanku melihat ada orang mengendap-endap di depan rumah. Berjalan mondar-mandir dengan tingkah mencurigakan.
Saat hendak kami sergap, dia berlari ke dalam hutan di ujung desa lalu menghilang. Setelah itu, aku menemukan butiran beras kuning di depan rumah."
"Behas bahenda," sambar pak Salundik seketika.
"Behas bahenda merupakan media untuk berhubungan dengan arwah para leluhur. Di tangan orang jahat, behas bahenda bisa digunakan untuk mencelakai orang lain.
Dugaanku, orang itu menaburkan beras kuning sembari membacakan mantra arwah.
Memanggil Kamiyak untuk mencelakai keluargamu."
Pak Salundik semakin gelisah dengan raut wajah tegang.
"Sudah kalian bicarakan dengan Dehen, meminta ia mencabut parang maya?" tanya pak Salundik.
"Sudah tiga kali, ia tak menggubris," balas istri pak Gerson.
"Aku sampai memohon dan menangis di kakinya, tapi dia tak peduli. Kami bahkan diusir dan dicaci maki. Kami dikatakan hendak menebar fitnah. Orang suruhannya menyeret kami bagai anjing, sungguh biadab!"
Istri pak Gerson meraung-raung bagai orang gila. Berurai air mata, ia terisak hingga hilang suara. Sang suami mengusap-usap kepalanya, memeluk erat agar ia tenang.
"Pak Gerson, sekali lagi aku minta maaf karena tidak mau terlibat. Keselamatan keluargaku juga penting.
Sekarang aku undur diri sebelum malam semakin larut. Kasno, sudah waktunya kita pulang."
Ucapan pak Salundik membuatku murka. Sebagai orang yang dituakan, sikapnya sungguh memalukan.
Pak Salundik beranjak, ditinggalkannya Pak Gerson dan keluarga yang meratap sedih.
Aku buru-buru mengejar, membujuknya agar berubah pikiran.
Baru beberapa langkah, terdengar suara ketawa cekikikan yang melengking. Rumah juga bergoyang pelan bagai kena gempa, diselingi suara cakaran entah dimana.
Pak Salundik langsung balik badan, melangkah tergesa ke kamar Bawi. Hampir saja aku diseruduk kalau tidak menghindar. Dasar orang tua aneh! gumamku dalam hati. Andaikan ia tak punya anak yang cantik, sudah kutinju wajahnya dari tadi.
Di dalam kamar, Bawi terlihat mengerikan. Matanya hitam sempurna, liar dan ganas. Aku merinding dengan apa yang kusaksikan. Apalagi, jari-jarinya Bawi mulai berdarah karena terus mencakar-cakar kayu ulin yang menindih kaki mungilnya.
Melihat itu aku ngilu sampai-sampai gigiku terasa sakit.
Ibunya Bawi mulai terisak melihat keadaan sang putri. Sang suami merangkul erat, berusaha menenangkan.
Ukar bergerak cepat, mengambil ayam di pojokan yang berisik dan ketakutan.
Ayam itu segera dirampas Bawi dengan cara beringas.
Ayam malang itu terus bersuara memohon ampun, tapi percuma. Bagai anjing liar, Bawi menggigit leher ayam itu hingga putus.
Kepala mahluk malang itu menjuntai dengan darah mengalir deras ke lantai. Satwa itu bergerak-gerak sampai akhirnya membujur kaku kehilangan nyawa.
Aku merasa mual sewaktu Bawi merobek perut hewan nahas itu dengan giginya, mengunyah daging demi daging dengan tenang. Wajah Bawi belepotan darah, membuat siapa saja yang melihat bergidik ngeri bercampur pilu.
"Ambilkan air putih," pinta Pak Salundik.
Mertua pak Gerson bergegas ke dapur, lalu menyerahkan segelas air putih pada pak Salundik.
Pak Salundik lantas melangkah hati-hati ke dalam kamar lalu berjongkok di depan Bawi.
Setelah didoakan, air dalam gelas ia minum dan ditahan di mulut hingga pipinya cembung.
Byuurr...!
Pak Salundik menyemburkan air dari mulut ke wajah Bawi.
Sekonyong-konyong Bawi gelagapan lalu tersadar. Ayam ditangannya Bawi terlepas dan ia mulai menangis.
Sang ibu berhamburan memeluk sang anak lalu disusul pak Gerson. Ketiganya kemudian terisak berurai air mata. Pak Salundik menyingkir, memberi ruang keluarga itu melepas rindu.
"Iya nak, ibu di sini nak. Ibu di sini. Hu...hu...hu..."
Aku ikut terharu melihat keluarga ini bisa kembali berkumpul. Apalagi si Bawi, gadis malang itu pasti lega bisa kembali mendapatkan pelukan hangat dari ayah dan ibu.
Namun, ada yang aneh dari pak Salundik. Ia terlihat risau, seolah sesuatu yang buruk segera terjadi. Mulutnya juga terus komat-komit membaca mantra
Braak...
Aku terlonjak kaget, tahu-tahu pak Gerson dan istri terlempar dan membentur dinding kamar. Keduanya merintih kesakitan. Aku turut membantu Ukar dan mertua pak Gerson memapah mereka berdua keluar.
Setelah itu, aku kembali lagi ke depan pintu, penasaran dengan apa yang akan terjadi.
Kulihat, mata Bawi kembali membulat hitam sempurna. Ia tertawa cekikikan seraya memandang kearahku dan pak Salundik bergantian.
"Pintar kamu, sungguh pintar..."
Suara Bawi terdengar serak, seperti suara seorang nenek tua. Ia mengambil ayam yang tergeletak di depan lalu kembali memakan dagingnya mentah-mentah.
"Siapa kamu?" bentak pak Salundik.
Bawi tidak merespon, ia hanya peduli dengan ayam di tangan. Selang beberapa saat, Bawi mendongak ke arah pak Salundik.
"Pintar kamu...sungguh pintar dan licik. Kik...kik...kik..."
Aku merinding mendengar tawanya, membuat nyaliku seketika ciut. Aku semakin ketakutan sewaktu Bawi perlahan-lahan menoleh kearahku.
Sorot matanya yang tajam mengawasiku, memperhatikan dari ujung kepala hingga ujung kaki. Jantungku berdegub kencang dan berdesir cepat.
"Ternyata, ini pemuda seberang pulau yang akan kau persembahkan untukku, Salundik. Daha balas daha, nyawa ditukar nyawa. Kik...kik...kik..."
Deg!
Tiba-tiba jantungku rasanya berhenti berdetak.
...bersambung...
Sampai jumpa di malam jumat, tabe 🙏
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
"Ia terpaksa kupasung karena mengamuk," tutur pak Gerson lemah.
Ia duduk bersandar pada dinding di sebelah pintu. Matanya berkaca-kaca penuh kesedihan.
"Enam bulan lalu, waktu itu aku sedang sibuk kampanye untuk mencalon lagi sebagai pambakal di desa ini. Sejak saat itu, putri kecilku mendadak bertingkah seperti orang hilang ingatan. Ia berprilaku layaknya binatang, memakan ayam mentah yang masih berdarah."
"Besar juga nyalimu, Salundik. Rupanya, banyak juga "baju" yang kau bawa ke sini," kata lelaki itu dengan mata melotot.
Tak gentar, pak Salundik balas melotot.
"Dengar, aku tidak mengenalmu dan kemari bukan ingin cari perkara. Tapi kau tahu siapa namaku, artinya kau tahu siapa aku. Setetes saja darahku mengalir di sini, maka akan kupastikan desa ini sesuai namanya, desa sungai darah. Kurasa, kau tak ingin berurusan dengan para Sangiang!
Entah apa maksud pak Salundik berucap seperti itu, aku tidak ambil pusing. Tiba di pertigaan, kuarahkan sepeda motor belok kiri, melalui bukit belah yang dibuat pada jaman Belanda.
Setelah itu, kubawa motor berhati-hati menuruni jalur bukit ular yang curam. Dikatakan bukit ular, karena jalan yang melintasi bukit ini berkelok-kelok seperti ular. Lengah sedikit, pengendara akan terjatuh ke dalam jurang yang sangat dalam.
Assalammualaikum wrwb.
Setelah cukup lama vakum, saya akhirnya balik lagi dengan cerita baru. Tentu saja, saya kembali dengan cerita horor / mistis dengan latar Kalimantan.
Pada cerita kali ini, saya akan berbagi cerita tentang pengalaman seorang transmigran asal Jawa Tengah yang mengalami berbagai peristiwa mistis di tanah Kalimantan.
Tidak tanggung-tanggung, transmigran tersebut menceritakan tentang pengalamannya menghadapi santet orang Dayak yang mematikan.
Di Kalimantan, ada mitos yang sangat dipercaya masyarakat setempat, yaitu kepuhunan.
Kepuhunan adalah sial, apes, celaka atau kena batunya.
Umumnya terjadi ketika kita menolak makanan atau minuman yang diberikan tuan rumah, lalu ketika kita pulang berkunjung maka akan mengalami kecelakaan di jalan.
Bisa juga, kita menolak pemberian makanan/ minuman dari rekan kerja di kantor, lalu kita kenapa-kenapa di jalan.